Panglimakun

#. 54

“Lun, apapun yang bakalan lo lakuin, kita dukung lo.” Mata Lucy menatap Luna yang sedang menunduk. “Ayo dong Lun, Luna yang gue kenal tuh bukan begini.”

Luna menghela nafas. Untuk yang kesekian kalinya, ia merasa tidak semangat.

“Ayo dong Lun, kita ada di sini buat lo.” Kinan yang ada di sebelah Lucy, ikut menyemangati Luna.

Mata Luna bergerak menatap sahabatnya satu persatu.

“Tapi, gue, gak yakin,” lirih Luna.

Aheng yang tadi hanya diam, kini dirinya mendengus kesal. “Lo, mau sampe kapan begini? Tadi lo yang minta bantuan kita, kok malah lo yang gak percaya diri sekarang?” suara Aheng sedikit meninggi.

Lucy dan Kinan menganga kaget, Aheng bukanlah tipe yang bisa diajak serius seperti ini.

Mata Luna terfokus menatap mata Aheng, mata yang biasanya sangat ramah, namun kini mata itu sama sekali tidak bersahabat.

“Bahkan sekarang gue gak bisa kuliah lagi.” Untuk yang kesekian kali Luna mengeluh.

Kinan tertawa kecil menarik perhatian ketiga sahabatnya.

“Untuk apa gunanya Aheng di circle kita?” mata Kinan menatap Luna dan Lucy secara bergantian.

“Untuk dijadikan babu!” seru Kinan dan juga Lucy bersamaan.

“Iyyuw, gak sudi eike,” sahut Aheng mengondek.

Mereka saling melemparkan tatapan, sebelum tertawa pecah.

Setelah puas tertawa, Kinan beranjak memeluk Luna dari samping, disusul oleh Lucy.

“Jangan sedih ya, kita ada disini.” Ucapan dari Kinan, membuat Luna kembali percaya diri.

Ia semakin yakin untuk melawan, apapun nanti hasilnya, dia harus melawan dan menuntut keadilan.

“Makasih guys.”

“Akhirnya, lo, mau ngomong juga, Lun,” ucap Lucy bersyukur karena setelah seminggu Luna sadar setelah kecelakaan, baru hari ini ia mau berbicara.

Luna menghela nafas panjang, ia terdiam memandangi isi kamar rumah sakit dimana dirinya dirawat.

Luna melirik ke arah kedua kakinya yang kini tidak bisa digerakkan. Kecelakaan kecil yang ia, alami di parkiran kampus menyebabkan ini semua.

Kata dokter, ia bisa kembali pulih jika, sering-sering berlatih dan juga check up perkembangannya.

“Ya, gimana Cy, gue gak semangat hidup lagi,” jawab Luna pelan.

Lucy menatap sendu sahabatnya itu, ia tau betul apa yang dirasakan oleh Luna sekarang.

Tangan Lucy bergerak meraih lalu menangkup tangan kanan Luna. “Trust me, gue yakin lo bisa ngelewatin ini semua Lun.” Lucy menggenggam erat tangan Luna, menyalurkan semangat untuk sahabatnya itu.

Luna menggeleng perlahan. “Gue .... Gak enak sama bunda,” lirihnya pelan.

“Bunda tadi izin pulang bentar, gue yakin bunda gak sama sekali merasa diberatkan.”

“Tap—”

“HELLOW LALUNA TALATOTET WINATA CANTIK JELITA EMWAHHHH.”

Ucapan Luna terpotong karena suara teriakan seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya.

Siapa lagi kalau bukan Kinan, yang disusul oleh Aheng dari belakang.

“LUCY!” Lagi-lagi Kinan berteriak, membuat Luna dan Lucy menutup kedua telinga mereka.

“ADOH— LO KEK SETAN!” ringis Kinan lalu mengumpat ke Aheng, karena toyoran yang ia dapat.

“Lo berisik ikan kakap,” cicit Aheng gemas.

“Ikan itu bersisik bukan berisik!”

Dan perdebatan pun dimulai, Luna dan Lucy hanya tertawa mendengar perdebatan yang tidak penting dari kedua sahabatnya.

Setidaknya Luna dapat kembali tersenyum karena perdebatan bodoh kedua sahabatnya itu.

“Woi, udah!” pekik Lucy meleraikan kedua insan yang sedang memperdebatkan ikan.

“AAAAAAAAAAAAA LUCY.” Kinan berlari menghampiri Lucy dan memeluknya dari samping.

“Lo, sahabat gue yang paling cantik, paling pengertian sedunia!” ucapnya tepat di kuping Lucy membuat Lucy menyeringitkan keningnya.

“Sumpah ya, sahabat lo itu satu minggu kemasukan khodam, sekarang kemasukan setan,” cicit Aheng seraya melangkahkan kakinya ke samping Luna.

“Khodam apa Heng?” Luna terkekeh pelan.

“Masa gak tau sih, anu— IYA GAJADI.”

Nyali Aheng menciut karena mendapatkan tatapan tajam dari Kinan.

“Aaaaaaa sayangku.” Kinan menghambur memeluk Luna.

“Adoh—” ringis Luna karena Kinan memeluknya dengan sangat kuat.

“Gila, sumpah gue hampir gila.”

“Emang gila padahal,” sindir Aheng.

Lagi-lagi Kinan melemparkan tatapan tajam ke Aheng. Aheng membalasnya dengan senyuman mengejek.

Luna terkejut karena Kinan tiba-tiba menangkup kedua pipinya, dan menekannya sedikit keras.

“Kinan, lo baik-baik aja kan? Lo selama seminggu udah nyusun strategi balas dendam?”

Luna memutar bola matanya kebingungan. “Kayaknya gue butuh bantuan lo.”

Kinan mengangguk mantap. “Tenang gue udah nyusun strategi, lo percaya—”

“Musyrik,” potong Aheng tanpa bersalah.

“Maksud lo?” tanya Kinan tidak terima.

“Percaya lo, MUSYIK,” ulang Aheng sambil menekankan kata MUSYRIK.

Luna terkekeh pelan sebelum seisi ruangan dipenuhi oleh tawa mereka berempat.

“Akhirnya, lo, mau ngomong juga, Lun,” ucap Lucy bersyukur karena setelah seminggu Luna sadar setelah kecelakaan, baru hari ini ia mau berbicara.

Luna menghela nafas panjang, ia terdiam memandangi isi kamar rumah sakit dimana dirinya dirawat.

Luna melirik ke arah kedua kakinya yang kini tidak bisa digerakkan. Kecelakaan kecil yang ia, alami di parkiran kampus menyebabkan ini semua.

Kata dokter, ia bisa kembali pulih jika, sering-sering berlatih dan juga check up perkembangannya.

“Ya, gimana Cy, gue gak semangat hidup lagi,” jawab Luna pelan.

Lucy menatap sendu sahabatnya itu, ia tau betul apa yang dirasakan oleh Luna sekarang.

Tangan Lucy bergerak meraih lalu menangkup tangan kanan Luna. “Trust me, gue yakin lo bisa ngelewatin ini semua Lun.” Lucy menggenggam erat tangan Luna, menyalurkan semangat untuk sahabatnya itu.

Luna menggeleng perlahan. “Gue .... Gak enak sama bunda,” lirihnya pelan.

“Bunda tadi izin pulang bentar, gue yakin bunda gak sama sekali merasa diberatkan.”

“Tap—”

“HELLOW LALUNA TALATOTET WINATA CANTIK JELITA EMWAHHHH.”

Ucapan Luna terpotong karena suara teriakan seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya.

Siapa lagi kalau bukan Kinan, yang disusul oleh Aheng dari belakang.

“LUCY!” Lagi-lagi Kinan berteriak, membuat Luna dan Lucy menutup kedua telinga mereka.

“ADOH— LO KEK SETAN!” ringis Kinan lalu mengumpat ke Aheng, karena toyoran yang ia dapat.

“Lo berisik ikan kakap,” cicit Aheng gemas.

“Ikan itu bersisik bukan berisik!”

Dan perdebatan pun dimulai, Luna dan Lucy hanya tertawa mendengar perdebatan yang tidak penting dari kedua sahabatnya.

Setidaknya Luna dapat kembali tersenyum karena perdebatan bodoh kedua sahabatnya itu.

“Woi, udah!” pekik Lucy meleraikan kedua insan yang sedang memperdebatkan ikan.

“AAAAAAAAAAAAA LUCY.” Kinan berlari menghampiri Lucy dan memeluknya dari samping.

“Lo, sahabat gue yang paling cantik, paling pengertian sedunia!” ucapnya tepat di kuping Lucy membuat Lucy menyeringitkan keningnya.

“Sumpah ya, sahabat lo itu satu minggu kemasukan khodam, sekarang kemasukan setan,” cicit Aheng seraya melangkahkan kakinya ke samping Luna.

“Khodam apa Heng?” Luna terkekeh pelan.

“Masa gak tau sih, anu— IYA GAJADI.”

Nyali Aheng menciut karena mendapatkan tatapan tajam dari Kinan.

“Aaaaaaa sayangku.” Kinan menghambur memeluk Luna.

“Adoh—” ringis Luna karena Kinan memeluknya dengan sangat kuat.

“Gila, sumpah gue hampir gila.”

“Emang gila padahal,” sindir Aheng.

Lagi-lagi Kinan melemparkan tatapan tajam ke Aheng. Aheng membalasnya dengan senyuman mengejek.

Luna terkejut karena Kinan tiba-tiba menangkup kedua pipinya, dan menekannya sedikit keras.

“Kinan, lo baik-baik aja kan? Lo selama seminggu udah nyusun strategi balas dendam?”

Luna memutar bola matanya kebingungan. “Kayaknya gue butuh bantuan lo.”

Kinan mengangguk mantap. “Tenang gue udah nyusun strategi, lo percaya—”

“Musyrik,” potong Aheng tanpa bersalah.

“Maksud lo?” tanya Kinan tidak terima.

“Percaya lo, MUSYIK,” ulang Aheng sambil menekankan kata MUSYRIK.

Luna terkekeh pelan sebelum seisi ruangan dipenuhi oleh tawa mereka berempat.

Sudah satu bulan berlalu, kini Ran sudah kembali sehat, dan kini dia juga sudah kembali bisa melihat. Namun sayangnya kaki Ran belum bisa digerakkan.

Kini Ran sedang dibawa oleh Johnny ke suatu tempat. Awalnya Ran meminta untuk bertemu dengan Fito, namun Johnny membawanya ketempat yang lain.

Ran juga sudah mendapatkan perawatan medis untuk short term memory loss yang ia alami, kini Ran akan membaik perlahan-lahan.

“Ayah kita kok ke pemakaman?” tanya Ran kebingungan, karena kini Johnny mendorong kursi roda Ran menuju sebuah pemakaman.

“Ran mau ketemu Fito nak?” Johnny kembali bertanya kepada Ran.

“Iy—” Ran terdiam tidak percaya, tidak mungkin seperti yang tengah ia pikirkan bukan?

Johnny memberhentikan kursi roda Ran tepat di samping sebuah makam yang bertuliskan Fito Ray Fahlevi.

Ran menangis, ia menutup mulutnya tidak percaya. Ran menggelengkan kedua kepalanya tidak percaya.

“Enggak ayah, itu bukan Fito!” ucap Ran sedikit berteriak tidak terima.

Johnny hanya diam, ia tersenyum tipis lalu meletakkan sebuah kotak di pangkuan Ran.

Ran membuka kotak tersebut, isinya sepasang sepatu, dan ada delapan permen yang sebelumnya ia kasih untuk Fito, dan ada dua kertas di sana.

Ran mengambil kertas yang sedikit panjang terlebih dahulu.

Ran membacanya di dalam hati, hatinya terasa sangat sakit membaca surat tersebut. Air matanya tidak berhenti mengalir.

Fito Ray Fahlevi

Randika putri Aditya

HALO CANTIK .... >_<

kalo kamu lihat, dan baca surat ini, berarti kamu BERHASIL CANTIK!!!!

Maaf ya, aku harus bohong....

Aku cuman mau lihat, si cantik bahagia.

Sekarang si cantik udah bahagia kan?

Senyum terus ya cantik?

Selalu ingat kata-kata aku, AKU AKAN SELALU ADA UNTUK KAMU ! ! ! !

Tangan Ran beralih ke kertas yang lebih kecil. Kertas yang bertuliskan.

Jaga mata aku baik-baik ya cantik.

Aku sayang kamu.

Ran meluapkan semua emosinya, menangis sekeras-kerasnya. Johnny yang hanya diam pun ikut mengeluarkan air mata.

“Kenapa Fito bohong! Kalo gitu Ran ikut Fito aja.”

“Bangun Fito, jangan tinggalin Ran sendiri!”

“Katanya mau berjuang sama-sama!”

Ran terus menangis dan menangis. Sampai tiba-tiba ia terdiam.

Lalu ia berteriak, “Kalo gitu Ran akan hidup untuk Fito! Selalu jaga Ran dari jauh ya Fito, Ran juga sayang Fito!”

Sesungguhnya perpisahan yang sangat menyakitkan adalah kematian, namun mau bagaimanapun kita sebagai manusia tidak dapat menghindarinya.

Namun kedua luka itu akan selalu bersama selamanya, layaknya bumi dan langit yang selalu berdampingan walaupun tidak pernah bisa bersatu.


Selepas dari makam, dan mengucapkan salam perpisahan kepada Fito, kini Ran dibawa oleh Johnny ke sebuah taman yang sangat indah.

“Anak ayah jangan nangis lagi ya?” ucap Johnny seraya mengusap pelan rambut Ran.

Ran mengangguk pelan. “Iya ayah, habis ini Ran gak akan nangis lagi.”

Johnny tersenyum, ia melangkahkan kakinya ke depan Ran, dan berlutut di hadapan Ran.

“Selamat ulang tahun putri kecil ayah, anak terakhir yang akan ayah sayang dari sekarang sampai nanti,” ucap Johnny dengan sangat lembut dan tulus.

Ran kembali tersenyum, ia sedikit merasa bahagia sekarang.

“Terima kasih ayah, Ran seneng banget akhirnya cinta pertama Ran, memberikan kasih sayang untuk Ran,” balasnya tak kalah tulus.

Hati Johnny benar-benar sakit mendengar hal tersebut. “Kamu sayang sama ayah?”

Ran mengangguk tegas. “Ayah adalah cinta pertama Ran, laki-laki yang akan Ran sayang sampai akhir nanti!”

Johnny tersenyum, ia mengusap pelan kedua tangan putrinya itu.

“Kamu boleh menjadikan ayah cinta pertama kamu sayang, tapi jangan pernah jatuh cinta dan hidup dengan laki-laki seperti ayah ya? Temukan laki-laki yang akan menyayangi kamu tanpa ada sedikitpun benci— hidup bahagia dengan dia sampai akhir.”

Ran mengangguk, ia kembali menangis namun tangis bahagia.

“Ayah, jadi anak terakhir itu gak enak.”

“Tapi banyak hal yang Ran dapatkan yang akan menjadi pelajaran untuk Ran— Ran akan tumbuh lebih baik, dengan kasih sayang ayah, bang Raka, bang Hazel dan juga Fito.”

“Terima kasih Tuhan, terima kasih telah memberikan kebahagiaan yang sebenarnya untuk Ran!”

Begitupun dengan Johnny yang juga menangis bahagia, namun tidak sepenuhnya karena mulai sekarang ia akan hidup di dalam penyesalan.

Ia akan hidup dalam penyesalan dan bertanggung jawab atas semuanya.


Akhir dari segalanya, kedua luka yang kini menemukan kebahagiaan dengan cara yang berbeda, namun mereka akan terus hidup berdampingan selamanya.

Sedari tadi Ran tidak berhenti tersenyum setelah mendengar bahwa dirinya mendapatkan donor mata.

Sebentar lagi Ran akan kembali melihat, ia sangat ingin kembali melihat senyum sang ayah, senyum kedua abangnya dan juga senyum Fito.

“Ayah, Ran mau ketemu Fito!” ucap Ran bersemangat.

Johnny tersenyum tipis mendengar permintaan sang anak. Ia menoleh pandangannya ke seseorang yang baru saja ia kenal, orang tersebut adalah bunda Fito.

Bunda melangkahkan kakinya mendekati Ran.

“Sayang ini bunda,” kata bunda dengan suara lemah dan serak karena habis menangis.

“Bunda! Fito dimana?”

Bunda tertegun, lagi-lagi ia meneteskan air matanya.

“Fito lagi tidur sebentar, tapi Fito ada sesuatu untuk Ran.”

Dengan tangan bergetar bunda mengeluarkan handphonenya, lalu ia menghidupkan satu rekaman suara.

*“Halo Ran jelek, katanya kamu mau operasi ya? Aku bahagia denger itu, kamu udah berjuang sejauh ini. Aku bangga banget sama kamu Ran. Terus berjuang sampai garis finish ya? Hei, jangan nangis, Ran jelek kalo nangis hahaha. Nanti jangan takut ya pas di operasi, gak sakit kok, kayak di gigit semut— tapi semutnya galak kayak Ran hahahaha. Terus semangat ya Ran, apapun yang kamu hadapi setelah ini inget hal ini aku akan selalu ada untuk kamu, dan mendukung kamu. Aku akan selalu ada untuk menarik kamu disaat orang-orang sedang menjatuhkan kamu. Jadi jangan pernah merasa sendiri ya? Hei, aku bangga banget sama jelek aku satu ini! Semangat jelek. Nanti sehabis operasi kita ketemu ya sehabis kamu operasi, kita rayain ulang tahu kamu.*

Bohong jika Ran bilang dirinya tidak menangis sekarang. Nyatanya air matanya sudah mengalir deras sedari tadi.

“Nanti Ran ketemu Fito kan bunda?” tanya Ran kepada bunda

“Iya Ran, nanti kita ketemu Fito ya.”


Maaf Ran, maaf aku harus melakukan ini semua, aku cuman ingin lihat kamu bahagia sampai akhir.

Hari sudah malam, kini Ran sedang terbaring namun tidak terlelap di atas kasur.

“Tidur nak,” ucap Johnny lembut.

Sedari tadi Johnny tidak melepas genggaman tangah Ran. Ia terus menerus di samping Ran, membuat Ran tak henti-hentinya tersenyum.

“Ayah gak tidur?” tanya Ran.

“Ayah yang jaga Ran,” jawabnya sangat tulus.

Ran lagi-lagi tersenyum. “Ran bobo ya ayah?”

Johnny mengangguk. “Iya sayang, tidur ya, tapi janji ke ayah besok bangun ya?”

Ran mengangguk. “Pasti ayah,” jawabnya tegas.

Johnny merasa lega, walaupun dirinya masih dihantui rasa bersalah.

Ia terus mengusap pelan tangan putri kecilnya itu. Lagi-lagi Johnny menangis, ia kembali mengingat betapa bejatnya ia dulu.

Seorang ayah yang tidak pernah tersenyum kepada sang anak, seorang ayah yang sangat-sangat tidak adil.

Seorang ayah yang dengan ringan tangan memukul putrinya sendiri.

Benar kata Hazel, apa dirinya pantas dipanggil dengan sebutan ayah?

“Ayah,” ucap Ran tiba-tiba.

“Anak ayah belum tidur?”

Ran menggeleng sebagai jawaban.

“Ayah jangan nangis, nanti Ran juga nangis, Ran gak mau nangis ayah.”

“Kenapa?”

“Kata Fito, kalo Ran nangis Ran jelek.”

Johnny sedikit tertawa mendengar ucapan sang anak. “Ia sayang, ayah gak nangis.” Dengan cepat Johnny mengusap air matanya.

“Yah,” ucap Maraka pelan.

Maraka dan Hazel juga berada di sana, namun Hazel sudah tertidur dari tadi, mungkin ia lelah mengurus berkas-berkas dan juga biaya rumah sakit Ran.

“Ayah tidur di samping Hazel aja, biar Raka yang jaga Ran.”

Johnny menggeleng tegas. “Ayah yang harus jaga putri ayah sendiri, ayah harus membayar semuanya Raka.”

Raka merasakan ingin menangis kembali. Ia mengusap pelan pundak sang ayah.

“Ayah udah buat Ran mengidap short term memory loss, tapi ayah gak pernah menghargai perjuangannya yang ada ayah selalu pukul Ran. Sekarang ayah harus menjalani hukuman ayah Raka, ayah harus membayar semuanya— ayah harus memastikan Ran kembali sehat sempurna apapun caranya—”

“Bahkan jika nyawa ayah yang harus ayah pertaruhkan, ayah akan lakukan itu demi Ran.”

Maraka tidak tau ingin menjawab apa, satu sisi ia merasa senang. Hari yang tunggu-tunggu akhirnya tiba, dimana sang ayah menyadari semuanya.

Namun ia juga merasa sedih dan gagal, karena Ran harus merasakan luka yang bertubi-tubi.

Anak terakhir, putri terakhir yang hidup di antara tiga lelaki yang seharusnya menjaga putri kecil itu, namun nyatanya putri kecil itu harus menerima luka fisik dan juga mental.


Disisi lain, Fito yang masih merasa lemas dan juga sakit di sekujur tubuhnya. Ia sedang berusaha keras untuk membaik.

“Bunda,” panggil Fito pelan.

Bunda yang sedari tadi di samping Fito tersadar dari lamunannya.

“Iya nak? Kamu butuh apa?” tanya bunda terburu-buru.

Fito menggeleng lemah. “Bunda sayang sama Ran?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Fito dengan lancar.

“Iya nak, sayang banget,” jawab bunda dengan tulus.

Bagi bunda, Ran adalah anak keduanya walaupun tidak ada hubungan darah, namun bunda merasa senang dan nyaman melihat sosok Ran.

Fito tersenyum lega, nafasnya sedikit stabil. “Sama nda, Fito juga sayang banget sama Ran.”

Bunda tersenyum mendengar hal itu, ia bersyukur akan hal tersebut.

“Ran satu-satunya perempuan yang sangat Fito sayangin setelah bunda,” ucapnya dengan tawa kecil.

Bunda juga tertawa kecil mendengar ucapan Fito.

“Bunda tau? Setelah masa lalu yang menimpa Fito .... Fito hampir membenci perempuan, termasuk bunda,” katanya jujur.

Bunda sedikit terkejut mendengar pernyataan tersebut.

“Tapi dia datang nda— perempuan dengan senyum yang ceria, manis, dan kuat .... Fito gak akan malu untuk berteriak ke orang-orang kalo Fito sayang sama dia.”

Bunda mengangguk dan tersenyum, terus mendengarkan semua ucapan anaknya.

“Nda,” lirih Fito pelan.

“Iya nak?”

Fito menarik nafas dalam-dalam, lalu ia menghela nafas panjang.

“Bunda inget gak? Fito udah mendaftarkan diri sebagai pendonor organ tubuh, jika suatu saat Fito udah gak ada.”

Bunda terbelalak kaget mendengar ucapan Fito barusan.

“Nak,” ucap bunda panik.

“Bunda mau terus lihat Fito hidup nda? Selalu ada di samping bunda.”

“Fito—”

Fito tersenyum lebar, mata sayunya menatap mata bunda yang sudah berkaca-kaca.

“Kalo nanti Fito udah gak bisa bertahan, biar Fito hidup sebagai mata Ran ya bun? Fito akan selalu melihat bunda, dari Ran dan juga dari jauh.”

Tangis bunda pecah, Melihat sang bunda yang menangis, Fito tak dapat menahan kesedihannya.

Air matanya juga ikut mengalir. Namun keputusannya sudah bulat, ini akhir yang ia pilih.

Ia akan selalu ada untuk gadis kuat bernama Randika putri Aditya.

#.

“Ayah, Ran mau ketemu Fito.”

Flashback on

Setelah melihat tweet-an terakhir Ran, Fito tersadar dan mengetahui dimana Ran sekarang.

Dirinya dengan segera memberitahukan keberadaan Ran ke Maraka.

Tanpa berpikir panjang Fito mendorong roda, kursi rodanya menuju tempat tersebut.


Seorang gadis kecil yang sedang berdiri tepat di depan toko cake, di samping supermarket yang pernah ia datangi dengan sahabat pertamanya.

Gadis kecil itu adalah Ran, sedari tadi ia berada di sana seraya melihat jam yang terus berjalan di handphonenya.

Jam di handphone Dan menunjukkan pukul dua belas pas, menandakan pergantian hari baru saja di mulai.

Ran tersenyum tipis, menatap ke sebuah cake yang ada di depannya, cake yang di batasi oleh kaca toko.

Ran memejamkan kedua matanya, tidak lupa ia mengepalkan kedua tangannya.

“Hari ini ulang tahun Ran, terima kasih Tuhan, karena Ran sudah bertahan sejauh ini— hari ini hari ulang tahun Ran untuk yang terakhir kalinya.” Ran menjeda ucapannya.

“Maaf Tuhan— Ran sudah tidak sanggup, Ran ingin menyudahi ini semua.”

Ran kembali membuka matanya, ia masih tersenyum menatap cake tersebut.

“Terima kasih, untuk yang pertama kalinya Ran merayakan ulang tahun, dan untuk yang terakhir kalinya.”

Ran membalikkan tubuhnya menghadap jalanan Raya.

“Ran!”

Suara teriakan dari seseorang yang sangat ia kenal.

Ran dapat melihat Fito dari seberang jalan. Fito sedang mendorong kursi rodanya menyebrangi jalanan.

Ran terdiam, sebelum sorot matanya melihat sebuah mobil yang melaju sangat kencang.

“Fito!”

Ran berlari menghampiri Fito, mobil itu terus melaju dengan sangat kencang.

Brak

Ran gagal menyelamatkan Fito, dan dirinya sendiri.

Kini keduanya terbaring lemah di jalanan, dengan darah yang terus keluar dari kepala mereka.

Ran menatap lemah ke arah Fito yang tidak jauh darinya, tangannya bergerak lemah berusaha membantu Fito, walaupun keadaannya juga sangat-sangat kacau.

Ran dapat melihat mata Fito yang sudah tertutup dengan rapat. Ran hendak berdiri, namun ia tidak bisa, tubuhnya sangat lemah. Ran juga merasakan sakit yang amat sangat di sekujur tubuhnya.

Bulir air mata terjatuh dari ujung mata Ran, ia berusaha keras menggapai Fito, sampai tiba-tiba tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan.

Penglihatan Ran samar-samar, ia hanya bisa melihat sekumpulan orang yang sedang mengelilingi dirinya dan juga Fito.

Ran sangat ingin meminta tolong, namun mulutnya terasa sangat berat, sampai akhirnya mata Ran terpejam sempurna.


Flashback off

Ran dibantu oleh sang ayah yang kini sedang mendorong kursi rodanya.

Johnny menuruti permintaan sang putri yang ingin menemui Fito.

Kini Johnny memberhentikan kursi roda Ran di depan sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan Ran.

Setelah mengetuk pintu, Johnny membuka pintu ruangan tersebut. Memperlihatkan Fito yang sedang terbaring lemah, ditemani oleh sang bunda.

Johnny kembali mendorong kursi roda sang putri memasuki ruangan tersebut.

“Ran ....” Bunda tersenyum saat melihat Ran, ia senang melihat Ran baik-baik saja.

“Bunda,” sahut Ran.

Tangan Ran bergerak meraba-raba, bunda dengan cepat meraih tangan Ran.

“Bunda di sini nak— Fito juga,” ucap bunda pelan.

“Fito? Ran mau ketemu Fito,” jawab Ran bersemangat.

Bunda menatap ke arah Johnny meminta izin mengambil alih kursi roda Ran.

Setelah mendapatkan izin, bunda mendorong kursi roda Ran mendekati tempat tidur Fito.

Dengan mata sayu Fito terus menatap gadis kecil itu. Air matanya terus mengalir dari ujung mata.

Fito memang sudah tersadar dari tadi, namun kondisinya sangat lemah.

Bahkan ia dibantu oleh Nonrebreathing oxygen face mask, untuk bernafas.

Tangan Ran meraba-raba bebas, ia sangat ingin menggenggam tangan Fito sekarang.

“Fito dimana?” tanya Ran cepat.

Fito menggerakkan tangannya lemah, ia berhasil menggenggam tangan Ran.

“Di sini,” jawab Fito.

Ran tersenyum lega. “Fito baik-baik aja kan?”

Fito mengangguk lemah. “Iya Ran,” jawabnya pelan.

Ran mengusap pelan tangan Fito. “Ran minta maaf ya Fito.” Ran tiba-tiba menangis.

Fito terdiam, ia berpikir sejenak kenapa gadis itu meminta maaf.

“Maaf, Ran gak bisa jadi kaki Fito sekarang— kaki Ran juga gak bisa jalan.”

Fito tersenyum tipis, ia tidak menyangkal bahkan dengan kondisi seperti ini gadis kecil itu masih memikirkan hal itu.

“Iya Ran, gapapa.”

“Fito.”

“Iya Ran?”

Fito dapat mendengar suara sesegukan Ran, ia juga melihat air mata Ran yang mengalir melalui sela-sela perban di mata gadis itu.

“Ayah udah sayang Ran, sekarang ayah udah gak benci Ran— karena mata Ran udah gak bisa dilihat lagi.” Gadis kecil itu melaporkan kepada Fito.

“Ran bahagia banget,” ucapnya dengan semangat.

Fito tersenyum lebar walaupun matanya terus mengeluarkan air.

“Aku juga bahagia kalo kamu bahagia,” balas Fito berusaha untuk bersemangat.

“Tapi Fito—”

“Iya Ran?”

“Fito gak malu kan punya sahabat buta nanti?”

Fito terdiam, apa yang harus ia jawab? Ia berpikir kenapa dirinya harus malu, disaat gadis kecil yang bertanya pertanyaan itu menerima dirinya apa adanya.

“Sama sekali enggak,” jawab Fito tulus.

Keduanya saling melemparkan senyuman, Fito dapat melihat senyum cerah Ran yang sering ia lihat, namun tidak bagi Ran, kini ia tidak dapat melihat senyuman Fito lagi.


Keduanya telah berhasil mencapai titik terbahagia.

#.

“Ayah, Ran mau ketemu Fito.”

Flashback on

Setelah melihat tweet-an terakhir Ran, Fito tersadar dan mengetahui dimana Ran sekarang.

Dirinya dengan segera memberitahukan keberadaan Ran ke Maraka.

Tanpa berpikir panjang Fito mendorong roda, kursi rodanya menuju tempat tersebut.


Seorang gadis kecil yang sedang berdiri tepat di depan toko cake, di samping supermarket yang pernah ia datangi dengan sahabat pertamanya.

Gadis kecil itu adalah Ran, sedari tadi ia berada di sana seraya melihat jam yang terus berjalan di handphonenya.

Jam di handphone Dan menunjukkan pukul dua belas pas, menandakan pergantian hari baru saja di mulai.

Ran tersenyum tipis, menatap ke sebuah cake yang ada di depannya, cake yang di batasi oleh kaca toko.

Ran memejamkan kedua matanya, tidak lupa ia mengepalkan kedua tangannya.

“Hari ini ulang tahun Ran, terima kasih Tuhan, karena Ran sudah bertahan sejauh ini— hari ini hari ulang tahun Ran untuk yang terakhir kalinya.” Ran menjeda ucapannya.

“Maaf Tuhan— Ran sudah tidak sanggup, Ran ingin menyudahi ini semua.”

Ran kembali membuka matanya, ia masih tersenyum menatap cake tersebut.

“Terima kasih, untuk yang pertama kalinya Ran merayakan ulang tahun, dan untuk yang terakhir kalinya.”

Ran membalikkan tubuhnya menghadap jalanan Raya.

“Ran!”

Suara teriakan dari seseorang yang sangat ia kenal.

Ran dapat melihat Fito dari seberang jalan. Fito sedang mendorong kursi rodanya menyebrangi jalanan.

Ran terdiam, sebelum sorot matanya melihat sebuah mobil yang melaju sangat kencang.

“Fito!”

Ran berlari menghampiri Fito, mobil itu terus melaju dengan sangat kencang.

Brak

Ran gagal menyelamatkan Fito, dan dirinya sendiri.

Kini keduanya terbaring lemah di jalanan, dengan darah yang terus keluar dari kepala mereka.

Ran menatap lemah ke arah Fito yang tidak jauh darinya, tangannya bergerak lemah berusaha membantu Fito, walaupun keadaannya juga sangat-sangat kacau.

Ran dapat melihat mata Fito yang sudah tertutup dengan rapat. Ran hendak berdiri, namun ia tidak bisa, tubuhnya sangat lemah. Ran juga merasakan sakit yang amat sangat di sekujur tubuhnya.

Bulir air mata terjatuh dari ujung mata Ran, ia berusaha keras menggapai Fito, sampai tiba-tiba tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan.

Penglihatan Ran samar-samar, ia hanya bisa melihat sekumpulan orang yang sedang mengelilingi dirinya dan juga Fito.

Ran sangat ingin meminta tolong, namun mulutnya terasa sangat berat, sampai akhirnya mata Ran terpejam sempurna.


Flashback off

Ran dibantu oleh sang ayah yang kini sedang mendorong kursi rodanya.

Johnny menuruti permintaan sang putri yang ingin menemui Fito.

Kini Johnny memberhentikan kursi roda Ran di depan sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan Ran.

Setelah mengetuk pintu, Johnny membuka pintu ruangan tersebut. Memperlihatkan Fito yang sedang terbaring lemah, ditemani oleh sang bunda.

Johnny kembali mendorong kursi roda sang putri memasuki ruangan tersebut.

“Ran ....” Bunda tersenyum saat melihat Ran, ia senang melihat Ran baik-baik saja.

“Bunda,” sahut Ran.

Tangan Ran bergerak meraba-raba, bunda dengan cepat meraih tangan Ran.

“Bunda di sini nak— Fito juga,” ucap bunda pelan.

“Fito? Ran mau ketemu Fito,” jawab Ran bersemangat.

Bunda menatap ke arah Johnny meminta izin mengambil alih kursi roda Ran.

Setelah mendapatkan izin, bunda mendorong kursi roda Ran mendekati tempat tidur Fito.

Dengan mata sayu Fito terus menatap gadis kecil itu. Air matanya terus mengalir dari ujung mata.

Fito memang sudah tersadar dari tadi, namun kondisinya sangat lemah.

Bahkan ia dibantu oleh Nonrebreathing oxygen face mask, untuk bernafas.

Tangan Ran meraba-raba bebas, ia sangat ingin menggenggam tangan Fito sekarang.

“Fito dimana?” tanya Ran cepat.

Fito menggerakkan tangannya lemah, ia berhasil menggenggam tangan Ran.

“Di sini,” jawab Fito.

Ran tersenyum lega. “Fito baik-baik aja kan?”

Fito mengangguk lemah. “Iya Ran,” jawabnya pelan.

Ran mengusap pelan tangan Fito. “Ran minta maaf ya Fito.” Ran tiba-tiba menangis.

Fito terdiam, ia berpikir sejenak kenapa gadis itu meminta maaf.

“Maaf, Ran gak bisa jadi kaki Fito sekarang— kaki Ran juga gak bisa jalan.”

Fito tersenyum tipis, ia tidak menyangkal bahkan dengan kondisi seperti ini gadis kecil itu masih memikirkan hal itu.

“Iya Ran, gapapa.”

“Fito.”

“Iya Ran?”

Fito dapat mendengar suara sesegukan Ran, ia juga melihat air mata Ran yang mengalir melalui sela-sela perban di mata gadis itu.

“Ayah udah sayang Ran, sekarang ayah udah gak benci Ran— karena mata Ran udah gak bisa dilihat lagi.” Gadis kecil itu melaporkan kepada Fito.

“Ran bahagia banget,” ucapnya dengan semangat.

Fito tersenyum lebar walaupun matanya terus mengeluarkan air.

“Aku juga bahagia kalo kamu bahagia,” balas Fito berusaha untuk bersemangat.

“Tapi Fito—”

“Iya Ran?”

“Fito gak malu kan punya sahabat buta nanti?”

Fito terdiam, apa yang harus ia jawab? Ia berpikir kenapa dirinya harus malu, disaat gadis kecil yang bertanya pertanyaan itu menerima dirinya apa adanya.

“Sama sekali enggak,” jawab Fito tulus.

Keduanya saling melemparkan senyuman, Fito dapat melihat senyum cerah Ran yang sering ia lihat, namun tidak bagi Ran, kini ia tidak dapat melihat senyuman Fito lagi.


*Keduanya telah berhasil mencapai titik terbahagia.**

#.

“Kenapa Rel?” tanya Maraka ketika dirinya dan juga Aurel sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.

Aurel tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak dan berpikir, apa sudah saatnya ia jujur mengenai keadaan Ran.

“Rel?” Maraka mengusap pelan pundak Aurel, membuat Aurel tersadar.

“Kamu jangan marah ya?” tanya Aurel membuat Maraka kebingungan.

Maraka menatap Aurel dengan tatapan kebingungan, kenapa dirinya harus marah.

“Kenapa sayang?”

“Ran .... ” Aurel menggantung ucapannya.

“Iya, Ran kenapa?” heran Maraka.

Aurel mendengus kasar. “Ran mengidap short term memory loss Raka.” Air mata Aurel terjatuh bersamaan ucapannya.

Deg

Maraka terdiam, tidak paham dengan apa yang baru saja ia dengar dari Aurel.

“M-maksud kamu?” Maraka menagih penjelasan yang lebih jelas kepada Aurel.

“Waktu kamu suruh aku bawa Ran ke rumah sakit, aku tau semuanya. Ran mengidap short term memory loss karena setres dan kesehatan mental dia, dan kondisi kepalanya memang tidak baik-baik saja—”

“Ran menceritakan semua— semua yang dilakukan ayahnya ke dirinya sendiri.”

Maraka terdiam mencerna semua hal yang dikatakan oleh Aurel.

“Ran sama sekali tidak marah Ka, dia berterima kasih karena Tuhan telah membantunya untuk tidak membenci ayahnya yang kasar.”

Air mata Aurel semakin deras mengalir membasahi pipinya.

“Maafin aku,” lirihnya seraya menangis.

“Kenapa kamu baru bilang sekarang?”

“Karena Ran— dia gak mau kalian tau, dia gak mau kalian terbebani karena dia Raka.”

Sekarang ayah udah gak benci Ran kan?


Hening. Begitulah keadaan di sebuah ruangan serba putih ini sekarang.

Ruangan yang hanya di penuhi suara monitor medis yang sedang mengukur alat vital pasien yang sedang berbaring lemah di kasur rumah sakit.

Randika putri Aditya, atau yang biasa dikenal Ran, kini dirinya terbaring lemah di sana.

Dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Kedua kaki yang diperban, mata yang juga ditutupi oleh perban medis.

Disisi Ran sudah ada Johnny sang ayah, dan juga kedua abangnya, dan tidak lupa dokter yang sedang menangani Ran.

Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menangis, dan menyesal.

“Keadaan pasien sudah mulai membaik, alat vitalnya juga sudah stabil, dia berhasil melewati kondisi kritisnya,” ucap dokter membuat ketiga lelaki yang ada di sana menghela nafas lega.

“Kalau gitu saya permisi,” tambah sang dokter lalu melangkahkan kakinya melewati Johnny.

Johnny terduduk lemah di lantai, ia berlutut di samping putri satu-satunya yang tengah terbaring lemah di sana.

Johnny benar-benar tidak berhenti menangis sedari semalam sejak dirinya menerima berita bahwa Ran mengalami kecelakaan hebat.

Ia tak habis-habisnya merutuki diri sendiri.

“Ran, bangun sayang ayah di sini,” ucap Johnny tanpa rasa malu.

Setelah semua hal keji yang telah ia lakukan kepada Ran, kini ia menyesal.

“Maafin ayah, Ran boleh benci sama ayah, tapi jangan gini ya sayang? Bangun nak.” Johnny mengepalkan tangannya memohon.

Maraka tidak kuat melihat apa yang sedang terjadi sekarang, ia memilih untuk keluar dari ruangan Ran dirawat.

Sesampainya Maraka di luar, ia melihat Aurel dan kedua sahabatnya, dan juga kedua sahabat Hazel yang masih setia menunggu di luar.

“Raka gimana Ran?” Aurel bangkit dari duduknya menghampiri Maraka yang baru saja keluar dari sana.

Maraka menggelengkan kepalanya. “Belum sadar,” lirihnya pelan membuat semua yang ada di luar panik kembali.

“Raka.”

“Ya?”

“Aku mau ngomong sebentar empat mata sama kamu,” pinta Aurel.

Aurel ingin jujur tentang kondisi mental Ran, dan juga tentang sindrom Dory yang Ran derita.

Kembali ke dalam ruangan, Johnny masih berlutut di sana. Tak henti-henti ia memohon.

“Bangun nak, hukum ayah, tapi jangan gini, ayah belum siap kehilangan Ran.” Johnny menggenggam tangan kanan Ran, genggaman yang sangat erat.

Tangan yang dulunya hanya ia gunakan untuk memukul gadis kecil di depannya, kini ia gunakan untuk menggenggam dan memohon kepada gadis itu.

Hazel yang sedari diam dan melihat, jujur ia sangat muak dengan kondisi sekarang, muak dengan sang ayah yang baru sadar setelah semua ini terjadi.

Deg

Johnny mengangkat kepalanya, ia merasakan jari Ran bergerak.

“Ran, anak ayah udah bangun?”

Mendengar hal yang baru saja dikatakan oleh sang ayah, Hazel dengan segera mendekati Ran.

“Ran sayang abang di sini, Ran denger abang?” tanya Hazel tepat di samping telinga Ran.

Tidak ada jawaban dari Ran. Hazel menatap sang ayah yang sama kebingungan seperti dirinya.

Namun lagi-lagi Johnny dapat merasakan pergerakan jari-jari Ran.

“Zayn panggil dokter,” suruh Johnny ke Hazel.

Dengan cepat Hazel berlari ke luar. Ia membuka pintu dengan terburu-buru, tidak memperhatikan siapapun yang ada di luar.

“Dok! Dokter adik saya dok!” teriak Hazel menarik perhatian kedua sahabatnya dan dua sahabat Maraka yang ada di luar ruangan.

Setelah dokter melakukan pemeriksaan kepada Ran, dokter memberitahukan bahwa Ran sudah sadar sepenuhnya, sunguh suatu keajaiban baru saja terjadi.

Setelah dokter keluar, kini ruangan Ran hanya ada, Johnny, Maraka, Aurel dan Hazel.

“Ran,” panggil Johnny dengan suara lembut. Suara lembut yang tidak pernah ia keluarkan untuk mengucapkan nama Ran.

“A-ayah,” jawab Ran lemah.

Semua orang menghela nafas lega mendengar suara Ran.

“Iya sayang, ini ayah.” Johnny lagi-lagi menangis.

Tangan Ran bergerak meraba wajah Johnny. Ran mengusap pelan pipi kiri sang ayah.

“I-ini ayah?” tanya Ran dengan suara seraknya.

Johnny menggenggam tangan kecil Ran yang ada di pipinya. Ia mengangguk. “Iya sayang, ini ayah.”

“A-ayah .... Kenapa Ran gak bisa buka mata?”

Pecah. Pertanyaan Ran berhasil membuat tangis seisi ruangan pecah.

Johnny berusaha untuk tidak menangis, namun nihil, air matanya tetap saja mengalir hingga mengenai tangan Ran.

“Ayah nangis?”

Johnny menggeleng pelan. “Sebentar ya nak, biar mata Ran istirahat dulu,” jawab Johnny berbohong.

Johnny menutup kenyataan bahwa, Ran kini mengalami kebutaan akibat kecelakaan yang menimpanya.

“A-abang?” Ran memanggil kedua abangnya dengan suara kecil.

Maraka dengan cepat menghampiri Ran, begitu juga dengan Hazel.

“Iya sayang abang di sini, di samping Ran,” jawab Maraka berusaha kuat.

“Abang Hazel mana?” tanya Ran lagi.

Hazel terdiam sejenak, ia memejamkan matanya berusaha untuk menghentikan tangisannya.

“Ini abang Hazel, Ran.”

Ran tersenyum lega, ia merasa senang mendengar suara kedua abang yang sangat ia sayangi.

Namun tiba-tiba Ran merasa panik, ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.

“Abang .... Kaki Ran, kaki Ran gak bisa digerakin.” Ran berusaha keras, namun tidak bisa ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.

Maraka mengusap pelan rambut Ran, lalu ia mendekatkan kepalanya ke telinga Ran.

“Kaki Ran istirahat bentar ya, nanti pasti bisa digerakin lagi.” Maraka berbisik kepada adiknya.

Respon dari Ran sama sekali tidak terduga. Ran sama sekali tidak menangis ataupun meraung-raung tidak terima.

Gadis kecil tersebut tersenyum dengan tulus.

Johnny yang sedari tadi masih menggenggam tangan kecil Ran, ia semakin menguatkan genggaman tangannya.

“Ayah.” Ran kembali memanggil sang ayah.

“Ayah di sini nak.” Johnny menjawab dengan suara bergetar.

“Sekarang ayah udah gak benci Ran kan?”

Tubuh Johnny seketika melemah mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut anak bungsunya itu.

Melihat kondisi sang ayah, Maraka memberi kode ke Hazel agar berdiri di samping sang ayah. Untung saja Hazel menurutinya.

Hazel memegang kedua lengan kekar sang ayah, berusaha membuat sang ayah lebih tenang.

“Sekarang ayah udah gak bisa lihat mata Ran lagi.”

“Ayah jangan benci Ran ya?”

Aurel yang sedari tadi hanya diam dan menangis, kini ia memilih untuk keluar karena tidak sanggup lagi menahan tangisnya.

“Ayah gak akan benci anak ayah lagi, sekarang Ran yang benci ayah ya?”

Ran menggeleng pelan, tangan Ran bergerak meraba wajah sang ayah dengan pelan. Johnny sama sekali tidak menolak atau marah.

“Untuk apa Ran benci ayah? Ran sayang banget sama ayah!”

Johnny sama sekali tidak merasa lega akan hal itu, jawaban dari Ran semakin membuatnya hancur, dan terlarut dalam penyesalan.

“Ran maafin ayah ya nak?” Johnny memohon dengan sangat sungguh-sungguh kepada anak bungsunya itu.

Ran mengangguk. “Ran selalu maafin ayah.”

Johnny mengecup telapak tangan Ran, lalu ia berpindah mengecup lembut kening anak bungsu yang selalu ia pukul dulu.

Senyum Ran semakin melebar, ia sangat senang. Ran menangis namun ia bahagia, untuk yang pertama kali dirinya merasakan kehangatan dari sang ayah.

“Abang Raka.”

“Iya Ran?”

“Ran gak ingat .... Kenapa Ran bisa begini?”

Johnny dan juga Hazel dibuat terkejut dengan pertanyaan Ran. Keduanya menatap Maraka kebingungan.

Maraka tersenyum simpul. “Ran mengidap short term memory loss, yah, Zel.”

“Ran sangat sangat tidak baik-baik saja.”