Panglimakun

Itu hidupku yang dulu, sebelum aku diadopsi dan tinggal di rumah yang sebenarnya.

Aku Azel Khaisan, di sinilah aku sekarang, di rumah besar milik keluarga Adhitama. Aku sudah resmi menjadi anak angkat keluarga Adhitama.

Dulu hidupku penuh dengan rasa iri, bahkan sesekali benci dengan teman yang sudah aku anggap saudara sendiri.

Rainan, Jovan, Navan, setelah mereka diadopsi aku tidak sering mengabari mereka, dan mereka pun demikian. Aku mengira kalau kehidupan mereka sudah lebih bahagia dibandingkan aku, jadi mereka melupakanku.

Setiap harinya aku dikuasai rasa benci dan iri, dan kini semuanya terbayar. Aku sama sekali tidak bisa menahan senyumku ketika kedua kakiku benar-benar menginjak rumah keluarga Adhitama yang sekarang jadi rumahku juga.

Mereka —orang tua angkatku— benar-benar memperlakukan ku dengan baik. Selama perjalanan tadi mereka sering mengajakku ngobrol, dan Mama memanggilku dengan sebutan 'Nak', panggilan yang tidak pernah aku dengar sebelumnya.

“Kamar kamu ada di sana, masuk aja istirahat, ya,” kata Mama—Lily Allen— kepadaku.

Aku tersenyum sembari menatap Mama. Rasanya aneh, tapi menenangkan.

“Terima kasih, Tan, eh, Ma,” jawabku sedikit kikuk karena masih canggung.

Mama tertawa mendengarnya, tawanya begitu elegan, cocok dengan wajah cantik dan aura yang dia pancarkan.

“Mulai dibiasakan, ya, ke Papa juga gitu. Sayangnya Papa langsung kerja, nih, jadi nggak bisa ajakin kamu keliling rumah. Tapi nanti Mama suruh seseorang.

Aku mengangguk. Setelah berpamitan aku pergi memasuki kamar yang ditunjuk oleh Mama tadi, kamar luas yang akan menjadi kamarku. Benar-benar seperti yang ada di imajinasiku.

“Dreams come true,” monologku begitu senang. Akhirnya, doa-doaku terjawab sudah.

Hidupku akan dimulai lagi dari awal, di rumah yang pernah menjadi imajinasiku. Aku jadi penasaran, apa hidupku akan seberuntung Rainan, Jovan dan Navan. Atau akan menjadi menyakitkan di rumah ini daripada di panti asuhan.

Padahal tadi aku berniat untuk tidur tapi entah kenapa mataku rasanya berat, dan akhirnya aku memilih untuk keluar rumah, duduk di depan rumah. Tidak peduli dengan gelapnya malam, setidaknya masih ada bulan dan cahaya lampu yang menemani ku.

Aku menekuk kedua kaki dan memeluknya dengan erat, entah apa yang membuatku seperti ini, aku sama sekali tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Setelah mendengar kalau Rainan akan diadopsi aku tiba-tiba jadi begini. Satu hal terlintas di benakku, aku iri dengan keberuntungan yang dimiliki Rainan.

Aku sering lihat Rainan mendapatkan barang-barang bagus yang aku ketahui dari donatur, ternyata itu donatur tetapnya. Di panti asuhan memang ada donatur tetap yang adil, tapi dia lebih mementingkan adik-adikku yang lain, sedangkan aku, Rainan, Jovan dan Navan hanya bisa mengandalkan uang dari hasil jualan dengan Ayah. Tapi, aku tidak seberuntung Rainan, Jovan dan Navan yang tanpa sepengetahuanku ada orang baik yang membantu mereka.

Aku menghela napas panjang. “Kenapa gue begini, ya,” monolog ku.

“Lo kenapa?”

Aku terlonjak kaget dan sontak menoleh ke belakang, aku lihat Jovan sedang berdiri di pintu sembari menatapku. Aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan, jadi aku memilih untuk tersenyum, senyum yang biasa aku kembangkan kepada siapapun.

“Nggak apa-apa,” jawabku berbohong tentu saja. Jovan berjalan dan duduk di samping ku, aku sedikit kaget tapi berusaha untuk biasa saja. Setelah Jovan duduk di samping ku, aku mendengar dia menghela napas begitu panjang.

“Kalau ada apa-apa cerita aja, sih, Zel. Di antara kita cuman lo yang jarang cerita, keluh-kesah gitu,” katanya kepadaku, dia mengatakan itu tanpa menatapku—tatapannya lurus ke depan.

Aku tersenyum kecut, haruskah aku mengatakan kalau aku iri kepada mereka, sepertinya lebih baik tidak, ‘kan. Lagian nasib kita sama, sama-sama tidak tahu siapa orang tua kandung kita dan sama-sama tinggal di panti asuhan.

“Lo kenapa belum tidur, dah?” tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan. Sedikit aku berharap Jovan tidak akan bertanya lagi.

Jovan tertawa, aku mengernyit kebingungan, kenapa dia tertawa apa yang dia tertawakan. Perasaan pertanyaanku biasa saja. Jovan menatapku, dia tersenyum, tidak hanya bibirnya tapi matanya pun ikut tersenyum, rasanya sangat jarang melihat Jovan seperti ini. Dia lebih sering memasang wajah serius atau khawatir terlebih kalau Navan di sisinya.

“Lo yang paling hebat kalau lagi nutupin sesuatu.”

“Lo juga, Jo.”

Kita tertawa bersamaan, entah apa yang kita tertawakan. Ah, mungkin saja nasib yang sama.

“Tadi gue dikasih sepatu sama orang baik, rasanya gue seneng banget pertama kali pakai barang mahal,” ucap Jovan terdengar begitu ceria.

Aku sangat yakin dia tidak berbohong tentang perasaannya sekarang. Entah mengapa rasanya begitu hangat ketika melihat Jovan tersenyum dan bahagia seperti ini. Aku jadi berpikir kalau memang mereka akan diadopsi oleh orang lain nanti, aku tidak boleh egois, ‘kan? Mereka bahagia dengan begitu, walau nanti aku yang akan merasakan kesedihan dan juga kesepian di rumah. Bukan rumah, tapi … panti asuhan.

Padahal tadi aku berniat untuk tidur tapi entah kenapa mataku rasanya berat, dan akhirnya aku memilih untuk keluar rumah, duduk di depan rumah. Tidak peduli dengan gelapnya malam, setidaknya masih ada bulan dan cahaya lampu yang menemani ku.

Aku menekuk kedua kaki dan memeluknya dengan erat, entah apa yang membuatku seperti ini, aku sama sekali tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Setelah mendengar kalau Rainan akan diadopsi aku tiba-tiba jadi begini. Satu hal terlintas di benakku, aku iri dengan keberuntungan yang dimiliki Rainan.

Aku sering lihat Rainan mendapatkan barang-barang bagus yang aku ketahui dari donatur, ternyata itu donatur tetapnya. Di panti asuhan memang ada donatur tetap yang adil, tapi dia lebih mementingkan adik-adikku yang lain, sedangkan aku, Rainan, Jovan dan Navan hanya bisa mengandalkan uang dari hasil jualan dengan Ayah. Tapi, aku tidak seberuntung Rainan, Jovan dan Navan yang tanpa sepengetahuanku ada orang baik yang membantu mereka.

Aku menghela napas panjang. “Kenapa gue begini, ya,” monolog ku.

“Lo kenapa?”

Aku terlonjak kaget dan sontak menoleh ke belakang, aku lihat Jovan sedang berdiri di pintu sembari menatapku. Aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan, jadi aku memilih untuk tersenyum, senyum yang biasa aku kembangkan kepada siapapun.

“Nggak apa-apa,” jawabku berbohong tentu saja. Jovan berjalan dan duduk di samping ku, aku sedikit kaget tapi berusaha untuk biasa saja. Setelah Jovan duduk di samping ku, aku mendengar dia menghela napas begitu panjang.

“Kalau ada apa-apa cerita aja, sih, Zel. Di antara kita cuman lo yang jarang cerita, keluh-kesah gitu,” katanya kepadaku, dia mengatakan itu tanpa menatapku—tatapannya lurus ke depan.

Aku tersenyum kecut, haruskah aku mengatakan kalau aku iri kepada mereka, sepertinya lebih baik tidak, ‘kan. Lagian nasib kita sama, sama-sama tidak tahu siapa orang tua kandung kita dan sama-sama tinggal di panti asuhan.

“Lo kenapa belum tidur, dah?” tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan. Sedikit aku berharap Jovan tidak akan bertanya lagi.

Jovan tertawa, aku mengernyit kebingungan, kenapa dia tertawa apa yang dia tertawakan. Perasaan pertanyaanku biasa saja. Jovan menatapku, dia tersenyum, tidak hanya bibirnya tapi matanya pun ikut tersenyum, rasanya sangat jarang melihat Jovan seperti ini. Dia lebih sering memasang wajah serius atau khawatir terlebih kalau Navan di sisinya.

“Lo yang paling hebat kalau lagi nutupin sesuatu.”

“Lo juga, Jo.”

Kita tertawa bersamaan, entah apa yang kita tertawakan. Ah, mungkin saja nasib yang sama.

“Tadi gue dikasih sepatu sama orang baik, rasanya gue seneng banget pertama kali pakai barang mahal,” ucap Jovan terdengar begitu ceria.

Aku sangat yakin dia tidak berbohong tentang perasaannya sekarang. Entah mengapa rasanya begitu hangat ketika melihat Jovan tersenyum dan bahagia seperti ini. Aku jadi berpikir kalau memang mereka akan diadopsi oleh orang lain nanti, aku tidak boleh egois, ‘kan? Mereka bahagia dengan begitu, walau nanti aku yang akan merasakan kesedihan dan juga kesepian di rumah. Bukan rumah, tapi … panti asuhan.

Aku dari tadi tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu kamar Ayah. Entah kenapa aku gugup sekali, padahal ini bukan pertama kali aku dipanggil oleh Ayah.

Notifikasi di ponsel ku membuat ku terlonjak kaget. Ternyata itu pesan dari Ayah, tanpa sengaja aku membalas pesannya dengan tidak sopan, nasibku benar-benar sudah di ujung tanduk harimau!

Tanpa menunggu lama lagi aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ayah, dan membukanya perlahan.

“Ayah, ini Azel,” kataku menyapa.

Aku lihat Ayah sedang duduk di tepi kasur, dia tersenyum menyambut ku.

“Sini duduk,” titahnya sambil menepuk tepi kasur di sampingnya.

Aku pun langsung berjalan ke sana, tidak lupa aku menutup pintu lagi tentunya. Entah kenapa jantungku berdetak dua ribu kali lebih cepat kala aku sudah duduk di samping Ayah.

Rasanya tidak bisa aku jelaskan pakai kata-kata. Aku memainkan jari-jari karena gugup, apalagi sekarang Ayah hanya diam.

“Ada apa Ayah?” tanyaku memberanikan diri untuk bertanya duluan.

Ayah menolehkan kepalanya, kini matanya beradu tatap denganku, entah kenapa aku dengan refleks menarik pandanganku agar tidak beradu tatap dengan Ayah.

“Tadi ada donatur datang ke panti asuhan,” jawab Ayah.

Lantas mengapa? Biasanya juga sering, 'kan? Aku mulai membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi.

“Mereka orang yang mau adopsi Rainan,” sambung Ayah.

Aku terlonjak, sontak aku menoleh kembali beradu tatap dengan mata Ayah.

“Rainan mau diadopsi?” tanyaku memastikan, siapa tahu aku hanya salah mendengar, 'kan.

Ternyata tidak, Ayah mengangguk begitu yakin. Kabar apa ini? Aku memang sering membuat Rainan kesal, tapi aku belum siap kalau harus berpisah dengan Rainan, sepertinya aku harus berubah.

“Kenapa?”

“Ya, ini, 'kan, panti asuhan, Azel. Ada kalanya orang tua di luar sana mengadopsi anak-anak dari sini. Dan, enggak selamanya Ayah bisa bersama kalian semua.”

Ya, aku tahu itu. Tapi kenapa harus Rainan? Aku tahu kalau di panti asuhan tidak ada yang menetap selamanya, aku sering melihat adik-adik ku yang lainnya diadopsi oleh orang kaya, tapi aku tidak pernah menyangka kalau Rainan pun akan diadopsi.

Aku menghela napas kasar, lagian aku bisa apa kalau memang ada orang yang akan mengadopsi Rainan.

“Kenapa bilang ke Azel, Yah?” tanyaku penasaran. Padahal, 'kan, bisa saja Ayah memberi yang lainnya duluan.

“Ayah juga akan bilang ke Jovan dan Navan.”

Aku sedikit terkejut, apakah kali ini aku yang tahu pertama? Biasanya aku adalah orang terakhir. Tapi, kalau informasinya seperti ini aku lebih berharap tidak tahu sama sekali.

Tapi aku penasaran apa Rainan juga sudah tahu?

“Rainan juga tahu?” tanyaku kepada Ayah.

Ayah mengangguk. Ternyata Rainan sudah tahu, lantas mengapa dia tidak jujur dan berlagak semuanya baik-baik saja.

Mungkin saja ini kabar baik bagi dia, kan. Karena sudah dari lama dia menginginkan hal ini, bukan hanya dia tapi aku juga.

Aku menghela napas panjang lagi, rasanya sangat ingin keluar dari sini sekarang.

“Jovan dan Navan juga?” Aku bertanya dengan suara kecil berharap Ayah tidak mendengarnya. Ternyata Ayah mendengar dan menjawab dengan anggukan.

Begitu ternyata Rainan, Jovan dan Navan menerima kabar bahagia, tapi aku sangat tidak.

Tapi dipikir-pikir kalau Rainan, Jovan dan Navan diadopsi, barang-barang dari donatur bakalan jadi milik aku sepenuhnya, 'kan?

“Kalo gitu barang pemberian donatur bakalan jadi milik Azel, 'kan, Yah?” Tanyaku.

Ayah tidak langsung menjawab, Ayah hanya tersenyum, senyum yang sulit aku pahami.

“Yah?”

Aku mendengar Ayah menghela napas begitu kasar. Sepertinya dari helaan napas itu, aku sudah tahu apa jawabannya.

“Donatur yang selama ini kasih untuk mereka bertiga, itu dari orang-orang yang akan mengadopsi mereka, kecuali Rainan.”

Ayah menjawab tanpa menatapku. Aku tersenyum simpul, seharusnya aku sadar dari dulu.

Aku tidak pernah dapat baju baru, aku tidak pernah dapat sepatu baru, aku tidak pernah dapat makanan enak seperti mereka. Harusnya aku sadar, 'kan?

Aku menghela napas kemudian menepuk kedua paha ku sekalian.

“Harusnya Azel sadar diri, udah gede juga,” kata ku, aku iringi kekehan agar terdengar tidak begitu serius.

Tapi sepertinya Ayah menganggap itu serius.

“Kamu bisa minta ke Ayah, Azel. Apapun yang kamu minta Ayah usahain untuk kamu.”

Aku tidak menanggapi itu, aku berdiri menatap Ayah, kemudian berkata, “Azel bakalan bersikap baik ke Rainan, bahkan Jovan dan Navan, sampai mereka diadopsi, selamat malam, Ayah.”

Tanpa menunggu tanggapan Ayah aku melangkah keluar dari kamar Ayah. Lagian, ngapain lagi aku di sana, meminta apapun yang aku mau? Tidak mungkin, bahkan Ayah tidak bisa memenuhi keinginan dirinya sendiri.

Ayah memanggilku hanya untuk bilang kalau kehidupan Rainan akan jadi lebih baik nantinya, dan aku akan lebih menderita. Di panti asuhan tanpa ada kebahagiaan.

Aku dari tadi tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu kamar Ayah. Entah kenapa aku gugup sekali, padahal ini bukan pertama kali aku dipanggil oleh Ayah.

Notifikasi di ponsel ku membuat ku terlonjak kaget. Ternyata itu pesan dari Ayah, tanpa sengaja aku membalas pesannya dengan tidak sopan, nasibku benar-benar sudah di ujung tanduk harimau!

Tanpa menunggu lama lagi aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ayah, dan membukanya perlahan.

“Ayah, ini Azel,” kataku menyapa.

Aku lihat Ayah sedang duduk di tepi kasur, dia tersenyum menyambut ku.

“Sini duduk,” titahnya sambil menepuk tepi kasur di sampingnya.

Aku pun langsung berjalan ke sana, tidak lupa aku menutup pintu lagi tentunya. Entah kenapa jantungku berdetak dua ribu kali lebih cepat kala aku sudah duduk di samping Ayah.

Rasanya tidak bisa aku jelaskan pakai kata-kata. Aku memainkan jari-jari karena gugup, apalagi sekarang Ayah hanya diam.

“Ada apa Ayah?” tanyaku memberanikan diri untuk bertanya duluan.

Ayah menolehkan kepalanya, kini matanya beradu tatap denganku, entah kenapa aku dengan refleks menarik pandanganku agar tidak beradu tatap dengan Ayah.

“Tadi ada donatur datang ke panti asuhan,” jawab Ayah.

Lantas mengapa? Biasanya juga sering, 'kan? Aku mulai membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi.

“Mereka orang yang mau adopsi Rainan,” sambung Ayah.

Aku terlonjak, sontak aku menoleh kembali beradu tatap dengan mata Ayah.

“Rainan mau diadopsi?” tanyaku memastikan, siapa tahu aku hanya salah mendengar, 'kan.

Ternyata tidak, Ayah mengangguk begitu yakin. Kabar apa ini? Aku memang sering membuat Rainan kesal, tapi aku belum siap kalau harus berpisah dengan Rainan, sepertinya aku harus berubah.

“Kenapa?”

“Ya, ini, 'kan, panti asuhan, Azel. Ada kalanya orang tua di luar sana mengadopsi anak-anak dari sini. Dan, enggak selamanya Ayah bisa bersama kalian semua.”

Ya, aku tahu itu. Tapi kenapa harus Rainan? Aku tahu kalau di panti asuhan tidak ada yang menetap selamanya, aku sering melihat adik-adik ku yang lainnya diadopsi oleh orang kaya, tapi aku tidak pernah menyangka kalau Rainan pun akan diadopsi.

Aku menghela napas kasar, lagian aku bisa apa kalau memang ada orang yang akan mengadopsi Rainan.

“Kenapa bilang ke Azel, Yah?” tanyaku penasaran. Padahal, 'kan, bisa saja Ayah memberi yang lainnya duluan.

“Ayah juga akan bilang ke Jovan dan Navan.”

Aku sedikit terkejut, apakah kali ini aku yang tahu pertama? Biasanya aku adalah orang terakhir. Tapi, kalau informasinya seperti ini aku lebih berharap tidak tahu sama sekali.

Tapi aku penasaran apa Rainan juga sudah tahu?

“Rainan juga tahu?” tanyaku kepada Ayah.

Ayah mengangguk. Ternyata Rainan sudah tahu, lantas mengapa dia tidak jujur dan berlagak semuanya baik-baik saja.

Mungkin saja ini kabar baik bagi dia, kan. Karena sudah dari lama dia menginginkan hal ini, bukan hanya dia tapi aku juga.

Aku menghela napas panjang lagi, rasanya sangat ingin keluar dari sini sekarang.

“Jovan dan Navan juga?” Aku bertanya dengan suara kecil berharap Ayah tidak mendengarnya. Ternyata Ayah mendengar dan menjawab dengan anggukan.

Begitu ternyata Rainan, Jovan dan Navan menerima kabar bahagia, tapi aku sangat tidak.

Tapi dipikir-pikir kalau Rainan, Jovan dan Navan diadopsi, barang-barang dari donatur bakalan jadi milik aku sepenuhnya, 'kan?

“Kalo gitu barang pemberian donatur bakalan jadi milik Azel, 'kan, Yah?” Tanyaku.

Ayah tidak langsung menjawab, Ayah hanya tersenyum, senyum yang sulit aku pahami.

“Yah?”

Aku mendengar Ayah menghela napas begitu kasar. Sepertinya dari helaan napas itu, aku sudah tahu apa jawabannya.

“Donatur yang selama ini kasih untuk mereka bertiga, itu dari orang-orang yang akan mengadopsi mereka, kecuali Rainan.”

Ayah menjawab tanpa menatapku. Aku tersenyum simpul, seharusnya aku sadar dari dulu.

Aku tidak pernah dapat baju baru, aku tidak pernah dapat sepatu baru, aku tidak pernah dapat makanan enak seperti mereka. Harusnya aku sadar, 'kan?

Aku menghela napas kemudian menepuk kedua paha ku sekalian.

“Harusnya Azel sadar diri, udah gede juga,” kata ku, aku iringi kekehan agar terdengar tidak begitu serius.

Tapi sepertinya Ayah menganggap itu serius.

“Kamu bisa minta ke Ayah, Azel. Apapun yang kamu minta Ayah usahain untuk kamu.”

Aku tidak menanggapi itu, aku berdiri menatap Ayah, kemudian berkata, “Azel bakalan bersikap baik ke Rainan, bahkan Jovan dan Navan, sampai mereka diadopsi, selamat malam, Ayah.”

Tanpa menunggu tanggapan Ayah aku melangkah keluar dari kamar Ayah. Lagian, ngapain lagi aku di sana, meminta apapun yang aku mau? Tidak mungkin, bahkan Ayah tidak bisa memenuhi keinginan dirinya sendiri.

Ayah memanggilku hanya untuk bilang kalau kehidupan Rainan akan jadi lebih baik nantinya, dan aku akan lebih menderita. Di panti asuhan tanpa ada kebahagiaan.

Padahal tadi aku berniat untuk tidur tapi entah kenapa mataku rasanya berat, dan akhirnya aku memilih untuk keluar rumah, duduk di depan rumah. Tidak peduli dengan gelapnya malam, setidaknya masih ada bulan dan cahaya lampu yang menemani ku.

Aku menekuk kedua kaki dan memeluknya dengan erat, entah apa yang membuatku seperti ini, aku sama sekali tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Setelah mendengar kalau Rainan akan diadopsi aku tiba-tiba jadi begini. Satu hal terlintas dibenakku, aku iri dengan keberuntungan yang dimiliki Rainan.

Aku sering lihat Rainan mendapatkan barang-barang bagus yang aku ketahui dari donatur, ternyata itu donatur tetapnya. Di panti asuhan memang ada donatur tetap yang adil, tapi dia lebih mementingkan adik-adikku yang lain, sedangkan aku, Rainan, Jovan dan Navan hanya bisa mengandalkan uang dari hasil jualan dengan Ayah. Tapi, aku tidak seberuntung Rainan, Jovan dan Navan yang tanpa sepengetahuanku ada orang baik yang membantu mereka.

Aku menghela napas panjang. “Kenapa gue begini, ya,” monolog ku.

“Lo kenapa?”

Aku terlonjak kaget dan sontak menoleh ke belakang, aku lihat Jovan sedang berdiri di pintu sembari menatapku. Aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan, jadi aku memilih untuk tersenyum, senyum yang biasa aku kembangkan kepada siapapun.

“Nggak apa-apa,” jawabku berbohong tentu saja. Jovan berjalan dan duduk di samping ku, aku sedikit kaget tapi berusaha untuk biasa saja. Setelah Jovan duduk di samping ku, aku mendengar dia menghela napas begitu panjang.

“Kalau ada apa-apa cerita aja, sih, Zel. Di antara kita cuman lo yang jarang cerita, keluh-kesah gitu,” katanya kepadaku, dia mengatakan itu tanpa menatapku—tatapannya lurus ke depan.

Aku tersenyum kecut, haruskah aku mengatakan kalau aku iri kepada mereka, sepertinya lebih baik tidak, ‘kan. Lagian nasib kita sama, sama-sama tidak tahu siapa orang tua kandung kita dan sama-sama tinggal di panti asuhan.

“Lo kenapa belum tidur, dah?” tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan. Sedikit aku berharap Jovan tidak akan bertanya lagi.

Jovan tertawa, aku mengernyit kebingungan, kenapa dia tertawa apa yang dia tertawakan. Perasaan pertanyaanku biasa saja. Jovan menatapku, dia tersenyum, tidak hanya bibirnya tapi matanya pun ikut tersenyum, rasanya sangat jarang melihat Jovan seperti ini. Dia lebih sering memasang wajah serius atau khawatir terlebih kalau Navan di sisinya.

“Lo yang paling hebat kalau lagi nutupin sesuatu.”

“Lo juga, Jo.”

Kita tertawa bersamaan, entah apa yang kita tertawakan. Ah, mungkin saja nasib yang sama.

“Tadi gue dikasih sepatu sama orang baik, rasanya gue seneng banget pertama kali pakai barang mahal,” ucap Jovan terdengar begitu ceria.

Aku sangat yakin dia tidak berbohong tentang perasaannya sekarang. Entah mengapa rasanya begitu hangat ketika melihat Jovan tersenyum dan bahagia seperti ini. Aku jadi berpikir kalau memang mereka akan diadopsi oleh orang lain nanti, aku tidak boleh egois, ‘kan? Mereka bahagia dengan begitu, walau nanti aku yang akan merasakan kesedihan dan juga kesepian di rumah. Bukan rumah, tapi … panti asuhan.

Aku dari tadi tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu kamar Ayah. Entah kenapa aku gugup sekali, padahal ini bukan pertama kali aku dipanggil oleh Ayah.

Notifikasi di ponsel ku membuat ku terlonjak kaget. Ternyata itu pesan dari Ayah, tanpa sengaja aku membalas pesannya dengan tidak sopan, nasibku benar-benar sudah di ujung tanduk harimau!

Tanpa menunggu lama lagi aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ayah, dan membukanya perlahan.

“Ayah, ini Azel,” kataku menyapa.

Aku lihat Ayah sedang duduk di tepi kasur, dia tersenyum menyambut ku.

“Sini duduk,” titahnya sambil menepuk tepi kasur di sampingnya.

Aku pun langsung berjalan ke sana, tidak lupa aku menutup pintu lagi tentunya. Entah kenapa jantungku berdetak dua ribu kali lebih cepat kala aku sudah duduk di samping Ayah.

Rasanya tidak bisa aku jelaskan pakai kata-kata. Aku memainkan jari-jari karena gugup, apalagi sekarang Ayah hanya diam.

“Ada apa Ayah?” tanyaku memberanikan diri untuk bertanya duluan.

Ayah menolehkan kepalanya, kini matanya beradu tatap denganku, entah kenapa aku dengan refleks menarik pandanganku agar tidak beradu tatap dengan Ayah.

“Tadi ada donatur datang ke panti asuhan,” jawab Ayah.

Lantas mengapa? Biasanya juga sering, 'kan? Aku mulai membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi.

“Mereka orang yang mau adopsi Rainan,” sambung Ayah.

Aku terlonjak, sontak aku menoleh kembali beradu tatap dengan mata Ayah.

“Rainan mau diadopsi?” tanyaku memastikan, siapa tahu aku hanya salah mendengar, 'kan.

Ternyata tidak, Ayah mengangguk begitu yakin. Kabar apa ini? Aku memang sering membuat Rainan kesal, tapi aku belum siap kalau harus berpisah dengan Rainan, sepertinya aku harus berubah.

“Kenapa?”

“Ya, ini, “kan, panti asuhan, Azel. Ada kalanya orang tua di luar sana mengadopsi anak-anak dari sini. Dan, enggak selamanya Ayah bisa bersama kalian semua.”

Ya, aku tahu itu. Tapi kenapa harus Rainan? Aku tahu kalau di panti asuhan tidak ada yang menetap selamanya, aku sering melihat adik-adik ku yang lainnya diadopsi oleh orang kaya, tapi aku tidak pernah menyangka kalau Rainan pun akan diadopsi.

Aku menghela napas kasar, lagian aku bisa apa kalau memang ada orang yang akan mengadopsi Rainan.

“Kenapa bilang ke Azel, Yah?” tanyaku penasaran. Padahal, 'kan, bisa saja Ayah memberi yang lainnya duluan.

“Ayah juga udah bilang ke Jovan dan Navan.”

Aku terkejut bukan main, apa jangan-jangan Rainan sendiri sudah tahu.

Aku menatap mata Ayah lekat.

“Rainan juga tahu?”

Ayah mengangguk. Aku menunduk kecewa, ternyata memang selalu aku yang tahu terakhir. Selalu aku yang mendapatkan terakhir, dari dulu.

Aku menghela napas panjang lagi, rasanya sangat ingin keluar dari sini sekarang.

“Tapi kenapa Ayah kasih tahu satu persatu?” Aku bertanya tanpa menatap Ayah.

“Karena Ayah mau kalian saling menjaga satu sama lain, dan lebih dekat satu sama lain setelah tahu semua ini.”

Aku mulai menerka kalau mungkin Jovan dan Navan juga diadopsi? Tapi, aku tidak berani bertanya.

Tapi dipikir-pikir kalau Rainan, Jovan dan Navan diadopsi, barang-barang dari donatur bakalan jadi milik aku sepenuhnya, 'kan?

“Kalo gitu barang pemberian donatur bakalan jadi milik Azel, 'kan, Yah?” Tanyaku.

Ayah tidak langsung menjawab, Ayah hanya tersenyum, senyum yang sulit aku pahami.

“Yah?”

Aku mendengar Ayah menghela napas begitu kasar. Sepertinya dari helaan napas itu, aku sudah tahu apa jawabannya.

“Donatur yang selama ini kasih untuk mereka bertiga, itu dari orang-orang yang akan mengadopsi mereka, kecuali Rainan.”

Ayah menjawab tanpa menatapku. Aku tersenyum simpul, seharusnya aku sadar dari dulu.

Aku tidak pernah dapat baju baru, aku tidak pernah dapat sepatu baru, aku tidak pernah dapat makanan enak seperti mereka. Harusnya aku sadar, 'kan?

Aku menghela napas kemudian menepuk kedua paha ku sekalian.

“Harusnya Azel sadar diri, udah gede juga,” kata ku, aku iringi kekehan agar terdengar tidak begitu serius.

Tapi sepertinya Ayah menganggap itu serius.

“Kamu bisa minta ke Ayah, Azel. Apapun yang kamu minta Ayah usahain untuk kamu.”

Aku tidak menanggapi itu, aku berdiri menatap Ayah, kemudian berkata, “Azel bakalan bersikap baik ke Rainan dan Jovan dan Navan, sampai mereka diadopsi, selamat malam, Ayah.”

Tanpa menunggu tanggapan Ayah aku melangkah keluar dari kamar Ayah. Lagian, ngapain lagi aku di sana, meminta apapun yang aku mau? Tidak mungkin, bahkan Ayah tidak bisa memenuhi keinginan dirinya sendiri.

Ayah memanggilku hanya untuk bilang kalau kehidupan Rainan akan jadi lebih baik nantinya, dan aku akan lebih menderita. Di panti asuhan tanpa ada kebahagiaan.

“Yakin dia di sini?” tanya Robert kepada Bake—salah satu petugas kepolisian yang berada di tim yang sama dengan Robert dan Wisnu. Setelah mendapatkan informasi kalau Bake memegang identitas pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh 'cigarette killer', Robert, Wisnu dan Bake segera bergegas menuju lokasi.

Di sinilah mereka di sebuah perumahan tingkat yang tidak jauh dari tkp. Ketiganya masih di depan mobil belum ada tanda-tanda hendak melangkah menuju unit 'cigarette killer'.

Bake mengangguk dengan sangat yakin, lalu dia menjawab, “Ya. Kita tuntaskan sekarang, kita seret tikus itu.” Dia menatap Robert dan Wisnu secara bersamaan.

Robert mengangguk kemudian melemparkan tatapan ke Wisnu yang sama mengangguk. tanpa menunggu lama Robert memberi arahan untuk maju melangkah ke unit dimana dugaan 'cigarette killer' itu berada—di lantai empat rumah tingkat itu.

Mereka pun sampai di lantai empat, tepat di depan pintu unit rumah susun dugaan 'cigarette killer'. Wisnu mengambil sisi kanan, lalu Bake mengambil sisi kiri, dan Robert mengambil sisi depan memimpin aksi mereka itu, tidak lupa dengan sebuah pistol yang selalu siap untuk dipakai di tangan mereka masing-masing.

Robert menatap Wisnu dan Bake secara bergantian sambil memberi kode, paham akan kode yang diberikan Wisnu dan Bake pun mengangguk. Langkah Robert begitu yakin, dia mencoba untuk membuka pintu itu secara lembut dengan ketukan pintu.

tok tok tok

Ketukan pertama tidak ada jawaban sama sekali, Robert mulai curiga kalau tidak ada orang di dalam sana.

tok tok tok

Tapi Robert masih belum menyerah menggunakan cara lembut. Sampai tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sempurna.

“Jangan bergerak! Kami dari pihak kepolisian,” seru Bake sambil membenarkan posisinya menjadi menatap ke arah pintu dengan pistol yang dia arahkan ke depan. Begitu juga dengan Wisnu yang mengambil langkah sama.

Aneh, tidak ada respon apa-apa dari orang yang menjadi dugaan 'cigarette killer' itu. Dia hanya diam bahkan dia mengangkat tangannya ke atas.

Robert mengeluarkan sebuah borgol dari saku celananya. “Regard Januardi, anda tidak bisa kabur lagi sekarang,” ucap Robert kemudian memberi kode agar dugaan 'cigarette killer' itu menyerahkan tangannya untuk diborgol.

Dugaan 'cigarette killer' yang bernama Regard Januardi itu hanya tersenyum sambil mengarhkan kedua tangannya. “Ternyata cepat juga,” jawab Regard tanpa ada rasa takut sedikitpun.

Robert pun keheranan dia menaruh curiga kenapa Regard sama sekali tidak ketakutan.

“Seharusnya dari lima tahun yang lalu,” timpal Bake dengan penuh tekanan, Bake mengambil alih menarik tangan Regard yang telah terborgol sempurna dan membawanya dengan cepat.

Robert menatap Wisnu yang sedang menaruh pistolnya kembali. Sadar sedang dilihat Wisnu membalas tatapan Robert sambil mengangkat alisnya sebelah kemudian bertanya, “Kenapa?”

“Aneh.”

“Siapa?”

“Lo.”

“Dih, cah gendeng,” decak Wisnu kesal terlebih Robert yang sudah melangkah mendahului dirinya sambil tertawa.


Regard telah tiba di ruang intograsi dengan Robert yang ada di hadapannya sedang membaca data dirinya.

“Tamatan terbaik di salah satu universitas negeri, pernah mengajar di sebuah sekolah dan pernah menjadi dosen muda. Dengan kualifikasi sebagus ini, kamu milih buat jadi pembunuh?” Robert meletakkan kertas data diri Regard yang dialaskan dengan papan.

“Semua karena kehidupan,” jawab Regard dengan tatapan ke bawah.

Robert mengernyit kebingungan. “Kenapa kamu melakukan semua ini? Terlebih korban kamu semuanya perempuan.”

“Suka.” Regard menjawab dengan mudahnya, dia bahkan mengangkat wajahnya agar bisa memberi tatapan dan senyuman kepada Robert.

Robert mendekatkan tubuhnya kemudian berkata, “Jadi alasannya karena kamu suka dan mereka mencampakkan kamu?” Robert memberi tatapan seriu, seujujurnya Robert sudah dikuasai oleh kemarahan namun masih tetap dia tahan.

“Smart.” Regard tertawa kecil.

Robert menghembuskan napas kasar sembari menyandarkan punggungnya kembali ke sandaran kursi. Dia mendecak dengan tangan yang menggepal dengan sempruna.

“Bajingan.”

Hari sudah hampir sore, sudah biasa kalau suasana sedikit berisik terlebih oleh anak-anak kecil yang sedang bermain di halaman panti asuhan yang tidak terlalu besar.

Hai, perkenalkan aku Azel, Azel Khaisan, panggil saja Azel. Saat ini aku dan ketiga teman? Ah, bukan, sahabat? Sepertinya lebih baik aku katakan keluarga. Aku sedang duduk di halaman yang sama dengan mereka, tidak banyak yang kami lakukan, hanya bercengkrama dan sesekali tertawa karena candaan.

Sesekali aku juga menatap mereka hanya sekedar melihat ekspresi wajah yang mereka tunjukan kala mereka berbicara atau tertawa. Rasanya hangat sekali, kehangatan dalam kesederhanaan yang sudah belasan tahun aku rasakan.

Aku belum memperkenalkan mereka, ya. Mereka itu adalah Rainan, Jovan, dan Navan. Sedikit tentang mereka yang aku tahu, Rainan umurnya tidak terlalu berbeda jauh dari ku, tapi dia sedikit tua dari ku. Rainan itu ... Aku sedikit takjub dengan dia, terlebih kepintarannya.

Lalu Jovan dan saudara kembarnya Navan. Jovan dia sangat suka senyum kalau Navan dia suka membuat siapapun tersenyum atau tertawa, sayangnya dia melakukan itu demi untuk menutupi rasa sakit yang sedang dia alami. Seperti sekarang dia sedang mengatakan tentang harapannya—dia mau sembuh, sakit itu tidak enak, bisa sembuh nggak—tentang kehidupannya.

Lalu ku lihat juga Jovan sedang menatap Navan dengan begitu tulus. Aku pernah lihat kerja keras dia bahkan pernah mendengar kalau dia sangat bersungguh-sungguh ingin membantu Navan dari sakitnya. Tapi keterbatasan dana, hanya doa dan semangat yang bisa Jovan berikan.

Lalu ku alihkan pandanganku menatap Rainan yang sedari tadi hanya diam, dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Biar ku tebak, sepertinya dia sedang embayangkan bagaimana seharusnya hidupnya bisa bahagia tanpa ada rasa khawatir sedikitpun seperti saat ini.

Karena aku pernah mendengar dari dirinya sendiri, dia sedih kala mendengar harapan demi harapan, khayalan demi khayalan yang setiap kali kami bicarakan. Terlebih tentang harapannya yang mungkin tidak akan pernah terwujudkan.

Aku hanya bisa tersenyum, lebih tepatnya berusaha untuk tersenyum. Lalu aku berpikir sesuatu untuk merubah suasana yang semakin menyedihkan ini.

“Suatu saat kita pasti punya rumah,” ucapku spontan sambil menatap ke arah mereka satu persatu.

Mereka tidak langsung menanggapi ucapan ku, terlihat dari wajah mereka yang kebingungan.

“Pasti kita bahagia. Terus nanti kita bakal ngerasain punya orang tua, keluarga, dan kita gak akan kesepian lagi,” respon Rainan sambil meluruskan kakinya dan menatap ke arah ku.

Aku mengangguk sembari mengukir senyum tipis. Rainan benar-benar memahami kata 'rumah' yang aku ucapkan tadi.

Bukan rumah buat berteduh karena sekarang pun mereka punya itu. Tapi kebahagiaan dan juga keluarga utuh, terlebih orang tua ... Di sini aku dan yang lainnya hanya mempunyai Ayah yang selalu mengurus kami.

Aku mendengar hembusan napas kasar Navan, itu menarik perhatian ku menjadi menatapnya.

“Emang ada yang mau ngadopsi gua? Gue 'kan penyakitan,” kata Navan begitu terdengar putus asa. Padahal aku tahu Navan sangat ingin diadopsi oleh seseorang yang mampu, tapi rasanya dia tidak percaya diri. Seakan mengatakan memang ada yang mau anak penyakitan kayak gue? Sakit. Aku sangat sakit hati mendengarnya.

“Nggak ada yang nggak mungkin, 'kan, Nav?” Jovan menyenggol tangan Navan. Aku mengangguk setuju dengan Jovan. Aku menyungging senyum lebar mendengarnya sama hal dengan Rainan, kami tahu Jovan begitu sayang kepada Navan dan tidak mau melihat Navan putus asa seperti ini.

Navan mengangguk, syukurlah Navan mendengar ucapan kembarannya sendiri.

“Coba aja kalau kita diadopsi orang kaya,” ucapku mulai berangan kembali. “Enak kali, ya?” tanyaku sambil menatap mereka satu persatu. Aku tersenyum, membayangkannya saja membuatku senang seperti ini, membayangkan bagaimana bahagianya nanti mereka hidup tanpa ada beban.

“Gue kalo diadopsi orang kaya beneran. Gue mau mandi duit setiap hari,” celetuk Rainan diiringi tawa.

Kita bertiga sontak tertawa mendengar celetukan ajaib dari Rainan.

“Nggak, sih, kalau gue mending wallpaper kamar gue ditempeli duit aja. Jadi wangi duit setiap hari,” kata Jovan tak kalah absurd dari celetukan Rainan.

Aku menggeleng mendengarnya. Bisa-bisanya Jovan berpikir seperti itu. Tapi wajar saja, mengingat wallpaper kamar kami yang sekarang hanya dibaluti cat yang akan terkelupas kala disentuh. Tapi, bagaimana kalau tuyul yang datang ke kamarnya nanti? Kalau wallpaper kamarnya saja duit, dasar Jovan.

“Terus karpetnya dari duit, kasurnya dari duit, semuanya serba duit,” timpal Navan yang tak kalah absurd dari Rainan dan Jovan.

Kami pun sontak tertawa berbarengan, bahkan Rainan sampai menutup mulutnya menggunakan tangan karena tidak sanggup menahan tawa.

“Tapi, daripada duit gue lebih pengen disayang,” kata Rainan. Aku berhenti tertawa setelah mendengar kalimat itu, tidak hanya aku tapi Jovan dan Navan juga.

Aku jadi terpikirkan kata 'disayang'. Rasanya seperti apa? Aku pernah merasakannya dari Ayah, tapi aku tidak pernah merasakan disayang tapi lebih ke itu kewajiban Ayah untuk aku dan yang lainnya.

“Gimana rasanya disiapin bekal sama Ibu,” sambung Rainan.

Aku tersenyum ... Ibu ... Apa rasanya disayang oleh Ibu? Aku tidak bisa membayangkannya, karena selama aku hidup aku belum pernah memanggil seseorang yang bernama Ibu.

“Dianterin sekolah sama Bapak,” kata Rainan lirih. Rainan seperti menahan sesuatu ketika mengucapkan hal itu.

Aku melihat raut wajah kesedihan di sana. Kalau kami sekolah biasanya jalan kaki sendiri, Ayah tidak pernah mengantar kami karena dia punya tanggung jawab besar untuk adik-adik yang lain.

“Pokoknya disayang.”

Aku mengangguk paham, perlahan aku gerakkan tanganku menepuk pundak Rainan perlahan.

“Iya, disayang,” kataku lirih.

Suasana menjadi hening seketika, aku sedang berimajinasi dengan pikiranku, membayangkan bagaimana bahagianya aku kalau mempunyai keluarga kaya raya terus disayang seperti yang Rainan katakan tadi. Sepertinya mereka bertiga juga sedang melakukan hal yang sama.

Sampai tiba-tiba Navan berucap, “Disayang kalau nggak ada duit mah sama aja.”

Aku mengangkat kepalaku bersamaan dengan Rainan. Kami pun saling melemparkan tatapan, begitu juga dengan Jovan, sampai kami tertawa karena ucapan Navan yang berhasil menghancurkan imajinasi ku.

Menggelikan memang, dasar Navan mata duitan. Tapi realistis juga, sih.

“Serius deh, jadi orang kaya, enak gak, ya?” Jovan bertanya kala tawa kami sudah mereda.

Aku memicingkan mata sejenak kemudian menjawab, “Ya, menurut lo. Kalau kita jadi anak orang kaya, kita bisa beli apa aja. Nggak usah capek-capek nabung kayak sekarang.” Jawabanku disetujui oleh Rainan dan Navan, dan juga Jovan, mereka bertiga mengangguk sebabnya.

Rainan menoleh menatapku, aku mengerutkan kening akibat kebingungan.

“Azel muka lo nggak ada cocok-cocoknya jadi orang kaya.” Rainan mengejekku sambil menepuk pundak ku.

Wah, aku kira dia akan berkata hal serius, nyatanya dia mengejekku. Untung saja hanya Rainan, tapi tetap saja karena Jovan dan Navan ikut tertawa karena ejekan itu.

Aku hanya bisa mendengkus kesal.

“Nggak apa-apa ya, Zel. Nanti lo tinggal oplas aja.” Jovan memberi saran. Tidak! Bukan saran, tapi juga ejekan! Argh! Rasanya aku pengen marah kepada mereka, tapi pasti aku akan kalah jumlah.

Aku memicingkan mata menatap Jovan dengan tatapan tajam, kemudian beralih ke Navan dan Rainan yang ikut menertawakan ku. Sepertinya tatapan tajam dariku tidak membuat mereka takut, malahan mereka semakin menertawai ku. Aku ikut tertawa, bukan karena lucu karena terpaksa saja.

Aku heran kenapa mereka sering sekali mengejek wajahku, padahal kalau dilihat-lihat aku sangat tampan, bahkan ibu-ibu komplek sering memujiku. Walau tidak sebanyak pujian untuk Jovan dan Rainan, ah ... Dan juga Navan.

Kenapa mereka begitu banyak mendapatkan pujian. Padahal 'kan aku juga tampan. Walau tidak setampan dan segagah Ayah yang menjadi pria idaman ibu-ibu komplek.

Ayah ... Seorang pria yang tanpa aku sadari kini sedang berdiri di belakang kami. Aku sadar kehadirannya ketika aku menoleh ke belakang, aku melihatnya tersenyum dengan beberapa cemilan sore hari di tangannya. Perlahan ku lihat senyum itu memudar, aku berharap Ayah tidak mendengar semua percakapan kami tadi, aku takut Ayah akan marah atau tersinggung karena kami lagi dan lagi menyinggung tentang adopsi.


“not home; rumah itu apa?”

Hari sudah hampir sore, sudah biasa kalau suasana sedikit berisik terlebih oleh anak-anak kecil yang sedang bermain di halaman panti asuhan yang tidak terlalu besar.

Hai, perkenalkan aku Azel, Azel Khaisan, panggil saja Azel. Saat ini aku dan ketiga teman? Ah, bukan, sahabat? Sepertinya lebih baik aku katakan keluarga. Aku sedang duduk di halaman yang sama dengan mereka, tidak banyak yang kami lakukan, hanya bercengkrama dan sesekali tertawa karena candaan.

Sesekali aku juga menatap mereka hanya sekedar melihat ekspresi wajah yang mereka tunjukan kala mereka berbicara atau tertawa. Rasanya hangat sekali, kehangatan dalam kesederhanaan yang sudah belasan tahun aku rasakan.

Aku belum memperkenalkan mereka, ya. Mereka itu adalah Rainan, Jovan, dan Navan. Sedikit tentang mereka yang aku tahu, Rainan umurnya tidak terlalu berbeda jauh dari ku, tapi dia sedikit tua dari ku. Rainan itu ... Aku sedikit takjub dengan dia, terlebih kepintarannya.

Lalu Jovan dan saudara kembarnya Navan. Jovan dia sangat suka senyum kalau Navan dia suka membuat siapapun tersenyum atau tertawa, sayangnya dia melakukan itu demi untuk menutupi rasa sakit yang sedang dia alami. Seperti sekarang dia sedang mengatakan tentang harapannya—dia mau sembuh, sakit itu tidak enak, bisa sembuh nggak—tentang kehidupannya.

Lalu ku lihat juga Jovan sedang menatap Navan dengan begitu tulus. Aku pernah lihat kerja keras dia bahkan pernah mendengar kalau dia sangat bersungguh-sungguh ingin membantu Navan dari sakitnya. Tapi keterbatasan dana, hanya doa dan semangat yang bisa Jovan berikan.

Lalu ku alihkan pandanganku menatap Rainan yang sedari tadi hanya diam, dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Biar ku tebak, sepertinya dia sedang embayangkan bagaimana seharusnya hidupnya bisa bahagia tanpa ada rasa khawatir sedikitpun seperti saat ini.

Karena aku pernah mendengar dari dirinya sendiri, dia sedih kala mendengar harapan demi harapan, khayalan demi khayalan yang setiap kali kami bicarakan. Terlebih tentang harapannya yang mungkin tidak akan pernah terwujudkan.

Aku hanya bisa tersenyum, lebih tepatnya berusaha untuk tersenyum. Lalu aku berpikir sesuatu untuk merubah suasana yang semakin menyedihkan ini.

“Suatu saat kita pasti punya rumah,” ucapku spontan sambil menatap ke arah mereka satu persatu.

Mereka tidak langsung menanggapi ucapan ku, terlihat dari wajah mereka yang kebingungan.

”“Pasti kita bahagia. Terus nanti kita bakal ngerasain punya orang tua, keluarga, dan kita gak akan kesepian lagi,” respon Rainan sambil meluruskan kakinya dan menatap ke arah ku.

Aku mengangguk sembari mengukir senyum tipis. Rainan benar-benar memahami kata 'rumah' yang aku ucapkan tadi.

Bukan rumah buat berteduh karena sekarang pun mereka punya itu. Tapi kebahagiaan dan juga keluarga utuh, terlebih orang tua ... Di sini aku dan yang lainnya hanya mempunyai Ayah yang selalu mengurus kami.

Aku mendengar hembusan napas kasar Navan, itu menarik perhatian ku menjadi menatapnya.

“Emang ada yang mau ngadopsi gua? Gue 'kan penyakitan,” kata Navan begitu terdengar putus asa. Padahal aku tahu Navan sangat ingin diadopsi oleh seseorang yang mampu, tapi rasanya dia tidak percaya diri. Seakan mengatakan memang ada yang mau anak penyakitan kayak gue? Sakit. Aku sangat sakit hati mendengarnya.

“Nggak ada yang nggak mungkin, 'kan, Nav?” Jovan menyenggol tangan Navan. Aku mengangguk setuju dengan Jovan. Aku menyungging senyum lebar mendengarnya sama hal dengan Rainan, kami tahu Jovan begitu sayang kepada Navan dan tidak mau melihat Navan putus asa seperti ini.

Navan mengangguk, syukurlah Navan mendengar ucapan kembarannya sendiri.

“Coba aja kalau kita diadopsi orang kaya,” ucapku mulai berangan kembali. “Enak kali, ya?” tanyaku sambil menatap mereka satu persatu. Aku tersenyum, membayangkannya saja membuatku senang seperti ini, membayangkan bagaimana bahagianya nanti mereka hidup tanpa ada beban.

“Gue kalo diadopsi orang kaya beneran. Gue mau mandi duit setiap hari,” celetuk Rainan diiringi tawa.

Kita bertiga sontak tertawa mendengar celetukan ajaib dari Rainan.

“Nggak, sih, kalau gue mending wallpaper kamar gue ditempeli duit aja. Jadi wangi duit setiap hari,” kata Jovan tak kalah absurd dari celetukan Rainan.

Aku menggeleng mendengarnya. Bisa-bisanya Jovan berpikir seperti itu. Tapi wajar saja, mengingat wallpaper kamar kami yang sekarang hanya dibaluti cat yang akan terkelupas kala disentuh. Tapi, bagaimana kalau tuyul yang datang ke kamarnya nanti? Kalau wallpaper kamarnya saja duit, dasar Jovan.

“Terus karpetnya dari duit, kasurnya dari duit, semuanya serba duit,” timpal Navan yang tak kalah absurd dari Rainan dan Jovan.

Kami pun sontak tertawa berbarengan, bahkan Rainan sampai menutup mulutnya menggunakan tangan karena tidak sanggup menahan tawa.

“Tapi, daripada duit gue lebih pengen disayang,” kata Rainan. Aku berhenti tertawa setelah mendengar kalimat itu, tidak hanya aku tapi Jovan dan Navan juga.

Aku jadi terpikirkan kata 'disayang'. Rasanya seperti apa? Aku pernah merasakannya dari Ayah, tapi aku tidak pernah merasakan disayang tapi lebih ke itu kewajiban Ayah untuk aku dan yang lainnya.

“Gimana rasanya disiapin bekal sama Ibu,” sambung Rainan.

Aku tersenyum ... Ibu ... Apa rasanya disayang oleh Ibu? Aku tidak bisa membayangkannya, karena selama aku hidup aku belum pernah memanggil seseorang yang bernama Ibu.

“Dianterin sekolah sama Bapak,” kata Rainan lirih. Rainan seperti menahan sesuatu ketika mengucapkan hal itu.

Aku melihat raut wajah kesedihan di sana. Kalau kami sekolah biasanya jalan kaki sendiri, Ayah tidak pernah mengantar kami karena dia punya tanggung jawab besar untuk adik-adik yang lain.

“Pokoknya disayang.”

Aku mengangguk paham, perlahan aku gerakkan tanganku menepuk pundak Rainan perlahan.

“Iya, disayang,” kataku lirih.

Suasana menjadi hening seketika, aku sedang berimajinasi dengan pikiranku, membayangkan bagaimana bahagianya aku kalau mempunyai keluarga kaya raya terus disayang seperti yang Rainan katakan tadi. Sepertinya mereka bertiga juga sedang melakukan hal yang sama.

Sampai tiba-tiba Navan berucap, “Disayang kalau nggak ada duit mah sama aja.”

Aku mengangkat kepalaku bersamaan dengan Rainan. Kami pun saling melemparkan tatapan, begitu juga dengan Jovan, sampai kami tertawa karena ucapan Navan yang berhasil menghancurkan imajinasi ku.

Menggelikan memang, dasar Navan mata duitan. Tapi realistis juga, sih.

“Serius deh, jadi orang kaya, enak gak, ya?” Jovan bertanya kala tawa kami sudah mereda.

Aku memicingkan mata sejenak kemudian menjawab, “Ya, menurut lo. Kalau kita jadi anak orang kaya, kita bisa beli apa aja. Nggak usah capek-capek nabung kayak sekarang.” Jawabanku disetujui oleh Rainan dan Navan, dan juga Jovan, mereka bertiga mengangguk sebabnya.

Azel menoleh menatapku, aku mengerutkan kening akibat kebingungan.

“Azel muka lo nggak ada cocok-cocoknya jadi orang kaya.” Rainan mengejekku sambil menepuk pundak ku.

Wah, aku kira dia akan berkata hal serius, nyatanya dia mengejekku. Untung saja hanya Rainan, tapi tetap saja karena Jovan dan Navan ikut tertawa karena ejekan itu.

Aku hanya bisa mendengkus kesal.

“Nggak apa-apa ya, Zel. Nanti lo tinggal oplas aja.” Jovan memberi saran. Tidak! Bukan saran, tapi juga ejekan! Argh! Rasanya aku pengen marah kepada mereka, tapi pasti aku akan kalah jumlah.

Aku memicingkan mata menatap Jovan dengan tatapan tajam, kemudian beralih ke Navan dan Rainan yang ikut menertawakan ku. Sepertinya tatapan tajam dariku tidak membuat mereka takut, malahan mereka semakin menertawai ku. Aku ikut tertawa, bukan karena lucu karena terpaksa saja.

Aku heran kenapa mereka sering sekali mengejek wajahku, padahal kalau dilihat-lihat aku sangat tampan, bahkan ibu-ibu komplek sering memujiku. Walau tidak sebanyak pujian untuk Jovan dan Rainan, ah ... Dan juga Navan.

Kenapa mereka begitu banyak mendapatkan pujian. Padahal 'kan aku juga tampan. Walau tidak setampan dan segagah Ayah yang menjadi pria idaman ibu-ibu komplek.

Ayah ... Seorang pria yang tanpa aku sadari kini sedang berdiri di belakang kami. Aku sadar kehadirannya ketika aku menoleh ke belakang, aku melihatnya tersenyum dengan beberapa cemilan sore hari di tangannya. Perlahan ku lihat senyum itu memudar, aku berharap Ayah tidak mendengar semua percakapan kami tadi, aku takut Ayah akan marah atau tersinggung karena kami lagi dan lagi menyinggung tentang adopsi.


“not home; rumah itu apa?”