Panglimakun

“Ayo Zarraaaaa,” Seru Nasya dengan bersemangat seraya menarik-narik tangan Zarra.

Nasya hanya pasrah mengikut kemana saja ia di tarik oleh Nasya.

Ternyata Nasya menarik dirinya ke taman sekolah. Kini mereka berada tepat di tengah taman di sekolah.

“Mana?” Tanya Zarra.

Zarra mengangkat kedua bahunya. “Gatau,” Jawab Nasya dengan polos berhasil mendapatkan toyoran dari Zarra.

“Isssss.” Nasya mengerucutkan bibirnya, lalu ia kembali mencari-cari seseorang.

“Hai, Nasya dan Zarra.” Tiba-tiba seseorang menghampiri mereka.

“Kak Naren?” Tanya Nasya.

Naren mengangguk. “Ini formulir nya, besok langsung aja Dateng ke ruangan latihan lihat aja di peta sekolah, kalo gatau chat kakak aja ya, kakak duluan,” Ucap Naren seraya menyerahkan selembar kertas formulir ke Nasya.

Nasya menerima kertas tersebut Lalu tersenyum ke Naren. “Baik, terima kasih kak!” Naren tersenyum kembali.

“Zarra mukanya kenapa merah? Demam? Mau kakak anterin ke UKS?” Tanya Naren seraya menatap Zarra.

Bukannya nyahut, muka Zarra semakin memerah. “Ayo Nasya,” Ajak Zarra seraya menarik tangan Nasya.

Nasya yang paham ia hanya melambaikan tangan ke Naren dan mengikuti kemanapun ia ditarik oleh Zarra.

“Ayo Zarraaaaa,” Seru Nasya dengan bersemangat seraya menarik-narik tangan Zarra.

Nasya hanya pasrah mengikut kemana saja ia di tarik oleh Nasya.

Ternyata Nasya menarik dirinya ke taman sekolah. Kini mereka berada tepat di tengah taman di sekolah.

“Mana?” Tanya Zarra.

Zarra mengangkat kedua bahunya. “Gatau,” Jawab Nasya dengan polos berhasil mendapatkan toyoran dari Zarra.

“Isssss.” Nasya mengerucutkan bibirnya, lalu ia kembali mencari-cari seseorang.

“Hai, Nasya dan Zarra.” Tiba-tiba seseorang menghampiri mereka.

“Kak Naren?” Tanya Nasya.

Naren mengangguk. “Ini formulir nya, besok langsung aja Dateng ke ruangan latihan lihat aja di peta sekolah, kalo gatau chat kakak aja ya, kakak duluan,” Ucap Naren seraya menyerahkan selembar kertas formulir ke Nasya.

Nasya menerima kertas tersebut Lalu tersenyum ke Naren. “Baik, terima kasih kak!” Naren tersenyum kembali.

“Zarra mukanya kenapa merah? Demam? Mau kakak anterin ke UKS?” Tanya Naren seraya menatap Zarra.

Bukannya nyahut, muka Zarra semakin memerah. “Ayo Nasya,” Ajak Zarra seraya menarik tangan Nasya.

Nasya yang paham ia hanya melambaikan tangan ke Naren dan mengikuti kemanapun ia ditarik oleh Zarra.

Nasya melangkahkan kakinya mengikuti guru yang berjalan di depannya.

Sekilas Nasya memperhatikan ruang kelas yang akan ia tempati nanti. Ruang kelas yang sedikit berisik mungkin karena belum ada guru, namun sepertinya suasana kelas tersebut cukup ceria.

“Anak-anak mohon perhatiannya sebentar.” Guru yang baru sjaa memerintahkan muridnya diam bernama ibu Sri.

Wali kelas beserta guru sejarah di kelas ini.

“Kalian kedatangan murid baru, Nasya silahkan perkenalkan diri,” Suruh Ibu Sri ke Nasya.

Nasya tersenyum lalu ia membuang nafas panjang.

“Hai semua ! Perkenalkan nama aku Nasya Perdana, aku pindahan dari Jepang. Salam kenal semua, semoga kita bisa dekat, mohon bantuannya,” Ucap Nasya memperkenalkan diri.

“Hai Nasya!”

“Welcome Nasya.”

“Cantik.”

“Selamat datang cantik.”

Seketika keadaan kelas ricuh kembali, berbagai macam tanggapan dari murid-murid yang ada di sana.

Bu Sri hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“Nasya duduk di sebelah Zarra ya.”

Nasya mengangguk, lalu ia melirik ke arah Zarra yang sedari tadi memanggil Nasya.


Kringg

Suara bel menandakan jam istirahat berbunyi. Guru-guru yang sedari tengah mengajar dengan segera memberhentikan kegiatan belajar mengajar tersebut.p

Murid-murid pun sudah berkeliaran menuju tempat beristirahat.

“Kantin yuk,” Ajak Zarra ke Nasya.

Nasya mengangguk. “Ayok,” Jawab Nasya menyetujui ajakan Zarra.

Kecantikan Nasya memang terbukti tidak ada yang bisa menandingi. Sedari dia sampai ke sekolah dan sekarang berjalan menuju ke kantin, semua penjuru mata tertuju ke Nasya.

'cantik ya.'

'manis.'

'kayaknya polos deh.'

Dan masih banyak lagi kata-kata yang keluar dari mulut murid-murid yang berada di sana.

Nasya hanya membalas dengan senyuman seramah mungkin.

Sesampainya di kantin, mereka berdua melihat satu meja yang masih kosong. Dengan segera Zarra menarik Nasya agar duduk di bangku itu.

“Lo tunggu di sini, biar gue yang pesen makanannya oke?”

“Oke!” Jawab Nasya tegas.

Zarra dengan segera berjalan untuk memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan Nasya.

Selagi menunggu Zarra, Nasya hanya melihat sekeliling kantin. Dan juga sesekali ia kedapatan berkontak mata dengan beberapa murid yang melihat dirinya.

Karena bosen, Nasya memutuskan untuk bermain handphone, namun keheningan tiba-tiba menjadi ricuh.

Sorot mata semua orang kini tertuju ke sekelompok murid cowok yang baru saja memasuki kantin.

Banyak teriakan-teriakan heboh terutama dari para murid cewek. Nasya hanya menggelengkan kepalanya.

“Nih,” ucap Zarra seraya meletakkan sepiring nasi goreng di depan Nasya.

Di belakang Zarra ada akang kantin yang juga meletakkan piring nasi goreng Zarra dan juga minuman buat mereka berdua.

“Terimakasih akang!” Ucap Zarra.

“Baik neng, selamat makan.”

Zarra dan Nasya mulai menyuapkan sendok nasi ke mulut mereka. Namun seperti ada yang menganggu pikiran Nasya.

“Zarra, itu siapa sih?” Tanya Nasya seraya menoleh ke arah segerombolan cowok yang membuat suasana kantin tadi ricuh.

“Club Riddin, club motor SMA NEO. Kerjaannya ya jadi buaya, tawuran balapan liar, gak banget deh,” Jawab Zarra dengan ekspresi tidak suka.

Mereka kembali fokus dengan makanan yang ada di depan mereka. Zarra dan Nasya emang sedikit heboh, namun attitude mereka nomor 1. Orang tua mereka selalu mengajarkan untuk tidak berbicara saat makan, kecuali jika ada hal yang penting.

Di tengah fokus Nasya dan Zarra. Tiba-tiba tiga cowo menghampiri mereka.

“Hai neng Zarra,” Sapa Danial salah satu anggota club Riddin.

Zarra tidak menanggapi sapaan Danial. “Anak baru ya?” Kini Hezekiah yang bertanya ke Nasya.

Nasya terlihat bingung, apakah ia harus menjawab? Kalo di jawab nanti Zarra marah.

“Ayok.” Zarra dengan cepat menarik tangan Nasya agar pergi dari sana.

“Tapi makanan-”

“Besok gue beliin 2 piring!” Potong Zarra.

Nasya menghela nafas, dia hanya pasrah dengan Zarra.

Sedari tadi Malvin ketua club Riddin dia hanya menatap kagum ke Nasya.

Seperti ada yang berbeda dari diri Nasya. Atau seperti dia pernah melihat Nasya, namun gatau entah dimana.

“Cari tau nomer handphone dia,” Suruh Malvin ke Hezekiah dan Danial.

Dengan sigap mereka berdua hormat ke Malvin. “Asssiap!” Jawab mereka berbarengan.

Gibran tengah fokus menatap ke berkas yang ada di tangannya. Namun pikiran dia tidak ada di sana sama sekali. Dia sedari tadi memikirkan dimana keberadaan Bulan sekarang. Gimana kabar Bulan, apa dia makan yang banyak? Tidur nyenyak? Tetap dalam keadaan hangat?

Semua itu menganggu pikiran Gibran.

Tok tok tok

“Pak ada tamu.” Sekretaris Gibran melaporkan bahwa ada tamu yang mendatangi nya.

“Suruh masuk.”

Tamu tersebut memasuki ruangan Gibran, namun anehnya ia mengunci ruangan Gibran dari dalam.

Namun Gibran sama sekali tidak menyadari hal itu.

“Siapa kamu?” Tanya Gibran, ia tidak mengenali tamunya.

“Hai Gibran,” Sapa orang itu seraya melangkahkan kakinya mendekati Gibran.

“Saya Damar, mantan suami istri kamu sekarang.”

Gibran menatap heran ke arah Damar. Ia mengerutkan keningnya.

“Ada urusan apa kamu kemari?”

“Bermain dengan anda,” Jawa damar seraya mengeluarkan senyum licik di bibirnya.

Bugh

Damar berhasil menyerang Gibran dengan satu tonjokan membuat Gibran terjatuh dari kursinya.

“Sialan,” umpat Gibran lalu segera berdiri.

“Sialan!”

Bugh

Gibran berhasil membalas tonjokan Damar. Kini skor mereka 1-1.

“Mau kamu apa?!” Tanya Gibran seraya membentak.

“Harta kekayaan kamu tentu saja.”

Gibran tertawa meremehkan jawaban Damar barusan.

Bughh

Satu tonjokan lagi berhasil menghiasi wajah Damar.

Karena di Sulut emosi, Damar mengeluarkan sebuah pisau dari saku celananya.

Tiba-tiba Gibran merasa ketakutan, ia takut jika melawan dengan senjata.

“Cupu,” Ejek Gibran.

Damar tertawa renyah, dengan cepat ia menendang tubuh Gibran ketika melihat Gibran sedang lengah.

Tubuh Gibran terjatuh ke lantai, kepalanya terbentuk.

“Fuck.”

Damar tersenyum penuh kemenangan.

“Susul anak sulung kamu di keabadian Gibran.”

Damar hendak menusuk pisau yang ada di tangannya ke perut Gibran.

“Angkat tangan kamu!”

Namun sayang, Polisi berhasil mendobrak pintu ruangan kerja Gibran.

Kin Gibran bisa bernafas dengan lega. Dirinya sangat lemas sekarang akibat benturan di kepalanya.

“Papa!” Seru Bintang lalu segera berlari menghampiri Gibran.

“Pa maafin Bintang pa,” Bintang menangis, ia melihat kepala papanya yang mengeluarkan darah.

“Pa,” lirih Bintang.

“Jibran,” panggil Damar ke Jibran.

“Urusi urusan kamu sendiri,” Jawab Jibran lalu melewati damar yang sudah di bawa oleh polisi.

“Papa,” Panggil Jibran.

Gibran tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul di depannya.

“Dimana Bulan?” Tanya Gibran.

“Pa,” Jibran tidak berani menjawab dimana keberadaan Bulan sekarang. Ia hanya bisa menangis.

Begitupun dengan Bintang, ia menangis sejadi-jadinya. Menyesal atas apa yang telah ia lakukan.

“Kak Bintang bantu Jibran angkat papa, kita ke rumah sakit.”

Dengan cepat mereka berdua menggotong Gibran keluar, sesampainya di luar Gibran di tangani oleh beberapa staff kantornya. Dan dibawa ke rumah sakit.

Bintang melaporkan semuanya, dari kejadian Damar dan Cantika yang berulang kali mencoba membunuh papanya.

Untung saja ia menyimpan semua bukti yang pernah di kasih oleh Cantika, dengan itu dia bisa dengan mudah meringkuh orang-orang jahat yang ada di sekitarnya.

Yang ada di pikirannya sekarang adalah, bagaimana dia harus di hukum atas kelakuannya yang keji. Atas kejahatan yang telah ia lakukan ke kakaknya sendiri.


Dilain sisi, di ruangan di mana Bagas, Cakra dan Farrel di sekap. Mereka sedang tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

“Kenapa lo lakuin ini ziel,” Tanya Farrel.

Benar, yang meneror selama ini adalah Aziel. Pada saat dimana dia akan mendatangi Bintang ia di tabrak oleh seseorang, dan hp nya di bawa oleh orang tersebut.

“Semuanya demi Bulan,” Jawab aziel seraya memainkan pisau lipat yang ada di tangannya.

“Karena apa?” Tanya Cakra.

“Karena gue tau kebenarannya.”

Jibran lah dalang di balik semua ini. Jibran yang menggerakkan semua kegiatan Aziel.

Aziel terlambat pada saat itu, Bulan berhasil bunuh diri. Dan ia tidak dapat mencegatnya. Jibran menjelaskan semuanya ke Aziel.

Dan menyuruh aziel untuk membalaskan dendam Bulan.

“Tapi kita gak salah!” Protes Cakra.

Aziel tersenyum miring.

“Tidak ada maling mengakui kejahatannya.”

Gibran tengah fokus menatap ke berkas yang ada di tangannya. Namun pikiran dia tidak ada di sana sama sekali. Dia sedari tadi memikirkan dimana keberadaan Bulan sekarang. Gimana kabar Bulan, apa dia makan yang banyak? Tidur nyenyak? Tetap dalam keadaan hangat?

Semua itu menganggu pikiran Gibran.

Tok tok tok

“Pak ada tamu.” Sekretaris Gibran melaporkan bahwa ada tamu yang mendatangi nya.

“Suruh masuk.”

Tamu tersebut memasuki ruangan Gibran, namun anehnya ia mengunci ruangan Gibran dari dalam.

Namun Gibran sama sekali tidak menyadari hal itu.

“Siapa kamu?” Tanya Gibran, ia tidak mengenali tamunya.

“Hai Gibran,” Sapa orang itu seraya melangkahkan kakinya mendekati Gibran.

“Saya Damar, mantan suami istri kamu sekarang.”

Gibran menatap heran ke arah Damar. Ia mengerutkan keningnya.

“Ada urusan apa kamu kemari?”

“Bermain dengan anda,” Jawa damar seraya mengeluarkan senyum licik di bibirnya.

Bugh

Damar berhasil menyerang Gibran dengan satu tonjokan membuat Gibran terjatuh dari kursinya.

“Sialan,” umpat Gibran lalu segera berdiri.

“Sialan!”

Bugh

Gibran berhasil membalas tonjokan Damar. Kini skor mereka 1-1.

“Mau kamu apa?!” Tanya Gibran seraya membentak.

“Harta kekayaan kamu tentu saja.”

Gibran tertawa meremehkan jawaban Damar barusan.

Bughh

Satu tonjokan lagi berhasil menghiasi wajah Damar.

Karena di Sulut emosi, Damar mengeluarkan sebuah pisau dari saku celananya.

Tiba-tiba Gibran merasa ketakutan, ia takut jika melawan dengan senjata.

“Cupu,” Ejek Gibran.

Damar tertawa renyah, dengan cepat ia menendang tubuh Gibran ketika melihat Gibran sedang lengah.

Tubuh Gibran terjatuh ke lantai, kepalanya terbentuk.

“Fuck.”

Damar tersenyum penuh kemenangan.

“Susul anak sulung kamu di keabadian Gibran.”

Damar hendak menusuk pisau yang ada di tangannya ke perut Gibran.

“Angkat tangan kamu!”

Namun sayang, Polisi berhasil mendobrak pintu ruangan kerja Gibran.

Kin Gibran bisa bernafas dengan lega. Dirinya sangat lemas sekarang akibat benturan di kepalanya.

“Papa!” Seru Bintang lalu segera berlari menghampiri Gibran.

“Pa maafin Bintang pa,” Bintang menangis, ia melihat kepala papanya yang mengeluarkan darah.

“Pa,” lirih Bintang.

“Jibran,” panggil Damar ke Jibran.

“Urusi urusan kamu sendiri,” Jawab Jibran lalu melewati damar yang sudah di bawa oleh polisi.

“Papa,” Panggil Jibran.

Gibran tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul di depannya.

“Dimana Bulan?” Tanya Gibran.

“Pa,” Jibran tidak berani menjawab dimana keberadaan Bulan sekarang. Ia hanya bisa menangis.

Begitupun dengan Bintang, ia menangis sejadi-jadinya. Menyesal atas apa yang telah ia lakukan.

“Kak Bintang bantu Jibran angkat papa, kita ke rumah sakit.”

Dengan cepat mereka berdua menggotong Gibran keluar, sesampainya di luar Gibran di tangani oleh beberapa staff kantornya. Dan dibawa ke rumah sakit.

Bintang melaporkan semuanya, dari kejadian Damar dan Cantika yang berulang kali mencoba membunuh papanya.

Untung saja ia menyimpan semua bukti yang pernah di kasih oleh Cantika, dengan itu dia bisa dengan mudah meringkuh orang-orang jahat yang ada di sekitarnya.

Yang ada di pikirannya sekarang adalah, bagaimana dia harus di hukum atas kelakuannya yang keji. Atas kejahatan yang telah ia lakukan ke kakaknya sendiri.


Dilain sisi, di ruangan di mana Bagas, Cakra dan Farrel di sekap. Mereka sedang tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

“Kenapa lo lakuin ini ziel,” Tanya Farrel.

Benar, yang meneror selama ini adalah Aziel. Pada saat dimana dia akan mendatangi Bintang ia di tabrak oleh seseorang, dan hp nya di bawa oleh orang tersebut.

“Semuanya demi Bulan,” Jawab aziel seraya memainkan pisau lipat yang ada di tangannya.

“Karena apa?” Tanya Cakra.

“Karena gue tau kebenarannya.”

Jibran lah dalang di balik semua ini. Jibran yang menggerakkan semua kegiatan Aziel.

Aziel terlambat pada saat itu, Bulan berhasil bunuh diri. Dan ia tidak dapat mencegatnya. Jibran menjelaskan semuanya ke Aziel.

Dan menyuruh aziel untuk membalaskan dendam Bulan.

“Tapi kita gak salah!” Protes Cakra.

Aziel tersenyum miring.

“Tidak ada maling mengakui kejahatannya.”

Nasya melangkahkan kakinya mengikuti guru yang berjalan di depannya.

Sekilas Nasya memperhatikan ruang kelas yang akan ia tempati nanti. Ruang kelas yang sedikit berisik mungkin karena belum ada guru, namun sepertinya suasana kelas tersebut cukup ceria.

“Anak-anak mohon perhatiannya sebentar.” Guru yang baru sjaa memerintahkan muridnya diam bernama ibu Sri.

Wali kelas beserta guru sejarah di kelas ini.

“Kalian kedatangan murid baru, Nasya silahkan perkenalkan diri,” Suruh Ibu Sri ke Nasya.

Nasya tersenyum lalu ia membuang nafas panjang.

“Hai semua ! Perkenalkan nama aku Nasya Perdana, aku pindahan dari Jepang. Salam kenal semua, semoga kita bisa dekat, mohon bantuannya,” Ucap Nasya memperkenalkan diri.

“Hai Nasya!”

“Welcome Nasya.”

“Cantik.”

“Selamat datang cantik.”

Seketika keadaan kelas ricuh kembali, berbagai macam tanggapan dari murid-murid yang ada di sana.

Bu Sri hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“Nasya duduk di sebelah Zarra ya.”

Nasya mengangguk, lalu ia melirik ke arah Zarra yang sedari tadi memanggil Nasya.


“Nasyaaaaa!” Seru Zarra bersemangat ketika Nasya membukakan pintu untuknya.

“Zarra!” Sahut Nasya tidak kalah semangat.

Kedua gadis cantik itu berpelukan dengan erat, melepas rindu satu sama lain.

“Zarra ini snacknya papa taro di sini ya. Papa mau pulang nih,” Ucap Reza Papa Zarra.

Zarra melepaskan pelukannya lalu berpaling ke papanya.

“Iya pa! Hati-hati ya,” Jawab Zarra seraya menyalam tangan papa nya.

“Hati-hati ya papa Reza.” Nasya juga ikut salam dengan papa Reza.

“Have fun kalian, bye,” Pamit papa Reza lalu pergi dari sana.

“Ayok masuk!”

“Lesgoooo!”


“Ini ya Zarra, bunda kesel banget sama Panji bodoh banget ih.”

“Ihh Zarra mah suka sama Panji, cowo tuh harus fuckboy.”

“Ihhh siapa yang ajarin kamu gitu?”

Begitulah perdebatan yang memenuhi ruang tengah keluarga Perdana.

Nasya yang tidak paham tentang apa yang sedang di ributkan oleh sahabat dan bundanya hanya memilih untuk diam.

“Lagian itu kan udah skenario sutradara kok banyak koment sih,” Protes Nasya.

“Diam Nasya!” Ucap Bunda dan Zarra berbarengan.

Nasya memanyunkan bibirnya kesal.

“Halo anak ayah, kenapa?” Tanya Ayah Bara. Ayahnya Nasya.

Nasya memilih untuk video call ayahnya untuk mengadu.

Dengan cepat Nasya membalikan kameranya menyorot Bunda dan Zarra yang sedang berpelukan menonton suara hati istri.

“Lihat ayah, Nasya di cuekin. Tadi Nasya juga di marahin,” Lapor Nasya mengadukan semuanya.

Ayah Bara hanya terkekeh mendengar aduan Nasya. “Bunda,” Panggil Ayah Bara.

Bunda yang mendengar suara Ayah bara dengan cepat mengambil handphone yang ada di tangan Nasya.

“Ayah! Aaaaaaa kangen. Bye anak-anak.” Dalam sekejap Bunda menghilang dari hadapan Zarra dan Nasya.

“Kok di ganti?” Tanya Nasya ke Zarra karena Zarra baru saja memgganti channel tv.

“Lagian siapa yang suka suara hati istri selain bunda? Itu cuman gimik biar lancar jaya deket sama bang Atha,” Jawab Zarra dengan mudahnya.

Nasya menatap Zarra dengan tatapan yang ingin menggigit Zarra sekarang juga.

“Boleh juga.” Nasya mengacungkan jempolnya.

“Hai ladies,” Sapa Athaya yang baru saja pulang.

“Hai Abang!” Sahut Mereka berdua dengan serentak.

“Ganteng bangettt.”

Nasya menatap aneh ke arah Zarra yang sedang menggigit bantal sofa.

“Fiks hari ini gue nginep!”

“Emang Zarra bawa baju sekolah?” Tanya Nasya memastikan.

Zarra terdiam sejenak. “Baju lo ada berapa?” Tanya Zarra balik.

Nasya berpikir. “Lima,” Jawab Nasya.

“Bagus ! Gue pinjem baju lo.”

Nasya menggeleng melihat kelakuan sahabatnya. Padahal dia orangnya cuek bebek, tapi kalo udah urusan bang Atha pasti bawel banget. Semoga cinta Zarra cepet di bales sama bang Atha.


Sebuah ruangan serba redup akan cahaya, ruangan yang tidak terlalu sempit, disinilah Cakra, Farrel dan Bagas berada.

Dengan tangan terikat dan mata tertutup. Mereka duduk dengan posisi berlutut menghadap seseorang.

Seorang misterius yang memakai serba hitam, menatap tajam ke arah mereka bertiga.

Di samping orang misterius tersebut sudah ada sebuah camera yang menyorot dan merekam Farrel, Cakra dan Bagas.

“Siapa kamu!” Tanya Farrel.

“Siapa lo anjeng? Bersuara gak!” Kini Cakra memaki orang misterius tersebut.

Bagas hanya diam, dia takut. Apakah ini yang di rasakan oleh adiknya dahulu. Dia sangat menyesal.

Pria itu melangkahkan kakinya, lalu berhenti tepat di belakang Bagas.

Di tangan orang misterius tersebut terdapat sebuah cambuk.

Dengan cepat orang itu mengangkat cambuk itu dan menjatuhkannya tepat di punggung Bagas.

Clakk

“Fuck!” Umpat Bagas. Cambukan itu seakan-akan membelah-belah tubuh Bagas.

Orang misterius tersebut menendang tubuh Bagas membuat Bagas tersungkur ke lantai.

“Shit,” Ringis Bagas.

Clakk

Lagi-lagi cambukan itu mendarat ke tubuh Bagas. Tidak terhitung berapa kali sudah cambuk itu menghujam tubuh Bagas.

Bagas hanya Bisa diam dan menahan rasa sakit. Semua aksi itu terekam di kamera yang sedari tadi berdiri tegap di depan mereka.

“Maaf, maaf.” Bagas memohon ampun. Tubuhnya sudah sangat kesakitan, darah di mana-mana.

Orang misterius itu melemparkan cambukan yang ada di tangannya ke sembarang tempat.

Ia kembali melangkahkan kakinya, kini ia berdiri tepat di depan Farrel.

Plakk

Satu tamparan berhasil melayang di pipi Farrel. Membuat Farre terjatuh.

“Mau lo apa anjing!” Jerit Farrel tidak terima di perlakukan seperti ini.

Orang misterius itu sama sekali tidak menghiraukan ucapan Farrel. Ia malah menendang perut Farrel berkali-kali membuat sang empunya merasa sangat kesakitan.

“Arghh, fuck ! Stop anjing!” Stop mohon stop!” Mohon Farrel namun sedikit kasar.

Orang tersebut masih menendang-nendang Farrel, tidak hanya di bagian perut, namun juga kepala.

“Pleasee, stop, maaf,” Ucap Farrel memohon dengan sangat lembut.

Gotcha ! Itu yang dia mau. Orang misterius itu hanya mau mendengar seseorang memohon dengan lemah kepada dirinya.

Keadaan Farrel benar-benar miris, sama seperti Bagas. Badan yang di penuhi luka dan memar. Rasa sakit yang memenuhi diri mereka.

Mereka tidak menyapa satu sama lain walaupun mereka melihat satu sama lain.

Hanya ada ringisan kesakitan yang keluar dari mulut mereka.

Orang misterius tersebut menghampiri Cakra, ia melepaskan tutup mata yang menutupi mata Cakra.

Cakra begitu terkejut melihat keadaan kedua temannya. Ia menatap tajam ke arah orang misterius itu.

“Anjing lo bangsat cupu! Psychopat gila!” Maki Cakra bertubi-tubi.

Orang misterius itu melangkahkan kakinya ke arah kamera yang sedari tadi merekam aksinya.

Setelah beberapa menit berurusan dengan kamera itu. Ia membalikkan badan, membuka semua penutup yang ada di mukanya.

“Fuck lo?!” Seru mereka bertiga bersamaan ketika melihat siapa sebenarnya di balik topeng yang sedari tadi menyiksa diri mereka.

Perlahan Gibran membuka pintu kamar Bulan. Anak sulung yang ia sia-siakan.

Ia melihat dari sudut ke sudut. Tak sengaja air matanya turun membasahi pipi.

Dengan kasar Gibran menyeka air mata itu.

“Kamu apa kabar nak?” Monolog Gibran seraya menatap sebuah foto.

Foto Bulan tengah memeluk boneka Micky mouse yang ia belikan.

Gibran melangkah ke kasur Bulan, di sana ada boneka yang sangat di sayangi oleh Bulan.

Gibran sangat menyayangi Bulan, namun di satu sisi iya sangat benci. Karena menurut dia Eva istri tercintanya pergi untuk selamanya.

Namun kemarin ia di culik oleh orang tidak di kenal. Orang tersebut menjelaskan semuanya, Bulan bukanlah dosa. Bukan bukanlah penyebab Eva meninggal.

“Papa berdosa banget ya Bulan.”

“Sekarang kamu di mana nak? Kamu baik-baik saja? Papa janji ketika kamu kembali maka papa akan sujud mencium kaki kamu Bulan. Papa menyesal.”

Gibran menangis sejadi-jadinya seraya memeluk boneka kesayangan Bulan.

Ia membayangkan seberapa kedinginan Bulan ketika ia usir, ketakutan dan juga rasa bersalah.

Perlahan Gibran membuka pintu kamar Bulan. Anak sulung yang ia sia-siakan.

Ia melihat dari sudut ke sudut. Tak sengaja air matanya turun membasahi pipi.

Dengan kasar Gibran menyeka air mata itu.

“Kamu apa kabar nak?” Monolog Gibran seraya menatap sebuah foto.

Foto Bulan tengah memeluk boneka Micky mouse yang ia belikan.

Gibran melangkah ke kasur Bulan, di sana ada boneka yang sangat di sayangi oleh Bulan.

Gibran sangat menyayangi Bulan, namun di satu sisi iya sangat benci. Karena menurut dia Eva istri tercintanya pergi untuk selamanya.

Namun kemarin ia di culik oleh orang tidak di kenal. Orang tersebut menjelaskan semuanya, Bulan bukanlah dosa. Bukan bukanlah penyebab Eva meninggal.

“Papa berdosa banget ya Bulan.”

“Sekarang kamu di mana nak? Kamu baik-baik saja? Papa janji ketika kamu kembali maka papa akan sujud mencium kaki kamu Bulan. Papa menyesal.”

Gibran menangis sejadi-jadinya seraya memeluk boneka kesayangan Bulan.

Ia membayangkan seberapa kedinginan Bulan ketika ia usir, ketakutan dan juga rasa bersalah.