Panglimakun

Setelah mendapatkan serangakaian arahan dari guru, aku akhirnya dibawa menuju ruang kelas, dimana aku akan memulai semuanya dari awal di sana.

Aku pun berhenti di depan pintu kelas, menunggu arahan dari guru yang membawa ku ke sini. Setelah mendapatkan arahan, aku pun mengangkat kaki ku, melangkah ke dalam.

Semua sorot mata murid-murid di kelas tertuju ke aku kini, tidak ada reaksi berlebihan hanya menatap saja.

Aku pun berdiri di depan kelas, di samping guru yang membawaku ke sini.

“Perkenalkan diri kamu,” titahnya.

Aku diam sejenak mengumpulkan semua keberanian ku, yang tiba-tiba saja hilang begitu saja.

“Perkenalkan ...,” Ucapku ketika keberanian ku kembali sepenuhnya.

“Nama saya Azel Khaisan ...” Aku memberi jeda sejenak. “Azel Khaisan Adhitama. Senang bertemu dengan kalian,” sambungku menyelesaikan kalimat perkenalan itu.

Anehnya kini mereka menunjukkan reaksi dengan berbisik-bisik satu sama lain. Samar-samar aku mendengar mereka menyinggung nama Adhitama, entah mengapa aku jadi takut.

“Oke, Azel, kamu boleh duduk di sebelah Yan. Yan angkat tangan.”

Aku melihat seorang murid pria mengangkat tangan kanannya, dia berada di meja nomor tiga dari depan, dan duduk di bangku di samping jendela.

“Terima kasih, Pak.”

Setelah mengucapkan kalimat terima kasih, aku melangkahkan kaki menuju bangku yang dimaksud tadi. Aku merasa aneh karena semua sorot mata masih tertuju pada ku.

Tanpa menunggu lama aku mengambil tempat duduk di samping murid laki-laki yang bernama Yan itu.

“Yan. Panggil aja Yan.”

Aku tersenyum. “Panggil gue Azel,” ucapku.

Pelajaran pertama dimulai, aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dijelaskan oleh guru di depan sana. Namun, ada satu hal yang harus aku ingat, yaitu pesan Rayna, apapun yang aku pelajari di sekolah, aku harus mengingatnya.

Aku pun berusaha untuk menyimak dan juga memahami, tidak lupa juga aku catat poin-poinnya.


“Ini catatan gue, kalo lo butuh buat baca-baca. Buat materi kelas sebelas nanti gue kirim dari email,” kata Yan, menyerahkan sebuah buku yang lumayan tebal kepadaku.

“Thanks.”

“No need. Kalo butuh apa-apa bilang aja ke gue.”

“Ya, dia bakalan bantu, lo. Kenalin nama gue Gisel.”

Aku sontak menoleh menatap seorang murid perempuan yang kini berdiri di sampingku.

“Nama dia Jijel, panggil aja ijel,” kata Yan.

“Enak aja lo!”

Aku tidak paham tapi sepertinya itu candaan mereka.

“Gue Azel.”

“Gue tahu.”

Mereka tertawa kecil, karena itu aku ikut tertawa juga agar tidak kelihatan bodoh.

“Lo ikut ke kantin?” Tanya Gisel.

Aku menggeleng. “Enggak dulu,” tolak ku, karena aku harus mengulang kembali materi yang tadi belum aku pahami samansekali.

“Ok. Kalau ada apa-apa kita di kantin, ya.”

Aku mengangguk, lalu Gisel dan Yan pun pergi dari kelas. Mereka terlihat begitu dekat, aku jadi mengingat Rainan, Jovan dan Navan lagi. Apa yang sedang mereka lakukan sekarang.

Kalau dulu kita akan menghabiskan waktu istirahat mengganggu siswi-siswi di sekolah, atau bermain di lapangan. Sekarang apa yang mereka lakukan?

Sepertinya aku harus kembali fokus dan melupakan tentang mereka sejenak. Aku pun kembali fokus dengan catatan-catatan yang ada di depanku.

Namun lagi-lagi aku samar-samar mendengar bisikan dari murid-murid yang masih di kelas. Aku yakin mereka sedang berbicara tentang ku, karena mereka menyinggung nama 'Adhitama'.


“Lo yakin mau deketin dia?” Gisel bertanya kepada Yan setelah mereka keluar dari kelas.

Yan tidak langsung menjawab. Melainkan mengukir sebuah senyum tipis di bibirnya.

“Dia Adhitama, Jel. Paham, 'kan, maksud gue?”

“Pagiku, cerahku, matahari bersinar, ku gendong tas merahku, di pundak.” Aku bersenandung ria saat kakiku berjalan menuju dapur.

Pagi ini aku sedikit senang karena berhasil bangun pagi, tentu saja hari ini aku akan dapat jatah telur yang bagus tanpa ada yang mencurinya setengah.

Ya, hari ini aku sudah berniat dengan sungguh, bahkan aku mandi lebih awal.

Tapi, kaki ku terasa lemah ketika sampai di depan meja makan—dimana Ayah, Rainan, Jovan dan Navan berada—aku heran, aku kira mereka belum bangun.

“Padahal gue udah niat buat bangun pagi, keduluan juga,” cicitku sembari menarik kursi yang sudah biasa menjadi kursi ku saat makan.

Mereka sontak tertawa, bahkan Ayah pun tertawa.

“Pagi kamu jam berapa, Azel? Jam tujuh? Ayam aja jam tujuh udah jemur baju,” kata Ayah, mengejekku tentu saja. Buat mereka itu lucu, tapi buatku itu sangat menyakitkan Oke berlebihan.

“Biasa, 'kan, Azel bangun jam tujuh pas, Yah. Ini jam tujuh dia udah siap,” respon Jovan disetujui oleh yang lainnya.

“Yang penting telur gue aman.” Ya, tujuan aku bangun pagi, 'kan, agar telur sarapan ku aman.

“Adik-adik juga belum bangun, Zel. Makanya aman, untung kita baik hari ini,” kata Navan.

Gue cuman ngangguk dan melanjutkan sarapan gue, begitu juga dengan Ayah dan yang lainnya.


“Yah, kita berangkat!” Teriakku.

“Ya, hati-hati.”

Setelah mengenakan sepatu kita segera beranjak berangkat sekolah, jalan kaki? Tentu tidak. Karena kita akan berangkat dengan kendaraan kebanggaan, yaitu, angkot.

Seperti biasa kita harus ke jalan raya dulu untuk menunggu angkot, jadi mau tidak mau dari panti asuhan kami harus jalan. Tidak jauh, hanya sepuluh menit kalau jalan.

Tapi, hari ini kita hampir terlambat.

“Lari bego!” Teriak Rainan kemudian berlari terlebih dahulu.

“Selain terlambat angkot bakalan penuh, cepetan!” Susul Jovan yang ikutan berlari.

Aku dan Navan masih jalan santai, kemudian aku menoleh ke arah Navan.

“Lo ... Sanggup?” Tanyaku memastikan keadaan Navan.

Navan terlihat pasrah. “Jadi orang susah harus sanggup, toh.”

Setelah mengatakan itu Navan lari menyusul Rainan dan Jovan. Tanpa sengaja senyumku memudar, kalimat Navan begitu dalam.

Tanpa menunggu lama aku pun ikut berlari, aku harus sombong kalau masalah ini, karena aku adalah pelari handal. Bahkan kini aku sudah mengimbangi posisiku dengan Navan.

“Nanti keringat kita kita ubah jadi kesuksesan, ya, Van,” kataku, kemudian menambah kecepatan lari ku, bahkan kini aku berhasil melewati Jovan dan Rainan.

Sesampainya kami di halte dimana kami biasa menunggu bus atau angkut, kami pun bersamaan mengatur napas.

“A ... Angkot!” Rainan teriak begitu kencang, karena kami hampir saja ketinggalan angkot.

Tanpa menunggu lama lagi kami menghampiri angkot yang sudah berhenti sedikit jauh dari halte.

Sialnya angkot itu penuh lagi. Tapi mau gimana lagi? Kami harus sampai sekolah dengan tepat waktu, karena kami tidak mau membuat masalah di sekolah.

Aku dan Navan terpaksa harus berdiri di pintu dan berdoa tidak akan ada polisi yang menilang angkot kami nanti.

“Pagiku, cerahku, matahari bersinar, ku gendong tas merahku, di pundak.” Aku bersenandung ria saat kakiku berjalan menuju dapur.

Pagi ini aku sedikit senang karena berhasil bangun pagi, tentu saja hari ini aku akan dapat jatah telur yang bagus tanpa ada yang mencurinya setengah.

Ya, hari ini aku sudah berniat dengan sungguh, bahkan aku mandi lebih awal.

Tapi, kaki ku terasa lemah ketika sampai di depan meja makan—dimana Ayah, Rainan, Jovan dan Navan berada—aku heran, aku kira mereka belum bangun.

“Padahal gue udah niat buat bangun pagi, keduluan juga,” cicitku sembari menarik kursi yang sudah biasa menjadi kursi ku saat makan.

Mereka sontak tertawa, bahkan Ayah pun tertawa.

“Pagi kamu jam berapa, Azel? Jam tujuh? Ayam aja jam tujuh udah jemur baju,” kata Ayah, mengejekku tentu saja. Buat mereka itu lucu, tapi buatku itu sangat menyakitkan Oke berlebihan.

“Biasa, 'kan, Azel bangun jam tujuh pas, Yah. Ini jam tujuh dia udah siap,” respon Jovan disetujui oleh yang lainnya.

“Yang penting telur gue aman.” Ya, tujuan aku bangun pagi, 'kan, agar telur sarapan ku aman.

“Adik-adik juga belum bangun, Zel. Makanya aman, untung kita baik hari ini,” kata Navan.

Gue cuman ngangguk dan melanjutkan sarapan gue, begitu juga dengan Ayah dan yang lainnya.


“Yah, kita berangkat!” Teriakku.

“Ya, hati-hati.”

Setelah mengenakan sepatu kita segera beranjak berangkat sekolah, jalan kaki? Tentu tidak. Karena kita akan berangkat dengan kendaraan kebanggaan, yaitu, angkot.

Seperti biasa kita harus ke jalan raya dulu untuk menunggu angkot, jadi mau tidak mau dari panti asuhan kami harus jalan. Tidak jauh, hanya sepuluh menit kalau jalan.

Tapi, hari ini kita hampir terlambat.

“Lari bego!” Teriak Rainan kemudian berlari terlebih dahulu.

“Selain terlambat angkot bakalan penuh, cepetan!” Susul Jovan yang ikutan berlari.

Aku dan Navan masih jalan santai, kemudian aku menoleh ke arah Navan.

“Lo ... Sanggup?” Tanyaku memastikan keadaan Navan.

Navan terlihat pasrah. “Jadi orang susah harus sanggup, toh.”

Setelah mengatakan itu Navan lari menyusul Rainan dan Jovan. Tanpa sengaja senyumku memudar, kalimat Navan begitu dalam.

Tanpa menunggu lama aku pun ikut berlari, aku harus sombong kalau masalah ini, karena aku adalah pelari handal. Bahkan kini aku sudah mengimbangi posisiku dengan Navan.

“Nanti keringat kita kita ubah jadi kesuksesan, ya, Van,” kataku, kemudian menambah kecepatan lari ku, bahkan kini aku berhasil melewati Jovan dan Rainan.

Sesampainya kami di halte dimana kami biasa menunggu bus atau angkut, kami pun bersamaan mengatur napas.

“A ... Angkot!” Rainan teriak begitu kencang, karena kami hampir saja ketinggalan angkot.

Tanpa menunggu lama lagi kami menghampiri angkot yang sudah berhenti sedikit jauh dari halte.

Sialnya angkot itu penuh lagi. Tapi mau gimana lagi? Kami harus sampai sekolah dengan tepat waktu, karena kami tidak mau membuat masalah di sekolah.

Aku dan Navan terpaksa harus berdiri di pintu dan berdoa tidak akan ada polisi yang menilang angkot kami nanti.

“Pagiku, cerahku, matahari bersinar, ku gendong tas merahku, di pundak.” Aku bersenandung ria saat kakiku berjalan menuju dapur.

Pagi ini aku sedikit senang karena berhasil bangun pagi, tentu saja hari ini aku akan dapat jatah telur yang bagus tanpa ada yang mencurinya setengah.

Ya, hari ini aku sudah berniat dengan sungguh, bahkan aku mandi lebih awal.

Tapi, kaki ku terasa lemah ketika sampai di depan meja makan—dimana Ayah, Rainan, Jovan dan Navan berada—aku heran, aku kira mereka belum bangun.

“Padahal gue udah niat buat bangun pagi, keduluan juga,” cicitku sembari menarik kursi yang sudah biasa menjadi kursi ku saat makan.

Mereka sontak tertawa, bahkan Ayah pun tertawa.

“Pagi kamu jam berapa, Azel? Jam tujuh? Ayam aja jam tujuh udah jemur baju,” kata Ayah, mengejekku tentu saja. Buat mereka itu lucu, tapi buatku itu sangat menyakitkan Oke berlebihan.

“Biasa, 'kan, Azel bangun jam tujuh pas, Yah. Ini jam tujuh dia udah siap,” respon Jovan disetujui oleh yang lainnya.

“Yang penting telur gue aman.” Ya, tujuan aku bangun pagi, 'kan, agar telur sarapan ku aman.

“Adik-adik juga belum bangun, Zel. Makanya aman, untung kita baik hari ini,” kata Navan.

Gue cuman ngangguk dan melanjutkan sarapan gue, begitu juga dengan Ayah dan yang lainnya.


“Yah, kita berangkat!” Teriakku.

“Ya, hati-hati.”

Setelah mengenakan sepatu kita segera beranjak berangkat sekolah, jalan kaki? Tentu tidak. Karena kita akan berangkat dengan kendaraan kebanggaan, yaitu, angkot.

Seperti biasa kita harus ke jalan raya dulu untuk menunggu angkot, jadi mau tidak mau dari panti asuhan kami harus jalan. Tidak jauh, hanya sepuluh menit kalau jalan.

Tapi, hari ini kita hampir terlambat.

“Lari bego!” Teriak Rainan kemudian berlari terlebih dahulu.

“Selain terlambat angkot bakalan penuh, cepetan!” Susul Jovan yang ikutan berlari.

Aku dan Navan masih jalan santai, kemudian aku menoleh ke arah Navan.

“Lo ... Sanggup?” Tanyaku memastikan keadaan Navan.

Navan terlihat pasrah. “Jadi orang susah harus sanggup, toh.”

Setelah mengatakan itu Navan lari menyusul Rainan dan Jovan. Tanpa sengaja senyumku memudar, kalimat Navan begitu dalam.

Tanpa menunggu lama aku pun ikut berlari, aku harus sombong kalau masalah ini, karena aku adalah pelari handal. Bahkan kini aku sudah mengimbangi posisiku dengan Navan.

“Nanti keringat kita kita ubah jadi kesuksesan, ya, Van,” kataku, kemudian menambah kecepatan lari ku, bahkan kini aku berhasil melewati Jovan dan Rainan.

Sesampainya kami di halte dimana kami biasa menunggu bus atau angkut, kami pun bersamaan mengatur napas.

“A ... Angkot!” Rainan teriak begitu kencang, karena kami hampir saja ketinggalan angkot.

Tanpa menunggu lama lagi kami menghampiri angkot yang sudah berhenti sedikit jauh dari halte.

Sialnya angkot itu penuh lagi. Tapi mau gimana lagi? Kami harus sampai sekolah dengan tepat waktu, karena kami tidak mau membuat masalah di sekolah.

Aku dan Navan terpaksa harus berdiri di pintu dan berdoa tidak akan ada polisi yang menilang angkot kami nanti.

“Pagiku, cerahku, matahari bersinar, ku gendong tas merahku, di pundak.” Aku bersenandung ria saat kakiku berjalan menuju dapur.

Pagi ini aku sedikit senang karena berhasil bangun pagi, tentu saja hari ini aku akan dapat jatah telur yang bagus tanpa ada yang mencurinya setengah.

Ya, hari ini aku sudah berniat dengan sungguh, bahkan aku mandi lebih awal.

Tapi, kaki ku terasa lemah ketika sampai di depan meja makan—dimana Ayah, Rainan, Jovan dan Navan berada—aku heran, aku kira mereka belum bangun.

“Padahal gue udah niat buat bangun pagi, keduluan juga,” cicitku sembari menarik kursi yang sudah biasa menjadi kursi ku saat makan.

Mereka sontak tertawa, bahkan Ayah pun tertawa.

“Pagi kamu jam berapa, Azel? Jam tujuh? Ayam aja jam tujuh udah jemur baju,” kata Ayah, mengejekku tentu saja. Buat mereka itu lucu, tapi buatku itu sangat menyakitkan Oke berlebihan.

“Biasa, 'kan, Azel bangun jam tujuh pas, Yah. Ini jam tujuh dia udah siap,” respon Jovan disetujui oleh yang lainnya.

“Yang penting telur gue aman.” Ya, tujuan aku bangun pagi, 'kan, agar telur sarapan ku aman.

“Adik-adik juga belum bangun, Zel. Makanya aman, untung kita baik hari ini,” kata Navan.

Gue cuman ngangguk dan melanjutkan sarapan gue, begitu juga dengan Ayah dan yang lainnya.


“Yah, kita berangkat!” Teriakku.

“Ya, hati-hati.”

Setelah mengenakan sepatu kita segera beranjak berangkat sekolah, jalan kaki? Tentu tidak. Karena kita akan berangkat dengan kendaraan kebanggaan, yaitu, angkot.

Seperti biasa kita harus ke jalan raya dulu untuk menunggu angkot, jadi mau tidak mau dari panti asuhan kami harus jalan. Tidak jauh, hanya sepuluh menit kalau jalan.

Tapi, hari ini kita hampir terlambat.

“Lari bego!” Teriak Rainan kemudian berlari terlebih dahulu.

“Selain terlambat angkot bakalan penuh, cepetan!” Susul Jovan yang ikutan berlari.

Aku dan Navan masih jalan santai, kemudian aku menoleh ke arah Navan.

“Lo ... Sanggup?” Tanyaku memastikan keadaan Navan.

Navan terlihat pasrah. “Jadi orang susah harus sanggup, toh.”

Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Ya, dimana hari ini aku akan mulai sekolah kembali di sekolah baru.

Aku sedang berdiri di depan kaca besar di kamarku. Menatap tubuhku yang dibaluti seragam baru sekolah baru. Seragam yang terdiri dari celana, kemeja lengan panjang dan luaran jas berwarna cream, tentu tidak lupa dengan dasi, membuatku terlihat berbeda seperti biasanya.

Seperti dahulu, dahulu aku hanya menggunakan celana abu-abu dan kemeja lengan pendek, sesekali juga aku tidak memakai dasi kalau dasiku hilang.

Setelah puas melihat penampilan terbaruku, aku pun memutuskan untuk keluar kamar, dan menuju meja makan—tentu tidak lupa membawa tas ransel berisikan beberapa buku—dimana orang tua angkat ku sudah menunggu di sana.

Aku tersenyum lalu mengapa mereka, “Selamat pagi, Pa, Ma.” Aku menghentikan langkah ku ketika sampai di depan meja makan.

“Selamat pagi juga, Azel,” sapa Papa dan Mama bersamaan.

“Duduk di situ, ya, di depan mama,” titah Mama.

Aku langsung mengangguk dan menarik kursi yang Mama maksud. Kursi itu ada di hadapan Mama dan di sebelah kanan Papa.

Sarapan berjalan dengan suasana hening, sama seperti di panti asuhan. Tapi bedanya hidangan sarapan yang dihidangkan berbeda. Aku tidak tahu apa temanya, tapi terlihat begitu mewah. Sedangkan kalau di panti asuhan biasanya kami akan makan dengan telur ceplok saja, karena Ayah jarang masak pagi-pagi. Itu pun aku sering enggak kedapatan.

Aku makan dengan begitu hati-hati, mengingat perkataan Rayna semalam, aku harus mengingat tentang etika. Semalam aku juga sudah membaca tentang itu, sebenarnya kalau bukan di acara formal tidak banyak yang harus dilakukan, tapi tetap saja aku harus menjaga sikap ku, 'kan?

Setelah sarapan selesai, Mama mengantarkan aku dan Papa ke depan, Papa mengatakan beberapa hal kepadaku sebelum dia berangkat dengan mobilnya.

Tinggallah aku dengan Mama, Mama tersenyum kepadaku kemudian dia mengusap telapak tangan kanan ku.

“Nanti kalau ada apa-apa langsung bilang Mama, ya,” katanya, terdengar begitu tulus.

Aku mengangguk. “Pasti, terima kasih, Ma. Azel berangkat, ya.”

Setelah berpamitan dengan Mama aku pun masuk ke dalam mobil, yang akan menjadi kendaraan ku ke sekolah setiap harinya.

Rasanya aneh ... Biasanya aku hanya menaiki angkutan umum—angkot atau bus—itu pun harus jalan terlebih dahulu ke jalan raya. Mana sesekali angkotnya penuh dan bikin keringatan, tapi hari ini semuanya berubah total.

Rasanya seperti mimpi, mimpi yang ingin aku jalani selamanya. Kalau benar ini mimpi, aku sama sekali tidak mau bangun dan kembali ke realita.

Aku sudah mendengar ketukan di jendela beberapa kali, awalnya aku biasa saja, tapi setelah lima menit aku ketakutan, apalagi ini sudah begitu larut.

Tapi ternyata ketakutan itu harus aku ubah menjadi kekesalan, ternyata itu Rayna. Ada apa gadis itu mengetuk jendela kamar seorang pria malam-malam.

Daripada dia ngamuk aku pun beranjak untuk membukakan jendela kamarku.

Tidak terduga Rayna langsung manjat dan masuk ke dalam kamarku. Aku terbelalak kaget tentu saja.

“Udah lihat barang-barang punya, lo?” Tanyanya to the point'.

Aku masih terdiam di tempat, karena masih terkejut dengan tingkah Rayna.

“Woi.” Rayna menjentikkan jarinya di depan wajahku.

“Ya, udah.” Aku menjawab asal-asalan, soalnya aku juga belum mengerti apa yang dia tanya.

“Bagus. Gue cuman mau bilang, apapun yang lo pelajari besok di sekolah ... .”

Ah, ternyata sekolah, dan aku sekarang mengerti barang-barang yang dimaksud adalah perlengkapan sekolah yang kini ada di atas kasur ku.

“Jangan pernah dilupain,” sambungnya sembari menunjuk kepalanya menggunakan telunjuk kanannya.

Aku menghela napas panjang sambil melangkahkan kaki dan duduk di atas kasurku. Aku meraih name tag yang bertuliskan nama ku Azel Khaisan Adhitama.

“Tanpa lo bilang juga gue bakalan ngelakuin hal itu.”

Rayna tiba-tiba saja duduk di sampingku, di atas kasurku tentu saja.

“Bagus, jangan main-main.”

“Ya ... Ya ... .”

Aku teringat akan satu hal, segera aku membalikkan tubuhku dan meraih sebuah berkas di sana.

“Apa yang dipelajari di sekolah bisnis dan manajemen?” Tanyaku, tentang sekolah baru yang akan aku datangi besok. Anehnya itu bukan sekolah biasa, yang seperti sebelumnya, melainkan sekolah bisnis dan manajemen.

Rayna terdiam sejenak, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.

“Kearsipan, kewirausahaan, administrasi perkantoran, keuangan, semuanya tentang bisnis management, dah,” jawab Rayna.

Aku sedikit ragu dengan jawabannya. Tapi juga sedikit percaya.

“Hal dasar yang harus lo rubah, Zel.”

Aneh, ini pertama kalinya dia menyebutkan namaku.

“Tata krama dasar, semua tata krama etika lo harus ingat di luar kepala. Semuanya, manner dalam berbicara, berpakaian, makan, lo harus rubah dari apapun yang lo pernah lakuin di panti asuhan.”

Dari cara Rayna berbicara sepertinya dia sedang memperingati aku, tapi kenapa?

“Ok.”

“Lo—”

Sebelum Rayna melanjutkan ucapannya, suara ketukan pintu terdengar dengan jelas.

Rayna dengan cepat beranjak dari sana, bahkan dia tidak pamit kepadaku, dan langsung keluar dari jendela. Tanpa menunggu lagi aku segera membukakan pintu, ternyata itu Mama.

“Selamat malam, Ma,” sapa ku dengan begitu ramah.

Mama tersenyum entah mengapa rasanya sangat nyaman.

“Belum tidur, ya, Mama kira sudah. Kenapa?”

“Gatau, Ma, aneh aja,” jawabku.

Mama mengangguk seakan paham dengan yang aku rasakan.

“Mama cuman mau ngecek kamu aja, sayangnya Papa masih kerja di ruangannya. Ya, sudah, tidur, ya? Besok, 'kan, harus sekolah. Biar enggak terlambat.”

“Iya, Ma.”

“Besok diantar sama supir, ya?”

“Supir?” Pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulutku.

“Iya, memang kenapa?”

“Tidak, Ma. Kalau begitu Azel izin tidur, ya, Ma. Selamat malam.”

Setelah berpamitan dengan Mama, aku kembali menutup pintu kamarku. Aneh, tapi tidak aneh juga. Dulu Rainan pernah bilang kalau diadopsi akan menyenangkan, bukan? Dapat kasih sayang dan bahkan diantar ke sekolah.

Aku segera menggelengkan kepala, apa yang aku pikirkan, sekarang aku sudah kelas dua SMA, berharap diantar dan dibuatkan bekal? Balik ke sekolah dasar saja.

Aku pun melangkah untuk menutup gorden jendela. Aku terkejut untuk kesekian kalinya, karena ternyata Rayna masih di sana.

“Good luck.” Kira-kira itu yang dia ucapkan, karena aku pun tidak bisa dengar dengan jelas.

Good luck untuk apa? Aku semakin penasaran, apa yang akan aku hadapi setelah ini.

Setelah membalas pesan dari Rayna, aku segera beranjak dari kasur dan membukakan pintu, benar saja ada seorang perempuan yang tingginya ... Masih tinggian aku, di depan pintu.

Tanpa salam dia masuk ke kamarku, aku semakin heran, yang aneh sebenarnya aku atau dia.

“Gak sopan,” cicitku pelan, takut dia dengar.

“Apa?” Tanya perempuan yang bernama Rayna itu, dia bertanya dengan sangat ketus, bulu kudukku berdiri seketika.

“Galak bener, lo gak sopan,” jawabku mengulang cicitan ku tadi dengan suara yang lebih lantang.

“Dih,” ucap Rayna tidak terima. “Sini lo ikut gue,” sambung Rayna sembari melangkah keluar kamar ku.

Aku menghela napas panjang, ini belum hari pertama tapi aku sudah dihadapkan dengan manusia seperti Rayna.

Sebenarnya aku malas, tapi aku tetap mengikuti langkah Rayna. Dia membawaku hingga keluar rumah.

“Mau kemana, sih?” Tanyaku sembari menyesuaikan langkah dengan Rayna.

“Keliling rumah,” jawab Rayna dengan santai. “Lo kira gue dibayar buat apa?”

Hah? Dia dibayar? Oleh siapa? Aku jadi heran sebenarnya dia ini siapa, tapi aku tidak berani bertanya.

“Nama gue Rayna, lo bisa panggil Ray, atau ...” Rayna menggantung ucapannya.

Atau apa? Atau maung? Sepertinya seru kalau aku jawab begitu, tapi aku takut duluan. Coba saja kalau dia Rainan pasti sudah kujawab.

“Panggil Ray aja lah, ribet.”

Lah, kan dia yang ribet? Lagi dan lagi aku hanya bisa menghela napas panjang.

Dia tidak bicara apapun setelah memperkenalkan dirinya, kita hanya mengelilingi halaman rumah yang begitu luas, dari halaman depan sampai kini di halaman belakang.

Sangat indah rasanya mataku begitu dimanjakan, ada taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga dan patung, tentu juga tidak lupa dengan kolam berenang yang luas, dan aku tertarik dengan satu hal, yaitu rumah pohon yang tidak jauh dari tempatku berada.

“Lo hapal biar enggak kesasar nanti, by the way lo dari panti asuhan mana?” Tanya Rayna setelah lama bungkam.

Aku sedikit mengangkat alis karena sedikit aneh ketika Rayna jadi sedikit ramah seperti ini.

“Panti asuhan Harapan dan Kasih,” jawabku.

“Oh.”

“Lo tau?”

“Kagak.”

Aku hampir tersedak air liurku sendiri, aku kira dia tahu saat mendengar tanggapannya yang sombong seakan-akan tahu.

“Padahal gue hapal panti asuhan di kota ini,” katanya terdengar sombong.

Katanya hapal tapi buktinya dia tidak tahu panti asuhan tempatku berasal. apa panti asuhan tempatku berasal yang tidak terkenal?

“Sebutin,” tantangku.

Dia menghentikan langkahnya tepat di depan kolam renang, aku pun mau tidak mau harus menghentikan langkahku.

Di luar ekspektasi, Rayna benar-benar mengucap beberapa nama panti asuhan, ada sekitar sepuluh nama, tapi tidak pernah terdengar olehku sebelumnya.

“Itu beneran panti asuhan?” Tanyaku, aku menatap dia sejenak.

Rayna menoleh menatapku sembari memiringkan kepalanya, lalu dia menjawab, “Enggak, gue ngarang.” Lalu dia pun kembali melangkahkan kakinya.

Ingin sekali aku mengumpat, tapi rasanya aku harus menahan diri. Tidak hanya ingin mengumpat, aku juga ingin mendorong dia ke dalam kolam renang sekarang juga.


Setelah mengelilingi rumah yang begitu besar, perutku terasa lapar, aku juga sudah disuruh makan oleh maid yang ada di rumah itu.

Rasanya aneh, karena aku hanya sendirian, aku ingin menunggu Mama dan Papa, tapi katanya tidak usah, karena kemungkinan mereka akan pulang malam dan sudah makan di luar.

Makan malam terasa sangat aneh walaupun hidangan yang dihidangkan begitu menggiurkan dan enak. Rasanya aneh dan begitu sepi. Kalau dulu setelah makan akan ada omongan antara aku dan saudara-saudara ku bahkan Ayah, sekarang sudah tidak.

Biasanya aku akan mendengar Rainan, Jovan dan Navan akan menyombongkan diri dengan barang-barang pemberian dari donatur, sekarang tidak ada.

Aku harus bersyukur, kan? Karena aku tidak perlu lagi sakit hati. Tapi, nyatanya sangat aneh.

Setelah membalas pesan dari Rayna, aku segera beranjak dari kasur dan membukakan pintu, benar saja ada seorang perempuan yang tingginya ... Masih tinggian aku, di depan pintu.

Tanpa salam dia masuk ke kamarku, aku semakin heran, yang aneh sebenarnya aku atau dia.

“Gak sopan,” cicitku pelan, takut dia dengar.

“Apa?” Tanya perempuan yang bernama Rayna itu, dia bertanya dengan sangat ketus, bulu kudukku berdiri seketika.

“Galak bener, lo gak sopan,” jawabku mengulang cicitan ku tadi dengan suara yang lebih lantang.

“Dih,” ucap Rayna tidak terima. “Sini lo ikut gue,” sambung Rayna sembari melangkah keluar kamar ku.

Aku menghela napas panjang, ini belum hari pertama tapi aku sudah dihadapkan dengan manusia seperti Rayna.

Sebenarnya aku malas, tapi aku tetap mengikuti langkah Rayna. Dia membawaku hingga keluar rumah.

“Mau kemana, sih?” Tanyaku sembari menyesuaikan langkah dengan Rayna.

“Keliling rumah,” jawab Rayna dengan santai. “Lo kira gue dibayar buat apa?”

Hah? Dia dibayar? Oleh siapa? Aku jadi heran sebenarnya dia ini siapa, tapi aku tidak berani bertanya.

“Nama gue Rayna, lo bisa panggil Ray, atau ...” Rayna menggantung ucapannya.

Atau apa? Atau maung? Sepertinya seru kalau aku jawab begitu, tapi aku takut duluan. Coba saja kalau dia Rainan pasti sudah kujawab.

“Panggil Ray aja lah, ribet.”

Lah, kan dia yang ribet? Lagi dan lagi aku hanya bisa menghela napas panjang.

Dia tidak bicara apapun setelah memperkenalkan dirinya, kita hanya mengelilingi halaman rumah yang begitu luas, dari halaman depan sampai kini di halaman belakang.

Sangat indah rasanya mataku begitu dimanjakan, ada taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga dan patung, tentu juga tidak lupa dengan kolam berenang yang luas, dan aku tertarik dengan satu hal, yaitu rumah pohon yang tidak jauh dari tempatku berada.

“Lo hapal biar enggak kesasar nanti, by the way lo dari panti asuhan mana?” Tanya Rayna setelah lama bungkam.

Aku sedikit mengangkat alis karena sedikit aneh ketika Rayna jadi sedikit ramah seperti ini.

“Panti asuhan Harapan dan Kasih,” jawabku.

“Oh.”

“Lo tau?”

“Kagak.”

Aku hampir tersedak air liurku sendiri, aku kira dia tahu saat mendengar tanggapannya yang sombong seakan-akan tahu.

“Padahal gue hapal panti asuhan di kota ini,” katanya terdengar sombong.

Katanya hapal tapi buktinya dia tidak tahu panti asuhan tempatku berasal. apa panti asuhan tempatku berasal yang tidak terkenal?

“Sebutin,” tantangku.

Dia menghentikan langkahnya tepat di depan kolam renang, aku pun mau tidak mau harus menghentikan langkahku.

Di luar ekspektasi, Rayna benar-benar mengucap beberapa nama panti asuhan, ada sekitar sepuluh nama, tapi tidak pernah terdengar olehku sebelumnya.

“Itu beneran panti asuhan?” Tanyaku, aku menatap dia sejenak.

Rayna menoleh menatapku sembari memiringkan kepalanya, lalu dia menjawab, “Enggak, gue ngarang.” Lalu dia pun kembali melangkahkan kakinya.

Ingin sekali aku mengumpat, tapi rasanya aku harus menahan diri. Tidak hanya ingin mengumpat, aku juga ingin mendorong dia ke dalam kolam renang sekarang juga.


Setelah mengelilingi rumah yang begitu besar, perutku terasa lapar, aku juga sudah disuruh makan oleh maid yang ada di rumah itu.

Rasanya aneh, karena aku hanya sendirian, aku ingin menunggu Mama dan Papa, tapi katanya tidak usah, karena kemungkinan mereka akan pulang malam dan sudah makan di luar.

Makan malam terasa sangat aneh walaupun hidangan yang dihidangkan begitu menggiurkan dan enak. Rasanya aneh dan begitu sepi. Kalau dulu setelah makan akan ada omongan antara aku dan saudara-saudara ku bahkan Ayah, sekarang sudah tidak.

Biasanya aku akan mendengar Rainan, Jovan dan Navan akan menyombongkan diri dengan barang-barang pemberian dari donatur, sekarang tidak ada.

Aku harus bersyukur, kan? Karena aku tidak perlu lagi sakit hati. Tapi, nyatanya sangat aneh.

Aku sedikit takut untuk ke meja makan, untuk makan siang. Takut nanti mereka bertiga akan mengadu ke Ayah atau malah membalas kejahilanku. Padahal aku cuman mau ngelakuin ini sebelum mereka pergi saja.

Tapi ternyata aku tidak tahan, perutku sudah menyanyi dengan merdu. Aku pun melangkahkan kaki sembari bersenandung, sesekali aku menjahili adik-adik yang sedang main di ruang tengah, sepertinya mereka sudah selesai makan.

Biar ku tebak di meja makan tinggal Rainan, Jovan, Navan dan Ayah.

Ternyata dugaan ku sangat benar, ketika langkahku sampai di depan meja makan, aku melihat mereka sedang menikmati makan siangnya.

“Azel sini duduk makan,” kata Ayah. Tanpa menunggu aku langsung menarik kursi yang ada di samping Rainan, dan meraih piring yang ada di atas meja makan.

Seperti biasa tidak akan ada pembicaraan selagi kegiatan makan berlangsung, jadi aku harus dengan cepat menghabiskan makanannya sebelum yang lain selesai.

Tapi anehnya mereka tidak langsung beranjak dari sana, aku berusaha untuk tidak menatap mereka, terlebih Jovan dan Navan yang duduk di depan ku.

Sepertinya Ayah merasa ada yang aneh, karena saat mataku tidak sengaja menatap Ayah, dia sedang menatap aku, Rainan, Jovan dan Navan secara bergantian.

“Kalian kenapa?” Tanya Ayah setelah menghabiskan makanannya.

“Azel jahil lagi, Yah,” adu Rainan. “Masa bohong ke Jovan sama Navan.”

“Terus ngefitnah Navan lagi, Yah,” tambah Navan.

Kalau Jovan hanya bagian mengangguk saja. Aku yang baru saja menghabiskan makananku, hanya bisa tertawa sambil menggaruk leher belakangku yang tidak gatal.

Ekspresi Ayah sama sekali tidak terduga, bukannya marah Ayah malah tertawa. Aku dan yang lainnya sama-sama terheran.

“Lagian itu Azel, apa yang kalian harapkan, hm?”

Ternyata Ayah sama saja seperti yang lainnya. Aku mendecak kesal tentu saja, apalagi mereka tertawa seakan mengejekku.

“Tapi ngeselin, Yah,” kata Rainan.

“Bercanda doang, elah,” jawabku, aku harus membela diri, walaupun sudah diejek.

Mendengar jawabanku Rainan menoleh memberikan tatapan tajam kepadaku. Tak mau kalah aku juga menatapnya dengan tatapan tajam ku.

“Gak gue masukin lagi ke grup, mampus,” ancamnya.

“Mampus, nyenyenye,” responku mengejek Rainan. Rainan hendak membalas tapi dia keduluan sama suara Ayah.

“Navan gimana bajunya? Muat?” Tanya Ayah.

Aku mengernyit sepertinya ada yang aku lewatkan. Aku lihat ekspresi Navan begitu senang ketika ditanyakan hal itu.

“Muat Ayah,” jawab Navan.

“Sepatunya juga muat sama Jovan, Ayah, om Jeffran baik banget, ya,” timbal Jovan.

Aku melihat ada yang aneh karena ekspresi Ayah yang tiba-tiba saja berubah.

“I-iya, syukurlah ...”

Ada yang aneh, tidak biasanya Ayah seperti ini. Tapi mau bagaimanapun dan apapun itu ... Jovan dan Navan mendapatkan sepatu dan baju, biar ku tebak pasti Rainan juga, lantas aku? Ah, seperti biasanya, tidak akan ada yang memberi hal-hal seperti itu kepadaku.

Sepertinya aku harus mengingat suatu hal, aku ini Azel Khaisan, bukan Ainrey Jovan, Ainsley Navan, ataupun Rainan Arham yang hidupnya lebih beruntung.