rubik
Sungguh telingaku sudah tidak tahan lagi mendengar ketukan pintu yang tidak ada hentinya. Aku heran apa Rayna tidak takut kalau Papa Mama bangun? Ah, tidak akan, kamar Papa Mama, kan, di atas—lantai dua—sedangkan kamarku di lantai satu.
Karena tidak tahan lagi aku pun memutuskan untuk beranjak dari kasur—padahal tubuhku begitu lelah dan ingin istirahat sekarang juga—menuju pintu kamarku. Tanpa menunggu lama lagi, aku membuka pintu itu, tanpa diduga Rayna segera menerobos masuk tanpa mengucapkan sapaan.
Padahal aku adalah pria? Kenapa dia sama sekali tidak takut. Tidak bisa dibiarin.
Segera aku menutup pintu kamarku, tidak lupa aku kunci—bukan ingin berniat jahat, hanya saja takut kalau Mama atau Papa masuk secara tiba-tiba.
“Ngapain dikunci? Mau berbuat jahat, kan, lo?” tuduh Rayna kepadaku.
Aku mengernyit tidak terima, bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu. Yang ada aku yang seharusnya berhati-hati dengan dirinya.
“Gue takut Papa atau Mama masuk tiba-tiba—”
“Gak akan.” Rayna memotong ucapanku.
Aku kembali mengernyit. Apa maksudnya tidak akan, tahu apa dia.
“Bokap sama nyokap lo pergi, lo gak tahu? Gak dihubungi?” Raya menatapku dengan raut wajah keheranan. Begitu juga dengan aku yang memasang raut wajah keheranan.
Aku pun melangkah dan mengambil ponsel yang ada di nakas di samping tempat tidur ku. Ku lihat beberapa pesan yang tadinya ku abaikan. Ternyata ada pesan dari Mama di sana.
“Menggelikan,” cicit Rayna yang ada di sampingku, ikut membaca pesan dari Mama.
Aku segera menoleh dan mematikan layar ponsel ku, tidak lupa aku letakkan kembali di nakas. Ku tatap Rayna dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Geli?”
“Ya. Geli. But, lo harus inget kalimat terakhir dia, dimanapun dia, lo bakalan tetap dalam pantuannya. You know what i mean?” Ujarnya, sambil melangkah ke arah meja belajarku, dia duduk di sana sambil memainkan sebuah rubik milikku.
“Ya,” jawabku singkat.
Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara kami. Aku yang sedang duduk di atas kasur membelakangi dia dan menghadap ke pintu, sesekali aku membalikkan badan untuk melihat apa yang sedang gadis aneh itu lakukan.
Masih sama dengan beberapa menit yang lalu, sedang berkutat dengan rubik yang ada di tangannya, bahkan keningnya sampai berkerut saat memainkan rubik itu.
Aku menghela napas panjang kemudian melangkahkan kakiku menghampiri gadis aneh itu. Tanpa basa-basi aku merebut rubik yang ada di tangannya, dan menyelesaikan rubik itu yang tinggal dua sisi saja, dengan waktu yang singkat.
Setelah ku selesaikan aku meletakkan kembali rubik itu di atas meja belajarku.
“Sebenarnya rubik itu gak susah. Tergantung siapa yang menyelesaikannya,” kataku sambil menatap Rayna yang kini menatapku dengan tatapan tidak terima.
Rayna tiba-tiba tertawa kecil dengan seringai kecil di bibirnya.
“Bagus kalo lo tahu, dan rubik itu sama dengan hidup,” respon dia.
Aku terdiam tidak paham, aku kira dia akan marah karena tiba-tiba merampas dan menyelesaikan rubik itu.
Setelah puas menatapku, dia menoleh ke arah rubik yang ada di atas meja belajarku, hanya menatap saja beberapa detik.
Sebelum dia berkata, “Hidup lo bakalan sama kayak rubik, ribet, susah, dapat diselesaikan kalau di tangan yang tepat.”
Setelah mengatakan itu dia kembali menatapku yang masih diam, diam mencerna semua kalimat yang dia lontarkan.
“Paham?”
Aku langsung saja menggeleng, otak dan pikiran ku masih lelah, jadi tidak bisa aku gunakan untuk berpikir jauh, mencerna kata-kata aneh yang keluar dari mulut gadis aneh itu.
Tak!
Sial, dia menendang kaki kananku. Refleks ku pegang kakiku dengan begitu erat, sambil meringis kesakitan.
“Apa sih, lo, gak jelas banget.” Aku tak berhenti meringis kesakitan.
Sedangkan dia hanya diam menatapku dengan wajah datarnya itu.
“Lebay.”
Aku kira dia akan meminta maaf, ternyata dia malah mencercaku, apa yang dia mau.
“Lo mau nya apa, sih? Tiba-tiba masuk ke kamar gue, tiba-tiba ngomong gak jelas tentang hidup gue, tiba-tiba nendang gue. Lo iri sama gue!” Aku berteriak namun dengan suara yang masih aku kontrol.
Aku sadar ini bukan aku yang biasanya. Dulu aku tidak pernah marah, walaupun aku sering dihina, karena aku tahu itu hanya candaan. Dulu aku tidak pernah marah kalau aku sedang merasa cemburu, aku hanya bisa memendamnya, tapi kini aku tidak bisa memendam amarahku begitu saja, apa mungkin karena aku kelelahan, atau mungkin aku benar-benar Azel yang terbaru, bukan Azel yang sama seperti di panti asuhan.
“Yap! Lo harus marah, kalau ada yang masuk tiba-tiba ke kamar lo, kalau ada yang tiba-tiba menganggu hidup lo, lo harus marah! Ok?”
Rayna bangkit dari duduknya, kemudian dia menepuk pundak kiriku sebelum dia melangkah dan keluar dari kamarku.
Aku bingung tentang semuanya. Tentang aku yang tiba-tiba menjadi pendiam, tentang aku yang tiba-tiba tidak bisa menahan amarah, tentang aku yang menjadi kaku, dan tentang Rayna yang terus saja mengganggu ku tanpa alasan yang jelas.
Persetan ... Aku melangkah ke kasur dan merebahkan tubuhku di atas kasur, aku menutup wajahku dengan tangan kiri yang ku letakkan di atas mata tepatnya. Tanpa sadar aku menagis.
Kini aku sadar kenapa aku begini, aku hanya lelah, terlebih setelah apa yang aku terima hari ini. Terlebih kelelahan ku bertambah saat les piano tadi, dan kini aku melampiaskannya.
Flashback on
“Ayo Azel,” ucap pria tua itu kepadaku.
Aku masih menatap Rainan yang sudah menghilang dari pandanganku, terlalu banyak pertanyaan yang kini muncul secara tiba-tiba di kepalaku.
Aku pun tersenyum dan kembali mengikuti langkah pria tua itu.
“Ruangan ini akan jadi milik kamu, sampai kamu menjadi pianis yang mahir,” kata pria tua itu ketika kami telah sampai di sebuah ruangan.
Ruangan itu bernuansa vintage, aku tidak terlalu suka dan tidak terlalu benci juga, hanya saja aneh bagiku yang kampungan dan sering berada di ruangan yang berwarna-warni dengan susunan barang yang tidak pernah rapi.
“Piano ini adalah piano turun menurun keluarga Adhitama. Setiap keluarga Adhitama pasti belajar dengan piano ini, umurnya sudah lumayan tua, tapi kualitasnya masih bagus, karena dirawat dengan sedemikan rupa. Mau coba?”
Aku tersenyum canggung. Karena tidak tahu harus menjawab apa, aku pun melangkah duduk di kursi dan meletakkan jari-jari ku di atas tuts piano tua ini.
Apa aku boleh jujur sekarang, aku sama sekali tidak paham. Aku hanya pernah memainkan pianika sebelumnya, itupun dengan angka-angka nada yang sudah ditulis.
Dengan ragu aku menekan sebuah tuts yang aku sendiri tidak tahu itu membunyikan nada apa.
Aku tersontak kala tangan pria tua itu memegang pundak ku.
“Sepertinya kamu belum paham, biar saya perlihatkan.”
Aku pun segera berdiri agar pria itu bisa duduk dan mulai memainkan sebuah alunan musik klasik.
Aku tidak paham tentang musik tapi setidaknya aku tahu ini adalah musik klasik. Aku melihat jari-jari pria tua itu dengan lihai menekan tuts demi tuts hingga menyuarakan alunan musik klasik itu. Ku angkat tanganku yang kini sedikit berkeringat, aku bertanya-tanya kepada diri sendiri apa aku bisa?
Permainan pria tua itu selesai, dia selesaikan dengan senyum yang mengembang di bibirnya, kemudian dia berdiri dari kursi itu.
“Silahkan duduk lagi,” titahnya.
Tanpa protes aku kembali duduk, mataku mengikuti pergerakan pria tua itu yang sedang mengambil sesuatu dari sebuah lemari yang tidak jauh dari sana.
Setelah kulihat ternyata itu sebuah rotan berukuran kecil dengan panjang yang mungkin hampir 60 centimeter. Apa mulai dilanda rasa takut kini.
“Saya ajarkan kamu perlahan-lahan tentu saja, jangan takut. Yang perlu kamu ingat, saya tidak pemarah, dan saya tidak akan pernah kasar.”
Ah, syukurlah, setidaknya pria tua itu bukan tipe guru yang galak.
“Jika kamu tidak memancing dua hal itu. Tapi, jika kamu memancingnya untuk keluar, maka saya tidak akan segan, walaupun kamu adalah Adhitama,” katanya yang terdengar seperti ancaman, membuatku tertegun seketika.
Pria tua itu berdiri di sebelah kiriku, tangan kanan yang memegang rotan dia arahkan ke sebuah tuts, yang kemudian aku t kan secara perlahan. Aku mengenali nada ini. Rotan yang dia pegang terus menunjukkan ke tuts selanjutnya dan segera aku tekan juga. Sampai aku benar-benar paham, nada-nada yang keluar barusan adalah nada 'do re mi fa sol la si'. Kalau tidak salah namanya tangga nada skala diatonik.
Pria tua itu terus mengarahkan tangan-tangan ku harus menekan tuts yang mana lagi setelahnya. Sayangnya aku hanya bisa menggunakan satu tangan untuk memainkan nada-nada itu.
“Hafal? Sekarang mainkan dengan dua tangan,” titahnya.
Tentu saja aku tidak bisa, tapi aku tidak bisa melawan. Mau tidak mau aku harus menunjukkan kebodohanku sekarang.
Sial Azel sial, mungkin saja kamu lo bakalan dipikul sekarang, rutukku.
“Jangan takut dan jangan tegang, wajar saja kalau kamu masih belum paham, saya berikan kamu satu jam untuk bisa memainkan nada yang saya berikan tadi dengan dua tangan.”
Diluar dugaan dia sama sekali tidak marah, tapi memberiku kesempatan. Tapi hanya satu jam? Apa aku bisa? Jika tidak, apa aku akan dijadikan sasaran empuk rotan yang ada di tangannya.
Entahlah, yang terpenting hidupku tergantung kepada diriku sendiri sekarang.
Flashback off
“Bodoh Azel bodoh,” rutukku kepada diri sendiri ketika mengingat kebodohanku tadi.
Aku tidak bisa memainkan nada dasar dengan kedua tangan, bahkan dengan satu tangan pun aku masih saja kaku dan salah. Padahal aku sudah diberikan kesempatan untuk belajar, tidak hanya satu jam tapi hampir tiga jam, dan hasilnya sama saja.
Pria tua itu memang tidak menghukum ku, tapi tetap saja pasti dia akan memberikan laporan kepada Papa. Bagaimana jika Papa yang akan menghukum ku nantinya.
“Argh lo mikir apasih, Zel!” Ucapku kepada diri sendiri.
Aku segera bangkit dari posisi tidur, merubah posisiku menjadi duduk di atas kasur.
“Memang lo diadopsi buat tidur-tiduran? Sadar, Zel! Belajar! Lo diadopsi keluarga kaya raya, keluarga ternama, jangan malu-maluin.” Aku bermonolog mengingatkan diriku sendiri, anggap saja aku gila. Ah, kalau kata Rainan aku memang sudah gila.
Aku pun segera bangkit dan melangkah berjalan menuju meja belajarku. Aku buka laptop yang ada di meja ku. Jangan kira aku pandai menggunakannya, aku hanya bisa membuka google dan YouTube saja, selebihnya aku bodoh. Dari panti asuhan aku hanya dibekalkan ponsel butut saja, mana mungkin tiba-tiba aku bisa menggunakan barang canggih seperti ini.
Aku pun mencari-cari tentang bagaimana agar tangan tidak kaku. Singkatnya sebut saja tutorial bermain piano agar tidak kaku. Ya, aku cari itu di YouTube, mungkin aku akan ditertawakan oleh Rainan jika ada dia di sini sekarang.
Aku menyimak video demi video yang ku putar dengan seksama, sampai fokusku terganggu dengan notifikasi yang terus masuk ke ponsel ku—yang tadinya aku bawa dari nakas.
Aku mengira itu pesan dari Rayna karena siapa lagi yang akan mengganggu di tengah malam seperti ini.
Ternyata perkiraan ku salah, pesan masuk itu berasal dari Yan, teman ku di sekolah. Ada apa dia mengirimkan pesan malam-malam seperti ini.