Panglimakun

Sang ahli yang tidak pernah puas

tw // kekerasan , blood , pembunuhan.

Dipenuhi adegan kekerasan ⚠️ ‼️ HARAP BIJAK ‼️


Sang ahli ... Tanyakan kepada dia apa yang dia cari selama ini. Maka jawabannya hanya satu dan itu sangat-sangat simpel. Kepuasan ... Hanya itu yang menjadi tujuan dari sang ahli.

Selama sang ahli belum merasa puas, maka dia tidak akan pernah berhenti melakukan hal yang dia senangi. Dan sang ahli tidak akan pernah merasa puas.

Lalu apa yang mendorongnya menjadi mudah melakukan ini ... Jawabannya karena dia sudah terbiasa. Dan dari kebiasaan itu Sang ahli mudah melakukan apapun yang dia mau, termasuk melakukan pembunuhan yang tiada hentinya.

Malam ini masih di malam yang sama, sang ahli sedang mencari-cari. Walau sang ahli sudah punya satu sasaran yang mungkin akan sangat memuaskan baginya. Tapi sang ahli tidak mau langsung ke sana, dia ingin merasakan hal biasa lagi terlebih dahulu. Seperti, membunuh gadis cantik yang akan tergoda dengan wajah tampannya.

“Halo cantik,” sapa sang ahli kepada seorang perempuan muda yang ada di sampingnya.

Perempuan itu mengukir sebuah senyuman, merasa senang karena pria yang dia perhatikan sedari tadi, kini menyapanya.

“Halo, Kak!” Balasnya dengan begitu ceria.

“Kamu dari tadi perhatiin saya, ya?” Tanya sang ahli—atau kita sebut saja sang pria.

Gadis itu mengangguk dengan yakin. “Maaf, ya, Kak. Aku cuman seneng aja ngelihatin cowok ganteng hujan-hujan gini.”

Sang pria terkekeh gemas, ada-ada saja menurutnya. “Kamu mau saya antar saja? Sepertinya bus terakhir akan terlambat ...” Sang pria mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Memang Kakak bawa mobil? Tapi kok neduh di halte?” Tanya gadis itu.

Sang pria tidak bisa menahan tawa karena pertanyaan polos yang keluar dari mulut gadis itu. Setelah tertawa dia pun tersenyum, kemudian menjawab, “Saya bawa, kamu lihat mobil hitam itu?” Sang pria menunjuk ke arah mobil hitam yang dimaksud.

Tanpa bertanya sang gadis mengikuti arah tangan sang pria, lalu dia mengangguk.

“Saya punya kebiasaan kalau hujan suka neduh, walaupun bawa mobil. Dan kebetulan sekali saya jumpa kamu di sini,” sambung sang pria lagi.

Gadis itu tertawa karena lucu saja mendengar jawaban dari sang pria yang ada di sampingnya.

“Boleh deh, Kak. Kalau nggak ngerepotin, soalnya aman juga, 'kan, pulang dianterin sama cowok,” ujar sang gadis tanpa berpikir panjang.

Sang pria menaikkan satu alisnya setelah mendengar ujaran sang gadis, serta tidak lupa dia menarik ujung bibir membentuk sebuah seringai kecil.

“Ya. Sama saya aman.”


Selama perjalanan sang pria mendominasi percakapan yang membuat gadis yang baru dia temui tadi merasa sangat nyaman. Tidak ada rasa canggung di antara mereka. Bahkan sang gadis tidak malu saat tertawa mendengar candaan demi candaan yang pria lontarkan.

Seketika sang gadis merasa aneh sebab sepertinya jalan yang dilewati oleh mereka bukan jalan menuju rumahnya—sebelumnya gadis itu sudah memberikan alamat rumahnya kepada sang pria.

Gadis itu pun tersadar karena sudah hampir tiga puluh menit lebih mereka di jalan, padahal dari halte menuju rumahnya tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu lima belas menit.

“Kak, ini ... Kita dimana, ya?” Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.

Sang pria tidak menoleh dia masih fokus dengan pandangan ke depan.

“Di jalan,” jawabnya tanpa menoleh.

Gadis itu pun tertegun mendengarnya, hawa yang sang pria keluarkan kini menjadi berbeda dari sebelumnya. Sadar sang gadis sedang ketakutan pria pun menoleh sebentar.

Kemudian dia berkata, “Jangan takut, kamu aman sama saya.”


Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan jalanan pun sudah sangat sepi, mengingat sekarang sudah hampir jam dua belas malam.

Karena mobil yang sang gadis tumpangi berhenti, perlahan dia berusaha untuk membuka pintu. Sayangnya pintu itu terkunci—dan sang gadis tidak paham cara membukanya.

Sang gadis melirik dari ekor matanya, dia mendapatkan sang pria yang ramah tadi sedang tertawa kecil tanpa melihatnya. Sungguh-sungguh membuatnya takut.

“Kamu aman sama saya,” kata sang pria yang terdengar begitu menyeramkan, terlebih dia menyelipkan tawa di akhir kalimat itu.

Gadis itu semakin panik, yang tadinya dengan tenang dia ingin membuka pintu, kini dia membukanya dengan sedikit menggunakan kekuatan. Sesekali gadis itu mengetuk jendela berharap ada seseorang yang mendengar dari luar.

Nihil, apa yang dilakukan oleh gadis itu sia-sia yang pada akhirnya hanya mendapatkan tawa ejekan dari sang pria.

Grep!

Seketika tubuh gadis itu membeku ketika tangan kekar milik pria di sampingnya kini menggenggam erat pundaknya. Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya ketika tubuhnya perlahan di tarik agar berhadapan dengan sang pria.

“Kenapa takut? Kamu aman sama saya.”

Gadis itu pun menggeleng. Karena heran sang pria menaikkan satu alisnya.

“Kak maaf karena saya lancang dan sok kenal sama Kakak. Jangan sakiti saya, Kak. Ibu saya sendirian di rumah, Kak,” mohon gadis itu. Dia sudah berani membuka matanya agar dapat menatap sang pria, meminta ampunan dari pria itu.

“Ibu?”

Sang gadis mengangguk, dia semakin ketakutan ketika tangan kanan pria itu kini menyentuh pipinya. Terlintas satu pikiran di benak gadis itu.

“Argh!”

Sang pria memekik karena tiba-tiba gadis itu menggigit kuat tangan kanannya, terlihat jelas bekas gigitannya pada tangan sang pria.

Karena kedua tangan pria itu sudah lepas dari badannya, sang gadis kembali membalikkan badan berusaha membuka pintu mobil sembari mengetuk-ngetuk jendela.

“Tolong ... Tolongin saya!”

Tok tok tok

Gadis itu menangis sesegukan karena dia tidak berhasil membuka pintu mobil.

“Argh!” Di tengah kesibukannya rambut panjang sang gadis ditarik oleh sang pria—yang mungkin sekarang bisa dipanggil lagi dengan sebutan sang ahli.

“Kenapa minta tolong? Kamu aman sama saya!” Sang ahli sedikit berteriak membuat sang gadis terkesiap ketakutan.

“Kak kita baru ... Kenal ... T-tolong maafin saya. Saya nggak ... Salah, Kak,” mohon gadis itu terbata-bata.

Sang ahli melaungkan tawanya. Tidak salah katanya ... Sang ahli menertawakan kalimat itu.

“Tidak salah katamu? Kamu salah!”

“Kak kita baru ... Kenal ...”

“Karena itu, karena itu kamu salah,” bisik sang ahli, tubuhnya semakin dekat dengan gadis itu.

Gadis itu pun semakin dikuasi oleh rasa takut yang luar biasa besar. Hanya bantuan dari Tuhan, dan doa yang bisa dia panjatkan dalam hati—berharap dia selamat.

“Kak ...”

Belum sempat gadis itu mengucapkan kata selanjutnya, dia harus merasakan sakit akibat tusukan pisau tajam di perut kirinya.

Sang ahli sudah berhasil mendapatkannya. Dengan pisau tajam miliknya dan dengan tangan yang hanya ditutupi dengan sarung tangan, sang ahli melakukannya.

Dia tatap wajah cantik yang sedang kesakitan itu dengan tatapan kepuasan.

Tidak lama bagi sang ahli untuk melakukan hal itu, karena menit berikutnya gadis malang itu sudah tidak bernapas lagi. Sang ahli tersenyum lembut menatap wajah gadis itu. Dia rapikan rambut yang tampak begitu berantakan.

“Kamu aman sama saya.”

Kemudian sang ahli kembali menghadap ke depan, dia sandarkan tubuhnya di sandaran kursi, lalu dia letakkan kedua tangannya di atas setir. Sang ahli sedang mencari-cari tempat dimana dia akan membuang mayat gadis malang itu.

Lebih tepatnya bukan membuang, tapi menjadi umpan. Tidak jauh dari posisinya, dia melihat gedung tinggi rumah sakit, gedung yang seharusnya menjadi target utama bagi sang ahli, tapi sang ahli harus menunda itu terlebih dahulu.

Setelah lama berpikir sang ahli melajukan sedikit mobilnya memasuki sebuah gang kecil yang tidak jauh dari sana—gang kecil yang menjadi jalan alternatif menuju sebuah gudang tua yang sudah kosong.

Sesampainya dia di sana, sang ahli turun dari mobilnya. Tidak lupa pula sang ahli mengangkat tubuh gadis ramah yang kini menjadi gadis malang yang tidak lagi bernyawa. Sang ahli lemparkan dengan kasar di dalam gudang tua itu.

Seperti kebiasaannya sang ahli akan membersihkan setiap jejak-jejak yang pernah dia tinggalkan. Tanpa ada satupun yang tertinggal.

Rasanya sangat tenang setelah melakukan hal itu. Terlebih sekarang dia sedang memandang tubuh gadis malang itu dengan sebuah rokok yang sedang dia hisap.

Sang ahli kemudian mengembuskan asap terakhir rokoknya, sebelum dia meninggalkan tubuh gadis itu sendirian di sana.

Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang menemani. Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang berani mengganggunya. Dan sekarang gadis itu benar-benar aman di dalam kesendiriannya.

Lalu kemana langkah sang ahli berikutnya? Entahlah, dia akan pergi kemanapun dia suka. Bahkan setelah melakukan kebiasaannya itu.

Sang ahli yang tidak pernah puas

tw // kekerasan , blood , pembunuhan.

Dipenuhi adegan kekerasan ⚠️ ‼️ HARAP BIJAK ‼️


Sang ahli ... Tanyakan kepada dia apa yang dia cari selama ini. Maka jawabannya hanya satu dan itu sangat-sangat simpel. Kepuasan ... Hanya itu yang menjadi tujuan dari sang ahli.

Selama sang ahli belum merasa puas, maka dia tidak akan pernah berhenti melakukan hal yang dia senangi. Dan sang ahli tidak akan pernah merasa puas.

Lalu apa yang mendorongnya menjadi mudah melakukan ini ... Jawabannya karena dia sudah terbiasa. Dan dari kebiasaan itu Sang ahli mudah melakukan apapun yang dia mau, termasuk melakukan pembunuhan yang tiada hentinya.

Malam ini masih di malam yang sama, sang ahli sedang mencari-cari. Walau sang ahli sudah punya satu sasaran yang mungkin akan sangat memuaskan baginya. Tapi sang ahli tidak mau langsung ke sana, dia ingin merasakan hal biasa lagi terlebih dahulu. Seperti, membunuh gadis cantik yang akan tergoda dengan wajah tampannya.

“Halo cantik,” sapa sang ahli kepada seorang perempuan muda yang ada di sampingnya.

Perempuan itu mengukir sebuah senyuman, merasa senang karena pria yang dia perhatikan sedari tadi, kini menyapanya.

“Halo, Kak!” Balasnya dengan begitu ceria.

“Kamu dari tadi perhatiin saya, ya?” Tanya sang ahli—atau kita sebut saja sang pria.

Gadis itu mengangguk dengan yakin. “Maaf, ya, Kak. Aku cuman seneng aja ngelihatin cowok ganteng hujan-hujan gini.”

Sang pria terkekeh gemas, ada-ada saja menurutnya. “Kamu mau saya antar saja? Sepertinya bus terakhir akan terlambat ...” Sang pria mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Memang Kakak bawa mobil? Tapi kok neduh di halte?” Tanya gadis itu.

Sang pria tidak bisa menahan tawa karena pertanyaan polos yang keluar dari mulut gadis itu. Setelah tertawa dia pun tersenyum, kemudian menjawab, “Saya bawa, kamu lihat mobil hitam itu?” Sang pria menunjuk ke arah mobil hitam yang dimaksud.

Tanpa bertanya sang gadis mengikuti arah tangan sang pria, lalu dia mengangguk.

“Saya punya kebiasaan kalau hujan suka neduh, walaupun bawa mobil. Dan kebetulan sekali saya jumpa kamu di sini,” sambung sang pria lagi.

Gadis itu tertawa karena lucu saja mendengar jawaban dari sang pria yang ada di sampingnya.

“Boleh deh, Kak. Kalau nggak ngerepotin, soalnya aman juga, 'kan, pulang dianterin sama cowok,” ujar sang gadis tanpa berpikir panjang.

Sang pria menaikkan satu alisnya setelah mendengar ujaran sang gadis, serta tidak lupa dia menarik ujung bibir membentuk sebuah seringai kecil.

“Ya. Sama saya aman.”


Selama perjalanan sang pria mendominasi percakapan yang membuat gadis yang baru dia temui tadi merasa sangat nyaman. Tidak ada rasa canggung di antara mereka. Bahkan sang gadis tidak malu saat tertawa mendengar candaan demi candaan yang pria lontarkan.

Seketika sang gadis merasa aneh sebab sepertinya jalan yang dilewati oleh mereka bukan jalan menuju rumahnya—sebelumnya gadis itu sudah memberikan alamat rumahnya kepada sang pria.

Gadis itu pun tersadar karena sudah hampir tiga puluh menit lebih mereka di jalan, padahal dari halte menuju rumahnya tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu lima belas menit.

“Kak, ini ... Kita dimana, ya?” Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.

Sang pria tidak menoleh dia masih fokus dengan pandangan ke depan.

“Di jalan,” jawabnya tanpa menoleh.

Gadis itu pun tertegun mendengarnya, hawa yang sang pria keluarkan kini menjadi berbeda dari sebelumnya. Sadar sang gadis sedang ketakutan pria pun menoleh sebentar.

Kemudian dia berkata, “Jangan takut, kamu aman sama saya.”


Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan jalanan pun sudah sangat sepi, mengingat sekarang sudah hampir jam dua belas malam.

Karena mobil yang sang gadis tumpangi berhenti, perlahan dia berusaha untuk membuka pintu. Sayangnya pintu itu terkunci—dan sang gadis tidak paham cara membukanya.

Sang gadis melirik dari ekor matanya, dia mendapatkan sang pria yang ramah tadi sedang tertawa kecil tanpa melihatnya. Sungguh-sungguh membuatnya takut.

“Kamu aman sama saya,” kata sang pria yang terdengar begitu menyeramkan, terlebih dia menyelipkan tawa di akhir kalimat itu.

Gadis itu semakin panik, yang tadinya dengan tenang dia ingin membuka pintu, kini dia membukanya dengan sedikit menggunakan kekuatan. Sesekali gadis itu mengetuk jendela berharap ada seseorang yang mendengar dari luar.

Nihil, apa yang dilakukan oleh gadis itu sia-sia yang pada akhirnya hanya mendapatkan tawa ejekan dari sang pria.

Grep!

Seketika tubuh gadis itu membeku ketika tangan kekar milik pria di sampingnya kini menggenggam erat pundaknya. Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya ketika tubuhnya perlahan di tarik agar berhadapan dengan sang pria.

“Kenapa takut? Kamu aman sama saya.”

Gadis itu pun menggeleng. Karena heran sang pria menaikkan satu alisnya.

“Kak maaf karena saya lancang dan sok kenal sama Kakak. Jangan sakiti saya, Kak. Ibu saya sendirian di rumah, Kak,” mohon gadis itu. Dia sudah berani membuka matanya agar dapat menatap sang pria, meminta ampunan dari pria itu.

“Ibu?”

Sang gadis mengangguk, dia semakin ketakutan ketika tangan kanan pria itu kini menyentuh pipinya. Terlintas satu pikiran di benak gadis itu.

“Argh!”

Sang pria memekik karena tiba-tiba gadis itu menggigit kuat tangan kanannya, terlihat jelas bekas gigitannya pada tangan sang pria.

Karena kedua tangan pria itu sudah lepas dari badannya, sang gadis kembali membalikkan badan berusaha membuka pintu mobil sembari mengetuk-ngetuk jendela.

“Tolong ... Tolongin saya!”

Tok tok tok

Gadis itu menangis sesegukan karena dia tidak berhasil membuka pintu mobil.

“Argh!” Di tengah kesibukannya rambut panjang sang gadis ditarik oleh sang pria—yang mungkin sekarang bisa dipanggil lagi dengan sebutan sang ahli.

“Kenapa minta tolong? Kamu aman sama saya!” Sang ahli sedikit berteriak membuat sang gadis terkesiap ketakutan.

“Kak kita baru ... Kenal ... T-tolong maafin saya. Saya nggak ... Salah, Kak,” mohon gadis itu terbata-bata.

Sang ahli melaungkan tawanya. Tidak salah katanya ... Sang ahli menertawakan kalimat itu.

“Tidak salah katamu? Kamu salah!”

“Kak kita baru ... Kenal ...”

“Karena itu, karena itu kamu salah,” bisik sang ahli, tubuhnya semakin dekat dengan gadis itu.

Gadis itu pun semakin dikuasi oleh rasa takut yang luar biasa besar. Hanya bantuan dari Tuhan, dan doa yang bisa dia panjatkan dalam hati—berharap dia selamat.

“Kak ...”

Belum sempat gadis itu mengucapkan kata selanjutnya, dia harus merasakan sakit akibat tusukan pisau tajam di perut kirinya.

Sang ahli sudah berhasil mendapatkannya. Dengan pisau tajam miliknya dan dengan tangan yang hanya ditutupi dengan sarung tangan, sang ahli melakukannya.

Dia tatap wajah cantik yang sedang kesakitan itu dengan tatapan kepuasan.

Tidak lama bagi sang ahli untuk melakukan hal itu, karena menit berikutnya gadis malang itu sudah tidak bernapas lagi. Sang ahli tersenyum lembut menatap wajah gadis itu. Dia rapikan rambut yang tampak begitu berantakan.

“Kamu aman sama saya.”

Kemudian sang ahli kembali menghadap ke depan, dia sandarkan tubuhnya di sandaran kursi, lalu dia letakkan kedua tangannya di atas setir. Sang ahli sedang mencari-cari tempat dimana dia akan membuang mayat gadis malang itu.

Lebih tepatnya bukan membuang, tapi menjadi umpan. Tidak jauh dari posisinya, dia melihat gedung tinggi rumah sakit, gedung yang seharusnya menjadi target utama bagi sang ahli, tapi sang ahli harus menunda itu terlebih dahulu.

Setelah lama berpikir sang ahli melajukan sedikit mobilnya memasuki sebuah gang kecil yang tidak jauh dari sana—gang kecil yang menjadi jalan alternatif menuju sebuah gudang tua yang sudah kosong.

Sesampainya dia di sana, sang ahli turun dari mobilnya. Tidak lupa pula sang ahli mengangkat tubuh gadis ramah yang kini menjadi gadis malang yang tidak lagi bernyawa. Sang ahli lemparkan dengan kasar di dalam gudang tua itu.

Seperti kebiasaannya sang ahli akan membersihkan setiap jejak-jejak yang pernah dia tinggalkan. Tanpa ada satupun yang tertinggal.

Rasanya sangat tenang setelah melakukan hal itu. Terlebih sekarang dia sedang memandang tubuh gadis malang itu dengan sebuah rokok yang sedang dia hisap.

Sang ahli kemudian mengembuskan asap terakhir rokoknya, sebelum dia meninggalkan tubuh gadis itu sendirian di sana.

Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang menemani. Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang berani mengganggunya. Dan sekarang gadis itu benar-benar aman di dalam kesendiriannya.

Lalu kemana langkah sang ahli berikutnya? Entahlah, dia akan pergi kemanapun dia suka. Bahkan setelah melakukan kebiasaannya itu.

Sang ahli yang tidak pernah puas

tw // kekerasan , blood , pembunuhan.

Dipenuhi adegan kekerasan ⚠️ ‼️ HARAP BIJAK ‼️


Sang ahli ... Tanyakan kepada dia apa yang dia cari selama ini. Maka jawabannya hanya satu dan itu sangat-sangat simpel. Kepuasan ... Hanya itu yang menjadi tujuan dari sang ahli.

Selama sang ahli belum merasa puas, maka dia tidak akan pernah berhenti melakukan hal yang dia senangi. Dan sang ahli tidak akan pernah merasa puas.

Lalu apa yang mendorongnya menjadi mudah melakukan ini ... Jawabannya karena dia sudah terbiasa. Dan dari kebiasaan itu Sang ahli mudah melakukan apapun yang dia mau, termasuk melakukan pembunuhan yang tiada hentinya.

Malam ini masih di malam yang sama, sang ahli sedang mencari-cari. Walau sang ahli sudah punya satu sasaran yang mungkin akan sangat memuaskan baginya. Tapi sang ahli tidak mau langsung ke sana, dia ingin merasakan hal biasa lagi terlebih dahulu. Seperti, membunuh gadis cantik yang akan tergoda dengan wajah tampannya.

“Halo cantik,” sapa sang ahli kepada seorang perempuan muda yang ada di sampingnya.

Perempuan itu mengukir sebuah senyuman, merasa senang karena pria yang dia perhatikan sedari tadi, kini menyapanya.

“Halo, Kak!” Balasnya dengan begitu ceria.

“Kamu dari tadi perhatiin saya, ya?” Tanya sang ahli—atau kita sebut saja sang pria.

Gadis itu mengangguk dengan yakin. “Maaf, ya, Kak. Aku cuman seneng aja ngelihatin cowok ganteng hujan-hujan gini.”

Sang pria terkekeh gemas, ada-ada saja menurutnya. “Kamu mau saya antar saja? Sepertinya bus terakhir akan terlambat ...” Sang pria mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Memang Kakak bawa mobil? Tapi kok neduh di halte?” Tanya gadis itu.

Sang pria tidak bisa menahan tawa karena pertanyaan polos yang keluar dari mulut gadis itu. Setelah tertawa dia pun tersenyum, kemudian menjawab, “Saya bawa, kamu lihat mobil hitam itu?” Sang pria menunjuk ke arah mobil hitam yang dimaksud.

Tanpa bertanya sang gadis mengikuti arah tangan sang pria, lalu dia mengangguk.

“Saya punya kebiasaan kalau hujan suka neduh, walaupun bawa mobil. Dan kebetulan sekali saya jumpa kamu di sini,” sambung sang pria lagi.

Gadis itu tertawa karena lucu saja mendengar jawaban dari sang pria yang ada di sampingnya.

“Boleh deh, Kak. Kalau nggak ngerepotin, soalnya aman juga, 'kan, pulang dianterin sama cowok,” ujar sang gadis tanpa berpikir panjang.

Sang pria menaikkan satu alisnya setelah mendengar ujaran sang gadis, serta tidak lupa dia menarik ujung bibir membentuk sebuah seringai kecil.

“Ya. Sama saya aman.”


Selama perjalanan sang pria mendominasi percakapan yang membuat gadis yang baru dia temui tadi merasa sangat nyaman. Tidak ada rasa canggung di antara mereka. Bahkan sang gadis tidak malu saat tertawa mendengar candaan demi candaan yang pria lontarkan.

Seketika sang gadis merasa aneh sebab sepertinya jalan yang dilewati oleh mereka bukan jalan menuju rumahnya—sebelumnya gadis itu sudah memberikan alamat rumahnya kepada sang pria.

Gadis itu pun tersadar karena sudah hampir tiga puluh menit lebih mereka di jalan, padahal dari halte menuju rumahnya tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu lima belas menit.

“Kak, ini ... Kita dimana, ya?” Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.

Sang pria tidak menoleh dia masih fokus dengan pandangan ke depan.

“Di jalan,” jawabnya tanpa menoleh.

Gadis itu pun tertegun mendengarnya, hawa yang sang pria keluarkan kini menjadi berbeda dari sebelumnya. Sadar sang gadis sedang ketakutan pria pun menoleh sebentar.

Kemudian dia berkata, “Jangan takut, kamu aman sama saya.”


Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan jalanan pun sudah sangat sepi, mengingat sekarang sudah hampir jam dua belas malam.

Karena mobil yang sang gadis tumpangi berhenti, perlahan dia berusaha untuk membuka pintu. Sayangnya pintu itu terkunci—dan sang gadis tidak paham cara membukanya.

Sang gadis melirik dari ekor matanya, dia mendapatkan sang pria yang ramah tadi sedang tertawa kecil tanpa melihatnya. Sungguh-sungguh membuatnya takut.

“Kamu aman sama saya,” kata sang pria yang terdengar begitu menyeramkan, terlebih dia menyelipkan tawa di akhir kalimat itu.

Gadis itu semakin panik, yang tadinya dengan tenang dia ingin membuka pintu, kini dia membukanya dengan sedikit menggunakan kekuatan. Sesekali gadis itu mengetuk jendela berharap ada seseorang yang mendengar dari luar.

Nihil, apa yang dilakukan oleh gadis itu sia-sia yang pada akhirnya hanya mendapatkan tawa ejekan dari sang pria.

Grep!

Seketika tubuh gadis itu membeku ketika tangan kekar milik pria di sampingnya kini menggenggam erat pundaknya. Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya ketika tubuhnya perlahan di tarik agar berhadapan dengan sang pria.

“Kenapa takut? Kamu aman sama saya.”

Gadis itu pun menggeleng. Karena heran sang pria menaikkan satu alisnya.

“Kak maaf karena saya lancang dan sok kenal sama Kakak. Jangan sakiti saya, Kak. Ibu saya sendirian di rumah, Kak,” mohon gadis itu. Dia sudah berani membuka matanya agar dapat menatap sang pria, meminta ampunan dari pria itu.

“Ibu?”

Sang gadis mengangguk, dia semakin ketakutan ketika tangan kanan pria itu kini menyentuh pipinya. Terlintas satu pikiran di benak gadis itu.

“Argh!”

Sang pria memekik karena tiba-tiba gadis itu menggigit kuat tangan kanannya, terlihat jelas bekas gigitannya pada tangan sang pria.

Karena kedua tangan pria itu sudah lepas dari badannya, sang gadis kembali membalikkan badan berusaha membuka pintu mobil sembari mengetuk-ngetuk jendela.

“Tolong ... Tolongin saya!”

Tok tok tok

Gadis itu menangis sesegukan karena dia tidak berhasil membuka pintu mobil.

“Argh!” Di tengah kesibukannya rambut panjang sang gadis ditarik oleh sang pria—yang mungkin sekarang bisa dipanggil lagi dengan sebutan sang ahli.

“Kenapa minta tolong? Kamu aman sama saya!” Sang ahli sedikit berteriak membuat sang gadis terkesiap ketakutan.

“Kak kita baru ... Kenal ... T-tolong maafin saya. Saya nggak ... Salah, Kak,” mohon gadis itu terbata-bata.

Sang ahli melaungkan tawanya. Tidak salah katanya ... Sang ahli menertawakan kalimat itu.

“Tidak salah katamu? Kamu salah!”

“Kak kita baru ... Kenal ...”

“Karena itu, karena itu kamu salah,” bisik sang ahli, tubuhnya semakin dekat dengan gadis itu.

Gadis itu pun semakin dikuasi oleh rasa takut yang luar biasa besar. Hanya bantuan dari Tuhan, dan doa yang bisa dia panjatkan dalam hati—berharap dia selamat.

“Kak ...”

Belum sempat gadis itu mengucapkan kata selanjutnya, dia harus merasakan sakit akibat tusukan pisau tajam di perut kirinya.

Sang ahli sudah berhasil mendapatkannya. Dengan pisau tajam miliknya dan dengan tangan yang hanya ditutupi dengan sarung tangan, sang ahli melakukannya.

Dia tatap wajah cantik yang sedang kesakitan itu dengan tatapan kepuasan.

Tidak lama bagi sang ahli untuk melakukan hal itu, karena menit berikutnya gadis malang itu sudah tidak bernapas lagi. Sang ahli tersenyum lembut menatap wajah gadis itu. Dia rapikan rambut yang tampak begitu berantakan.

“Kamu aman sama saya.”

Kemudian sang ahli kembali menghadap ke depan, dia sandarkan tubuhnya di sandaran kursi, lalu dia letakkan kedua tangannya di atas setir. Sang ahli sedang mencari-cari tempat dimana dia akan membuang mayat gadis malang itu.

Lebih tepatnya bukan membuang, tapi menjadi umpan. Tidak jauh dari posisinya, dia melihat gedung tinggi rumah sakit, gedung yang seharusnya menjadi target utama bagi sang ahli, tapi sang ahli harus menunda itu terlebih dahulu.

Setelah lama berpikir sang ahli melajukan sedikit mobilnya memasuki sebuah gang kecil yang tidak jauh dari sana—gang kecil yang menjadi jalan alternatif menuju sebuah gudang tua yang sudah kosong.

Sesampainya dia di sana, sang ahli turun dari mobilnya. Tidak lupa pula sang ahli mengangkat tubuh gadis ramah yang kini menjadi gadis malang yang tidak lagi bernyawa. Sang ahli lemparkan dengan kasar di dalam gudang tua itu.

Seperti kebiasaannya sang ahli akan membersihkan setiap jejak-jejak yang pernah dia tinggalkan. Tanpa ada satupun yang tertinggal.

Rasanya sangat tenang setelah melakukan hal itu. Terlebih sekarang dia sedang memandang tubuh gadis malang itu dengan sebuah rokok yang sedang dia hisap.

Sang ahli kemudian mengembuskan asap terakhir rokoknya, sebelum dia meninggalkan tubuh gadis itu sendirian di sana.

Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang menemani. Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang berani mengganggunya. Dan sekarang gadis itu benar-benar aman di dalam kesendiriannya.

“Nggak ada siapa-siapa,” kata Wisnu sambil menendang botol-botol plastik yang berserakan di sana.

Saat ini Robert dan Wisnu sudah ada di markas Rifan dan anak-anak gengsternya kumpul. Saat Robert kembali ke gudang tua—dimana Milla hampir menjadi korban—Robert juga singgah untuk bertanya di pasar tentang mereka, dari situ Robert tahu tentang markas ini. Sayangnya sekarang sudah kosong.

“Mereka tahu kalau polisi akan bergerak, terlebih bos nya ditahan,” jawab Robert, mata elangnya masih mencari ke arah-arah yang mungkin bisa dia dapatkan sebuah petunjuk.

“Lo ... Nggak kepikiran buat bergerak sendiri nanti, 'kan?” Tanya Wisnu menerka-nerka. Melihat gerak-gerik Robert yang sering bergerak sendiri tanpa tim. Wisnu sedikit khawatir Robert akan memenuhi dendamnya, itu akan sangat berbahaya.

“Rob?” Wisnu memanggil Robert karena Robert tidak menjawab pertanyaannya.

“Milla itu keluarga bagi gue, Wis.”

“Bagi gue juga, Rob.”

Berteman hingga lebih dari sepuluh tahun tidak mungkin tidak menganggap satu sama lain sebagai sahabat bukan? Kalau boleh menyampaikan sedikit informasi, sebenarnya salah satu dorongan Robert dan Wisnu menjadi seorang detektif ya karena Milla juga.

“Tapi lo harus kontrol diri lo, Rob. Karena kita nggak lagi berhubungan sama manusia tap—”

Robert mengernyit karena Wisnu menjeda ucapannya. Karena penasaran Robert pun membalikkan tubuhnya menghadap Wisnu yang ada di belakangnya, ternyata Wisnu sedang menjawab panggilan dari ponselnya.

“Halo?”

”....”

“Beneran?”

”....”

“Saya dan Robert segera ke sana.”

Robert penasaran informasi apa yang baru saja Wisnu dapatkan hingga dia terlihat tergesa seperti itu.

“Kita harus pergi. Tim dapat jejak sidik jari di TKP,” lapor Wisnu segera.

Robert membulatkan matanya, tanpa menunggu lama dia mengangguk dan berlari menuju mobil disusul oleh Wisnu di belakang.

Semoga saja ini akhir dari segalanya, Robert berharap itu.

Milla mencari-cari keberadaan sesuatu yang bisa dia jadikan senjata. Karena Milla mendengar pergerakan mencurigakan dari luar ruangannya.

Milla sebisa mungkin untuk tidak panik, walaupun dia begitu takut sekarang. Untung saja kondisinya sudah mulai membaik, Milla jadi bisa bergerak sedikit walaupun tidak terlalu leluasa.

Karena tidak bisa turun dari tempat tidur, Milla hanya bisa mengambil vas bunga kecil yang ada di meja di sampingnya. Setidaknya dengan vas bunga kaca itu Milla bisa mengamankan dirinya atau hanya sekedar memberi kode.

Genggaman Milla pada vas bunga itu semakin erat, dia mendengar langkah kaki dari luar. Karena tak sanggup menahan rasa takutnya, Milla pun memejamkan mata sampai suara langkah kaki itu menghilang.

Lebih tepatnya bukan menghilang, tapi berubah menjadi suara pintu yang terbuka, dan langkah kaki itu kembali terdengar. Hanya doa yang bisa Milla percayakan sekarang. Dia pasrah apapun yang akan terjadi kepadanya.

Sampai satu tangan besar menyentuh pundak Milla.

“Tuhan, Milla memang bukan anak baik, tapi setelah ini Milla janji akan jadi anak baik.” Milla bergumam kecil.

“Kenapa?”

Huh! Milla segera menoleh ke arah suara, tangannya yang memegang vas pun segera dia angkat.

“Hei! It's me, Jovas.”

Ya. Itu Jovas. Dia sedang memegang tangan Milla sekarang. Perlahan Jovas meraih vas bunga yang ada di tangan Milla, kemudian dia letakkan kembali di atas meja. Jovas pun duduk di samping Milla menarik tubuh Milla ke dalam pelukannya karena Milla kembali menangis.

“I'm sorry. Aku nggak tahu kalau kamu bakalan terkejut seperti ini.”

“I think ... Lo orang jahat yang bakalan ngebunuh gue. Sama kayak Ibu sama Bapak dulu, Jo.”

Tangisan Milla semakin pecah, bahkan tubuhnya naik turun menandakan dia benar-benar sedang ketakutan sekarang.

“I'm so sorry, Milla,” kata Jovas penuh penyesalan. Jovas melonggarkan pelukannya, kemudian menangkup pipi Milla dengan lembut. “It's me, bukan orang jahat. Aku teman kamu, Jovas.”

Milla mengangguk kemudian memejamkan matanya berusaha untuk menghentikan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

“Kata dokter kamu udah bisa pulang besok, 'kan?” Tanya Jovas saat Milla sudah sedikit tenang. Tapi Jovas masih saja duduk di samping Milla.

“Maunya, tapi gue takut, Jo.”

“Takut kenapa?”

Milla menoleh ke kiri menatap Jovas yang ada di sampingnya—yang sedang menatapnya juga.

“Gue takut banyak orang jahat di luar sana,” kata Milla lirih, dia kembali menunduk setelah mengatakan itu.

Jovas tersenyum simpul. Dia paham, dan wajar saja kalau Milla masih saja takut, trauma yang dia alami masih saja membekas pastinya.

“Dulu gue cuman denger cerita dari Robert, terus lihat berita di televisi. Perempuan bunuh diri yang ternyata dibunuh. Dan kemarin itu kejadian sama gue, Jo. Gue takut.”

“But, i'm here, Milla. That's why aku jadi teman kamu. Karena dunia tahu kamu bakalan kejadian seperti ini.”

Jovas meraih tangan kiri Milla, dia bawa untuk dia genggam dengan erat dan penuh kelembutan. Genggaman itu berhasil menyihir Milla untuk mengangkat kepalanya dan memandang Jovas yang sedang tersenyum kepadanya.

“Aku memang nggak sepintar Robert, atau se-ahli Robert. Tapi, aku pintar dalam menggunakan pisau,” ucap Jovas, tersirat kebanggaan di sana.

Milla terkekeh mendengarnya.

“Walaupun cuman untuk motong kepala ayam,” sambung Jovas.

Milla tertawa. Untuk pertama kali setelah kejadian itu dia merasa tenang dan bisa tertawa, dan itu semua karena Jovas—yang kini sedang tertawa juga.

“Thank you,” ujar Milla. Milla mengulum bibir bawahnya kemudian dia menunduk untuk melihat tangannya yang masih digenggam oleh Jovas.

Namun ada hal lain menarik perhatian Milla hingga dahinya pun ikut berkerut karena itu.

“Tangan kamu luka, why?” Tanya Milla sembari menatap Jovas lagi.

Jovas mengangguk kemudian melihat tangannya yang luka. sebenarnya bukan luka besar, jadi Jovas tidak berniat untuk menutupnya, siapa sangka kalau Milla akan sadar dengan hal kecil seperti itu.

“Tadi kena pisau waktu aku lagi simpan pisau di lemari aku,” jawab Jovas kemudian tersenyum. “Don't worry.”

“Pisaunya ... Nggak apa-apa, 'kan?”

tw // blood


Sang ahli; kini dia sedang berjalan menyusuri ruangan gelapnya. Dia seakan gelisah karena sesuatu yang tidak bisa didapatnya. Sampai sang ahli mengerang kuat dan memukul kaca yang ada di hadapannya dengan kuat. Untung saja kaca itu tidak bisa dipecahkan hanya dengan pukulan.

Sang ahli tersenyum ketika melihat darah mengalir dari tangannya. Dia mendekatkan tangan itu ke wajahnya dan menatap dengan mata berbinar. Sungguh indah baginya.

“Saya bukan kehilangan kamu, hanya saya menunggu lebih lama lagi.”

Kalimat itu terdengar begitu menyeramkan karena adanya ancaman di sana. Tanpa memperdulikan darah yang mengalir di tangannya, dia melangkah dari sana untuk mengambil sebuah pisau yang ada di dekat meja televisi. Pisau itu dia masukkan ke dalam saku Hoodienya seperti biasa.

“Tapi bukan berarti saya diam saja.”

“Lo marah sama gue?” Robert bertanya kepada Milla yang saat ini tidur memunggunginya.

Selama Jovas tidak ada di sana, Robert masuk ke dalam ruangan Milla tanpa ada paksaan karena Milla tidak histeris seperti biasanya. Dia tenang tapi tetap saja menghiraukan Robert.

“Maaf ..., gue memang nggak becus jaga lo,” kata Robert menyesal. Robert menunduk memainkan jari-jarinya.

Dia dengan susah payah ingin mencari siapa pembunuh kedua orang tua tiri Milla, sampai lupa untuk menjaga Milla yang kemungkinan dalam ancaman besar. Dan benar saja, Milla hampir menjadi korban pembunuhan beberapa hari yang lalu.

“Gue udah tangkap dia.”

“Jovas yang tangkap.”

Robert mendengkus kesal mendengarnya. Memang Jovas yang tangkap tapi dia lah yang memproses pelaku itu.

“Ya. Gue udah berusaha, Mill. Maafin gue,” mohon Robert. Yang dia butuhkan sekarang hanyalah maaf dari Milla agar Milla kembali seperti biasanya.

“Gue bakal lakuin apapun yang lo mau, Milla.”

“Apapun?”

Robert mengangguk senang karena setidaknya Milla masih mau menanggapi walau tidak menatapnya.

“Iya, apapun.”

“Aku mau kamu jangan larang aku dekat sama Jovas. Aku tahu yang terbaik buat aku, dan aku tahu apa yang harus aku lakukan. Dan itu Jovas.”

Robert mengernyit heran, sedikit tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Milla. Robert menangkap kalau Milla hanya ingin dia tidak dilarang jika dekat dengan Jovas. Tapi apa yang harus dia lakukan? Dan Jovas?

Tanpa bertanya lagi Robert mengangguk dan menjawab, “Iya. Apapun itu.”

Flashback on

Hari ini entah mengapa Jovas begitu bosan, karena itu dia memilih untuk keluar dari rumahnya hanya untuk sekedar menghilangkan rasa bosan.

Kaki Jovas dengan instingnya melangkah ke sebuah taman yang di dekatnya ada sebuah pemakaman. Saat Jovas sampai di sana tidak sengaja dia melihat seorang perempuan yang terlihat begitu sedih.

Jovas bukan tipe orang yang gampang bergaul, tapi Jovas adalah tipe orang yang sangat gampang merasa kasihan, terlebih kepada seorang perempuan.

Dengan langkah sedikit ragu Jovas menghampirinya.

“Kehilangan seseorang memang sesakit itu.”

Jovas mengucapkan kalimat pertamanya, dapat Jovas lihat perempuan itu tersentak dengan suara Jovas.

“Aku turut berduka cita, ya?” Kata Jovas tidak yakin. Pasalnya dia hanya menebak saja kalau perempuan itu baru saja kehilangan.

“Nama aku Jovas.” Jovas mengulurkan tangannya mengajak perempuan itu untuk berkenalan.

Jovas mengira dia akan ditolak begitu saja. Ternyata dia tidak ditolak, Jovas tersenyum tipis ketika uluran tangannya diterima oleh perempuan itu.

“Milla.”

Tidak lama mereka berkenalan sebab Jovas merasakan tangan Milla bergetar, dia pun melepaskan uluran tangannya.

Jovas semakin yakin kalau perempuan bernama Milla yang ada di hadapannya ini sekarang memang baru saja kehilangan, dilihat dari mukanya yang sendu dan mata yang sembab. Jovas bingung harus berbuat apa lagi sekarang, hingga matanya menatap liar ke sekitaran sana. Sampai mata Jovas bertemu dengan sebuah rumah tua yang sering dia datangi.

Sepertinya Jovas akan mengajak Milla ke sana, tapi Jovas tidak yakin kalau ajakannya akan diterima. Setelah Jovas mengajaknya siapa sangka Milla menerimanya? Jovas tersenyum senang mendengar ajakannya diterima oleh Milla. Setidaknya dirinya yang sama sekali tidak bisa bersosialisasi kini punya sedikit kemajuan.


Flashback off

Berawal dari kasihan kini Jovas sudah berteman dekat dengan Milla. Bahkan gadis itu lebih mempercayai Jovas daripada Robert—sahabatnya sendiri.

Saat ini Jovas terpaksa harus meninggalkan Milla sendirian di rumah sakit sendirian. Sebenarnya Jovas tidak enak hati, namun Jovas harus. Jovas berada di rumahnya—tepatnya di ruangan rahasia yang sering dia gunakan untuk menyimpan barang-barang berharganya—hanya diam dan tidak berbuat apa-apa.

Sampai tangan Jovas terangkat meletakkan sebuah pisau kesayangannya di sana. Pisau yang selalu dia gunakan untuk membunuh ayam-ayam betina tentu saja. Sepertinya Jovas harus menyimpan pisau itu untuk sementara.

Setelah memastikan pisaunya itu tersimpan dengan rapi di sana, Jovas tidak langsung keluar dari ruangan. Dia berjalan pelan menyusuri ruangan itu, melihat barang-barang apa saja yang ada di sana. Hingga dia berdiri di depan sebuah lemari. Dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana Jovas tersenyum tipis menatap lemari itu.

Tidak lama karena Jovas tersadar dia harus kembali menemani Milla. Kasihan kalau dia sendirian di sana.

— cake

“Ayah nggak capek dorong kursi roda, Ran? Ran udah bisa jalan kok, Ayah,” kata Ran, sedikit tidak enak hati karena Johnny terus mendorong kursi roda Ran, ketika Ran hendak kemana-mana.

Kondisi Ran memang sudah membaik, hanya saja dia kehilangan indera penglihatannya. Tapi, Ran harus menggunakan kursi roda kalau mau jalan jarak jauh, selain mudah, kaki Ran juga sering nyeri sendiri.

“Kalau kamu bolehin, udah Ayah gendong aja, Nak,” jawab Johnny.

Hanya mendorong kursi roda sama sekali tidak membuatnya lelah. Lelah Ran selama ini lebih daripadanya. Ini yang Johnny lakukan untuk menebus semua dosa-dosanya, walaupun Johnny tau tidak akan sirna begitu saja. Dosa yang telah dia buat terhadap anaknya begitu besar.

“Nggak mau lah. Kata Fito, Ran gendut, terus berat. Kasihan Ayah.”

Johnny tertawa mendengar pengaduan Ran. Ah, iya, Fito. Fito selamat dalam kecelakaan itu. Keadaannya tidak terlalu parah, karena Ran yang melindungi Fito saat itu.

Dan Fito semakin dekat dengan Ran dan keluarga Ran. Bahkan Johnny menyuruh agar Fito memanggilnya dengan sebutan 'Ayah' juga. Awalnya Fito menolak, karena dia terlanjur benci dengan sebutan itu. Tapi berjalannya hari, dan perlakuan Johnny yang begitu baik kepadanya, Fito luluh.

“Ayah terima kasih,” ucap Ran tiba-tiba.

“Kenapa terima kasih?”

“Nggak tau, Ran sayang Ayah.”

Johnny mengelus pucuk kepala Ran gemas. Ran sering mengatakan kalimat aneh setiap menitnya, karena sindrom dory yang Ran derita. Untung saja Ran sudah terawat sekarang, Ran menjalani pengobatan demi pengobatan.

Darimana uangnya? Johnny bekerja keras tanpa mengenal lelah dan waktu, semua untuk Ran. Dan juga dua anak laki-lakinya lagi. Untung saja Maraka sekarang sudah berkuliah, mendapatkan full beasiswa, seperti keinginannya. Bahkan Maraka juga bekerja walaupun upah yang didapat tidak banyak.

Lalu Hazel, sekarang dia sudah menginjak kelas dua belas SMA. Hazel berhasil menjadi seorang selebgram kalau kata anak muda sekarang. Dia juga mendapatkan uang dari itu. Karena itu, pengeluaran Johnny tidak terlalu terbebani. Dia bisa fokus membiayai pengobatan anak gadis satu-satunya.

“Itu Fito,” ucap Johnny, ketika dirinya melihat Fito yang sudah tiba di lapangan kosong. Lapangan yang selalu mereka datangi kala sedih.

Ran tidak bisa melihatnya tapi Ran tetap tersenyum senang kala mengetahui jaraknya sudah dekat dengan Fito.

Ternyata disana sudah ada Mamanya Fito juga, membantu Fito untuk duduk di rumput lapangan, dengan beralasan kain segi empat. Johnny mempercepat langkahnya, menghampiri Fito dan juga Mama Fito.

“Ran!” Seru Fito ketika kursi roda gadis itu sudah ada di hadapannya.

“Halo Fito!” Ran meraba-raba, mencari keberadaan Fito.

“Fito di bawah, Nak. Mau duduk di bawah?”

“Mau Ayah!”

Johnny pun mengangguk, lalu mengangkat tubuh Ran, dan meletakkan perlahan di atas kain yang sama dengan Fito. Kain itu lumayan lebar. “Yaudah Mama sama Pak Johnny tunggu di sana, ya?” Ucap Mamanya Fito, disahut anggukan oleh Fito dan Ran.

Tinggallah Fito dengan Ran di sana. Ran masih meraba-raba keberadaan Fito, untung saja mereka duduk berdekatan. Jadi, Fito tidak susah meraih tangan Ran yang masih meraba-raba.

“Aku di sini,” katanya, seraya meraih tangan Ran.

Ran tersenyum ketika tangannya digenggam oleh Fito.

“Fito bawa cake nya, kan?”

Fito mengangguk. Sebenarnya tidak ada hari spesial hari ini, hanya saja saat Ran merayakan ulang tahun saat itu, Fito tidak ada. Jadi, hari ini Fito membayar semuanya.

“Aku bawa, Ran. Cake sama hadiah buat kamu.”

“Asik!” Ran berseru kesenangan. Bola matanya bergerak liar, walau mata itu tidak dapat melihat lagi. Ran tidak dapat menahan senyumnya, dia begitu senang tentu saja.

Sama dengan Ran, Fito juga tidak dapat menahan senyumnya. Dia senang melihat Ran terus tersenyum seperti itu. Ah, sebenarnya cake ini bukan hanya untuk merayakan ulang tahun Ran yang sudah lewat. Ada tujuan lain yang hanya Fito ketahui.

“Kalau senyum gitu, nggak nampak galaknya.”

“Emang Ran galak?” Tanya Ran sewot.

“Ha ha ha, galak terus bawel dikit.”

Ran memanyunkan bibirnya, kesal dengan candaan Fito. Padahal candaan itu sudah berulang kali Ran dengar, tapi tetap saja mengesalkan.

“Kamu mau potong cake ini?”

“Mau!”

“Tapi janji dulu sama aku.”

“Apa, Fito?”

Fito terdiam sejenak sebelum kembali berucap. Alasan lain dia mengajak Ran untuk potong cake—makanan kesukaan Ran.

“Cake ini aku kasih untuk kamu, tapi senyum itu harus terus ada untuk aku, ya?”

Setelah kejadian yang menimpa mereka, tentu tidak mulus seperti itu saja. Ran memang mendapatkan perhatian sang Ayah. Ran berhasil membuat sang Ayah menyesal. Tapi Ran kehilangan indera penglihatannya, Ran kehilangan kesempatan untuk sekolah dan harus merelakan cita-citanya menjadi seorang dokter.

Sering sekali Ran menangis ketika dia bangun dari tidurnya. Menangis bahkan berteriak begitu kencang. Karena panik, tidak bisa melihat apa-apa.

Ran sering murung kala Fito datang untuk menemaninya. Ran sering menghabiskan waktu dengan diam.

Ran kehilangan dirinya yang dulu.

“Jangan lagi ada Ran jelek, Ran cemberut setiap pagi.”

Ran hanya diam mendengarkan Fito.

“Ran udah berhasil. Ayah udah sayang sama Ran. Ran udah sampai ke titik bahagia, Ran. Semua sayang sama Ran.”

Fito menggenggam tangan Ran semakin erat. Sesekali mengusapnya.

“Ayah, Abang kamu, aku. Jadi Ran nggak boleh sedih lagi, ya?”

Ran mengangguk pelan. “Iya, Fito.”

“Dulu Ran selalu semangat apapun yang Ran hadapin. Sekarang harus juga, ya?”

“Walaupun Ran nggak bisa lihat lagi?”

“Iya. Kan ada aku, aku akan jadi mata kamu.”

“Tapi Ran nggak bisa jadi kaki Fito lagi.”

Ran menundukkan kepalanya, dia menjadi sedih seketika.

“Aku laki-laki, jadi aku akan jadi laki-laki yang bertanggung jawab sepenuhnya. Aku jadi mata kamu, aku jadi kaki kamu. Apapun caranya.”

Fito mengarahkan tangan Ran, mengambil pisau plastik untuk memotong cake. Lalu dia arahkan pisau itu untuk memotong cake yang ada di tengah-tengah mereka.

“Cake ini aku kasih untuk kamu, sekarang coba senyum.”

Tanpa disuruh dua kali, Ran mengembangkan senyumnya. Senyum yang dulu dipalsukan, dan terlihat begitu menyakitkan Sekarang jadi senyum yang sangat hangat.

“Senyum itu untuk aku. Terima kasih, Ran.”

“Terima kasih juga, Fito!”

— cake

“Ayah nggak capek dorong kursi roda, Ran? Ran udah bisa jalan kok, Ayah,” kata Ran, sedikit tidak enak hati karena Johnny terus mendorong kursi roda Ran, ketika Ran hendak kemana-mana.

Kondisi Ran memang sudah membaik, hanya saja dia kehilangan indera penglihatannya. Tapi, Ran harus menggunakan kursi roda kalau mau jalan jarak jauh, selain mudah, kaki Ran juga sering nyeri sendiri.

“Kalau kamu bolehin, udah Ayah gendong aja, Nak,” jawab Johnny.

Hanya mendorong kursi roda sama sekali tidak membuatnya lelah. Lelah Ran selama ini lebih daripadanya. Ini yang Johnny lakukan untuk menebus semua dosa-dosanya, walaupun Johnny tau tidak akan sirna begitu saja. Dosa yang telah dia buat terhadap anaknya begitu besar.

“Nggak mau lah. Kata Fito, Ran gendut, terus berat. Kasihan Ayah.”

Johnny tertawa mendengar pengaduan Ran. Ah, iya, Fito. Fito selamat dalam kecelakaan itu. Keadaannya tidak terlalu parah, karena Ran yang melindungi Fito saat itu.

Dan Fito semakin dekat dengan Ran dan keluarga Ran. Bahkan Johnny menyuruh agar Fito memanggilnya dengan sebutan 'Ayah' juga. Awalnya Fito menolak, karena dia terlanjur benci dengan sebutan itu. Tapi berjalannya hari, dan perlakuan Johnny yang begitu baik kepadanya, Fito luluh.

“Ayah terima kasih,” ucap Ran tiba-tiba.

“Kenapa terima kasih?”

“Nggak tau, Ran sayang Ayah.”

Johnny mengelus pucuk kepala Ran gemas. Ran sering mengatakan kalimat aneh setiap menitnya, karena sindrom dory yang Ran derita. Untung saja Ran sudah terawat sekarang, Ran menjalani pengobatan demi pengobatan.

Darimana uangnya? Johnny bekerja keras tanpa mengenal lelah dan waktu, semua untuk Ran. Dan juga dua anak laki-lakinya lagi. Untung saja Maraka sekarang sudah berkuliah, mendapatkan full beasiswa, seperti keinginannya. Bahkan Maraka juga bekerja walaupun upah yang didapat tidak banyak.

Lalu Hazel, sekarang dia sudah menginjak kelas dua belas SMA. Hazel berhasil menjadi seorang selebgram kalau kata anak muda sekarang. Dia juga mendapatkan uang dari itu. Karena itu, pengeluaran Johnny tidak terlalu terbebani. Dia bisa fokus membiayai pengobatan anak gadis satu-satunya.

“Itu Fito,” ucap Johnny, ketika dirinya melihat Fito yang sudah tiba di lapangan kosong. Lapangan yang selalu mereka datangi kala sedih.

Ran tidak bisa melihatnya tapi Ran tetap tersenyum senang kala mengetahui jaraknya sudah dekat dengan Fito.

Ternyata disana sudah ada Mamanya Fito juga, membantu Fito untuk duduk di rumput lapangan, dengan beralasan kain segi empat. Johnny mempercepat langkahnya, menghampiri Fito dan juga Mama Fito.

“Ran!” Seru Fito ketika kursi roda gadis itu sudah ada di hadapannya.

“Halo Fito!” Ran meraba-raba, mencari keberadaan Fito.

“Fito di bawah, Nak. Mau duduk di bawah?”

“Mau Ayah!”

Johnny pun mengangguk, lalu mengangkat tubuh Ran, dan meletakkan perlahan di atas kain yang sama dengan Fito. Kain itu lumayan lebar. “Yaudah Mama sama Pak Johnny tunggu di sana, ya?” Ucap Mamanya Fito, disahut anggukan oleh Fito dan Ran.

Tinggallah Fito dengan Ran di sana. Ran masih meraba-raba keberadaan Fito, untung saja mereka duduk berdekatan. Jadi, Fito tidak susah meraih tangan Ran yang masih meraba-raba.

“Aku di sini,” katanya, seraya meraih tangan Ran.

Ran tersenyum ketika tangannya digenggam oleh Fito.

“Fito bawa cake nya, kan?”

Fito mengangguk. Sebenarnya tidak ada hari spesial hari ini, hanya saja saat Ran merayakan ulang tahun saat itu, Fito tidak ada. Jadi, hari ini Fito membayar semuanya.

“Aku bawa, Ran. Cake sama hadiah buat kamu.”

“Asik!” Ran berseru kesenangan. Bola matanya bergerak liar, walau mata itu tidak dapat melihat lagi. Ran tidak dapat menahan senyumnya, dia begitu senang tentu saja.

Sama dengan Ran, Fito juga tidak dapat menahan senyumnya. Dia senang melihat Ran terus tersenyum seperti itu. Ah, sebenarnya cake ini bukan hanya untuk merayakan ulang tahun Ran yang sudah lewat. Ada tujuan lain yang hanya Fito ketahui.

“Kalau senyum gitu, nggak nampak galaknya.”

“Emang Ran galak?” Tanya Ran sewot.

“Ha ha ha, galak terus bawel dikit.”

Ran memanyunkan bibirnya, kesal dengan candaan Fito. Padahal candaan itu sudah berulang kali Ran dengar, tapi tetap saja mengesalkan.

“Kamu mau potong cake ini?”

“Mau!”

“Tapi janji dulu sama aku.”

“Apa, Fito?”

Fito terdiam sejenak sebelum kembali berucap. Alasan lain dia mengajak Ran untuk potong cake—makanan kesukaan Ran.

“Cake ini aku kasih untuk kamu, tapi senyum itu harus terus ada untuk aku, ya?”

Setelah kejadian yang menimpa mereka, tentu tidak mulus seperti itu saja. Ran memang mendapatkan perhatian sang Ayah. Ran berhasil membuat sang Ayah menyesal. Tapi Ran kehilangan indera penglihatannya, Ran kehilangan kesempatan untuk sekolah dan harus merelakan cita-citanya menjadi seorang dokter.

Sering sekali Ran menangis ketika dia bangun dari tidurnya. Menangis bahkan berteriak begitu kencang. Karena panik, tidak bisa melihat apa-apa.

Ran sering murung kala Fito datang untuk menemaninya. Ran sering menghabiskan waktu dengan diam.

Ran kehilangan dirinya yang dulu.

“Jangan lagi ada Ran jelek, Ran cemberut setiap pagi.”

Ran hanya diam mendengarkan Fito.

“Ran udah berhasil. Ayah udah sayang sama Ran. Ran udah sampai ke titik bahagia, Ran. Semua sayang sama Ran.”

Fito menggenggam tangan Ran semakin erat. Sesekali mengusapnya.

“Ayah, Abang kamu, aku. Jadi Ran nggak boleh sedih lagi, ya?”

Ran mengangguk pelan. “Iya, Fito.”

“Dulu Ran selalu semangat apapun yang Ran hadapin. Sekarang harus juga, ya?”

“Walaupun Ran nggak bisa lihat lagi?”

“Iya. Kan ada aku, aku akan jadi mata kamu.”

“Tapi Ran nggak bisa jadi kaki Fito lagi.”

Ran menundukkan kepalanya, dia menjadi sedih seketika.

“Aku laki-laki, jadi aku akan jadi laki-laki yang bertanggung jawab sepenuhnya. Aku jadi mata kamu, aku jadi kaki kamu. Apapun caranya.”

Fito mengarahkan tangan Ran, mengambil pisau plastik untuk memotong cake. Lalu dia arahkan pisau itu untuk memotong cake yang ada di tengah-tengah mereka.

“Cake ini aku kasih untuk kamu, sekarang coba senyum.”

Tanpa disuruh dua kali, Ran mengembangkan senyumnya. Senyum yang dulu dipalsukan, dan terlihat begitu menyakitkan Sekarang jadi senyum yang sangat hangat.

“Senyum itu untuk aku. Terima kasih, Ran.”

“Terima kasih juga, Fito!”