Sekarang ayah udah gak benci Ran kan?
Hening. Begitulah keadaan di sebuah ruangan serba putih ini sekarang.
Ruangan yang hanya di penuhi suara monitor medis yang sedang mengukur alat vital pasien yang sedang berbaring lemah di kasur rumah sakit.
Randika putri Aditya, atau yang biasa dikenal Ran, kini dirinya terbaring lemah di sana.
Dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Kedua kaki yang diperban, mata yang juga ditutupi oleh perban medis.
Disisi Ran sudah ada Johnny sang ayah, dan juga kedua abangnya, dan tidak lupa dokter yang sedang menangani Ran.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menangis, dan menyesal.
“Keadaan pasien sudah mulai membaik, alat vitalnya juga sudah stabil, dia berhasil melewati kondisi kritisnya,” ucap dokter membuat ketiga lelaki yang ada di sana menghela nafas lega.
“Kalau gitu saya permisi,” tambah sang dokter lalu melangkahkan kakinya melewati Johnny.
Johnny terduduk lemah di lantai, ia berlutut di samping putri satu-satunya yang tengah terbaring lemah di sana.
Johnny benar-benar tidak berhenti menangis sedari semalam sejak dirinya menerima berita bahwa Ran mengalami kecelakaan hebat.
Ia tak habis-habisnya merutuki diri sendiri.
“Ran, bangun sayang ayah di sini,” ucap Johnny tanpa rasa malu.
Setelah semua hal keji yang telah ia lakukan kepada Ran, kini ia menyesal.
“Maafin ayah, Ran boleh benci sama ayah, tapi jangan gini ya sayang? Bangun nak.” Johnny mengepalkan tangannya memohon.
Maraka tidak kuat melihat apa yang sedang terjadi sekarang, ia memilih untuk keluar dari ruangan Ran dirawat.
Sesampainya Maraka di luar, ia melihat Aurel dan kedua sahabatnya, dan juga kedua sahabat Hazel yang masih setia menunggu di luar.
“Raka gimana Ran?” Aurel bangkit dari duduknya menghampiri Maraka yang baru saja keluar dari sana.
Maraka menggelengkan kepalanya. “Belum sadar,” lirihnya pelan membuat semua yang ada di luar panik kembali.
“Raka.”
“Ya?”
“Aku mau ngomong sebentar empat mata sama kamu,” pinta Aurel.
Aurel ingin jujur tentang kondisi mental Ran, dan juga tentang sindrom Dory yang Ran derita.
Kembali ke dalam ruangan, Johnny masih berlutut di sana. Tak henti-henti ia memohon.
“Bangun nak, hukum ayah, tapi jangan gini, ayah belum siap kehilangan Ran.” Johnny menggenggam tangan kanan Ran, genggaman yang sangat erat.
Tangan yang dulunya hanya ia gunakan untuk memukul gadis kecil di depannya, kini ia gunakan untuk menggenggam dan memohon kepada gadis itu.
Hazel yang sedari diam dan melihat, jujur ia sangat muak dengan kondisi sekarang, muak dengan sang ayah yang baru sadar setelah semua ini terjadi.
Deg
Johnny mengangkat kepalanya, ia merasakan jari Ran bergerak.
“Ran, anak ayah udah bangun?”
Mendengar hal yang baru saja dikatakan oleh sang ayah, Hazel dengan segera mendekati Ran.
“Ran sayang abang di sini, Ran denger abang?” tanya Hazel tepat di samping telinga Ran.
Tidak ada jawaban dari Ran. Hazel menatap sang ayah yang sama kebingungan seperti dirinya.
Namun lagi-lagi Johnny dapat merasakan pergerakan jari-jari Ran.
“Zayn panggil dokter,” suruh Johnny ke Hazel.
Dengan cepat Hazel berlari ke luar. Ia membuka pintu dengan terburu-buru, tidak memperhatikan siapapun yang ada di luar.
“Dok! Dokter adik saya dok!” teriak Hazel menarik perhatian kedua sahabatnya dan dua sahabat Maraka yang ada di luar ruangan.
Setelah dokter melakukan pemeriksaan kepada Ran, dokter memberitahukan bahwa Ran sudah sadar sepenuhnya, sunguh suatu keajaiban baru saja terjadi.
Setelah dokter keluar, kini ruangan Ran hanya ada, Johnny, Maraka, Aurel dan Hazel.
“Ran,” panggil Johnny dengan suara lembut. Suara lembut yang tidak pernah ia keluarkan untuk mengucapkan nama Ran.
“A-ayah,” jawab Ran lemah.
Semua orang menghela nafas lega mendengar suara Ran.
“Iya sayang, ini ayah.” Johnny lagi-lagi menangis.
Tangan Ran bergerak meraba wajah Johnny. Ran mengusap pelan pipi kiri sang ayah.
“I-ini ayah?” tanya Ran dengan suara seraknya.
Johnny menggenggam tangan kecil Ran yang ada di pipinya. Ia mengangguk. “Iya sayang, ini ayah.”
“A-ayah .... Kenapa Ran gak bisa buka mata?”
Pecah. Pertanyaan Ran berhasil membuat tangis seisi ruangan pecah.
Johnny berusaha untuk tidak menangis, namun nihil, air matanya tetap saja mengalir hingga mengenai tangan Ran.
“Ayah nangis?”
Johnny menggeleng pelan. “Sebentar ya nak, biar mata Ran istirahat dulu,” jawab Johnny berbohong.
Johnny menutup kenyataan bahwa, Ran kini mengalami kebutaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
“A-abang?” Ran memanggil kedua abangnya dengan suara kecil.
Maraka dengan cepat menghampiri Ran, begitu juga dengan Hazel.
“Iya sayang abang di sini, di samping Ran,” jawab Maraka berusaha kuat.
“Abang Hazel mana?” tanya Ran lagi.
Hazel terdiam sejenak, ia memejamkan matanya berusaha untuk menghentikan tangisannya.
“Ini abang Hazel, Ran.”
Ran tersenyum lega, ia merasa senang mendengar suara kedua abang yang sangat ia sayangi.
Namun tiba-tiba Ran merasa panik, ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.
“Abang .... Kaki Ran, kaki Ran gak bisa digerakin.” Ran berusaha keras, namun tidak bisa ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.
Maraka mengusap pelan rambut Ran, lalu ia mendekatkan kepalanya ke telinga Ran.
“Kaki Ran istirahat bentar ya, nanti pasti bisa digerakin lagi.” Maraka berbisik kepada adiknya.
Respon dari Ran sama sekali tidak terduga. Ran sama sekali tidak menangis ataupun meraung-raung tidak terima.
Gadis kecil tersebut tersenyum dengan tulus.
Johnny yang sedari tadi masih menggenggam tangan kecil Ran, ia semakin menguatkan genggaman tangannya.
“Ayah.” Ran kembali memanggil sang ayah.
“Ayah di sini nak.” Johnny menjawab dengan suara bergetar.
“Sekarang ayah udah gak benci Ran kan?”
Tubuh Johnny seketika melemah mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut anak bungsunya itu.
Melihat kondisi sang ayah, Maraka memberi kode ke Hazel agar berdiri di samping sang ayah. Untung saja Hazel menurutinya.
Hazel memegang kedua lengan kekar sang ayah, berusaha membuat sang ayah lebih tenang.
“Sekarang ayah udah gak bisa lihat mata Ran lagi.”
“Ayah jangan benci Ran ya?”
Aurel yang sedari tadi hanya diam dan menangis, kini ia memilih untuk keluar karena tidak sanggup lagi menahan tangisnya.
“Ayah gak akan benci anak ayah lagi, sekarang Ran yang benci ayah ya?”
Ran menggeleng pelan, tangan Ran bergerak meraba wajah sang ayah dengan pelan. Johnny sama sekali tidak menolak atau marah.
“Untuk apa Ran benci ayah? Ran sayang banget sama ayah!”
Johnny sama sekali tidak merasa lega akan hal itu, jawaban dari Ran semakin membuatnya hancur, dan terlarut dalam penyesalan.
“Ran maafin ayah ya nak?” Johnny memohon dengan sangat sungguh-sungguh kepada anak bungsunya itu.
Ran mengangguk. “Ran selalu maafin ayah.”
Johnny mengecup telapak tangan Ran, lalu ia berpindah mengecup lembut kening anak bungsu yang selalu ia pukul dulu.
Senyum Ran semakin melebar, ia sangat senang. Ran menangis namun ia bahagia, untuk yang pertama kali dirinya merasakan kehangatan dari sang ayah.
“Abang Raka.”
“Iya Ran?”
“Ran gak ingat .... Kenapa Ran bisa begini?”
Johnny dan juga Hazel dibuat terkejut dengan pertanyaan Ran. Keduanya menatap Maraka kebingungan.
Maraka tersenyum simpul. “Ran mengidap short term memory loss, yah, Zel.”
“Ran sangat sangat tidak baik-baik saja.”