149
Sang ahli yang tidak pernah puas
tw // kekerasan , blood , pembunuhan.
Dipenuhi adegan kekerasan ⚠️ ‼️ HARAP BIJAK ‼️
Sang ahli ... Tanyakan kepada dia apa yang dia cari selama ini. Maka jawabannya hanya satu dan itu sangat-sangat simpel. Kepuasan ... Hanya itu yang menjadi tujuan dari sang ahli.
Selama sang ahli belum merasa puas, maka dia tidak akan pernah berhenti melakukan hal yang dia senangi. Dan sang ahli tidak akan pernah merasa puas.
Lalu apa yang mendorongnya menjadi mudah melakukan ini ... Jawabannya karena dia sudah terbiasa. Dan dari kebiasaan itu Sang ahli mudah melakukan apapun yang dia mau, termasuk melakukan pembunuhan yang tiada hentinya.
Malam ini masih di malam yang sama, sang ahli sedang mencari-cari. Walau sang ahli sudah punya satu sasaran yang mungkin akan sangat memuaskan baginya. Tapi sang ahli tidak mau langsung ke sana, dia ingin merasakan hal biasa lagi terlebih dahulu. Seperti, membunuh gadis cantik yang akan tergoda dengan wajah tampannya.
“Halo cantik,” sapa sang ahli kepada seorang perempuan muda yang ada di sampingnya.
Perempuan itu mengukir sebuah senyuman, merasa senang karena pria yang dia perhatikan sedari tadi, kini menyapanya.
“Halo, Kak!” Balasnya dengan begitu ceria.
“Kamu dari tadi perhatiin saya, ya?” Tanya sang ahli—atau kita sebut saja sang pria.
Gadis itu mengangguk dengan yakin. “Maaf, ya, Kak. Aku cuman seneng aja ngelihatin cowok ganteng hujan-hujan gini.”
Sang pria terkekeh gemas, ada-ada saja menurutnya. “Kamu mau saya antar saja? Sepertinya bus terakhir akan terlambat ...” Sang pria mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Memang Kakak bawa mobil? Tapi kok neduh di halte?” Tanya gadis itu.
Sang pria tidak bisa menahan tawa karena pertanyaan polos yang keluar dari mulut gadis itu. Setelah tertawa dia pun tersenyum, kemudian menjawab, “Saya bawa, kamu lihat mobil hitam itu?” Sang pria menunjuk ke arah mobil hitam yang dimaksud.
Tanpa bertanya sang gadis mengikuti arah tangan sang pria, lalu dia mengangguk.
“Saya punya kebiasaan kalau hujan suka neduh, walaupun bawa mobil. Dan kebetulan sekali saya jumpa kamu di sini,” sambung sang pria lagi.
Gadis itu tertawa karena lucu saja mendengar jawaban dari sang pria yang ada di sampingnya.
“Boleh deh, Kak. Kalau nggak ngerepotin, soalnya aman juga, 'kan, pulang dianterin sama cowok,” ujar sang gadis tanpa berpikir panjang.
Sang pria menaikkan satu alisnya setelah mendengar ujaran sang gadis, serta tidak lupa dia menarik ujung bibir membentuk sebuah seringai kecil.
“Ya. Sama saya aman.”
Selama perjalanan sang pria mendominasi percakapan yang membuat gadis yang baru dia temui tadi merasa sangat nyaman. Tidak ada rasa canggung di antara mereka. Bahkan sang gadis tidak malu saat tertawa mendengar candaan demi candaan yang pria lontarkan.
Seketika sang gadis merasa aneh sebab sepertinya jalan yang dilewati oleh mereka bukan jalan menuju rumahnya—sebelumnya gadis itu sudah memberikan alamat rumahnya kepada sang pria.
Gadis itu pun tersadar karena sudah hampir tiga puluh menit lebih mereka di jalan, padahal dari halte menuju rumahnya tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu lima belas menit.
“Kak, ini ... Kita dimana, ya?” Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.
Sang pria tidak menoleh dia masih fokus dengan pandangan ke depan.
“Di jalan,” jawabnya tanpa menoleh.
Gadis itu pun tertegun mendengarnya, hawa yang sang pria keluarkan kini menjadi berbeda dari sebelumnya. Sadar sang gadis sedang ketakutan pria pun menoleh sebentar.
Kemudian dia berkata, “Jangan takut, kamu aman sama saya.”
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan jalanan pun sudah sangat sepi, mengingat sekarang sudah hampir jam dua belas malam.
Karena mobil yang sang gadis tumpangi berhenti, perlahan dia berusaha untuk membuka pintu. Sayangnya pintu itu terkunci—dan sang gadis tidak paham cara membukanya.
Sang gadis melirik dari ekor matanya, dia mendapatkan sang pria yang ramah tadi sedang tertawa kecil tanpa melihatnya. Sungguh-sungguh membuatnya takut.
“Kamu aman sama saya,” kata sang pria yang terdengar begitu menyeramkan, terlebih dia menyelipkan tawa di akhir kalimat itu.
Gadis itu semakin panik, yang tadinya dengan tenang dia ingin membuka pintu, kini dia membukanya dengan sedikit menggunakan kekuatan. Sesekali gadis itu mengetuk jendela berharap ada seseorang yang mendengar dari luar.
Nihil, apa yang dilakukan oleh gadis itu sia-sia yang pada akhirnya hanya mendapatkan tawa ejekan dari sang pria.
Grep!
Seketika tubuh gadis itu membeku ketika tangan kekar milik pria di sampingnya kini menggenggam erat pundaknya. Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya ketika tubuhnya perlahan di tarik agar berhadapan dengan sang pria.
“Kenapa takut? Kamu aman sama saya.”
Gadis itu pun menggeleng. Karena heran sang pria menaikkan satu alisnya.
“Kak maaf karena saya lancang dan sok kenal sama Kakak. Jangan sakiti saya, Kak. Ibu saya sendirian di rumah, Kak,” mohon gadis itu. Dia sudah berani membuka matanya agar dapat menatap sang pria, meminta ampunan dari pria itu.
“Ibu?”
Sang gadis mengangguk, dia semakin ketakutan ketika tangan kanan pria itu kini menyentuh pipinya. Terlintas satu pikiran di benak gadis itu.
“Argh!”
Sang pria memekik karena tiba-tiba gadis itu menggigit kuat tangan kanannya, terlihat jelas bekas gigitannya pada tangan sang pria.
Karena kedua tangan pria itu sudah lepas dari badannya, sang gadis kembali membalikkan badan berusaha membuka pintu mobil sembari mengetuk-ngetuk jendela.
“Tolong ... Tolongin saya!”
Tok tok tok
Gadis itu menangis sesegukan karena dia tidak berhasil membuka pintu mobil.
“Argh!” Di tengah kesibukannya rambut panjang sang gadis ditarik oleh sang pria—yang mungkin sekarang bisa dipanggil lagi dengan sebutan sang ahli.
“Kenapa minta tolong? Kamu aman sama saya!” Sang ahli sedikit berteriak membuat sang gadis terkesiap ketakutan.
“Kak kita baru ... Kenal ... T-tolong maafin saya. Saya nggak ... Salah, Kak,” mohon gadis itu terbata-bata.
Sang ahli melaungkan tawanya. Tidak salah katanya ... Sang ahli menertawakan kalimat itu.
“Tidak salah katamu? Kamu salah!”
“Kak kita baru ... Kenal ...”
“Karena itu, karena itu kamu salah,” bisik sang ahli, tubuhnya semakin dekat dengan gadis itu.
Gadis itu pun semakin dikuasi oleh rasa takut yang luar biasa besar. Hanya bantuan dari Tuhan, dan doa yang bisa dia panjatkan dalam hati—berharap dia selamat.
“Kak ...”
Belum sempat gadis itu mengucapkan kata selanjutnya, dia harus merasakan sakit akibat tusukan pisau tajam di perut kirinya.
Sang ahli sudah berhasil mendapatkannya. Dengan pisau tajam miliknya dan dengan tangan yang hanya ditutupi dengan sarung tangan, sang ahli melakukannya.
Dia tatap wajah cantik yang sedang kesakitan itu dengan tatapan kepuasan.
Tidak lama bagi sang ahli untuk melakukan hal itu, karena menit berikutnya gadis malang itu sudah tidak bernapas lagi. Sang ahli tersenyum lembut menatap wajah gadis itu. Dia rapikan rambut yang tampak begitu berantakan.
“Kamu aman sama saya.”
Kemudian sang ahli kembali menghadap ke depan, dia sandarkan tubuhnya di sandaran kursi, lalu dia letakkan kedua tangannya di atas setir. Sang ahli sedang mencari-cari tempat dimana dia akan membuang mayat gadis malang itu.
Lebih tepatnya bukan membuang, tapi menjadi umpan. Tidak jauh dari posisinya, dia melihat gedung tinggi rumah sakit, gedung yang seharusnya menjadi target utama bagi sang ahli, tapi sang ahli harus menunda itu terlebih dahulu.
Setelah lama berpikir sang ahli melajukan sedikit mobilnya memasuki sebuah gang kecil yang tidak jauh dari sana—gang kecil yang menjadi jalan alternatif menuju sebuah gudang tua yang sudah kosong.
Sesampainya dia di sana, sang ahli turun dari mobilnya. Tidak lupa pula sang ahli mengangkat tubuh gadis ramah yang kini menjadi gadis malang yang tidak lagi bernyawa. Sang ahli lemparkan dengan kasar di dalam gudang tua itu.
Seperti kebiasaannya sang ahli akan membersihkan setiap jejak-jejak yang pernah dia tinggalkan. Tanpa ada satupun yang tertinggal.
Rasanya sangat tenang setelah melakukan hal itu. Terlebih sekarang dia sedang memandang tubuh gadis malang itu dengan sebuah rokok yang sedang dia hisap.
Sang ahli kemudian mengembuskan asap terakhir rokoknya, sebelum dia meninggalkan tubuh gadis itu sendirian di sana.
Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang menemani. Sendirian tanpa ada siapa-siapa yang berani mengganggunya. Dan sekarang gadis itu benar-benar aman di dalam kesendiriannya.
Lalu kemana langkah sang ahli berikutnya? Entahlah, dia akan pergi kemanapun dia suka. Bahkan setelah melakukan kebiasaannya itu.