Panglimakun

“Cil, aelah, Cil. Lebay banget sih, cuman gitu aja.”

Alam sahabat Valen sedari kecil yang wakil ketua osis, kini sedang menemani Atha di uks.

Kondisi Atha memang tidak terlalu parah, hanya saja Atha lemah saat dibentak oleh Malvin dkk.

Untung saja Malvin tidak bertindak terlalu jauh, karena di sana ada Naren, Haydan dan Rangga.

“Diem!”

Atha memejamkan matanya, enggan menatap Alam. Gadis itu sekarang sedang sedih dan marah.

“Valen baru bangun tidur, Cil. Tadi gue di chat dia,” kata Alam tentu saja berbohong, bahkan dirinya tidak tahu keberadaan Valen di mana sekarang.

Mendengar kalimat itu, Atha menoleh dan membuka matanya lebar-lebar.

“Kakak, selingkuhan kak Valen, ya?” Atha menuduh Alam penuh curiga.

“Dih, aneh lo, Cil.”

“Lagian aku pacarnya, kok kakak duluan yang dikabarin!”

“Gue sahabatnya dari rahim, mau apa, lo?”

“Alasan!”

Ruang UKS yang hanya diisi oleh Alam dan Atha kini hanya dipenuhi perdebatan tak penting mereka.


Valencio Hengkara S, murid laki-laki kelas 11-IPA2 yang menjabat sebagai ketua osis di SMA NEO, baru saja sampai di sekolah.

Kedatangannya tentu saja menarik perhatian murid-murid yang ada di sana, terlebih lagi murid perempuan.

Tidak ada yang bisa berpaling dari pesona cowok tinggi dan tampan itu. Seperti biasa dengan hoodie hitam kesayangannya menambah kesan tampan yang menggoda.

Tanpa memperdulikan panggilan dari murid-murid perempuan yang memanggilnya, Valen tetap berjalan di koridor sekolah.

Namun ada yang berbeda dengan laki-laki itu. Aura nya tidak ramah seperti biasa, tatapan yang lurus ke depan, tatapan mata yang sangat tajam.

Valen memberhentikan langkahnya di depan kelas 12-IPS3, yang lebih dikenal sebagai kelas perkumpulan murid-murid nakal. Salah satu murid di sana adalah Malvin, murid laki-laki yang namanya Valen dengar sudah menyentuh wanitanya pagi ini.

Dengan penuh amarah, dada yang naik turun karena nafas yang tidak beraturan Valen masuk ke dalam kelas itu.

“Mana Malvin.” Suara datar dan tidak bersahabat dari Valen menarik perhatian seluruh murid yang berada di kelas.

Dan juga murid laki-laki yang bernama Malvin.

“Wow wow ada bang jago nih.”

Mendengar suara Malvin, Valen dengan segera melangkah ke arah suara.

Brak

Tidak terduga Valen menendang kursi yang diduduki Malvin, tentu saja membuat Malvin terjatuh.

Dilihatnya Malvin lengah, Valen segera mencengram kerah kemeja Malvin dengan kuat

Don't you dare, macem-macem sama wanita saya!”

Bukannya takut Malvin merespon dengan senyuman meremehkan.

*Bugh”

Satu pukulan dihadiahi Valen ke wajah Malvin.

“Brengsek!” teriak Malvin tidak terima.

“Bayaran karena anda nyentuh wanita, saya.”

Valen berdiri seraya menarik kerah kemeja Malvin, agar Malvin ikut berdiri. Lalu dengan kuat Malvin didorong sehingga menabrak dinding kelas.

Aksi Valen disaksikan oleh seluruh murid yang ada di kelas itu. Hanya ada seruan dan bisikan dari mereka.

Valen mengeluarkan smirk di bibirnya, mata kecilnya menatap mata Malvin dengan tatapan mengintimidasi.

“Jangan pernah sentuh wanita, saya,” ancam Valen.

Valen melepas cengkraman tersebut, ia melempar Malvin sehingga Malvin kembali tersungkur di lantai.

“Lo laki, kan? Ketemu saya di lapangan belakang sekolah nanti malam— jangan berani sama, cewe.”

Setelah memberi tantangan tersebut, Valen melangkahkan kakinya meninggalkan Malvin yang penuh emosi sekarang.

“Awas lo, gue buat mati lo nanti, ya, bajingan!”


“Cantik ....., aku tau kamu cuman pura-pura, Malvin gak sampe mukul kamu.”

Setelah membalas perbuatan Malvin, Valen dengan segera menghampiri gadisnya di uks.

Namun sayang kehadiran Valen, tidak disambut dengan ramah oleh sang gadis. Atha masih tetap terpejam pura-pura.

“Bete!”

Valen tertawa karena tingkah lucu, Atha.

“Udah bel tuh, ayo masuk.”

Atha mendengkus kesal. Ia segera duduk, mau gimanapun Atha tidak mau bolos, walaupun di kelas ia akan mengantuk, ia akan tetap hadir di kelas, walaupun sering dianggap hantu, dia ada namun tak terlihat.

“Sini aku pakein.”

“Gak usah, Atha bukan bayi!”

Atha menolak tawaran Valen untuk memakaikan sepatunya, saat Atha sedang memakai sepatu, bersamaan dengan itu Valen melepas hoodie yang ia kenakan.

Tanpa berbicara Valen mengenakan hoodie nya di pinggang Atha, saat Atha selesai memakai sepatunya dan berdiri tegak di samping Valen.

“Ngapain?” tanya Atha datar saat Valen berjongkok di hadapan Atha, dengan punggung yang ada di hadapan Atha.

“Naik, biar aku antar cantiknya aku, ke kelas. Kasihan habis sakit.”

Atha tersipu malu dengan, ternyata tujuan Valen mengenakan hoodie nya pada pinggang Atha, agar Atha tertutup saat digendong karena Atha mengenakan rok pendek.

“Ayo cantik.”

Masih tersipu Atha segera menjatuhkan dirinya di punggung Valen. Saat itu juga Valen berdiri.

Raut wajah Valen sedikit berubah, ia merasakan sakit dari bekas cambukan papanya semalam.

“Ringan banget, kayak gendong hantu aku.”

“Ih! Ngeselin!”

“Hahahaha, ready?”

“Ready!”

“Pegang erat-erat cantik.”

Atha melingkarkan tangannya di leher Valen dan meletakkan dagunya di pundak kanan Valen.

Atha terkagum, bahkan hanya dilihat dari samping laki-laki itu sangat tampan baginya.

Valen melangkahkan keluar dari uks, walau sakit ia tetap menahannya. Ia harus menebus kesalahannya karena telah membuat gadisnya berurusan dengan berandalan sekolah pagi ini.

“Cil, aelah, Cil. Lebay banget sih, cuman gitu aja.”

Alam sahabat Valen sedari kecil yang wakil ketua osis, kini sedang menemani Atha di uks.

Kondisi Atha memang tidak terlalu parah, hanya saja Atha lemah saat dibentak oleh Malvin dkk.

Untung saja Malvin tidak bertindak terlalu jauh, karena di sana ada Naren, Haydan dan Rangga.

“Diem!”

Atha memejamkan matanya, enggan menatap Alam. Gadis itu sekarang sedang sedih dan marah.

“Valen baru bangun tidur, Cil. Tadi gue di chat dia,” kata Alam tentu saja berbohong, bahkan dirinya tidak tahu keberadaan Valen di mana sekarang.

Mendengar kalimat itu, Atha menoleh dan membuka matanya lebar-lebar.

“Kakak, selingkuhan kak Valen, ya?” Atha menuduh Alam penuh curiga.

“Dih, aneh lo, Cil.”

“Lagian aku pacarnya, kok kakak duluan yang dikabarin!”

“Gue sahabatnya dari rahim, mau apa, lo?”

“Alasan!”

Ruang UKS yang hanya diisi oleh Alam dan Atha kini hanya dipenuhi perdebatan tak penting mereka.


Valencio Hengkara S, murid laki-laki kelas 11-IPA2 yang menjabat sebagai ketua osis di SMA NEO, baru saja sampai di sekolah.

Kedatangannya tentu saja menarik perhatian murid-murid yang ada di sana, terlebih lagi murid perempuan.

Tidak ada yang bisa berpaling dari pesona cowok tinggi dan tampan itu. Seperti biasa dengan hoodie hitam kesayangannya menambah kesan tampan yang menggoda.

Tanpa memperdulikan panggilan dari murid-murid perempuan yang memanggilnya, Valen tetap berjalan di koridor sekolah.

Namun ada yang berbeda dengan laki-laki itu. Aura nya tidak ramah seperti biasa, tatapan yang lurus ke depan, tatapan mata yang sangat tajam.

Valen memberhentikan langkahnya di depan kelas 12-IPS3, yang lebih dikenal sebagai kelas perkumpulan murid-murid nakal. Salah satu murid di sana adalah Malvin, murid laki-laki yang namanya Valen dengar sudah menyentuh wanitanya pagi ini.

Dengan penuh amarah, dada yang naik turun karena nafas yang tidak beraturan Valen masuk ke dalam kelas itu.

“Mana Malvin.” Suara datar dan tidak bersahabat dari Valen menarik perhatian seluruh murid yang berada di kelas.

Dan juga murid laki-laki yang bernama Malvin.

“Wow wow ada bang jago nih.”

Mendengar suara Malvin, Valen dengan segera melangkah ke arah suara.

Brak

Tidak terduga Valen menendang kursi yang diduduki Malvin, tentu saja membuat Malvin terjatuh.

Dilihatnya Malvin lengah, Valen segera mencengram kerah kemeja Malvin dengan kuat

Don't you dare, macem-macem sama wanita saya!”

Bukannya takut Malvin merespon dengan senyuman meremehkan.

*Bugh”

Satu pukulan dihadiahi Valen ke wajah Malvin.

“Brengsek!” teriak Malvin tidak terima.

“Bayaran karena anda nyentuh wanita, saya.”

Valen berdiri seraya menarik kerah kemeja Malvin, agar Malvin ikut berdiri. Lalu dengan kuat Malvin didorong sehingga menabrak dinding kelas.

Aksi Valen disaksikan oleh seluruh murid yang ada di kelas itu. Hanya ada seruan dan bisikan dari mereka.

Valen mengeluarkan smirk di bibirnya, mata kecilnya menatap mata Malvin dengan tatapan mengintimidasi.

“Jangan pernah sentuh wanita, saya,” ancam Valen.

Valen melepas cengkraman tersebut, ia melempar Malvin sehingga Malvin kembali tersungkur di lantai.

“Lo laki, kan? Ketemu saya di lapangan belakang sekolah nanti malam— jangan berani sama, cewe.”

Setelah memberi tantangan tersebut, Valen melangkahkan kakinya meninggalkan Malvin yang penuh emosi sekarang.

“Awas lo, gue buat mati lo nanti, ya, bajingan!”


“Cantik ....., aku tau kamu cuman pura-pura, Malvin gak sampe mukul kamu.”

Setelah membalas perbuatan Malvin, Valen dengan segera menghampiri gadisnya di uks.

Namun sayang kehadiran Valen, tidak disambut dengan ramah oleh sang gadis. Atha masih tetap terpejam pura-pura.

“Bete!”

Valen tertawa karena tingkah lucu, Atha.

“Udah bel tuh, ayo masuk.”

Atha mendengkus kesal. Ia segera duduk, mau gimanapun Atha tidak mau bolos, walaupun di kelas ia akan mengantuk, ia akan tetap hadir di kelas, walaupun sering dianggap hantu, dia ada namun tak terlihat.

“Sini aku pakein.”

“Gak usah, Atha bukan bayi!”

Atha menolak tawaran Valen untuk memakaikan sepatunya, saat Atha sedang memakai sepatu, bersamaan dengan itu Valen melepas hoodie yang ia kenakan.

Tanpa berbicara Valen mengenakan hoodie nya di pinggang Atha, saat Atha selesai memakai sepatunya dan berdiri tegak di samping Valen.

“Ngapain?” tanya Atha datar saat Valen berjongkok di hadapan Atha, dengan punggung yang ada di hadapan Atha.

“Naik, biar aku antar cantiknya aku, ke kelas. Kasihan habis sakit.”

Atha tersipu malu dengan, ternyata tujuan Valen mengenakan hoodie nya pada pinggang Atha, agar Atha tertutup saat digendong karena Atha mengenakan rok pendek.

“Ayo cantik.”

Masih tersipu Atha segera menjatuhkan dirinya di punggung Valen. Saat itu juga Valen berdiri.

Raut wajah Valen sedikit berubah, ia merasakan sakit dari bekas cambukan papanya semalam.

“Ringan banget, kayak gendong hantu aku.”

“Ih! Ngeselin!”

“Hahahaha, ready?”

“Ready!”

“Pegang erat-erat cantik.”

Atha melingkarkan tangannya di leher Valen dan meletakkan dagunya di pundak kanan Valen.

Atha terkagum, bahkan hanya dilihat dari samping laki-laki itu sangat tampan baginya.

Valen melangkahkan keluar dari uks, walau sakit ia tetap menahannya. Ia harus menebus kesalahannya karena telah membuat gadisnya berurusan dengan berandalan sekolah pagi ini.

Valen sedari tadi hanya fokus dengan buku-buku yang ada dihadapannya.

Ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar karena gugup dan takut. Setelah mengetahui kalau sang papa tau nilai ulangannya turun, namun Valen tidak bisa melakukan banyak hal selain diam di kamar.

Bahkan yang tadi otaknya berfungsi dengan sempurna, kini tiba-tiba berhenti dan hanya memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Tubuh Valen benar-benar membeku saat mendengar pintu kamarnya terbuka, sudah dapat dipastikan itu Jayden ; papa Valen.

“Saya bukan monster, kamu tidak perlu takut.” Bahkan hanya mendengar suaranya membuat darah Valen membeku di dalam sana.

Valen tertegun karena Jayden yang kini sudah berada di belakangnya, meletakkan tangan kanannya pada pundak kanan Valen.

“Apa kamu benar-benar belajar selama ini, Valen?” tanya Jayden dengan suara yang begitu mengintimidasi.

Anggukan cepat dilakukan oleh Valen. “Iya, pa,” jawab Valen.

Jayden mengangguk dan menepuk-nepuk pundak Valen perlahan.

“Tapi kenapa hasil ulangan fisika bulan ini sembilan puluh delapan?”

Valen tertegun. Ia tidak tau darimana Jayden mengetahui hal itu, padahal Valen sudah menutupinya rapat-rapat.

“Valen melakukan kesalahan, pa.”

“Bagus kamu sadar— kamu tau, kan? Saya tidak suka kalau kamu berbuat salah?”

Valen menjawab hanya dengan anggukan, ia menggenggam kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja, lalu ia memejamkan kedua matanya seakan siap dan tau dengan apa yang akan terjadi nanti.

Ctar...

Tali pinggang yang sudah Jayden lepaskan dari celananya, kini sudah berhasil membuat luka di punggung Valen.

“Kenapa kamu ngelakuin itu, Valen.”

*Ctar...”

“Maaf, pa.”

*Ctarr...”

“Kata maaf tidak bikin nilai kamu sempurna.”

“Valen akan memperbaikinya, pa.”

Jayden menghentikan aktivitasnya, ia kembali memakai tali pinggang tersebut.

“Bagus— lalu kenapa kamu buat anak saya menangis?”

Sudah Valen duga, pasti Alea akan mengadu kepada Jayden dan menangis melebih-lebihkan.

“Valen minta maaf, pa.”

“Anak saya cuman mau berbagi cerita kepada kamu, bahkan anak saya membelikan makanan kesukaan kamu, kenapa kamu begitu jahat kepada anak saya?”

“Valen bukan tidak mau, pa. Valen lagi belajar.”

“Sekali lagi saya melihat anak saya menangis karena kamu, habis kamu!”

Jayden meninggalkan Valen kembali sendirian di kamarnya.

Valen sama sekali tidak menangis atau marah, buka karena tidak sakit, namun menangis tidak ada gunanya.

Dan hal itu sudah biasa terjadi, pukulan, hinaan, kemarahan, dari Jayden sudah biasa ia terima.

Ia tidak menangis hanya saja hatinya terasa sangat sakit. Apalagi saat mendengar Jayden menyebutkan Alea dengan sebutan anak saya.

Valen juga menginginkan hal itu.


Pukul 2.00 setelah kembali terluka, Valen melanjutkan kegiatan belajarnya, walaupun mengantuk, ia sama sekali tidak ingin tidur sekarang.

“Keluar, kak.” Valen bersuara saat menyadari pintu kamarnya kembali terbuka. Ia tau itu pasti Lauren, sang kakak.

“Tidur, Val, udah malem jangan biasakan bergadang, kena gagal jantung nanti.”

Lauren berjalan menghampiri Valen, lalu ia duduk di kasur yang ada di samping meja belajar Valen.

“Sakit, Val? Sorry,” lirih Lauren seakan menyesal.

Valen menggeleng dengan tatapan masih fokus dibuku yang ada ditangannya.

“Sudah biasa, kak. Tapi hati Valen, mungkin akan selalu terasa sakit kalau kembali terluka.”

“Lo kenapa gak nangis?”

“Nangis, pun, tidak akan mengubah keadaan, Valen akan terus dibenci, kak. Valen hanya anak haram bagi papa.”

“Val—”

“Valen harus belajar, kak. Besok ada ulangan matematika, Valen tidak mau gagal lagi.”

Pertahanan Lauren gagal, ia menangis saat mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Valen. Suara Valen lembut namun kata yang ia ucapkan begitu menyakitkan.

“Jangan nangis—”

“Tunjukkin ke papa kalo lo sakit, Val. Jangan seakan-akan lo kuat!” Lauren memekik emosi.

“Valen kuat.”

Lauren mengusap pipinya kasar, lalu ia bangkit dan berdiri di samping Valen, yang tidak sama sekali menoleh untuk menatap Lauren.

“Setidaknya andalin gue sebagai kakak, lo. Jadiin gue tempat keluh kesah, lo, Valen. Kalo mau nangis gue ada di sini.”

Valen tersenyum, perlahan hati yang terasa sakit sedikit pulih. Ia menoleh menatap Lauren yang kembali menangis.

“Tidur, kak. Jangan suka bergadang nanti kena gagal jantung, kalo lo meninggal karena gagal jantung, nanti gue nangis kemana?”

Lauren memukul-mukul lengan Valen pelan, ia kesal dengan adiknya itu. Bisa-bisanya adiknya itu mengembalikan ucapan yang tadinya ia ucapkan kepada sang adik.

“Aduh, kak, sakit. Masih perih,” ringis Valen sedikit lebay.

“Sorry— sorry.

“Bercanda, hahahaha.”

“Ngeselin!”

“Udah, kak, jangan nangis. Valen baik-baik saja, selama ada, lo.”

“Lo mau kerjain bagian mana, Al?” tanya Danita saat mereka sudah tiba di perpustakaan.

Atha berfikir sejenak, lalu menjawab, “Memang ada bagian ngapain aja?”

“Kalo gue sih biasanya bakalan nyelesaikan soalnya, Freya nyari-nyari buku gitu, terus ngeprint, udah deh.”

Atha mengangguk paham. “Gue bagian ngeprint aja.”

“What! Omo, Jinja?” pekik Freya tidak percaya dengan jawaban dari Atha barusan. “C'mon Ale, dimana-mana tuh kalo kerja kelompok ada yang ngerjain ppt, word, nyelesaikan soal, lo milih ngeprint?”

Tanpa ada rasa bersalah Atha mengangguk. “Butuh hard copy, kan?”

“Ya, tap—”

“Gak terima? Yaudah gue tinggal nyari kelompok lain.”

Saat Atha hendak beranjak, dengan segera tangannya ditahan oleh Danita.

“Eh, iya lo bagian ngeprint aja,” ucapnya berusaha untuk menahan Atha.

Atha kembali duduk dan mengangguk. “Ya.”

Kini ketiga gadis itu sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Danita yang sedang berkutik dengan laptop dan Freya yang sedang pusing dengan buku-buku dihadapannya. Lain halnya dengan Atha, karena tugasnya adalah mengprint, jadi sekarang ia memilih sibuk dengan buku gambar yang ada ditangannya.

“Lo lebih milih menggambar ketimbang bantuin kita ngerjain tugas? Omo!” seru Freya saat pandangannya tertuju pada Atha.

Atha hanya diam bahkan matanya tidak beralih untuk sekedar menatap Freya yang sedang mengoceh kesal.

“Udah, it's okey lagian udah biasa kita cuman berdua, kan?” bisik Danita pelan ke Freya, berhasil membuat Freya diam walaupun ia masih kesal.

Dua jam mata pelajaran fisika telah selesai, tepat Danita dan Freya menyelesaikan tugas kelompok mereka.

“Nih, Al,” ujar Danita seraya menyerahkan flashdisk yang berisikan file yang akan di print.

Atha yang sedari tadi sibuk dengan dunianya sendiri, kini menoleh menatap Danita, tak lupa ia mengambil flashdisk yang Danita serahkan.

“Oke, gue nitip buku, ya, letakin di kelas.”

“Aman, kok.”

Tanpa menunggu lama Atha beranjak menuju koperasi sekolah. Untung saja jaraknya tidak jauh dari perpustakaan, jadi ia tidak terlalu capek berjalan.

“Pak ngeprint, filenya tugas fisika tiga,” kata Atha setibanya di koperasi.

“Oke, kamu anak baru, ya?” tanya bapak koperasi yang sedang sibuk dengan komputer yang ada di hadapannya.

Atha dibuat bingung oleh bapak koperasi, kenapa dirinya bisa tau kalau Atha murid baru di sana.

“Soalnya kamu manggil saya bapak, biasanya murid di sini manggil saya, kak. Nama saya Atuy, panggil saja Atuy,” jelas kak Atuy kepada Atha yang hanya diam mencerna semua penjelasan dari Atuy.

“Oke, kak.”

“Nih.” Atuy menyerahkan lima belas lembar kertas tugas kelompok Atha dan juga flashdisknya tentu saja.

Atha meraih kertas-kertas tersebut, lalu ia mengeluarkan dompet kecil yang ada di saku kemejanya. “Berapa, ya, kak?'

“Berapa?” Atuy kebingungan.

“Iya ...., berapa?” Atha tak kalah kebingungannya.

“Nih, kak, pakai punya gue aja.” Suara berat tiba-tiba menghampiri Atuy dan Atha yang sedang kebingungan.

“Nah pas banget lo, Val. Macam pahlawan kesiangan.”

Murid laki-laki bernama Valen itu hanya menjawab dengan senyuman. Valen melirik Atha yang masih diam.

“Memang magnet gue sama dompet gue deket banget,” ujar Valen.

Atha teringat sesuatu, ia mengeluarkan sebuah card yang ada di saku kemejanya. “Kak, makudnya card yang ini, ya?” tanya Atha.

Atuy mengangguk mantap. “Iya, tuh ada tadi kenapa bingung.”

Atha membulatkan bibirnya sambil mengangguk paham. “Kalo gitu pake punya saya aja, kak.”

“Telat dek, ini udah selesai saya scan, nih bro,” jawab Atuy seraya mengembalikan card milik Valen.

Valen hanya tersenyum, senyuman yang membuat Atha kesal.

Atha membalikkan badannya hendak kembali ke kelas, langkah Atha diikuti oleh Valen.

“Kalo udah dibantuin itu ucap makasih kek,” ucap Valen yang kini berjalan sejajar dengan Atha.

Thanks.”

Atha mempercepat jalannya, tiba-tiba ia meringis, “Arghh, sakit!” Tangan Atha ditarik kasar oleh Valen.

“Balikin dompet, gue,” pinta Valen. Raut wajah Valen berubah menjadi dingin dan tatapan matanya menjadi sangat tajam.

Atha mendengkus kesal. “Gue .... Gak ambil dompet, lo, gak usah kepedean!”

Valen mendecih, tangannya semakin kuat mencengkram tangan Atha. “Lo harus tau, lo lagi berurusan sama siapa,” ucap Valen diiringi dengan seringai mengancam.

I don't fucking care.” Atha menghentakkan tangannya dengan sangat kuat hingga terlepas dari cengkraman Valen.

Valen hanya bisa tersenyum melihat punggung Atha yang perlahan menjauh.

“Menarik.”


“Nih.”

“Oke, gue kumpul dulu, ya, terima kasih, Al.”

Danita pergi meninggalkan Freya berdua di kelas, sedangkan murid-murid yang lain sudah dipastikan di luar sedang menikmati jam istirahat mereka.

“Frey,” panggil Atha.

“Neeeeeeeeeeeee,” sahut Freya seperti biasa dengan suara yang menyebalkan.

Atha mengeluarkan card yang bertuliskan student card dari saku kemejanya. “Ini bukannya card buat akses masuk sekolah?” tanya Atha.

“Yap, Majja! Itu student card jadi biasanya sebelum masuk ke sekolah kan kita disuruh tap tap card itu dulu, nahk itu kegunaannya supaya yang masuk ke sekolah kita bukan orang luar, gitu,” jawab Freya menjelaskan kegunaan dari student card.

“Terus ini bisa dipake buat di koperasi?”

Freya mengangguk, pandangannya yang tadi fokus kepada handphone, kini beralih menatap Atha. “So, semua fasilitas yang ada di sekolah kita itu gratis, kalo kita itu bener-bener murid dari sekolah ini, syaratnya ya cuman card itu, tinggal tap tap, all done! Lo tadi gak bayar pake cash, kan?” tanya Freya mulai mencurigai Atha.

Tidak mau merasa malu, Atha memilih untuk diam saja, namun tatapan dari Freya membuat dirinya canggung.

“It's okay, gue dulu juga gitu, kok. Gak baca buku arahan dulu, jadi bingung, kok serba tap tap, oh ternyata oh ternyata .... Gue pikir beneran gratis tau, Al.”

“Emang?”

“Ya, enggaklah, kita bayar melalui SPP bulanan yang hampir puluhan juta ratusan juta!”

Atha hanya mengangguk dan tersenyum, ia menyesal telah bertanya kepada Freya, karena kini ia harus mendengar segela ocehan yang keluar dari mulut Freya sebagai bayarannya.

Semua pandangan tertuju kepada anak-anak teentreas, atau kumpulan Valen dan teman-temannya, yang kini duduk di tangga menuju gedung sekolah.

Ada yang berusaha mencuri pandangan, ada yang berusaha tersenyum dan lainnya.

Hanya satu orang yang sama sekali tidak tertaik ddengan keberadaan teentreas, yaitu Atha, yang sedari tadi bingung dan menatap gedung sekolah barunya yang sangat besar.

Dengan langkah ragu, Atha melangkah menaiki anak tangga satu persatu.

“Wait, lo.”

Suara berat seorang murid laki-lakii membuat langkah Atha terhenti, suara itu adalah suara Valen.

Valen berdiri lalu menghampiri Atha yang hanya dia kebingungan.

“Tas, gantungan kunci, lo cewe yang nabrak gue pas di spbu, kan?”

Menyadari dirinya yang sedang dibicarakan, Atha membalikkan badannya, gadis itu sedikit terkejut karena jarak Valen yang sangat dekat dengan diriya, hanya berbeda satu anak tangga.

“Maksud lo?”

“Gak usah pura-pura gak tau, gantungan kunci teddy bear, tas warna cream, lo yang nabrak gue setelah itu gue kehilangan dompet gue. Apa- jangan-jangan lo yang copet?” tanya Valen mencurigai Atha.

“Gak usah nuduh sembarangan ya, lo!” ujar Atha tidak terima atas tuduhan Valen.

Atha membalikkan kembali badannya, kakinya melangkah menaiki anak tangga, namun tiba-tiba tangan Atha ditarik oleh laki-laki yang menuduhnya tadi, badan Atha kehilangan keseimbangan, namun untung saja Valen menahan pinggang Atha.

Kini Valen dan Atha menjadi pusat perhatian, bahkan teentreas yang dari tadi hanya diam, kini menjadi serius dan heboh. Bisik-bisikan dari murid-murid di sana membuat Atha emosi.

“Balikin dompet gue,” pinta Valen dengan suara kecil seperti berbisik namun tegas.

Atha hendak berdiri dan melepas tangan Valen, namun sia-sia. Kini mata Atha bertemu dengan mata Valen. “Gue gak ambil dompet lo!” tegas Atha kesekian kalinya.

Valen tertawa kecil, matanya tertuju pada name tag yang ada di dada kanan Atha.

“Alexandra Shaw,” kata Valen mengucap nama Atha, lebih tepatnya nama yang ada di name tagnya.

“Balikin dompet gue, Alexa. Atau hidup lo gue bikin hancur,” ujarnya mengancam Atha.

Namun Atha adalah Atha, gadis itu tidak takut dengan apapun dan siapapun.

Atha bergumam kecil. “Udah hancur,” jawabnya santai dengan senyuman meremehkan.

Valen merasa kesal, namun ia tidak menyerah. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Atha, berusaha membuat gadis itu takut.

“Balikin ..... Atau gue cium.”

Plakk

Atha mendorong tubuh Valen dan menampar pipi Valen sedikit keras.

“Kurang ajar ya, lo. Kalo mau modus gak usah begini!”

Wajah Atha memerah karena emosi, dengan langkah cepat ia meninggalkan Valen yang masih memegang pipinya yang terasa sangat sakit.

Perfect,” ujar satu murid perempuan yang sedari tadi menyaksikan Atha dengan Valen.

“Apanya yang perfect Danita?” tanya teman murid peremouan bernama Danita itu.

“Freya! follow me, hurry up,” jawab Danita seraya menarik tangan Freya sedikit kasar.

“Arghhhh, jinja!”


“Hei, lo.”

Suara memanggil membuat Atha lagi-lai menghentikan langkahnya.

“Gue Danita Ayunika, ketua kelas 11-IPA2 dan juga model top di Jakarta,” ujar Danita memperkenalkan diri ke Atha yang hanya diam.

“Frey.” Danita memberi kode agar Freya juga memperkenalkan dirinya.

“Omo jinja, annyeonghaseyo gue Freya imnida,” ucap Freya memperkenalkan dirinya menggunakan bahasa korea yang berantakan.

Atha mendekus kesal, rasanya ia ingin menghilang saja sekarang.

“Lo?” Danita seakan menagih untuk Atha memperkenalkan dirinya.

“Alexa, panggil Al.” dengan acuh tak acuh Atha menjawab sesuai dengan nama yang ada di name tagnya.

“Lo anak baru? pindahan dari mana?” tanya Danita. Awalnya Atha cukup kesal dengan kedatangan Danita dan Freya, namun ia berusaha untuk santai dihadapan kedua gadis itu.

Not your problem, sorry gue harus segera ke ruang guru,” jawab Atha dengan senyum kecil di bibirnya.

Saat Atha hendak melangkahkan kakinya menuju ruang guru, lagi-lagi Danita menahannya.

“Mau kita anter, gak?” tawar Danita ramah. Danita menyenggol tangan Freya memberi kode.

Freya yang masih belum paham dengan situasi yang terjadi, ia hanya mengikuti apapun yang Danita suruh.

“Nee, kita antar Ale ke kantor guru,” timpal Freya tak kalah ramah. “Nanti Ale tersesat, omo! Kan serem,” lanjutnya dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan.

Atha hanya bisa menghela nafas pasrah melihat tingkah unik kedua gadis yang ada dihadapannya. Atha menatap Danita dan Freya secara bergantian, lalu ia mengangkat tangannya menunjuk ke depan.

“Di sana ruangan yang gue tuju, so kalian gak usah sok ramah ke gue, paham?”

Tanpa berbicara banyak Atha meninggalkan kedua gadis itu yang terdiam mematung di sana.

“Wah Jinja! Freya gak suka dia!” Freya ngedumel gak jelas. “Kenapa sih lo mau nyusul dia?” tanya Freya penasaran.

Danita yang tadi hanya diam, kini ia menarik bibirnua membentuk senyuman. “Sini gue bisikin.”

“Omo! Jinja! Lo keren, ide lo keren!” Freya memuji ide yang ada di otak Danita tadi.

“Yoi, kita harus manfaatin dia buat gue bisa balikan lagi sama Valen dan nyingkirin si Aileen, alias si pick me girl.”


Sebelum menuju ruang guru, Atha berbelok ke toilet yang ada di dekat sana untuk menggantikan celana dengan rok seragam. Mengingat ia masih mengenakan celana, karena mengendarai motor tadi.

Setelah itu Atha melangkahkan kakinya kembali menuju ruang guru. Tanpa menunggu lama, setelah sampai di ruang itu, ia segera mengetuk pintu dan masuk ke dalam.

Banyak guru yang sedang bersiap-siap, karena suara bell sudah bernyanyi menandakan kegiatan belajar mengajar akan segera di mulai.

“Permisi bu, saya boleh bertanya? Pak Dipta yang mana ya, bu?” tanya Atha kepada guru wanita yang kebetulan hendak keluar.

“Owh, pak Dipta, ya.” Guru wanita itu melihat kesekitar. “Nah itu, yang pojok itu.”

“Terima kasih banyak, ibu.”

“Sama-sama.”

Atha berjalan menuju dimana pak Dipta berada. Ia menarik nafas panjang, karena rasa gugup yang tiba-tiba menghampiri dirinya.

“Selamat pagi, pak. Saya Alexa Shaw, anak baru yang akan bersekolah di sini, wali saya Johnny Ananda yang kebetulan berhalangan hadir, pak.”

Atha tertegun, ia takut saat harus berhadap dengan guru, terutama dengan guru bk, semuanya karena masa lalu kejam yang ia hadapi.

“Oh, sudah datang, ya, Alexa. Sebentar, ya, saya sedang siap-siap, lalu kita langsung ke kelas.”

“Baik, pak.”

Atha sedikit lega dengan respon Dipta yang sedikit ramah menurutnya. Ia masih menunggu dengan canggung.

“Ayo,” ajak Dipta.

“Baik, pak.”

“Oh ya, sebelumnya kamu sudah baca buku bimbingan dan arahan yang sudah ada di kamu sebelumnya, kan?”

Atha terdiam seribu bahasa, ia ingat dengan buku itu, namun sama sekali tidak gadis itu sentuh apalagi membaca isinya, karena itu adalah salah satu hal yang ia benci, membaca buku.

“S-sudah, pak,” jawabnya berbohong.

“Good, soalnya kamu sedikit terlambat jadi saya tidak punya waktu untuk menjelaskannya lagi, jadi kita langsung ke kelas, ya.”

“Baik, pak.”

Atha mengikut langkah Dipta yang berjalan di depannya, Atha tidak bisa membayangkan apa yang akan ia hadapi di kehidupannya setelah ini. Kembali masuk sekolah setelah semua hal kejam terjadi pada dirinya dulu, kesialan di hari pertamanya sekolah, harus berurusan dengan cowo mesum.

“Kamu tunggu di sini sebentar, nanti saat saya panggil baru masuk,” kata Dipta saat keduanya telah tiba di depan ruang kelas.

“Baik, pak,” jawab Atha singkat. Matanya terarah pada tulisan 11-IPA2, Atha mengingat siapa yang akan ia temui di kelas itu.


Ruang kelas yang tadi berisik, kini menjadi hening karena kehadiran Dipta.

“Selamat pagi semua,” sapa Dipta seperti biasa sebelum memulai kelas.

“Selamat pagi, pak!”

“Baik sebelum kita melanjutkan materi, saya akan memperkenalkan teman baru kalian terlebih dahulu. Silahkan masuk.”

Suara bisikan demi bisikan terdengar hingga ke telinga Atha yang masih berada di luar. Rasa gugup Danita kembali lagi, sebelum masuk ia menghela nafas dengan sangat kasar.

“Wow.”

“Geulis eui.”

“Cakep.”

“Bule, ya.”

Dan masih banyak ragam sapaan yang keluar dari mulut-mulut 11-IPA2 saat Atha memasuki ruangan kelas itu.

“Silahkan perkenalkan diri kamu,” suruh Dipta disahut anggukan oleh Atha.

Atha tersenyum sebelum ia memperkenalkan dirinya. “Alexandra Shaw, pindahan dari Australia, mohon bantuannya.” Singkat dan begitu dingin.

“WOW, Misterius.”

“Salam kenal, Al.”

“Yo, Al, btw kosong delapan berapa?”

“Yaelah modus, lo.”

Atha hanya merespon dengan senyuman kecil. Tiba-tiba mata Atha tertuju pada dua gadis yang sedari tadi berbisik seperti sedang membicarakan dirinya, dua gadis aneh yang Atha kenal sebagai Danita dan Freya.

“Baik, Al, kamu bisa duduk di-”

“Pak!” Suara keras Freya memotong ucapan Dipta.

Dipta menghela nafas. “Ya, Freya? Apa lagi kali ini?” tanya Dipta sudah terbiasa dengan tingkah salah satu muridnya itu.

“Hehehe, jadi gini, pak.” Freya berdiri dari bangkunya dan berdiri di samping meja miliknya. “Saya Freya, teman dekat Danita Ayunika ketua kelas 11-IPA2, nah saya punya pernyataan mengenai Ale.”

“Pernyataan atau pertanyaan, Freya?” tanya Dipta kebingungan.

“Pernyataan, pak! Kan yang tersisa bangku di pojokan dekat jendela, nah, bagaimana kalau Ale duduk di bangku saya, terus saya duduk di bangku Dery.”

“Loh, kok gue?” protes murid laki-laki yang bernama Dery, yang baru saja disinggung oleh Freya.

Seakan tidak terdengar, Freya melanjutkan pembicaraanya tanpa mendengar protes dari Dery.

“Nah, kalo duduk di bangku saya, saya sebagai teman baik ketua kelas akan menjaga dan membantu Ale dengan segenap hati! Kalo dipojokan mah nanti gampang kesurupan, kalo Dery gak akan, dia kan setannnya.”

“Dih sembarangan!”

Satu kelas dibuat tertawa oleh kata demi kata yang Freya ucapkan, tidak terkecuali Dipta, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Gimana Der? Kalau Dery tidak keberatan, ya, tidak masalah.”

“Pak-”

“Gue traktir McD satu minggu,” bisik Freya membujuk Dery.

“Janji, ya, lo?”

“Ya! Freya mana mungkin ingkar janji.”

“Oke, pak. Saya setuju.”

“Oke, Al, kamu boleh duduk di sana.”

“Baik, pak.” Tanpa protes apapun Atha berjalan menuju bangku yang akan ia dudukin selama ia bersekolah di sana.

Suasana kelas menjadi sedikit berisik, ada yang menggoda Atha, atau bercanda dengan teman-teman di sekitarnya. Sampai Dipta memukul papan tulis meredakan kebisingan itu.

“Hari ini masuk ke topik tiga, buka buku paket kelanjutan dari minggu lalu.” Aura yang Dipta pancarkan berbeda dengan tadi, yang tadinya ramah kinimenjadi sedikit menyeramkan.

Dipta menuliskan sebuah kalimat di papan tulis.

“Latihan Mandiri”

Lalu Dipta kembali menghadap murid-murid yang menatap papan tulis keheranan.

“Hari ini saya harus mengurus persiapan olimpiadi fisika tingkat Nasional yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Saya harus ninggalin kalian sebentar, gunakan empat jam waktu mata pelajaran saya untuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket.”

“Baik, pak.”

Tidak ada protes ataupun perlawanan seperti biasanya, bukan hanya tidak berani, namun juga karena mengingat kelas 11-Ipa2 adalah kumpulan anak-anak ambis.

“Latihan mandiri namun dikerjakan secara kelompok, karena soalnya lumayan banyak. Bebas mengerjakan di mana saja, lapangan, kelas, perpustakaan, atau kantin. Yang penting setelah jam pelajaran saya selesai, saya mau hard copy nya sudah terkumpul di meja saya, kumpulkan sama Danita, paham?”

“Paham, pak.”

“Baik, terima kasih.”

“Pak.” Salah satu murid perempuan mengangkat tangan hendak bertanya.

“Ya, silahkan.”

“Satu kelompok berapa orang, ya, pak?”

“Oh, maaf. Seperti biasa tujuh kelompok, satu kelompok tiga orang, sekarang udah cukup, kan?”

“Baik, pak terima kasih.”

Dipta mengangguk. “Saya tinggal.” Lalu keluar dari ruang kelas.

Atha sedari tadi hanya diam dan menyimak, saat seisi kelas sibuk mencari teman sekelompok, ia memilih tetap diam.

“Mau satu kelompok sama kita, kan?” tanya Danita.

Atha mengangkat kepalanya menatap Danita dan Freya yang sudah berada di hadapannya. Gadis itu terdiam dan memikir untuk sejenak, lalu ia mengangguk.

“Boleh.”

“Darimana aja?” suara yang pertama kali Atha dengar saat dirinya membuka pintu kamar adalah, suara berat Johnny, sang abang.

Atha tidak langsung menjawab pertanyaan dari Johnny, ia sedang sibuk melepas sepatu yang ia kenakan, lalu ia letakkan pada rak yang berada di luar rumah.

“Jawab.” Johnny menarik tangan Atha karena Atha hendak pergi begitu saja.

“Not your problem,' jawabnya pelan namun tegas.

Atha hendak menepis tangan Johnny, namun kekuatan Johnny lebih kuat membuat tangan Atha terasa sakit.

“Mau lo apa, sih?”

Atha mendengkus kesal. “Lepas,” tegasnya. “Lepas gue bilang!”

Karena tidak mau membuat keributan Johnny melepas cengkraman tangannya. “Jawab, mau lo apa.”

“Gampang kok, mau gue, lo jangan ikut campur dikehidupan gue, udah itu aja.”

“Lo itu masih adik gue, Athalia!”

Emosi Johnny hampir tidak terkontrol, membuat ia membentak Atha dengan suara sedikit keras.

Atha sama sekali tidak takut, sudah biasa terjadi hal seperti ini, ia hanya tersenyum mendengar bentakan dari Johnny.

Then, gak usah jadi abang gue lagi, gampang, kan?”

Atha memutar bola matanya malas seraya membalikkan badannya hendak melangkah menuju kamar.

“Minum susu dulu, nak,” ucap seorang wanita paruh baya berama Devi ; mama Atha dan juga Johnny, yang sedari tadi mendengar pertengkaran abang adik itu.

“Gak usah sok peduli,” jawab Atha sangat tidak ramah, ia melewati Devi begitu saja dan menaiki tangga satu persatu.

“Gak bisa di biarin.” Johnny hendak menghampiri Atha, ingin memberi pelajaran karena sikap gadis itu yang sudah sangat kelewatan.

“Jangan, nak,” larang Devi seraya menahan tangan Johnny. “Wajar dia begitu, dia pasti trauma dan marah ke mama,” sambung Devi lirih.

Johnny menghela nafas mengatur emosinya, perlahan ia berlutut di hadapan Devi. Johnny mengambil gelas susu yang tadinya hendaka Devi berikan kepada Atha, ia meletakkannya di lantai untuk sementara. Lalu Johnny menggenggam tangan Devi yang terasa sangat dingin.

“Maafin Atha ya, ma?”

Devi mengangguk dan tersenyum dengan sangat lembut. “Wajar dia seperti itu, dia marah dan trauma ke mama, seharusnya juga mama yang minta maaf ke Atha.”

“Gadis kecil yang harus merasakan pahitnya kehidupan karena keegoisan mama dan papa,” lanjut Devi lirih, bahkan matanya sudah berkaca-kaca.

“Mama gak usah mikir begitu, pasti Atha bakalan damai dengan masa lalu nantinya, kayak Jo. Sekarang mama, Jo antar ke kamar, ya? mama harus istirahat, besok mama ada jadwal ke rs, kan?”

Devi mengangguk sebagai jawaban. “Iya Jo, terima kasih, ya.”


“Lo bisa sopan?” ucap Johnny tanpa permisi membuka pintu kamar Atha yang tidak terkunci.

Johnny sedikit terkejut saat mendapati adiknya yang hendak membuka hoodie yang ia kenakan. “Jangan di lepas dulu, gue mau ngomong.”

“Lo bisa sopan? masuk ke kamar orang ketuk dulu pintunya.” Atha tidak memperdulikan perkataan Johnny barusan, ia tetap melepas hoodienya, untung saja masih tersisa kaos di dalamnya.

“Stop Atha, lo tau kan mama sakit?”

“Gak.”

Johnny mengusap wajahnya kasar karena jawaban dari Atha.

“Udah Atha, udah. Udah saatnya kamu lupain masa lalu, berdamai gak ada salahnya, lo gak kasihan sama mama?”

Atha yang tadi sedang sibuk mengeluarkan dompet-dompet hasil copetnya hari ini, ia memberhentikan aktivitasnya ia. Gadis itu melangkah dan berhenti di hadapan Johnny.

“Lo gak kasihan sama gue?” tanya Atha dengan emosi yang hampir menguasai dirinya, ia sengaja memberi jeda pda ucapannya itu. “Lo gak tau betapa sakitnya gue?”

Atha menujuk telinganya dengan jari telunjuk, lalu berkata, “Dengan kuping ini, gue denger semua pertengkaran mama sama papa, dan dengan kuping ini, gue denger kalo mama itu kupu-kupu malam.”

Tangan Atha berpindah menunjuk matanya, lalu ia kembali berkata, “Mata ini melihat sendiri papa check in dan ciuman dengan wanita lain, LO KIRA GUE GAK SAKIT, JOHNNY!” Atha berteriak seakan-akan tidak peduli siapa lawan bicaranya sekarang.

Air mata Atha menetes dengan emosinya, luka lama kembali memutar diingatannya, semua kejadian pahit itu terputar jelas di kepalanya. Atha emosi namun ia hanya bisa meluapkannya dengan menangis.

“Capek bang, capek,” lirih Atha kepada Johnny yang hanya diam mematung.

Johnny hanya bisa diam karena Atha, ia sama sekali tidak marah, yang ada ia menyesal telah membuat adik satu-satunya menangis.

Tangan Johnny tergerak menarik Atha ke pelukannya, mengusap pelan punggung gadis itu agar merasa tenang.

“Stop Johnny stop, jangan paksa gue lagi, gue juga capek. Berulang kali gue berusaha untuk mati, berulang kali gue melakukan kejahat, lo kira gue nyopet karena apa? Gue berharap ditangkap polosi, Jo. Gue rela habisin hidup gue di penjara.”

“Sttttt, udah, sorry abang kelepasan, tidur, ya? Besok sekolah, udah abang daftarin, semua yang kamu butuhin ada di atas meja.”

“Terserah, gue udah capek, Jo.”

Cw // kiss

KALO CRINGE YAUDAH YA


Acara berjalan dengan sangat lancar, Nabil dan juga Luna begitu senang selama acara pertunangan berlangsung.

Kini mereka sedang berada di jalanan dekat menara Eiffel. Setelah acara selesai, Luna hendak beristirahat, namun Nabil terus memaksanya untuk keluar.

“Kenapa gak jujur dari awal? Gue gak harus nangis-nangis kayak orang gila,” ucap Nabil memulai percakapan.

Luna tertawa saat mendengar ucapan Nabil, ia tertawa karena pengakuan Nabil. “Lo nangis?” tanya Luna penasaran.

Tanpa ragu Nabil mengangguk penuh percaya diri, ia menarik tubuh Luna dan memeluknya dengan sangat erat.

“Gue sayang sama lo, Luna. Jangan peluk cowok lain lagi.”

Luna terkekeh, tangan Luna terulur memeluk Nabil untuk yang pertama kalinya.

“Iya, gak akan pergi.”

Nabil melepas pelukannya, namun tangannya masih berada di pundak Luna. Mata keduanya saling bertemu, menatap satu sama lain.

“Boleh?” tanya Nabil dengan mata yang tertuju ke bibir Luna. Luna tertegun saat mendengar pertanyaan Nabil, seketika ia merasa gugup.

“A-apa?” Tanya Luna seakan-akan tidak paham dengan maksud Nabil.

“Cium.”

“Gak! Buk—”

Tanpa menunggu persetujuan dari Luna, Nabil mendaratkan bibirnya di bibir ranum Luna. Luna dibuat terkejut dengan aksi Nabil, mata Luna otomatis terpejam.

Awalnya hanya kecupan biasa, lama-lama kecupan itu berubah menjadi sebuah ciuman lembut dan juga terselip sedikit gairah di sana.

Tangan kanan Nabil berpindah merangkul pinggang Luna, bibir mereka masih saling bertautan. Sampai Luna memukul-mukul dada Nabil, memberi kode ia membutuhkan oksigen.

“LO GILA!”

“HEHEHEHE.”,

“Siapa yang ngelakuin ini ke lo?” tanya Théo begitu tegas.

Luna hanya diam, dan memainkan jari-jarinya kasar. Ia merasa takut dengan kehadiran Théo, abang kandung yang selalu ia hindari.

“Gue abang lo, kalo lo masih inget,” ucap Théo.

Suara Théo memang biasa saja, namun tetap saja membuat Luna ketakutan.

“Bilang, biar gue habisin orangnya,” sambung Théo masih tidak terima dengan keadaan sang adik.

Théo berlutut di hadapan Luna, ia menggenggam tangan Luna, menyalurkan kehangatan dan juga kenyamanan.

“Jangan takut, gue masih Théo yang dulu, yang selalu ajak lo main saat yang lain gak pernah merhatiin lo.”

Air mata Luna berhasil menetes membasahi tangannya dan juga tangan Théo.

“Papa sama Mama yang minta lo pulang— mereka kangen sama lo.”

Disela-sela tangisnya Luna tertawa miris. Ia melepas genggaman tangan Théo, lalu menyeka air matanya dengan kasar.

“Memang ada orang tua yang minta anaknya balik, setelah ngebuang anaknya? Lo gak inget bang, di umur gue masih sembilan tahun gue dibawa ke rumah ini, gue di tinggalin—” Luna semakin terisak saat kembali mengingat masa lalu yang membuatnya takut.

“Tapi kan itu karena l—”

“Iya, gue tau karena gue salah. Tapi anak mana yang gak sakit hati saat mereka dibuang?”

“Papa sama Mama gak pernah ngebuang, lo. Mereka cuman mau lo jadi pribadi yang lebih baik.”

Luna kembali tertawa, bukan karena lucu namun karena merasa aneh.

“Gue udah nyaman sama bunda, kalo bisa gue mau hidup selamanya sebagai Laluna Grey, tanpa ada Poetry Winata di belakang nama gue,” ucap Luna dengan penuh penegasan.

Luna kembali menangis sesenggukan, bahkan dadanya terasa sangat sakit.

Théo menunjukkan sebuah surat, awalnya Luna tidak tertarik namun saat ia melihat nama Patra di sana, ia menjadi tertarik.

“Papa baca semua chat yang lo kirim, papa memang gak pernah balas, dia juga merasa bersalah karena ngebuang lo. Lo chat papa kan, lo bilang mau dia kan? Mau Nabil Zayydeyn Patra,” kata Théo.

Luna menggeleng. “Itu dulu— gue udah gak mau, gue gak mau menuhin kemauan gue dengan uang.”

Théo menghela nafas kasar, ia kembali menggenggam tangan Luna dengan sangat erat.

“Papa sama Mama udah nerima kepergian Natha, mereka menyesal atas semua hal yang telah mereka lakukan ke lo. Semuanya Luna, dari lo yang gak pernah dianggap, sampai kejadian besar yang menimpa Natha— mereka menyesal.”

Luna kembali mengingat masa kecilnya, ia mempunyai seorang kakak, lebih tepatnya kembaran dirinya. Namanya adalah Nathalia G.W.

Walaupun mereka kembar, namun Luna dan Natha mempunyai nasib yang berbeda. Luna sama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian yang lebih, bahkan Luna tidak pernah diperkenalkan sebagai putri keluarga Winata, yang lebih parah Luna tidak bersekolah di luar, dengan alasan yang tidak jelas.

Sampai pada suatu hari Luna merasa iri dan juga marah, saat Natha dengan bebasnya bercerita dengan mama papa, dan juga merasakan pelukan hangat dari mama papa, Luna hanya bisa melihatnya dari jauh.

Saat Natha sedang bermain dengan boneka yang ia dapatkan dari teman lelaki yang ia ceritakan kepada mama papa tadi, Luna mengambil kesempatan untuk melukai Natha.

Luna menghampiri Natha beralasan ingin bermain bersama, setelah bermain sedikit lama, Luna mengambil kesempatan mengajak Natha bermain ke jalanan, Luna beralasan ingin memetik bunga yang ada di seberang jalan.

Natha menyetujui ajakan Luna. Saat mereka tiba di depan gerbang rumah, di sanalah Luna mengambil kesempatan, ia mendorong tubuh Natha bersamaan dengan mobil yang melaju dengan sangat cepat.

Natha tertabrak akibat ulah Luna, dan Luna hanya menatapnya tanpa rasa bersalah, walaupun Natha sudah terbaring bersimbah darah.

Setelah kejadian itu Natha meninggal dunia, Luna merasa senang, ia pikir ia akan mendapatkan posisi Natha. Namun ternyata semuanya salah, Luna dititipkan kepada Ririn seoran wanita yang sama sekali tidak Luna kenal, dan saat itu juga kedua orang tuanya dan juga abang satu-satunya pergi meninggalkan Luna ke Paris.

Hal yang terakhir ia lihat sebelum orang tuanya meninggalkan Luna di sana adalah Winata ; papa Luna, memberikan uang kepada Ririn.

Mulai dari situ Luna benci dengan uang, ia benci dengan orang yang menyelesaikan masalah dengan uang.

“Tapi gue sekarang nyesel udah ngelakuin itu ke Natha— seseorang nunggu dia di sini.” Luna menunduk dan menangis penuh penyesalan.

“Gue gak mungkin berhasil rebut posisi dia lagi, Théo. Gue aja gagal merebut posisi dia sama mama papa.”

Théo berdiri menjulurkan tangannya. “Ayo gue bantu berdiri, gue bakalan bantu lo sampai akhir nanti.”

Gedung hotel yang berada di dekat menara Eiffel, sebuah menara besi yang menjadi ikon global Prancis. Kini gedung itu tengah di penuhi oleh para tamu undangan acara pertunangan, penerus keluarga Patra dengan anak wanita satu-satunya dari keluarga Winata.

Tentu saja acara tersebut dibuat sangat mewah, tidak sedikit para tamu undangan yang datang. Para tamu itu datang dari penjuru dunia.

Nabil yang sudah siap, kini ia sedang berada di salah satu kamar hotel tersebut. Tak henti-hentinya Nabil mengetuk-ngetuk jari-jarinya di meja, lelaki itu merasakan gugup yang sangat luar biasa.

“Santai aja, Bil, kayak mau di sunat, lo,” celetuk Joan yang sudah bosan mendengar suara ketukan yang dibuat oleh Nabil.

Nabil dibuat semakin gugup, berbeda dengan Dika yang menertawai kegugupan Nabil.

Sudah sedari kemarin Joan, Dika dan juga Yuki menemani Nabil sampai hari ini.

Joan hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Nabil.

Brakk

“Gawat!” Yuki membuka pintu kamar tersebut dengan sangat keras.

“Apaan dah,” kata Dika merasa keheranan dengan Yuki.

“Buat kaget aja lo, Yuk,” timbal Joan seraya mengelus-elus dadanya.

“Anjir lo pada harus tau, si cabe buat rusuh!”

“Hah?” Seru Nabil, Joan dan Dika secara bersamaan.

“Halah lama, ayo cepetan ikut gue!”

Tanpa menunggu lagi ketiganya mengikuti langkah Yuki. Mereka memasuki ballroom dimana acara pertunangan akan diadakan sebentar lagi.

“Mana si jalang yang merebut Nabil dari gue!”

Nabil menatap ketiga sahabatnya secara bergantian, ia seperti mengenal suara teriakan itu.

Nabil melangkahkan kakinya melewati beberapa tamu yang sudah hadir, sudah ada Lucy, Aheng dan juga Kinan di sana yang sedari tadi menyaksikan hal tersebut.

Menyaksikan Nadia, tamu tak diundang yang tiba-tiba saja mengacau di sana.

“Nadia!” Teriakan Nabil menggema membuat Nadia terdiam.

“Ngapain lo disini?” tanya Nabil penuh amarah.

Melihat kehadiran Nabil, Nadia segera mendekat dan memeluk lengan Nabil, tentu saja dengan cepat Nabil menghindar.

“Apa sih, Nad.”

“Aku udah putus sama Alaska, aku gak mau kehilangan kamu, papa kamu butuh uang? Papa aku ada uangnya, ayo balik.” Nadia menggenggam tangan Nabil seraya memohon di depan Nabil, dan juga di depan para tamu di sana.

Suara bisikan dari para tamu membuat Nabil merasa takut.

“Udah lama dia di sana?” tanya Joan ke Lucy yang sedari tadi sudah berada di ballroom.

Lucy mengangguk, tanpa menoleh ia menjawab, “Dari tadi sih, dia sampe bawa-bawa pisau supaya gak ada penjaga yang datang.”

“Gila.”

Tak tak tak

Suara langkah yang membuat seluruh orang yang ada di sana menoleh.

Seorang wanita dan juga pria yang ada di belakangnya melangkah dengan sangat elegan ke arah tengah ballroom, dimana Nadia dan juga Nabil berada.

Keduanya berdiri tepat di depan tamu, tepatnya di depan Lucy, Joan, Yuki, Kinan, Dika dan Aheng.

Keenam anak muda itu terdiam mematung saat melihat siapa yang baru saja berhenti di hadapan mereka.

“Luna!” Pekik mereka secara bersamaan.

Wanita itu adalah Luna, dan pria yang ada dibelakangnya adalah Théo.

Luna tersenyum simpul, ia menoleh sekilas menatap ketiga sahabatnya dan juga ketiga teman Nabil di sana.

Lalu Luna kembali melangkahkan kakinya kembali mendekat ke arah Nabil dan Nadia yang tak kalah terkejutnya.

Look siapa di sini,” sarkas Luna seraya melipatkan kedua tangannya di depan dada.

Luna membalikkan badannya menatap Théo. “Lo gak lihat ada pengacau acara gue? Cepet panggil penjaga!”

“Sialan bener gue punya adek.”

Luna tertawa pelan, lalu ia kembali fokus ke Nabil dan Nadia.

“Lo L-luna?” tanya Nadia terbata-bata.

Luna melangkah dan berdiri di samping Nabil yang masih diam menatap Luna dengan tatapan tidak percaya.

Luna menjulurkan tangannya. “Kenalin Laluna Grey Poetry Winata, anak perempuan satu-satunya di keluarga Winata—” Luna merangkul tangan kiri Nabil, dan tidak lupa ia tersenyum ke arah Nabil. “Dan juga calon tunangan Nabil Zayydeyn Patra,” ujar Luna memperkenalkan diri.

“G-gak mungkin—” Nadia masih tidak percaya dengan kehadiran Luna, dan juga kebenaran bahwa Luna lah yang akan bertunangan dengan Nabil.

“Lo—”

“Eitss.”

Nadia hendak mendekat ke Luna, namun ia segera dihadang oleh Théo, yang baru saja kembali dengan beberapa penjaga.

“Take her out!” Perintah Théo kepada penjaga yang ada dibelakang Nadia.

Penjaga itu dengan sigap menarik tubuh Nadia.

“Lepasin!”

“Sialan lo semua.”

“Awas aja lo Luna.”

“Nabil gue sayang sama lo!”

Nadia terus meronta-ronta, dan berteriak, bahkan saat ia sudah berada di luar ballroom.

Setelah merasa semuanya aman, Luna melepas rangkulan tangannya.

“Hai,” sapa Luna ke Nabil yang masih terdiam.

“Calon tunangan lo bisu?” Théo berbisik ke Luna.

“Awww ya ya maaf—” Théo mengaduh akibat cubitan dari Luna.

“Kenalin bro Théophile Grey Poetra Winata,” ucap Théo memperkenalkan diri. “Yang bakalan jadi abang ipar lo nanti.”

“A-abang?”

Luna mengangguk. “Iya dia bukan tunangan gue,” jawab Luna seraya menggaruk tengkuknya.

Nabil menghela nafas kasar, ia menarik tangan Luna dengan kasar, membawa tubuh Luna ke pelukannya.

“Kenapa gak bilang sih, Lun.”

Luna terkekeh, ia merasa sesak karena Nabil memeluknya dengan sangat erat.

“Sorry ya bro, adek gue memang jual mahal, padahal mudah pun gak laku,” ujar seraya menepuk pundak Nabil.

Nabil melepas pelukannya. “Hahaha, iya bang.”

“Woiiii!” Teriak Kinan dengan sangat keras.

“Lo kok gak jujur sih sama kita? Arggh gue bingung ini ada apa sih?” tanya Kinan setelah berada di samping Luna.

“Lo semua gak nanya.”

“Ya mana kepikiran Luna!” sahut Kinan, Lucy, Aheng secara bersamaan.

Nabil menggelengkan kepalanya, kini gugupnya seketika menghilang.

“Masih mau kabur?” tanya Joan berbisik ke Nabil.

“Gak mau lah anjir!”

“Kenapa lo?” tanya Nabil keheranan dengan tingkah Luna.

Luna sedang mengomel di depan telepon genggamnya, setelah mendapatkan pesan dari Jupiter.

Mendengar pertanyaan dari Nabil, Luna berhenti ngomel, lalu ia menoleh ke Nabil.

“Nih,” ucapnya seraya memperlihatkan isi pesan masuk dari Jupiter.

Nabil membaca dengan seksama pesan tersebut, ia sama sekali tidak takut, karena kenyataannya ia dan Luna tidak tunangan sama sekali.

“Udah sih Lun, lagian bagus begitu dia masuk perangkap kan,” balas Nabil tenang.

“Tapi gue kesel Bil!”

“Ck,” decak Nabil.

Tring Tring Tring

Notifikasi pesan masuk dari telepon mereka berbunyi bersahutan secara terus menerus. Luna dan Nabil sedikit kebingungan.

Keduanya kini tengah fokus dengan teleponnya masing-masing, membaca pesan masuk yang tak kunjung berhenti.

“Makrab,” gumam Luna.

Nabil menoleh setelah mendengar gumaman Luna. “Lo mau ikut?” tanya Nabil seraya meletakkan teleponnya kembali di atas meja di depannya.

Luna menggeleng, walaupun ia sangat tertarik dengan acara tersebut, namun melihat kondisinya yang lumpuh mana mungkin ia dapat ikut ke acara itu.

“Gak lah gila lo lihat bahkan buat berdiri aja gue gak bisa,” jawab Luna pasrah.

“Temen-temen lo ikut?” Nabil bertanyalah lagi dan disahut anggukan kepala sebagai jawaban dari Luna.

“Oh—” ujarnya seraya bangkit dari sofa yang ia duduki.

Luna mendadak menjadi bingung, matanya tertuju pada langkah Nabil yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.

Nabil mengulurkan tangannya, namun tidak langsung diterima oleh Luna.

“Kita coba lagi,” ucapnya.

Selama Nabil bersama Luna, ia benar-benar bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan kepada Luna. Ia terus membantu Luna berlatih, dimulai dari berlatih berdiri. Walaupun hasilnya nihil, kaki Luna belum kuat untuk melakukan hal itu.

Hari ini untuk kesekian kalinya Nabil melakukan hal itu, ia sangat berharap Luna dapat berdiri secepat mungkin.

“Tadi kan udah,” kata Luna masih belum menerima uluran tangan Nabil.

“Gagal kan? Ya, coba lagi.”

Luna menghela nafas dan mengangguk pasrah. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua telapak tangan Nabil.

Nabil tersenyum, dengan cepat ia menggenggam tangan Luna, dan menyalurkan tenaga agar Luna dapat berdiri.

“Lo coba dulu sendiri.”

Luna mengangguk. Karena kakinya sudah menyentuh lantai, jadi ia hanya perlu untuk mengerahkan seluruh tenaganya agar dapat berdiri.

“Argh,” erang Luna, percobaan pertama gagal.

Ia mencoba lagi, lagi dan lagi, namun ia tetap gagal. Luna mendongak menatap Nabil, dengan tatapan menyerah ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Seakan paham maksud Luna, Nabil mengangguk. “Gue bantu lo tahan ya?”

“Iya.”

Perlahan Nabil menarik tangan Luna sampai tubuh Luna terangkat dari kursi roda.

Nabil terus menarik tubuh Luna sampai posisi Luna menjadi setengah berdiri.

“Luna, bun— owww maaf.”

Mendengar suara Ririn membuat fokus Nabil hilang, tubuh Luna terhuyung mau tak mau Luna harus menjatuhkan tubuhnya ke tubuh Nabil. Kini posisi mereka seperti pasangan yang sedang berpelukan, hanya saja Nabil sama sekali tidak menautkan tangannya di tubuh Luna.

“Bunda ihhhh,” lirih Luna. “Nabil ini gimana.”

Nabil masih mematung, ia tertegun tiba-tiba saja suasana menjadi terasa canggung.

“Maaf atuh bunda gak tau anak bunda lagi pacaran,” ucap Ririn dengan senyuman jahilnya.

Nabil hanya tersenyum malu mendengar ucapan Ririn, berbeda dengan Luna yang sedang mencak-mencak dan mengomel, namun ia tidak dapat bergerak banyak, karena hal itu akan menjadi ancaman dirinya terjatuh.

“BUNDA KITA GAK PACARAN!” teriak Luna sedikit membuat Nabil terkejut.

“Iya bunda tau, maaf ya bunda ganggu kalian pacaran. Nabil tolong bawa anak gadis bunda ke kamar ya, udah malam, tapi jangan diapa-apain,” titah Ririn seraya tertawa lalu ia meninggalkan keduanya kembali ke dapur.

“Iya bunda,” jawab Nabil.

“No! Jangan berani lo bawa gue ke kamar,” tolak Luna tegas.

Masih dengan posisi yang sama, Nabil menjawab, “Lah, kenapa? Bukannya udah biasa kan?”

Luna mendecak kesal. “Gak mau tau cepet turunin gue ke kursi roda sekarang!”

“Galak banget ibu tiri jelek,” ejek Nabil.

Tiba-tiba saja pikiran untuk menjahili Luna terlintas di otak Nabil. Tanpa memberi aba-aba, Nabil mengangkat tubuh Luna ke atas pundaknya, menggendong Luna seperti karung beras.

“Arghh!” pekik Luna kaget. “Kok? Kok gini!”

“Ya terus mau gimana?” Nabil memutar tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar Luna yang tak jauh dari ruang tamu dimana mereka berada.

“Nabil!” Luna terus menggoyangkan tubuhnya, tangannya ia gunakan untuk memukul-mukul punggung Nabil.

Namun Nabil hanya tertawa dan tidak peduli dengan ocehan dari Luna. Tangan kanannya ia gunakan untuk membuka kenop pintu kamar Luna, ia melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di samping kasur Luna.

Perlahan ia menurunkan tubuh Luna, tak lupa ia menarik kaki Luna, kini posisi Luna menjadi tertidur di atas kasur.

“Lo gila atau gimana Nabil?” Ucap Luna penuh penekanan. “Kek asu,” cibirnya.

Lagi-lagi Nabil hanya tertawa kecil, ia menarik selimut Luna dan menutupi tubuh Luna dengan selimut itu.

“Selamat tidur jelek, galak.” “Nanti tugasnya gue kasih besok ya, sekarang lo tidur aja.”

“Bodo amat,” sinis Luna seraya memicingkan matanya.

“Butuh kecupan—”

“BUNDA!!!”

“IYA ENGGAK!”