Gibran tengah fokus menatap ke berkas yang ada di tangannya.
Namun pikiran dia tidak ada di sana sama sekali. Dia sedari tadi memikirkan dimana keberadaan Bulan sekarang. Gimana kabar Bulan, apa dia makan yang banyak? Tidur nyenyak? Tetap dalam keadaan hangat?
Semua itu menganggu pikiran Gibran.
Tok tok tok
“Pak ada tamu.” Sekretaris Gibran melaporkan bahwa ada tamu yang mendatangi nya.
“Suruh masuk.”
Tamu tersebut memasuki ruangan Gibran, namun anehnya ia mengunci ruangan Gibran dari dalam.
Namun Gibran sama sekali tidak menyadari hal itu.
“Siapa kamu?” Tanya Gibran, ia tidak mengenali tamunya.
“Hai Gibran,” Sapa orang itu seraya melangkahkan kakinya mendekati Gibran.
“Saya Damar, mantan suami istri kamu sekarang.”
Gibran menatap heran ke arah Damar. Ia mengerutkan keningnya.
“Ada urusan apa kamu kemari?”
“Bermain dengan anda,” Jawa damar seraya mengeluarkan senyum licik di bibirnya.
Bugh
Damar berhasil menyerang Gibran dengan satu tonjokan membuat Gibran terjatuh dari kursinya.
“Sialan,” umpat Gibran lalu segera berdiri.
“Sialan!”
Bugh
Gibran berhasil membalas tonjokan Damar. Kini skor mereka 1-1.
“Mau kamu apa?!” Tanya Gibran seraya membentak.
“Harta kekayaan kamu tentu saja.”
Gibran tertawa meremehkan jawaban Damar barusan.
Bughh
Satu tonjokan lagi berhasil menghiasi wajah Damar.
Karena di Sulut emosi, Damar mengeluarkan sebuah pisau dari saku celananya.
Tiba-tiba Gibran merasa ketakutan, ia takut jika melawan dengan senjata.
“Cupu,” Ejek Gibran.
Damar tertawa renyah, dengan cepat ia menendang tubuh Gibran ketika melihat Gibran sedang lengah.
Tubuh Gibran terjatuh ke lantai, kepalanya terbentuk.
“Fuck.”
Damar tersenyum penuh kemenangan.
“Susul anak sulung kamu di keabadian Gibran.”
Damar hendak menusuk pisau yang ada di tangannya ke perut Gibran.
“Angkat tangan kamu!”
Namun sayang, Polisi berhasil mendobrak pintu ruangan kerja Gibran.
Kin Gibran bisa bernafas dengan lega. Dirinya sangat lemas sekarang akibat benturan di kepalanya.
“Papa!” Seru Bintang lalu segera berlari menghampiri Gibran.
“Pa maafin Bintang pa,” Bintang menangis, ia melihat kepala papanya yang mengeluarkan darah.
“Pa,” lirih Bintang.
“Jibran,” panggil Damar ke Jibran.
“Urusi urusan kamu sendiri,” Jawab Jibran lalu melewati damar yang sudah di bawa oleh polisi.
“Papa,” Panggil Jibran.
Gibran tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul di depannya.
“Dimana Bulan?” Tanya Gibran.
“Pa,” Jibran tidak berani menjawab dimana keberadaan Bulan sekarang. Ia hanya bisa menangis.
Begitupun dengan Bintang, ia menangis sejadi-jadinya. Menyesal atas apa yang telah ia lakukan.
“Kak Bintang bantu Jibran angkat papa, kita ke rumah sakit.”
Dengan cepat mereka berdua menggotong Gibran keluar, sesampainya di luar Gibran di tangani oleh beberapa staff kantornya. Dan dibawa ke rumah sakit.
Bintang melaporkan semuanya, dari kejadian Damar dan Cantika yang berulang kali mencoba membunuh papanya.
Untung saja ia menyimpan semua bukti yang pernah di kasih oleh Cantika, dengan itu dia bisa dengan mudah meringkuh orang-orang jahat yang ada di sekitarnya.
Yang ada di pikirannya sekarang adalah, bagaimana dia harus di hukum atas kelakuannya yang keji. Atas kejahatan yang telah ia lakukan ke kakaknya sendiri.
Dilain sisi, di ruangan di mana Bagas, Cakra dan Farrel di sekap. Mereka sedang tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Kenapa lo lakuin ini ziel,” Tanya Farrel.
Benar, yang meneror selama ini adalah Aziel. Pada saat dimana dia akan mendatangi Bintang ia di tabrak oleh seseorang, dan hp nya di bawa oleh orang tersebut.
“Semuanya demi Bulan,” Jawab aziel seraya memainkan pisau lipat yang ada di tangannya.
“Karena apa?” Tanya Cakra.
“Karena gue tau kebenarannya.”
Jibran lah dalang di balik semua ini. Jibran yang menggerakkan semua kegiatan Aziel.
Aziel terlambat pada saat itu, Bulan berhasil bunuh diri. Dan ia tidak dapat mencegatnya. Jibran menjelaskan semuanya ke Aziel.
Dan menyuruh aziel untuk membalaskan dendam Bulan.
“Tapi kita gak salah!” Protes Cakra.
Aziel tersenyum miring.
“Tidak ada maling mengakui kejahatannya.”