Panglimakun

Sungguh telingaku sudah tidak tahan lagi mendengar ketukan pintu yang tidak ada hentinya. Aku heran apa Rayna tidak takut kalau Papa Mama bangun? Ah, tidak akan, kamar Papa Mama, kan, di atas—lantai dua—sedangkan kamarku di lantai satu.

Karena tidak tahan lagi aku pun memutuskan untuk beranjak dari kasur—padahal tubuhku begitu lelah dan ingin istirahat sekarang juga—menuju pintu kamarku. Tanpa menunggu lama lagi, aku membuka pintu itu, tanpa diduga Rayna segera menerobos masuk tanpa mengucapkan sapaan.

Padahal aku adalah pria? Kenapa dia sama sekali tidak takut. Tidak bisa dibiarin.

Segera aku menutup pintu kamarku, tidak lupa aku kunci—bukan ingin berniat jahat, hanya saja takut kalau Mama atau Papa masuk secara tiba-tiba.

“Ngapain dikunci? Mau berbuat jahat, kan, lo?” tuduh Rayna kepadaku.

Aku mengernyit tidak terima, bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu. Yang ada aku yang seharusnya berhati-hati dengan dirinya.

“Gue takut Papa atau Mama masuk tiba-tiba—”

“Gak akan.” Rayna memotong ucapanku.

Aku kembali mengernyit. Apa maksudnya tidak akan, tahu apa dia.

“Bokap sama nyokap lo pergi, lo gak tahu? Gak dihubungi?” Raya menatapku dengan raut wajah keheranan. Begitu juga dengan aku yang memasang raut wajah keheranan.

Aku pun melangkah dan mengambil ponsel yang ada di nakas di samping tempat tidur ku. Ku lihat beberapa pesan yang tadinya ku abaikan. Ternyata ada pesan dari Mama di sana.

“Menggelikan,” cicit Rayna yang ada di sampingku, ikut membaca pesan dari Mama.

Aku segera menoleh dan mematikan layar ponsel ku, tidak lupa aku letakkan kembali di nakas. Ku tatap Rayna dengan tatapan penuh pertanyaan.

“Geli?”

“Ya. Geli. But, lo harus inget kalimat terakhir dia, dimanapun dia, lo bakalan tetap dalam pantuannya. You know what i mean?” Ujarnya, sambil melangkah ke arah meja belajarku, dia duduk di sana sambil memainkan sebuah rubik milikku.

“Ya,” jawabku singkat.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara kami. Aku yang sedang duduk di atas kasur membelakangi dia dan menghadap ke pintu, sesekali aku membalikkan badan untuk melihat apa yang sedang gadis aneh itu lakukan.

Masih sama dengan beberapa menit yang lalu, sedang berkutat dengan rubik yang ada di tangannya, bahkan keningnya sampai berkerut saat memainkan rubik itu.

Aku menghela napas panjang kemudian melangkahkan kakiku menghampiri gadis aneh itu. Tanpa basa-basi aku merebut rubik yang ada di tangannya, dan menyelesaikan rubik itu yang tinggal dua sisi saja, dengan waktu yang singkat.

Setelah ku selesaikan aku meletakkan kembali rubik itu di atas meja belajarku.

“Sebenarnya rubik itu gak susah. Tergantung siapa yang menyelesaikannya,” kataku sambil menatap Rayna yang kini menatapku dengan tatapan tidak terima.

Rayna tiba-tiba tertawa kecil dengan seringai kecil di bibirnya.

“Bagus kalo lo tahu, dan rubik itu sama dengan hidup,” respon dia.

Aku terdiam tidak paham, aku kira dia akan marah karena tiba-tiba merampas dan menyelesaikan rubik itu.

Setelah puas menatapku, dia menoleh ke arah rubik yang ada di atas meja belajarku, hanya menatap saja beberapa detik.

Sebelum dia berkata, “Hidup lo bakalan sama kayak rubik, ribet, susah, dapat diselesaikan kalau di tangan yang tepat.”

Setelah mengatakan itu dia kembali menatapku yang masih diam, diam mencerna semua kalimat yang dia lontarkan.

“Paham?”

Aku langsung saja menggeleng, otak dan pikiran ku masih lelah, jadi tidak bisa aku gunakan untuk berpikir jauh, mencerna kata-kata aneh yang keluar dari mulut gadis aneh itu.

Tak!

Sial, dia menendang kaki kananku. Refleks ku pegang kakiku dengan begitu erat, sambil meringis kesakitan.

“Apa sih, lo, gak jelas banget.” Aku tak berhenti meringis kesakitan.

Sedangkan dia hanya diam menatapku dengan wajah datarnya itu.

“Lebay.”

Aku kira dia akan meminta maaf, ternyata dia malah mencercaku, apa yang dia mau.

“Lo mau nya apa, sih? Tiba-tiba masuk ke kamar gue, tiba-tiba ngomong gak jelas tentang hidup gue, tiba-tiba nendang gue. Lo iri sama gue!” Aku berteriak namun dengan suara yang masih aku kontrol.

Aku sadar ini bukan aku yang biasanya. Dulu aku tidak pernah marah, walaupun aku sering dihina, karena aku tahu itu hanya candaan. Dulu aku tidak pernah marah kalau aku sedang merasa cemburu, aku hanya bisa memendamnya, tapi kini aku tidak bisa memendam amarahku begitu saja, apa mungkin karena aku kelelahan, atau mungkin aku benar-benar Azel yang terbaru, bukan Azel yang sama seperti di panti asuhan.

“Yap! Lo harus marah, kalau ada yang masuk tiba-tiba ke kamar lo, kalau ada yang tiba-tiba menganggu hidup lo, lo harus marah! Ok?”

Rayna bangkit dari duduknya, kemudian dia menepuk pundak kiriku sebelum dia melangkah dan keluar dari kamarku.

Aku bingung tentang semuanya. Tentang aku yang tiba-tiba menjadi pendiam, tentang aku yang tiba-tiba tidak bisa menahan amarah, tentang aku yang menjadi kaku, dan tentang Rayna yang terus saja mengganggu ku tanpa alasan yang jelas.

Persetan ... Aku melangkah ke kasur dan merebahkan tubuhku di atas kasur, aku menutup wajahku dengan tangan kiri yang ku letakkan di atas mata tepatnya. Tanpa sadar aku menagis.

Kini aku sadar kenapa aku begini, aku hanya lelah, terlebih setelah apa yang aku terima hari ini. Terlebih kelelahan ku bertambah saat les piano tadi, dan kini aku melampiaskannya.

Flashback on

“Ayo Azel,” ucap pria tua itu kepadaku.

Aku masih menatap Rainan yang sudah menghilang dari pandanganku, terlalu banyak pertanyaan yang kini muncul secara tiba-tiba di kepalaku.

Aku pun tersenyum dan kembali mengikuti langkah pria tua itu.

“Ruangan ini akan jadi milik kamu, sampai kamu menjadi pianis yang mahir,” kata pria tua itu ketika kami telah sampai di sebuah ruangan.

Ruangan itu bernuansa vintage, aku tidak terlalu suka dan tidak terlalu benci juga, hanya saja aneh bagiku yang kampungan dan sering berada di ruangan yang berwarna-warni dengan susunan barang yang tidak pernah rapi.

“Piano ini adalah piano turun menurun keluarga Adhitama. Setiap keluarga Adhitama pasti belajar dengan piano ini, umurnya sudah lumayan tua, tapi kualitasnya masih bagus, karena dirawat dengan sedemikan rupa. Mau coba?”

Aku tersenyum canggung. Karena tidak tahu harus menjawab apa, aku pun melangkah duduk di kursi dan meletakkan jari-jari ku di atas tuts piano tua ini.

Apa aku boleh jujur sekarang, aku sama sekali tidak paham. Aku hanya pernah memainkan pianika sebelumnya, itupun dengan angka-angka nada yang sudah ditulis.

Dengan ragu aku menekan sebuah tuts yang aku sendiri tidak tahu itu membunyikan nada apa.

Aku tersontak kala tangan pria tua itu memegang pundak ku.

“Sepertinya kamu belum paham, biar saya perlihatkan.”

Aku pun segera berdiri agar pria itu bisa duduk dan mulai memainkan sebuah alunan musik klasik.

Aku tidak paham tentang musik tapi setidaknya aku tahu ini adalah musik klasik. Aku melihat jari-jari pria tua itu dengan lihai menekan tuts demi tuts hingga menyuarakan alunan musik klasik itu. Ku angkat tanganku yang kini sedikit berkeringat, aku bertanya-tanya kepada diri sendiri apa aku bisa?

Permainan pria tua itu selesai, dia selesaikan dengan senyum yang mengembang di bibirnya, kemudian dia berdiri dari kursi itu.

“Silahkan duduk lagi,” titahnya.

Tanpa protes aku kembali duduk, mataku mengikuti pergerakan pria tua itu yang sedang mengambil sesuatu dari sebuah lemari yang tidak jauh dari sana.

Setelah kulihat ternyata itu sebuah rotan berukuran kecil dengan panjang yang mungkin hampir 60 centimeter. Apa mulai dilanda rasa takut kini.

“Saya ajarkan kamu perlahan-lahan tentu saja, jangan takut. Yang perlu kamu ingat, saya tidak pemarah, dan saya tidak akan pernah kasar.”

Ah, syukurlah, setidaknya pria tua itu bukan tipe guru yang galak.

“Jika kamu tidak memancing dua hal itu. Tapi, jika kamu memancingnya untuk keluar, maka saya tidak akan segan, walaupun kamu adalah Adhitama,” katanya yang terdengar seperti ancaman, membuatku tertegun seketika.

Pria tua itu berdiri di sebelah kiriku, tangan kanan yang memegang rotan dia arahkan ke sebuah tuts, yang kemudian aku t kan secara perlahan. Aku mengenali nada ini. Rotan yang dia pegang terus menunjukkan ke tuts selanjutnya dan segera aku tekan juga. Sampai aku benar-benar paham, nada-nada yang keluar barusan adalah nada 'do re mi fa sol la si'. Kalau tidak salah namanya tangga nada skala diatonik.

Pria tua itu terus mengarahkan tangan-tangan ku harus menekan tuts yang mana lagi setelahnya. Sayangnya aku hanya bisa menggunakan satu tangan untuk memainkan nada-nada itu.

“Hafal? Sekarang mainkan dengan dua tangan,” titahnya.

Tentu saja aku tidak bisa, tapi aku tidak bisa melawan. Mau tidak mau aku harus menunjukkan kebodohanku sekarang.

Sial Azel sial, mungkin saja kamu lo bakalan dipikul sekarang, rutukku.

“Jangan takut dan jangan tegang, wajar saja kalau kamu masih belum paham, saya berikan kamu satu jam untuk bisa memainkan nada yang saya berikan tadi dengan dua tangan.”

Diluar dugaan dia sama sekali tidak marah, tapi memberiku kesempatan. Tapi hanya satu jam? Apa aku bisa? Jika tidak, apa aku akan dijadikan sasaran empuk rotan yang ada di tangannya.

Entahlah, yang terpenting hidupku tergantung kepada diriku sendiri sekarang.

Flashback off

“Bodoh Azel bodoh,” rutukku kepada diri sendiri ketika mengingat kebodohanku tadi.

Aku tidak bisa memainkan nada dasar dengan kedua tangan, bahkan dengan satu tangan pun aku masih saja kaku dan salah. Padahal aku sudah diberikan kesempatan untuk belajar, tidak hanya satu jam tapi hampir tiga jam, dan hasilnya sama saja.

Pria tua itu memang tidak menghukum ku, tapi tetap saja pasti dia akan memberikan laporan kepada Papa. Bagaimana jika Papa yang akan menghukum ku nantinya.

“Argh lo mikir apasih, Zel!” Ucapku kepada diri sendiri.

Aku segera bangkit dari posisi tidur, merubah posisiku menjadi duduk di atas kasur.

“Memang lo diadopsi buat tidur-tiduran? Sadar, Zel! Belajar! Lo diadopsi keluarga kaya raya, keluarga ternama, jangan malu-maluin.” Aku bermonolog mengingatkan diriku sendiri, anggap saja aku gila. Ah, kalau kata Rainan aku memang sudah gila.

Aku pun segera bangkit dan melangkah berjalan menuju meja belajarku. Aku buka laptop yang ada di meja ku. Jangan kira aku pandai menggunakannya, aku hanya bisa membuka google dan YouTube saja, selebihnya aku bodoh. Dari panti asuhan aku hanya dibekalkan ponsel butut saja, mana mungkin tiba-tiba aku bisa menggunakan barang canggih seperti ini.

Aku pun mencari-cari tentang bagaimana agar tangan tidak kaku. Singkatnya sebut saja tutorial bermain piano agar tidak kaku. Ya, aku cari itu di YouTube, mungkin aku akan ditertawakan oleh Rainan jika ada dia di sini sekarang.

Aku menyimak video demi video yang ku putar dengan seksama, sampai fokusku terganggu dengan notifikasi yang terus masuk ke ponsel ku—yang tadinya aku bawa dari nakas.

Aku mengira itu pesan dari Rayna karena siapa lagi yang akan mengganggu di tengah malam seperti ini.

Ternyata perkiraan ku salah, pesan masuk itu berasal dari Yan, teman ku di sekolah. Ada apa dia mengirimkan pesan malam-malam seperti ini.

#

Butuh waktu lama agar aku diizinkan masuk ke dalam rumah pohon milik Rayna. Tapi, akhirnya aku pun masuk setelah berdebat panjang dengan Rayna.

Aku takjub dengan isi rumah itu, tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil juga. Terasa begitu nyaman, apalagi dilengkapi dengan projector yang kini sedang menyala. Rayna sedang menonton film netflix, tidak pernah aku duga.

Setelah mengizinkan aku masuk Rayna kembali lagi ke kasur kecil miliknya dan kembali fokus dengan tayangan film yang terus berjalan. Aku memilih untuk diam dan duduk saja, entah mengapa setiap di samping Rayna nyali ku meredup.

“Gue tahu maksud lo sekarang,” kataku memecahkan keheningan setelah film yang ditonton Rayna selesai.

“Apa?” Sahutnya.

Aku tersenyum untung saja dia tidak mengacuhkan ku.

Good luck and belajar. Gue tahu sekarang.”

Terdengar Rayna menghela napas panjang, sebelum dia menoleh dan kini dia menatapku.

“Yang mana, ya? Gue amnesia.”

Wah ... Aku lupa kalau sekarang sedang berhadapan dengan siapa. Sangat mengesalkan, bahkan raut wajah yang dia tunjukan, begitu mengesalkan.

Aku mendecak kesal. “Lo kenapa?”

“Gue? Gue kenapa?”

“Ray—”

“Gue nggak apa-apa.” Dia memotong kalimat yang belum sempat keluar dari mulutku.

Aku hanya bisa menghela napas panjang.

“Gue percaya, lo, Ray. Setidaknya karena lo, gue aman di sini, entah kenapa?”

Rayna tertawa kecil. Mungkin karena ucapanku yang sedikit ngelantur, ya. Aku saja tidak tahu kenapa tiba-tiba mengucapkan hal itu.

“Memang harus, percaya sama gue. Jangan batu.”

Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepalaku. Sepertinya dia sudah kembali seperti yang Rayna yang kulihat pertama kali.

Bahkan sekarang dia sedang mengomel panjang lebar, tentang aku tidak boleh ini, dan itu. Dia memperingati semuanya, sampai akhir kalimatnya dia berkata, “Jangan sampe gila aja nanti, kayak gue.”

Aku tidak paham dengan apa yang dia katakan. Tapi, ingin sekali aku bertanya apa maksudnya, dan bertanya dia sebenarnya siapa, dan apa yang terjadi kemarin dan hari ini kepadanya. Tapi aku sadar bukan ini saatnya, terlebih hubungan kami yang belum begitu dekat, dibilang teman saja sepertinya bukan.

Namun ada satu hal yang harus aku katakan kepadanya. “Ray ... Thanks, udah ingetin gue, kalau gue sekarang adalah Azel Khaisan Adhitama.”


Malam ini aku tidak ada jadwal seperti malam kemarin, harus berhadapan dengan Papa setiap malamnya. Tapi, aku harus berhadapan dengan dunia baru lagi, yaitu dunia musik.

Aku sedang diantarkan menuju tempat les piano ku. Padahal waktu sudah menunjukkan jam delapan malam.

Mobil yang aku tumpangi memasuki sebuah pekarangan rumah, yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga. Mobil itu berhenti tepat di belakang sebuah mobil juga. Aku pun turun dari mobil itu, tidak lupa aku bawa backpack ku yang beberapa buku, serta beberapa buku catatan mata pelajaran hari ini, jaga-jaga kalau nanti sepulang dari sini aku akan berhadapan dengan Papa lagi.

Aku dibawa masuk ke rumah itu, aku menduga kalau itu adalah bukan hanya sekedar rumah, tapi juga tempat les piano. Mungkin ada beberapa murid lainnya di dalam sana, syukurlah kalau begitu, setidaknya aku tidak sendiri.

Entah kenapa aku sangat gugup, sangking gugupnya bibirku terasa kering. Aku mengikuti langkah seorang pria sebut saja dia Damian, dia yang selalu mengantarkan ku ke sekolah dan kemana saja.

Sampai kita akhirnya tiba di depan pintu rumah itu. Pintu itu terbuka menampakkan seorang pria tua mungkin umurnya sama dengan Papa. Dia menyambut aku dan Damian dengan begitu ramah.

“Kamu Azel?” Tanyanya.

Aku pun mengangguk dan memberikan senyuman ramah.

“Saya Azel Khaisan Adhitama, salam kenal.”

Dia ikut tersenyum kemudian merangkul ku ke dalam, anehnya Damian tidak ikut ke dalam. Aku dirangkul hingga sampai ke ruang tengah, aku berhadapan dengan seseorang yang sepertinya aku kenal.

Bukan sepertinya, tapi aku memang begitu mengenal dia. Segera aku berbalik badan untuk memastikan.

“Rainan!” Seruku memanggil nama dia.

Ya, aku yakin dia adalah Rainan, sahabat serta saudara ku dulu di panti asuhan. Aku yakin aku tidak keliru. Wajahnya sangat sama, bedanya dia terlihat murung sekarang.

Anehnya dia tidak menoleh, apa ada yang salah? Aku yakin kalau dia itu Rainan. Bahkan sampai dia keluar dari pintu pun dia tidak menoleh.

Aku yakin dia Rainan, tapi aku tidak yakin dia adalah Rainan yang dulu. Rainan yang selalu mendengarkan panggilanku walau dia tahu aku akan jahil kepadanya.

#

Butuh waktu lama agar aku diizinkan masuk ke dalam rumah pohon milik Rayna. Tapi, akhirnya aku pun masuk setelah berdebat panjang dengan Rayna.

Aku takjub dengan isi rumah itu, tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil juga. Terasa begitu nyaman, apalagi dilengkapi dengan projector yang kini sedang menyala. Rayna sedang menonton film netflix, tidak pernah aku duga.

Setelah mengizinkan aku masuk Rayna kembali lagi ke kasur kecil miliknya dan kembali fokus dengan tayangan film yang terus berjalan. Aku memilih untuk diam dan duduk saja, entah mengapa setiap di samping Rayna nyali ku meredup.

“Gue tahu maksud lo sekarang,” kataku memecahkan keheningan setelah film yang ditonton Rayna selesai.

“Apa?” Sahutnya.

Aku tersenyum untung saja dia tidak mengacuhkan ku.

Good luck and belajar. Gue tahu sekarang.”

Terdengar Rayna menghela napas panjang, sebelum dia menoleh dan kini dia menatapku.

“Yang mana, ya? Gue amnesia.”

Wah ... Aku lupa kalau sekarang sedang berhadapan dengan siapa. Sangat mengesalkan, bahkan raut wajah yang dia tunjukan, begitu mengesalkan.

Aku mendecak kesal. “Lo kenapa?”

“Gue? Gue kenapa?”

“Ray—”

“Gue nggak apa-apa.” Dia memotong kalimat yang belum sempat keluar dari mulutku.

Aku hanya bisa menghela napas panjang.

“Gue percaya, lo, Ray. Setidaknya karena lo, gue aman di sini, entah kenapa?”

Rayna tertawa kecil. Mungkin karena ucapanku yang sedikit ngelantur, ya. Aku saja tidak tahu kenapa tiba-tiba mengucapkan hal itu.

“Memang harus, percaya sama gue. Jangan batu.”

Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepalaku. Sepertinya dia sudah kembali seperti yang Rayna yang kulihat pertama kali.

Bahkan sekarang dia sedang mengomel panjang lebar, tentang aku tidak boleh ini, dan itu. Dia memperingati semuanya, sampai akhir kalimatnya dia berkata, “Jangan sampe gila aja nanti, kayak gue.”

Aku tidak paham dengan apa yang dia katakan. Tapi, ingin sekali aku bertanya apa maksudnya, dan bertanya dia sebenarnya siapa, dan apa yang terjadi kemarin dan hari ini kepadanya. Tapi aku sadar bukan ini saatnya, terlebih hubungan kami yang belum begitu dekat, dibilang teman saja sepertinya bukan.

Namun ada satu hal yang harus aku katakan kepadanya. “Ray ... Thanks, udah ingetin gue, kalau gue sekarang adalah Azel Khaisan Adhitama.”


Malam ini aku tidak ada jadwal seperti malam kemarin, harus berhadapan dengan Papa setiap malamnya. Tapi, aku harus berhadapan dengan dunia baru lagi, yaitu dunia musik.

Aku sedang diantarkan menuju tempat les piano ku. Padahal waktu sudah menunjukkan jam delapan malam.

Mobil yang aku tumpangi memasuki sebuah pekarangan rumah, yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga. Mobil itu berhenti tepat di belakang sebuah mobil juga. Aku pun turun dari mobil itu, tidak lupa aku bawa backpack ku yang beberapa buku, serta beberapa buku catatan mata pelajaran hari ini, jaga-jaga kalau nanti sepulang dari sini aku akan berhadapan dengan Papa lagi.

Aku dibawa masuk ke rumah itu, aku menduga kalau itu adalah bukan hanya sekedar rumah, tapi juga tempat les piano. Mungkin ada beberapa murid lainnya di dalam sana, syukurlah kalau begitu, setidaknya aku tidak sendiri.

Entah kenapa aku sangat gugup, sangking gugupnya bibirku terasa kering. Aku mengikuti langkah seorang pria sebut saja dia Damian, dia yang selalu mengantarkan ku ke sekolah dan kemana saja.

Sampai kita akhirnya tiba di depan pintu rumah itu. Pintu itu terbuka menampakkan seorang pria tua mungkin umurnya sama dengan Papa. Dia menyambut aku dan Damian dengan begitu ramah.

“Kamu Azel?” Tanyanya.

Aku pun mengangguk dan memberikan senyuman ramah.

“Saya Azel Khaisan Adhitama, salam kenal.”

Dia ikut tersenyum kemudian merangkul ku ke dalam, anehnya Damian tidak ikut ke dalam. Aku dirangkul hingga sampai ke ruang tengah, aku berhadapan dengan seseorang yang sepertinya aku kenal.

Bukan sepertinya, tapi aku memang begitu mengenal dia. Segera aku berbalik badan untuk memastikan.

“Rainan!” Seruku memanggil nama dia.

Ya, aku yakin dia adalah Rainan, sahabat serta saudara ku dulu di panti asuhan. Aku yakin aku tidak keliru. Wajahnya sangat sama, bedanya dia terlihat murung sekarang.

Anehnya dia tidak menoleh, apa ada yang salah? Aku yakin kalau dia itu Rainan. Bahkan sampai dia keluar dari pintu pun dia tidak menoleh.

Aku yakin dia Rainan, tapi aku tidak yakin dia adalah Rainan yang dulu. Rainan yang selalu mendengarkan panggilanku walau dia tahu aku akan jahil kepadanya.

“Yak! Yang terakhir sampai dia yang cuci piring nanti malam,” seruku saat mereka bertiga tiba di halaman—tempat biasa kami menghabiskan waktu.

Mereka bertiga kompak mendesis dan menatap tajam ke arahku.

“Gak ada. Tetap jadwal lo malam ini,” protes Rainan tidak terima.

Dasar Rainan, pasti tidak mau kalau aku untung seperti ini. Karena aku sedang dalam mood yang baik, jadi aku memutuskan untuk merusak mood mereka.

Aku bercanda, hari ini aku tidak berniat jahil ... Banyak ... Hanya jahil sedikit.

“Azel memang gitu, dasar pemalas.” Navan yang duduk di ujung ikut bersuara memanaskan suasana. Kalau begini aku akan kalah suara, Jovan pasti akan ikut protes.

“Ya, ya, gue yang cuci tetap,” sahutku sebelum Jovan angkat suara juga.

“By the way, kenapa ngajak kemari, sih?” Tanya Rainan.

Aku terdiam sejenak, memang tidak ada alasan khusus. Hanya ingin menghabiskan waktu saja. Tapi, enak jika digunakan untuk berangan-angan seperti biasa.

“Enak kali, ya, kalau kita punya rumah,” kataku.

Aku menatap mereka secara bersamaan, mereka mengerutkan kening keheranan mendengar ucapanku.

“Kan itu udah ada rumah,” jawab Jovan, disetujui oleh Rainan dan Navan.

Aku menggeleng. “Itu mah, bukan rumah. Maksud gue, tuh ..., Rumah yang nyaman.”

“Ini ceritanya lagi ngajak berangan-angan, lagi?”

Aku mengangguk membenarkan pertanyaan Rainan. Lalu kembali menatap mereka satu persatu.

Aku kira mereka akan menolak dan pergi dari sana. Nyatanya mereka setuju, dan kini kita memulai berangan-angan lagi seperti biasanya. Mengungkapkan semua imajinasi yang terus berkembang di pikiran.

Sesekali aku tertawa saat mendengar angan-angan mereka yang begitu tinggi.

Kalau aku, tidak banyak, hanya ingin rumah yang ramah saja, tidak lebih.

“Yak! Yang terakhir sampai dia yang cuci piring nanti malam,” seruku saat mereka bertiga tiba di halaman—tempat biasa kami menghabiskan waktu.

Mereka bertiga kompak mendesis dan menatap tajam ke arahku.

“Gak ada. Tetap jadwal lo malam ini,” protes Rainan tidak terima.

Dasar Rainan, pasti tidak mau kalau aku untung seperti ini. Karena aku sedang dalam mood yang baik, jadi aku memutuskan untuk merusak mood mereka.

Aku bercanda, hari ini aku tidak berniat jahil ... Banyak ... Hanya jahil sedikit.

“Azel memang gitu, dasar pemalas.” Navan yang duduk di ujung ikut bersuara memanaskan suasana. Kalau begini aku akan kalah suara, Jovan pasti akan ikut protes.

“Ya, ya, gue yang cuci tetap,” sahutku sebelum Jovan angkat suara juga.

“By the way, kenapa ngajak kemari, sih?” Tanya Rainan.

Aku terdiam sejenak, memang tidak ada alasan khusus. Hanya ingin menghabiskan waktu saja. Tapi, enak jika digunakan untuk berangan-angan seperti biasa.

“Enak kali, ya, kalau kita punya rumah,” kataku.

Aku menatap mereka secara bersamaan, mereka mengerutkan kening keheranan mendengar ucapanku.

“Kan itu udah ada rumah,” jawab Jovan, disetujui oleh Rainan dan Navan.

Aku menggeleng. “Itu mah, bukan rumah. Maksud gue, tuh ..., Rumah yang nyaman.”

“Ini ceritanya lagi ngajak berangan-angan, lagi?”

Aku mengangguk membenarkan pertanyaan Rainan. Lalu kembali menatap mereka satu persatu.

Aku kira mereka akan menolak dan pergi dari sana. Nyatanya mereka setuju, dan kini kita memulai berangan-angan lagi seperti biasanya. Mengungkapkan semua imajinasi yang terus berkembang di pikiran.

Sesekali aku tertawa saat mendengar angan-angan mereka yang begitu tinggi.

Kalau aku, tidak banyak, hanya ingin rumah yang ramah saja, tidak lebih.

“Eh, gue penasaran deh, Zel. Di panti asuhan lo dulu, yang jadi penanggung jawab siapa?” tanya Gisel yang sedang menyantap makan siangnya.

Hari ini adalah hari keduaku di sekolah baru. Semuanya berjalan dengan lancar, walaupun susah bagiku untuk mencerna pembelajaran hari ini. Masih mata pelajaran satu dan dua hari ini, tapi sudah cukup memusingkan.

Akhirnya aku ikut ke kantin dengan Yan dan Gisel, daripada di kelas, yang membuat kepalaku hampir pecah.

“Penanggung jawab itu maksudnya orang tua?” tanyaku sebelum memberi jawaban yang pasti.

Gisel mengangguk. Aku meneguk air mineral ku lalu ku tatap Gisel dan Yan secara bergantian.

“Ada Ayah,” jawabku.

Gisel dan Yan ber-o ria sebagai respon mereka.

“Kalo kita sih Ibu, iya, kan, Yan?”

Aku hampir tersedak sandwich yang sedang kumakan. Aku tidak menduga kalau mereka berdua juga anak dari panti asuhan?

Aku menatap Gisel dan Yan yang ada di hadapanku dengan serius. Terlebih ketika Yan mengangguk.

“Iya, baik banget lagi, kalau Ayah gimana, tuh, Zel?”

Aku tidak langsung menjawab karena masih terkejut dan tidak menyangka kalau mereka juga di panti asuhan.

“Baik juga, kok. Gue kira kalian bukan dari panti asuhan.” Tadi pagi saat kelas belum dimulai, aku banyak bercerita dengan Yan dan Gisel, termasuk menceritakan tentangku adalah anak angkat keluarga Adhitama. Aku kira mereka akan menunjukkan ekspresi yang gimana-gimana, tapi ternyata biasa saja, seakan mereka sudah tahu semuanya.

Aneh, Yan dan Gisel kompak tertawa. Memang ada yang lucu dari pertanyaanku.

“Kita sama, Zel. Tapi nasib kita beda, karena lo Adhitama sekarang.” Setelah mengatakan itu Gisel kembali melahap makan siangnya.

Aku masih terdiam, aku tidak paham. Kalimat itu kembali lagi aku dengar untuk kesekian kalinya, tapi ini dari orang yang berbeda. Lebih anehnya dia adalah seseorang yang baru saja aku kenal. Seakan-akan dia tahu tentang Adhitama.

Aku jadi penasaran sekaya dan seterkenal apa keluar Adhitama, sampai saat aku memperkenalkan namaku semua mata tertuju kepadaku.

“Eh, gue penasaran deh, Zel. Di panti asuhan lo dulu, yang jadi penanggung jawab siapa?” tanya Gisel yang sedang menyantap makan siangnya.

Hari ini adalah hari keduaku di sekolah baru. Semuanya berjalan dengan lancar, walaupun susah bagiku untuk mencerna pembelajaran hari ini. Masih mata pelajaran satu dan dua hari ini, tapi sudah cukup memusingkan.

Akhirnya aku ikut ke kantin dengan Yan dan Gisel, daripada di kelas, yang membuat kepalaku hampir pecah.

“Penanggung jawab itu maksudnya orang tua?” tanyaku sebelum memberi jawaban yang pasti.

Gisel mengangguk. Aku meneguk air mineral ku lalu ku tatap Gisel dan Yan secara bergantian.

“Ada Ayah,” jawabku.

Gisel dan Yan ber-o ria sebagai respon mereka.

“Kalo kita sih Ibu, iya, kan, Yan?”

Aku hampir tersedak sandwich yang sedang kumakan. Aku tidak menduga kalau mereka berdua juga anak dari panti asuhan?

Aku menatap Gisel dan Yan yang ada di hadapanku dengan serius. Terlebih ketika Yan mengangguk.

“Iya, baik banget lagi, kalau Ayah gimana, tuh, Zel?”

Aku tidak langsung menjawab karena masih terkejut dan tidak menyangka kalau mereka juga di panti asuhan.

“Baik juga, kok. Gue kira kalian bukan dari panti asuhan.” Tadi pagi saat kelas belum dimulai, aku banyak bercerita dengan Yan dan Gisel, termasuk menceritakan tentangku adalah anak angkat keluarga Adhitama. Aku kira mereka akan menunjukkan ekspresi yang gimana-gimana, tapi ternyata biasa saja, seakan mereka sudah tahu semuanya.

Aneh, Yan dan Gisel kompak tertawa. Memang ada yang lucu dari pertanyaanku.

“Kita sama, Zel. Tapi nasib kita beda, karena lo Adhitama sekarang.” Setelah mengatakan itu Gisel kembali melahap makan siangnya.

Aku masih terdiam, aku tidak paham. Kalimat itu kembali lagi aku dengar untuk kesekian kalinya, tapi ini dari orang yang berbeda. Lebih anehnya dia adalah seseorang yang baru saja aku kenal. Seakan-akan dia tahu tentang Adhitama.

Aku jadi penasaran sekaya dan seterkenal apa keluar Adhitama, sampai saat aku memperkenalkan namaku semua mata tertuju kepadaku.

Samar-samar aku mendengar suara ketukan pintu dan suara memanggil namaku dari luar. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi segera melangkah dan membukakan pintu.

Ternyata itu Mama, segera aku memberikan senyum menyambutnya.

“Selamat malam, Ma. Maaf Azel habis dari kamar mandi,” kataku sedikit tidak enak.

Mama membalas senyumku dengan senyum elegannya.

“Nggak apa-apa, ayo makan malam, udah ditunggu Papa,” ajak Mama sembari merangkul pundak ku.

Rasanya masih sama, masih aneh. Biasanya aku akan pergi sendiri ke dapur dan balap-balapan siapa yang akan mendapatkan lauk banyak untuk makan. Tapi hari ini, aku dijemput oleh seorang wanita cantik yang kupanggil Mama. Benar-benar seperti sedang mimpi.

Makan malam sama seperti sarapan tadi, tidak banyak ada yang bersuara, hanya ada suara sendok dan piring yang bersentuhan.

Setelah makan aku tidak langsung beranjak seperti biasa, melainkan menunggu Papa dan Mama selesai makan juga.

Papa sudah menyelesaikan makan malamnya itu, entah mengapa aku merasa tegang, terlebih Papa kini menatapku.

“Gimana sekolahnya, Azel?” Tanya Papa, menarik perhatian Mama yang sedang minum.

Aku tersenyum sebelum menjawab, “Baik, Pa. Azel ketemu teman-teman yang baik.” Tidak lupa aku menatap Papa ketika menjawab pertanyaannya.

Papa mengangguk kemudian dia kembali meneguk air putih. Lalu Papa berkata, “Setelah ini ke ruangan kerja Papa, Papa tunggu.” Papa segera berdiri dari tempat duduknya dan beranjak dari sana.

Aku mengangguk. “Baik, Pa.” Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak, rasa takut dan was-was menjadi satu.

Mama yang menyadari perubahan sikapku, dia segera beranjak dari kursinya dan duduk di kursi yang ada di sampingku.

“Kamu takut?” Tanya Mama dengan suara lembutnya.

Aku terdiam sesaat sebelum menggeleng canggung.

“Enggak, Ma,” jawabku dengan suara yang sedikit bergetar.

Mama tersenyum kemudian meraih kedua tanganku dan dibawa ke genggamannya.

Dia menggenggam tanganku begitu erat, aku bisa merasakan hangat tangannya.

“Jangan takut, kamu sekarang putra Adhitama, kamu spesial.”

Aku tersenyum kikuk. Entah kenapa aku jadi ingat perkataan Rayna tadi, yang menyinggung tentang aku adalah Azel Khaisan Adhitama sekarang.

Sedikit bingung dengan posisi ku. Sebenarnya aku harus takut atau senang?

Entahlah, yang terpenting aku harus segera ke ruangan kerja Papa sekarang.

“Iya, Ma. Azel ke ruang kerja Papa dulu, ya?” Pamit ku.

Mama mengangguk dan segera melepaskan genggaman tangannya.


Aku tiba di depan pintu ruang kerja Papa. Padahal masih di depannya, tapi jantungku seakan ingin berhenti begitu saja.

Tanganku tertahan di knop pintu, tidak berani membukanya, bahkan tangan satunya lagi tidak berani aku angkat untuk mengetuk pintu.

Tapi, aku tidak bisa seperti ini. aku menarik napas panjang dan ku buang perlahan, setelah ku rasa tenang, aku ketuk perlahan pintu itu.

“Pa, Azel masuk.”

Setelah pintu terbuka aku lihat Papa sedang duduk di kursi kerjanya, dengan komputer dan beberapa berkas di atas mejanya.

Mendengar suara pintu terbuka Papa menoleh ke arah pintu dan dia tersenyum kepadaku.

“Sini,” katanya, menunjuk kursi yang ada di hadapannya.

Setelah aku tutup pintu, aku melangkah menuju kursi yang ditunjuk Papa. Langkahku boleh saja terlihat santai, tapi detak jantung ku berpacu dengan cepat sekarang.

“Beneran sekolah kamu baik-baik saja tadi?” Tanya Papa lagi, setelah aku duduk di kursi di hadapannya.

Aku mengangguk, tak lupa aku tersenyum agar tidak terlihat begitu tegang.

“Baik, Pa. Teman-teman juga baik.”

“Oh, ya? Berarti benar kata Ayah Dovi, kamu memang cepat bergaul dengan orang sekitar,” ucapnya.

Ayah ... Sudah berapa hari aku tidak mengabarinya, mendengar namanya aku menjadi tenang seketika.

“Iya, Pa. Walaupun sedikit canggung, tapi untungnya ada dua orang yang mau deket sama Azel,” kataku.

Aku tidak berbohong, memang tadi aku berhasil berbincang dengan beberapa murid lainnya. Tapi hanya Yan dan Gisel saja yang bisa sedekat itu denganku sampai sekarang.

“Siapa namanya?”

“Yan dan Gisel.”

Papa mengangguk, hanya itu reaksi yang dia berikan. Tapi entah mengapa aku senang, karena setidaknya Papa peduli dengan apa yang aku lakukan di sekolah tadi, berbeda dengan Ayah. Ayah sama sekali tidak ingin tahu tentangku. Wajar saja, dia hanya Ayah yang mengurusku di panti asuhan bukan, dia harus adil dengan anak-anak lainnya.

“Mata pelajaran di sekolah itu, susah bagi kamu?”

Aku menggeleng, untuk hari ini sebenarnya sama sekali tidak susah, karena pelajaran hari ini termasuk pelajaran umum. Matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, tapi ada satu mata pelajaran jurusan tadi aku lupa, tapi seingatku yang kupelajari tentang surat menyurat.

“Termasuk gampang, Pa. Karena masih pelajaran umum, matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris,” jawabku.

Papa mengangguk. Lalu dia melepaskan kaca mata yang dia kenakan tadi, dan memijit matanya pelan, sebelum dia kembali menatapku.

“Kamu suka matematika, Azel?”

Aku harus jawab apa sekarang. Bukannya tidak suka, tapi ... Susah dijelaskannya.

“Hmm ... Azel paham tadi tidak terlalu suka matematika,” jawabku jujur. Jujur aku takut Papa akan marah.

Tapi bukannya marah, Papa malah tertawa mendengar jawabanku.

“Sama kayak, Papa. Memang kalau angka-angka begitu bikin pusing,” ujarnya.

Untunglah Papa enggak marah. Setelah mengatakan itu, Papa mengambil sesuatu dari laci mejanya, aku tidak tahu apa, tapi seperti kertas.

Ya, benar. Ada beberapa kertas yang Papa keluarkan, tapi aku tidak tahu apa isinya.

“Papa punya permainan, sebenarnya buat lihat sampai mana pengetahuan Papa.”

Papa menyerahkan beberapa lembar kertas kepadaku, dan juga dia sisakan untuk dirinya.

Aku mengangkat kertas itu dan membaca isinya. Kertas itu berisikan beberapa soal matematika dan juga bahasa Indonesia. Tidak sampai situ ternyata, saat aku lihat kertas berikutnya, juga ada soal bahasa Inggris dan juga soal tentang surat menyurat.

Aneh. Aku langsung menegakkan kepalaku agar bisa menatap Papa.

“Cuman dua puluh soal, bisa, kan?” Tanya Papa.

Aku mengangguk. “Bisa, Pa.”

“Waduh kayaknya Papa harus kalah, nih, soalnya anak Papa yakin banget. Mulai!”

Aku tertegun lalu kembali menatap soal-soal itu. Aku merasa seperti de javu. Benar saja, aku mengerjakan soal-soal ini tadi di sekolah. Aku mengernyit kemudian mengangkat kepala ku lagi. Aku lihat Papa yang kini sedang mengerjakan soal-soal itu dengan begitu serius.

Lalu aku kembali dan mulai mengerjakannya, karena aku mengingat semuanya dengan jelas, jadi ini mudah bagiku.

Ayo lah, aku ini Azel Khaisan, biasanya juga aku yang menantang.

Butuh waktu hampir satu jam untukku menyelesaikan soal-soal itu, karena ada beberapa soal essai yang membutuhkan konsentrasi penuh. Disusul oleh Papa yang juga menyelesaikannya setelah beberapa menit aku selesai.

Aku menyerahkan kertas milikku kepada Papa. Sekarang Papa seperti sedang memeriksanya, aku sedikit takut kalau ada yang salah.

“Kamu suka musik, Azel?” Tanya Papa, setelah dia membaca soal-soal tadi.

Aku tersentak sedikit, merasa heran kenapa Papa tidak menyinggung tentang soal itu? Malah bertanya tentang hal lain.

“Su-suka, Pa,” jawabku sedikit grogi.

“Papa daftarkan kamu les piano. Papa udah lihat jawaban-jawaban kamu ...” Papa kembali mengangkat kertas milikku. “Jawabannya benar semua. Kamu pintar, benar kata Ayah Dovi.”

Aku masih diam tidak menunjukkan reaksi apa-apa, karena masih bingung dengan keadaan sekarang.

Tiba-tiba aku ditantang mengerjakan soal, dan tiba-tiba aku sudah didaftarkan les piano.

Papa seakan paham dengan reaksi yang aku tunjukan, dia tertawa kecil kemudian berkata, “Kamu itu Adhitama, Azel. Azel Khaisan Adhitama.”

Deg!

Aku baru paham sekarang. Alasan mengapa Rayna menyuruhku belajar, alasan Rayna menyuruhku untuk mengingat semua apa yang aku lakukan dan apa yang aku pelajari di sekolah.

Agar aku bisa menghadapi Papa. Lantas, bagaimana kalau aku gagal tadi? Pasti Rayna tahu jawabannya.

Kalimat bahwa aku sekarang adalah Adhitama, sama seperti yang Rayna katakan sebelumnya. Tapi, aku masih belum bisa mengerti maksudnya. Satu-satunya yang tahu adalah Rayna tentu saja.

Apa yang akan terjadi setelah ini, apa yang akan aku hadapi setelah ini, apa yang akan menjadi tanggung jawab ku setelah ini. Setelah aku menjadi Azel Khaisan Adhitama.

Hanya dia yang tahu. Rayna ... Sebenarnya kamu itu siapa?

“Lo suka sama gue?” tanyaku ketika Rayna sudah berada di kamarku. Dia masuk melalui jendela kamarku tentu saja. Padahal bisa saja dia masuk dari pintu, apalagi Papa dan Mama belum pulang.

“Kalo di dunia ini tinggal lo sama tikus, gue lebih milih tikus,” jawab Rayna atas pertanyaanku. Sangat mengesalkan, tapi harus diingat dia adalah Rayna.

“Lo biasa habis pulang sekolah ngapain?” tanya Rayna, dia sambil menjelajahi isi kamarku.

Aku menghela napas panjang kemudian mendudukkan tubuhku di atas kasur.

“Main,” jawabku sambil memainkan rubik yang tadinya sempat aku mainkan setelah pulang sekolah.

Memang apalagi yang harus dilakukan oleh anak sekolah seperti, terlebih lagi dahulu. Selepas pulang sekolah aku menghabiskan waktu untuk main, main dan main. Walaupun ujung-ujungnya akan dimarahi oleh Ayah, tapi bukankah itu hal wajar? Hidup sebagai remaja, ya, aku harus menikmati masa-masa itu terlebih dahulu.

“Ok. Sekarang lo belajar, ulang-ulang semua materi yang lo pelajari tadi,” titah Rayna dengan santainya.

Aku terkejut? Tentu saja. Sangking terkejutnya tanganku yang tadinya sedang memainkan rubik, berhenti begitu saja. Aneh, siapa dia menyuruhku dengan enaknya seperti itu.

Aku tertawa kecil. “Tanpa lo suruh, nanti gue juga belajar.”

Rayna merebut rubik yang ada di tanganku. Dia menyelesaikan susunan warna rubik terakhir, kemudian mengantungkan rubik milikku di hoodie kuning yang dia kenakan.

Aku lagi-lagi menghela napas, kemudian mengangkat kepala ku agar dapat menatap wajah Rayna.

“Lo sekarang Azel Khaisan Adhitama. Bukan hanya Azel Khaisan,” tegas Rayna.

Aku mengerutkan kening. Bukankah itu hal yang sama? Aku masih saja Azel, apa bedanya.

Sayangnya aku tidak punya niat untuk menjawab, entah mengapa aku seperti malas menjawabnya. Akhirnya aku hanya menatap Rayna sampai dia bersuara kembali.

“Jangan bilang lo gak ingat apa-apa di sekolah tadi?”

“Bahkan sepuluh nama panti asuhan karangan lo kemarin, gue masih ingat.”

Aku tidak berbohong, segera saja aku menyebutkan sepuluh nama panti asuhan itu. Begini-begini ingatkanku sangat kuat. Jadi masalah pelajaran aku termasuk murid pintar, hanya saja aku terlalu malas.

Rayna tertawa kecil setelah mendengar aku mengucapkan sepuluh nama panti asuhan itu.

“Good. Harusnya lo ingat terus.”

Kerutan di keningku semakin membentuk, bahkan sepertinya dua alisku hampir menyatu.

Tiba-tiba Rayna melemparkan rubik milikku yang sempat dia rebut tadi. Segera aku menangkapnya.

“Kalo lo percaya gue, lakuin apa yang gue bilang. Inget. Lo bukan hanya Azel sekarang, tapi lo Adhitama.”

Setelah mengatakan itu Rayna segera keluar dari kamarku melalu jendela lagi. Aku terheran apakah dia marah? Kenapa dia harus marah? Harusnya aku, kan, yang marah.

Dia hanya orang asing yang tiba-tiba mengatur hidupku, seberani apa dia. Bukan. Sepengecut apa aku kalau tidak membantah dia. Bukannya ini hidupku, lantas kenapa aku harus mengikuti perintah gadis tidak jelas itu?

“Hah ..., mending gue tidur.”

Setelah mendapatkan serangakaian arahan dari guru, aku akhirnya dibawa menuju ruang kelas, dimana aku akan memulai semuanya dari awal di sana.

Aku pun berhenti di depan pintu kelas, menunggu arahan dari guru yang membawa ku ke sini. Setelah mendapatkan arahan, aku pun mengangkat kaki ku, melangkah ke dalam.

Semua sorot mata murid-murid di kelas tertuju ke aku kini, tidak ada reaksi berlebihan hanya menatap saja.

Aku pun berdiri di depan kelas, di samping guru yang membawaku ke sini.

“Perkenalkan diri kamu,” titahnya.

Aku diam sejenak mengumpulkan semua keberanian ku, yang tiba-tiba saja hilang begitu saja.

“Perkenalkan ...,” Ucapku ketika keberanian ku kembali sepenuhnya.

“Nama saya Azel Khaisan ...” Aku memberi jeda sejenak. “Azel Khaisan Adhitama. Senang bertemu dengan kalian,” sambungku menyelesaikan kalimat perkenalan itu.

Anehnya kini mereka menunjukkan reaksi dengan berbisik-bisik satu sama lain. Samar-samar aku mendengar mereka menyinggung nama Adhitama, entah mengapa aku jadi takut.

“Oke, Azel, kamu boleh duduk di sebelah Yan. Yan angkat tangan.”

Aku melihat seorang murid pria mengangkat tangan kanannya, dia berada di meja nomor tiga dari depan, dan duduk di bangku di samping jendela.

“Terima kasih, Pak.”

Setelah mengucapkan kalimat terima kasih, aku melangkahkan kaki menuju bangku yang dimaksud tadi. Aku merasa aneh karena semua sorot mata masih tertuju pada ku.

Tanpa menunggu lama aku mengambil tempat duduk di samping murid laki-laki yang bernama Yan itu.

“Yan. Panggil aja Yan.”

Aku tersenyum. “Panggil gue Azel,” ucapku.

Pelajaran pertama dimulai, aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dijelaskan oleh guru di depan sana. Namun, ada satu hal yang harus aku ingat, yaitu pesan Rayna, apapun yang aku pelajari di sekolah, aku harus mengingatnya.

Aku pun berusaha untuk menyimak dan juga memahami, tidak lupa juga aku catat poin-poinnya.


“Ini catatan gue, kalo lo butuh buat baca-baca. Buat materi kelas sebelas nanti gue kirim dari email,” kata Yan, menyerahkan sebuah buku yang lumayan tebal kepadaku.

“Thanks.”

“No need. Kalo butuh apa-apa bilang aja ke gue.”

“Ya, dia bakalan bantu, lo. Kenalin nama gue Gisel.”

Aku sontak menoleh menatap seorang murid perempuan yang kini berdiri di sampingku.

“Nama dia Jijel, panggil aja ijel,” kata Yan.

“Enak aja lo!”

Aku tidak paham tapi sepertinya itu candaan mereka.

“Gue Azel.”

“Gue tahu.”

Mereka tertawa kecil, karena itu aku ikut tertawa juga agar tidak kelihatan bodoh.

“Lo ikut ke kantin?” Tanya Gisel.

Aku menggeleng. “Enggak dulu,” tolak ku, karena aku harus mengulang kembali materi yang tadi belum aku pahami samansekali.

“Ok. Kalau ada apa-apa kita di kantin, ya.”

Aku mengangguk, lalu Gisel dan Yan pun pergi dari kelas. Mereka terlihat begitu dekat, aku jadi mengingat Rainan, Jovan dan Navan lagi. Apa yang sedang mereka lakukan sekarang.

Kalau dulu kita akan menghabiskan waktu istirahat mengganggu siswi-siswi di sekolah, atau bermain di lapangan. Sekarang apa yang mereka lakukan?

Sepertinya aku harus kembali fokus dan melupakan tentang mereka sejenak. Aku pun kembali fokus dengan catatan-catatan yang ada di depanku.

Namun lagi-lagi aku samar-samar mendengar bisikan dari murid-murid yang masih di kelas. Aku yakin mereka sedang berbicara tentang ku, karena mereka menyinggung nama 'Adhitama'.


“Lo yakin mau temenan sama dia?” Gisel bertanya kepada Yan setelah mereka keluar dari kelas.

Yan tidak langsung menjawab. Melainkan mengukir sebuah senyum tipis di bibirnya.

“Dia Adhitama, Jel. Paham, 'kan, maksud gue?”