Panglimakun

tw // pembunuhan , pisau , darah

Please kalo gak kuat tinggalin aja, ya!


Zennith, Wanita yang baru saja menjadi teman Jovas. Kini ia sedang berjalan menyusuri jalan yang lumayan sepi.

Ia tidak bohong saat mengatakan ia baru saja pulang kerja kepada Jovas.

Namun ia tidak menganggap serius saat Jovas menawarinya untuk ditemenin. Zennith tetap nekat pulang seorang diri.

Berakhir Wanita itu menjadi panik, karena merasa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.

Saat langkah Zennith melambat, langkah orang itu juga ikut melambat. Dan sekarang langkah Zennith semakin mengencang, ia dapat mendengar suara derap langkah yang kencang juga dari belakang.

Zennith memejamkan matanya, dan melangkah semakin cepat, bahkan ia menggenggam tali tas yang ia kenakan dengan erat.

Detak jantung Zennith begitu cepat, bahkan ia dapat mendengar suaranya. Zennith semakin takut, kalau begini rasanya ia ingin kembali ke beberapa menit sebelum ini dan menunggu Jovas untuk menemaninya.

Deg!

Tubuh Zennith membeku seketika. Saat ia merasakan satu tangan menyentuh pundak kirinya.

Zennith menangis tanpa mengeluarkan suara. Saat ia membuka matanya, ia melihat sosok orang itu kini ada di depannya.

Sosok yang ternyata seorang Pria dengan tubuh yang sangat tinggi dan kekar.

Tubuh Zennith yang tadinya membeku kini bergetar hebat, saat tangan sang Pria itu menarik rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah kosong yang tidak jauh dari sana.

Zennith sudah berusaha sebisa mungkin untuk melawan. Namun kekuatan Pria itu lebih besar daripadanya.

Sesampainya mereka di sana, Zennith dilempar dengan kuat sehingga tubuhnya membentur dinding dengan kuat.

“Arghh ...” Zennith memegang lengan kirinya yang begitu sakit, akibat benturan itu.

Lalu ia berusaha untuk menatap pelaku yang kini sedang ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam saku Hoodienya.

“Please ... Don't do that,” mohon Zennith, ia melihat Pria itu mengeluarkan sebuah pisau dari sakunya.

Zennith tidak bisa melihat wajah Pria itu dengan jelas, pasalnya Pria itu mengenakan masker dan juga topi. Zennith hanya bisa melihat manik mata yang kini memancarkan sebuah ancaman untuknya.

Pria itu semakin mendekat. Zennith ingin lari, tapi ia tidak punya kekuatan untuk melakukan itu.

Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan memohon agar dilepaskan.

“Jangan, jangan bunuh saya. Saya ini wanita.”

Pria itu tersenyum tipis dari balik maskernya.

“Karena itu. Karena itu kamu harus dibunuh,” jawabnya, yang begitu mengejutkan Zennith.

Zennith tertegun saat pria itu kini berlutut di sampingnya.

“Help me,” mohon Zennith entah kepada siapa.

Pria itu tertawa keras mendengar Zennith memohon.

“Help me ...” Pria itu mengejek Zennith.

Zennith tidak berbohong saat ini ia masih berharap Jovas mengikutinya dan akan menolongnya. Ia yakin, Jovas adalah sosok Pria yang baik.

“Jo ... Please help me.” Lagi-lagi Zennith memohon dengan menyebut nama Jovas, Pria yang ia yakinin akan datang menolongnya.

Pria yang ada di sampingnya tertawa saat mendengar Zennith menyebutkan nama Jo.

“Who is Jo? Your boyfriend, hm?” tanyanya.

Zennith tidak menjawab. Bahkan ia tidak berani untuk menatap Pria itu.

Mata Zennith melirik ke samping saat Pria itu mengangkat satu tangannya. Ternyata Pria itu hendak membuka masker yang ia kenakan.

Zennith kembali dibuat terkejut saat melihat wajah Pria itu.

“Eu...mphhh.”

Zennit dibungkam dengan tangan kekar Pria itu yang mengenakan sarung tangan.

“Apa kita harus nunggu pacar kamu datang, hm?”

Zennith menangis, kini ia tidak lagi mempunyai tenaga untuk melawan.

Zennith berusaha untuk bersuara namun tidak bisa.

“Sepertinya gak usah, ya?”

“Karena saya sedikit benci lihat wanita.”

Detik selanjutnya pisau yang sedari ada di tangan Pria itu, kini sudah menancap sempurna di perut kanan Zennith.

Mata Zennith membulat sempurna, bahkan matanya kini memerah karena rasa sakit yang begitu luar biasa.

Pria itu melepaskan tangannya dari mulut Zennith. Lalu ia kembali mengenakan maskernya.

Pria itu tersenyum puas saat melihat Zennith kini tidak lagi menghembuskan napas.

Rasa puas dan juga kesenangan yang begitu ia dambakan kini ia dapatkan lagi.

Untuk selanjutnya, bukankah sang ahli tau apa yang akan ia lakukan? Ia lah Pria yang disebut sang ahli. Pria yang sama saat di hotel itu.

Kembali melakukan hal yang sama, menghilang jejak dan juga sedikit memberi jejak. Karena jika ia menghilang begitu saja, maka sensasi yang ia dapatkan sedikit kurang.

Kini ia ingin sedikit bermain-main dengan para polisi, yang sudah ia hadapi lima tahun terakhir.

Apa yang akan dilakukan sang ahli setelah perbuatannya kejinya.

Ketakutan? Menangis?

Tentu saja tidak.

Pria itu tersenyum seraya melemparkan handphone yang ia genggam tadi ke sofa di sampingnya.

Di ruangan gelap, yang hanya diterangi oleh cahaya televisi, ia sendiri.

Memandang televisi yang sedang menyiarkan siaran berita. Kasus bunuh diri yang kini sudah menjadi kasus terduga pembunuhan.

“Asik juga,” monolognya dengan bangga.

Selama lima tahun terakhir, jejaknya benar-benar tidak terlihat. Bahkan polisi percaya jika itu hanya kasus bunuh diri.

Jika begini, apa polisi yang terlalu bodoh, atau ia yang terlalu ahli?

Tawa Pria itu pecah ketika melihat seorang detektif yang sedang diwawancari di televisi.

“Bodoh,” monolognya lagi.

Karena muak, ia mematikan televisi dan melemparkan remotnya ke sembarang tempat.

Ia bangkit dari sana, mengambil sebuah Hoodie yang sudah tergantung. Hoodie itu sedikit berat, entah apa yang ada di dalam sakunya.

Tak lupa juga ia mengenakan topi berwarna hitam. Seperti biasa ia akan mengenakan setelan hitam di tubuhnya.

Setelah memastikan semuanya siap, ia berdiri dari sana. Keluar dari ruangan gelap itu, dan melangkah menuju ke tujuan yang sudah ada di dalam kepalanya.

Milla tidak membantah setelah mendapat ancaman dari Robert.

Ia patuh saja saat Robert menjemputnya untuk dibawa ke kantor polisi.

Di sinilah ia sekarang, di kantor polisi dengan beberapa petugas yang sudah ada di sana.

Milla hanya duduk, tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Karena jika ia sudah ikhlas dan tidak lagi ingin menangis.

Namun saat Milla dibawa Wisnu ke sebuah ruangan, dimana di ruangan lainnya sedang ada Robert dan seorang wanita, hati Milla menjadi tidak tenang.

“Siapa dia?” tanya Milla penasaran.

Sebenarnya Milla tidak diizinkan masuk ke ruangan itu, namun karena Robert dan Wisnu yang menangani masalah ini, jadinya mudah bagi Milla dibawa ke sana.

“Dia yang tertangkap di cctv, dia pelakunya, Milla,” jawab Wisnu dengan berat hati.

Milla bungkam, berat rasanya untuk dia mengucapkan sebuah kalimat. Bahkan tak terasa ia meneteskan air mata.


Di ruangan lain, Robert hanya bisa menghela napas ketika Wanita yang ada di hadapannya hanya diam.

“Jawab pertanyaan saya, kenapa kamu ngelakuin ini?”

“Penjarakan saya, saya mohon. Saya ngaku penjarakan saya saja!” teriak Wanita itu.

Robert memejamkan matanya. Ia merasa gemas karena Wanita itu tidak bisa diajak kerja sama.

Karena ia tidak mau membuat suasana semakin runyam, ia memilih untuk keluar dan menghentikan wawancara itu untuk sementara.

Saat Robert keluar ia mendapatkan Milla dan Wisnu di sana.

“Dia siapa?” tanya Milla penuh penasaran.

Milla mendekat, ia menggenggam erat ujung jaket Robert.

“Dia pembunuhnya?”

Milla tak kuasa menahan air matanya, rasanya sangat sakit. Ini salah satu alasan mengapa ia tidak ingin kasus ini diteruskan.

“Iya, Rob?”

Dengan enggan Robert mengangguk. Membuat tangisan Milla pecah.

“Kehilangan seseorang memang sesakit itu.”

Milla tersentak saat mendengar suara berat dari belakangnya.

Ia sudah tidak lagi di samping pusara orang tuanya. Tapi ia masih di dekat sana. Di taman di dekat perkuburan.

Saat mendengar suara berat itu, Milla menoleh ke belakang, menemukan sosok Pria muda berbadan kekar dengan wajah yang begitu tampan.

Lalu Pria itu berpindah dan duduk di samping Milla.

“Aku turut berduka cita, ya?”

Milla mengerutkan keningnya. Pasalnya ia tidak mengenali siapa Pria yang ada di sampingnya itu.

“Aku Jovas.” Pria yang bernama Jovas itu mengulurkan tangannya, mengajak Milla untuk berkenalan.

Dengan enggan Milla menerimanya. “Milla,” jawab Milla.

Jovas tersenyum, lalu melepaskan uluran tangannya.

“Aneh memang aku tiba-tiba nyampein kamu. Tapi aku pernah ada di posisi kamu, jadi aku mau kamu jangan sedih lagi.”

Hanya senyum tipis yang bisa Milla berikan. Karena ia masih bingung dengan keadaan sekarang.

“Kamu lihat rumah kosong di seberang sana?” Jovas menunjuk ke arah rumah kosong yang ia maksud.

Mata Milla mengikuti arah tangan Jovas. Ia melihat rumah kosong yang Jovas maksud.

“Lihat.”

“Ke sana mau?” ajak Jovas.

Milla sedikit merinding dan ketakutan. Hatinya berkata jangan, namun entah kenapa mulutnya berkata, “Mau.”


Wah! Milla tidak menyangka rumah kosong yang begitu menyeramkan ketika dilihat dari luar, namun begitu cantik jika dilihat langsung dari dalam.

Yang tadinya ia menangis, kini matanya berbinar kagum menatap ke setiap sudut rumah itu.

“Kata orang-orang arwah yang sudah pergi biasanya ke sini dulu,” ucap Jovas, walaupun sedikit tidak yakin dengan ucapannya.

Milla tertawa kecil mendengar ucapan konyol Jovas barusan.

“Lo percaya?”

Jovas menggeleng. “Tidak. Aku lebih percaya ini tempat foto yang bagus.”

Kalo yang satu itu, Milla percaya. Jika berfoto di sini pasti akan sangat bagus hasilnya.

Kalau ucapan konyol Jovas sebelumnya itu sangat sulit dipercaya dengan akal sehat.

“Eh, lo kenapa tau gue lagi berduka?” tanya Milla, yang kini kewarasannya sudah kembali seratus persen.

“Duduk di taman dekat pusara, dengan tatapan kosong, mata sembab. Apa ada orang yang mengira kamu sedang ulang tahun?”

Okey, sepertinya Jovas sedang bercanda. Namun ia mengatakannya dengan raut wajah yang begitu datar.

Tentu ucapan dan raut wajah Jovas mengundang tawa Milla.

“Iya juga, sih. lucu juga, ya, lo.”

“Terima kasih pujiannya, ya.”

Setelah itu, keadaan kembali hening. Mereka hanya bisa menatap setiap sudut tanpa mengucap satu katapun.

“Hm,” gumam Jovas. “Boleh fotoin aku nggak?” tanya Jovas, mukanya memerah malu saat mengatakan itu.

“Boleh, kok. Mana handphonenya?”

“Habis baterai, boleh pake handphone kamu?”

Tanpa ragu Milla mengangguk. Lalu menyuruh Jovas untuk berpose sebagus mungkin.

Milla tidak menyangka Pria itu tidak kaku di depan kamera, bahkan ia dibuat takjub dengan hasilnya.

“Keren lo! Ini hasilnya mau gue kirim kemana?” tanya Milla.

“Aku minta Instagram kamu aja, nanti aku chat boleh, kan?”

Milla sedikit menaruh curiga, namun ia tetap memberi nama akun instagramnya kepada Jovas.

“Aku sudah catat, terima kasih, ya.”

Milla mengangguk.

“Eh, Jo,” panggil Milla.

“Iya?”

“Terima kasih, ya. Lo bikin gue sedikit tenang.”

Jovas tersenyum lega mendengarnya. “Syukurlah.”

Isak tangis Milla tak ada hentinya, bahkan saat semua orang telah pergi dari sana. Gadis itu masih menangis di depan makam orang tuanya.

Lagi dan lagi Milla kehilangan, ini sudah ketiga kalinya. Kehilangan Ayah kandung yang pergi entah kemana. Kehilangan Ibu kandung yang meninggal karena serangan jantung. Dan sekarang kehilangan kedua orang tua tiri, yang sudah ia anggap seperti orang tua kandung, diduga karena pembunuhan.

Milla tidak mau lagi mengingat bagaimana terkejutnya ia saat kembali masuk ke ruangan orang tuanya, selepas kembali untuk membeli makanan ringan.

Ia melihat kaca yang sudah pecah, dan keadaan ruangan yang sudah berantakan.

Ruangan kedua orang tuanya itu berada di lantai dasar, maka siapapun yang lari dari jendela itu, akan sangat mudah pergi tanpa perlu takut tertangkap.

“Udah, ya? Kasihan Ibu sama Bapak kalo kamu nangis terus,” ucap Robert, yang sedari tadi setia menemaninya.

Bukannya merasa tenang dengan ucapan Robert, Milla semakin histeris.

“Gue sayang banget sama mereka, Rob. Gue ngerasa gagal, lo bayangin awalnya mereka diracun sampe masuk rumah sakit, sekarang mereka meninggal karena dibunuh. Sakit banget hati gue, Rob,” kata Milla, masih dengan isakannya.

Robert tidak lagi berbicara, karena ia tau itu hanya membuat gadis yang ada di sampingnya semakin terluka. Ia memilih untuk membawa Milla kedekapannya.

“Gue bakalan tangkap pelakunya. Gue pastiin dia dapat hukuman yang setimpal.”

Milla menggeleng. “Jangan bawa kasus ini ke kepolisian,” tolak Milla. “Gue gak nuntut, gue mau kalian gak usah nyari pelakunya.”

Robert kebingungan karena Milla mengatakan hal tersebut. Ia melonggarkan dekapannya, agar bisa menatap wajah Milla.

“Kenapa?”

“Gue mau Ibu sama Bapak tenang di sana, Ibu sama Bapak juga bukan pendendam. Biar Tuhan yang balas semuanya, Rob.”

No.” Robert menggeleng. Mau bagaimanapun kasus pembunuhan seperti ini harus diusut sampai selesai.

Please. Gue gak mau Ibu sama Bapak susah di sana, biarin mereka istirahat dengan tenang.”

Milla menatap Robert dengan tatapan penuh harap.

“Malah kalo pelakunya gak tertangkap, mereka gak tenang, Milla.”

Milla menggeleng, ia masih kekeh dengan pendiriannya. Ia tidak mau kasus ini kemana-mana, terlebih jika ia harus berurusan dengan kepolisian.

“Mill...”

Leave me alone, please?” pinta Milla, ia sedikit pusing karena masalah ini.

Butuh waktu dan tempat agar dia bisa berpikir dengan jernih.

Robert hendak membantah, tidak mungkin ia meninggalkan Milla sendirian saat seperti ini.

Namun belum sempat ia berbicara, sebuah panggilan masuk membuat atensinya beralih ke situ.

Sebuah panggilan dari Wisnu. Ia yakin rekannya itu sudah ada di dekat sini.

“Gue kasih waktu buat lo berpikir, pikir yang terbaik. Tapi jangan pernah ngelakuin hal aneh, karena gue ada di sini, okey?”

Hanya anggukan yang bisa Milla berikan sebagai respon. Bahkan ia tidak mau menoleh ke arah Robert. Ia hanya mau menatap dua kuburan orang tuanya yang masih basah itu.


“Gimana?” tanya Wisnu, ketika Robert tiba di hadapannya.

“Apanya?” Robert mengerutkan kening kebingungan.

“Si Milla.”

“Dia masih di sana, masih butuh waktu sendiri.”

Wisnu mengangguk paham. Lalu ia mengeluarkan handphone dari saku celananya.

“Oh, ya. Inget cctv di rumah sakit? Udah dapet, dan pelakunya tertangkap di cctv. Kasus orang tua Milla, seratus persen kasus pembunuhan.”

“Wah, makin marak aja, ya, kasus pembunuhan,” seru salah Ibu-ibu yang sedang bekerja di warung ayam. Sebut saja Bu Lasma, singkatnya.

“Nak Jo, kamu tuh hati-hati, apalagi kamu suka pulang malam-malam, kan,” peringat Bu Lasma, kepada pria muda yang ada di sampingnya.

Jovas Kennedith, pria muda nan tampan selaku pemilik warung ayam yang ia namai Sinchicken. Ia menjawabnya dengan senyuman dan anggukan kecil.

“Jangan ngangguk-ngangguk aja! Ibu gak bisa nemenin kamu sampai malam loh.”

Jovas tertawa kecil mendengarnya.

“Iya, Bu. Gak usah khawatir, kalo Ibu nemenin aku sampe malam, yang ada aku yang jagain Ibu nanti,” ujar Jovas, dengan nada bercanda.

Mendengar gurauan Jovas, membuat Lasma merasa gemas. Membuatnya bergerak memukul lengan Jovas berkali-kali.

“Aduh, Bu. Iya ampun,” ringis Jovas.

“Kamu itu, diingetin malah bercanda.”

“Kabur.”

Daripada tubuhnya sakit karena menjadi sasaran empuk Lasma. Lebih baik Jovas melarikan diri dari sana, dan kembali untuk bekerja.

Di dapur, Jovas memperhatikan satu persatu ayam segar yang akan ia masak. Sebelum ke sana, ia melangkah menuju ke suatu tempat untuk mengambil sebuah kotak di sana.

Setelah menemukan yang ia mau, Jovas membawa kotak itu kembali ke dapur.

Membukanya dengan raut wajah yang biasa saja. Lalu mengangkatnya keluar.

Sebuah pisau yang masih terbilang baru, karena warna yang masih mengkilap dan juga sangat terlihat tajam.

Ukuran pisau itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil, sangat pas ukurannya di tangan kekar Jovas.

Mata Jovas tak henti-hentinya memandang kagum pisau itu. Membolak-balik ke setiap sisinya. Memandang kagum karena kecantikan yang dipancarkan.

“Om ...”

Sampai ada panggilan pun, ia tak sadar.

“Pak ...”

Wajah yang tadinya datar berubah menjadi senyum, apalagi saat samar-samar ia mendengar suara lembut wanita memanggil.

“Permisi Mas, jualan gak?”

Jovas tersentak. Untung saja pisau yang ada di tangannya tidak lepas.

“Iya, sebentar.

Jovas melangkah ke depan, ke asal suara. Ia tersenyum menyambut pelanggan, seorang wanita yang mempunyai tampang yang begitu cantik.

“Mau pesan apa, Mbak?” tanya Jovas, melayani pelanggan seperti biasanya.

Wanita itu bergumam sebentar dengan mata menatap menu yang ada di hadapannya.

“Hmmm ... Saya mau ayam baladonya satu, ya,” jawab sang wanita

Jovas mengangguk dan tersenyum, ia mencatat pesanan wanita itu pada mesin kasir yang ada di hadapannya.

“Totalnya tiga puluh dua ribu, boleh pembayarannya dulu, Mbak?”

Wanita itu menyerahkan uang tunai sebesar lima puluh ribu kepada Jovas, lalu Jovas mengembalikan Kembaliannya sebesar delapan belas ribu.

“Ditunggu sebentar, ya, Mbak.”

Jovas kembali ke dapur yang tidak jauh dari kasir. Sebenarnya ada lima orang lagi yang bertugas untuk memasak pesanan para pelanggan. Namun hari ini kelima pekerja itu diliburkan oleh Jovas, karena beberapa Minggu kemarin warung mereka sangat ramai pengunjung.

Setelah selesai, Jovas kembali ke depan dengan membawa pesanan sang wanita itu.

“Ini Mbak. Terima kasih,” ucapnya dengan senyuman ramah.

“Terima kasih juga, Mas!”

“*By the way, Mas ganteng deh,” puji wanita itu, dengan senyuman mengembang.

Mendengarnya bikin Jovas tertunduk malu. Walaupun ini bukan pertama kali ia mendengar pujian seperti itu.

“Terima kasih, Mbak. Mbak juga cantik,” balas Jovas.

Tidak beda dengan Jovas. Wanita itu pun tersipu saat Jovas membalas pujiannya.

“Eh, Mas. Tadi saya nyari twitter pake nama Mas, ternyata dapat. Tapi Mas cuman follow BMKG,” ucap si Wanita seraya tertawa.

Jovas hanya tertawa kecil sebagai responnya.

“Saya boleh follow gak, Mas?”

Jovas mengangguk.

“Silahkan, tapi jangan minta follback, ya,” ujarnya dengan sangat sopan.

“Kalo saya minta hatinya boleh gak, Mas?”

tw // Murder ! cw // mature content

Harap bijak!


Sapuan birai dan lenguhan kecil menjadi akhir dari pacuan cinta, yang sudah berjalan dua jam lamanya.

Kedua insan itu saling mendekap satu sama lain. Menikmati sisa-sisa percintaan yang baru saja mereka lakukan.

Sang wanita mengusap pelan wajah sang pria, tanpa bisa melihat wajah tampan sang pria. Mengingat tidak ada satupun penerang di dalam kamar hotel yang mereka tempati itu.

“I love you,” ungkap sang wanita, ungkapan yang sudah berulang kali ia katakan.

Namun tak pernah bosan didengar oleh sang pria.

“I love you more, honey,” balas sang pria, tidak lupa ia mendaratkan kecupan kecil di dahi sang wanita.

Merasa sudah cukup tenang, sang pria mengubah posisinya menjadi duduk di atas kasur. Ia menghidupkan lampu tidur yang ada di nakas sebelah kasur. Setelah itu, ia menoleh untuk menatap wajah cantik dari sang wanita.

Wajah yang begitu cantik walau penuh peluh dan juga kelelahan.

“Cantik,” puji sang pria dengan jujur.

I know it, memang kapan aku jelek?”

Sang pria tertawa gemas dengan balasan wanita yang ada di sampingnya. Tak lama ia tertawa karena mengingat akan suatu hal.

Tangan kekarnya itu meraih segelas air yang sedari tadi menjadi saksi percintaan antara kedua insan itu.

Ia mengambilnya untuk ia serahkan kepada sang pujaan.

“Ini minum,” titah sang pria.

Sebelum sang wanita meraih gelas yang ada di tangan sang pria. Ia terlebih dahulu mengubah posisinya menjadi duduk di samping sang pria, dengan menyandarkan tubuhnya di headboard kasur.

“Thank you ...” Tanpa bertanya lagi ia meraih dan meneguk air itu.

Sang wanita tidak menaruh curiga apapun, pasalnya selain ia tidak dapat melihat dengan jelas. Ia juga yakin itu hanya air bening biasa, apalagi air itu diberikan oleh sang pujaan hati.

Namun salah, harusnya ia tidak begitu yakin, harusnya ia bertanya terlebih dahulu.

Tapi waktu berkata lain, sudah terlambat untuk bertanya. Rasanya sangat susah agar ia bisa berbicara dan meminta tolong.

Sang pria menoleh saat tersadar sang wanita seperti membutuhkan pertolongan. Samar-samar ia dapat melihat wajah sang wanita yang mulai menegang.

Satu tangan wanita itu gunakan untuk memegang lehernya, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk meminta pertolongan kepada pria yang ada di sampingnya.

Sang pria turun dan berdiri dari kasur. Gerak-geriknya sangat santai, tidak menunjukkan kepanikan sedikit pun.

Tangan kekar itu meraih semua pakaian yang tercecer di lantai, dengan gerakan yang santai dan lambat, pakaian itu kembali ia pasang ke tubuhnya.

Lalu ia pun melangkah untuk menghidupkan lampu. Terangnya lampu membantu ia melihat wajah sang wanita dengan sangat jelas. Wajah yang tegang yang sangat ingin pertolongan.

Pria itu memberi senyum kepada sang wanita, saat sang wanita menggerakkan bibirnya hendak mengucapkan namanya.

Namun belum sempat ia mengucapkan nama pria yang juga pujaan hatinya itu, takdir berkata lain.

Sang wanita harus kehilangan nyawa karena baru saja meminum racun yang begitu mematikan.

Tanpa ekspresi apapun sang pria melangkah, mencari letak tas yang sebelumnya ia bawa dari rumah.

Seperti ahli, ia membereskan dan membersihkan semuanya, dan memastikan agar tidak meninggalkan jejak dirinya sedikit pun di sana.

Menggunakan sarung tangan, membersihkan semua sudut yang pernah ia tinggalkan sebelumnya. Dan terakhir membersihkan jejak pada tubuh sang wanita yang sudah kehilangan nyawa itu.

Dengan hati-hati dan dengan sangat lihai, ia membawa tubuh tak bernyawa itu ke kamar mandi yang ada di dalam sana. Meletakkannya di dalam bathtub, dan tidak lupa menyalakan air sampai tubuh tak bernyawa itu tenggelam tak berdaya di sana.

Wajah yang tadinya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, kini terukir sebuah senyum di sana. Senyuman yang sangat susah diartikan. Atau artikan saja seperti sebuah senyuman kepuasan.

Kembali pria dengan tubuh tegap nan tinggi itu melangkah keluar, dan meninggalkan sang wanita yang tidak lagi bernyawa itu di dalam sana sendirian.

Ia memastikan agar tidak ada satu jejak pun tertinggal di sana. Setelah pasti ia meraih tas miliknya untuk bergegas meninggalkan kamar hotel itu.

Hisapan terakhir dari rokok yang ada di mulutnya menjadi akhir ia berada di sana.

Tak peduli dengan abu-abu rokok yang berserakan, karena itu adalah salah satu jejak yang biasa ia tinggalkan. Aneh bukan? Itulah cara sang ahli bekerja.

Dengan hati-hati ia keluar dari sana. Atensinya melihat ke setiap sudut koridor hotel, melihat dan memastikan setiap cctv sudah mati.

Bukankah ahli sudah tau bagaimana caranya bekerja? Maka sang pria pun seperti itu, dengan santai ia meninggalkan hotel tersebut tanpa ada rasa takut sedikitpun.

Karena ini bukan kali pertama ia melakukannya. Jadi, tidak ada alasan untuk ia takut. Jika pun tertangkap, maka itu adalah tujuannya.


“Kasus ke sepuluh setelah lima tahun,” lapor seorang pria kepada seorang detektif bernama Robert Jaffrey.

Robert kini sedang berada di tkp, di sebuah hotel ternama di sana. Ia berada di sana setelah mendapatkan laporan bahwa ada mayat wanita tenggelam di bathtub, diduga sudah dua hari mayat itu di sana.

“Gue gak yakin ini bukan kasus bunuh diri, Rob,” ujar sang pria itu lagi, untuk mempermudah kita panggil saja Wisnu.

Robert mengangguk setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Wisnu.

“Pembunuhan berencana, pembunuhan berantai, korbannya semua wanita,” kata Robert, dengan mata yang liar menatap setiap sudut tkp.

Saat Wisnu mendengar perkataan Robert, susah untuk dia memahaminya. Namun ketika ia sudah paham, seketika ia tersentak kaget.

“Ada kemungkinan ini dilakukan sama orang yang sama? Pelakunya satu orang?” tanya Wisnu, memastikan apa yang ada di pikirannya itu benar.

Robert mengangguk, dengan mata yang masih liar menatap setiap sudut kamar hotel itu.

“Walaupun baru kali ini dia nekat ngelakuin di hotel, tapi di setiap TKP pasti ada ini,” ucapnya, lalu melangkah satu langkah dan berjongkok di sana

Dengan tangan yang sudah terpakai sarung tangan, Robert mengusap abu rokok yang ada di lantai. Lalu ia kembali berdiri dan menunjukkan jejak abu rokok itu.

“Seperti disengaja.”

“Tapi, Rob. Bisa aja itu punya korban, kan?”

“Semua korban merokok?”

Wisnu bungkam seketika. Walaupun ia masih berpikir bahwa itu punya korban, mengingat bahwa kasus ini masih dinyatakan kasus bunuh diri.

Bisa saja para korban merasa depresi dan dengan cara merokok ia bisa menangkan diri bukan.

Sepertinya tidak, itu hanya berlaku pada dirinya. Sebagai seorang pecandu rokok.

“Rob,” panggil Wisnu, setelah bergelut dengan pikirannya. “Lo bakalan bawa kasus ini jadi kasus terduga pembunuhan?”

Robert lagi-lagi mengangguk.

“Sampai kita menemukan bukti.”

“Sang ahli gak akan ninggalin bukti, Rob.”

Atensi Robert beralih sepenuhnya ke Wisnu. Keningnya berkerut menandakan ia sedang kebingungan.

“Sang ahli?” tanya Robert, ia tidak paham dengan ucapan Wisnu barusan.

“Ya. Kalo ini memang kasus pembunuhan, pelaku ini pasti seorang ahli, kan? Sudah sepuluh korban, tapi sama sekali tidak terlihat jejaknya.”

Ada benarnya yang dikatakan Wisnu. Robert setuju akan hal itu. Lima tahun terakhir, ia pun tidak terpikirkan bahwa ini adalah kasus pembunuhan. Apalagi sembilan korban lainnya ditemukan di kediamannya sendiri, bukan di tempat umum seperti ini.

“Robert!” seru salah satu petugas yang sedang mencari-cari di setiap sudut kamar itu.

Robert dan Wisnu serentak menoleh ke arah suara. Petugas itu berada di pinggir kasur dengan posisi berlutut.

Lalu ia mengangkat satu tangannya, dan menunjukkan satu puntung rokok bekas dari bawah kasur.

Melihat hal itu, Robert menyeringai kecil, menandakan kemenangan.

“Got you.”

Mama


Mama <


“Kenapa diem aja?” tanya Revano memecahkan keheningan yang mengantarkan mereka hingga sampai di parkiran sekolah.

“Gak tau mau ngomong apa,” jawab Maudy jujur.

Maudy sedari tadi memang hanya diam, biasanya ia akan bawel. Karena begitu banyak hal yang menghantui pikirannya, membuat Maudy hanya diam sepanjang jalan.

Selain itu Maudy juga takut, takut dengan Revano yang tiba-tiba berubah dan takut kalau Misel melihat mereka berduaan nantinya.

“Aku anter ke kelas, ya? ” tawar Revano ketika mereka sudah turun dari mobil.

Dengan cepat Maudy menggeleng untuk menolak. Bisa-bisa ia habis di tangan Misel kalo gadis itu melihat Maudy dengan Revano.

“Gak usah, aku bisa sendiri.”

Untung saja Revano langsung menyetujui dan tidak mengikuti Maudy yang sudah jalan duluan di depannya.

Revano tersenyum saat melihat gadis di depannya berjalan begitu cepat, seperti sedang menghindari sesuatu.

“Woi.”

Revano tersentak saat tiba-tiba ada tangan merangkul dan diiringi dengan teriakan.

“Apa, Dan,” sahur Revano saat menyadari pelakunya adalah Zaidan.

“Lo baikan sama Maudy?”

“Gak pernah marahan.”

“Asik jadi nasi keinjek lagi, nih. “


“Lo baikan sama Reno, kan?” Maudy dikejutkan dengan suara Misel, yang tiba-tiba saja berada di belakangnya.

Dengan hati-hati Maudy membalikkan tubuhnya menoleh menatap Maudy.

Maudy tertegun saat melihat ekspresi wajah Misel yang sangat tidak bersahabat.

“Eh, gue tadi beli breakfast di McD. Makan, yuk?” Maudy merangkul tangan Misel, berusaha agar sahabatnya itu tidak marah.

Namun bukan seperti yang Maudy harapkan, Misel malah menarik tangannya secara kasar, lalu melipat di depan dadanya.

“Mau kasih alasan apa lagi sekarang?” tanya misel, dengan tatapan yang mengintimidasi.

Maudy menggenggam tali tas ransel yang ia kenakan dengan erat.

“Lo mau bilang kalo, 'dia itu luka sekaligus obat buat gue.' enggak bodoh!” Misel memekik marah.

Akibat kemarahan Misel, atensi para murid yang sedang ada di Koridor lantai dua kini tertuju ke dirinya dan Maudy yang hanya diam.

“Lo gak pernah diobati sama dia! Lo yang ngobatin dia susah payah, tapi lo juga yang disakiti! Lo sadar, kan?” serang Misel masih dengan suara lantangnya.

Maudy sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat murid lain yang kini berbisik kecil.

“Jawab gue, Maudy Alaska!”

“Dia butuh gue,” jawab Maudy, namun dengan suara yang begitu kecil hampir tak terdengar.

Namun masih bisa didengar oleh Misel. Mendengar jawaban Maudy, Misel menyunggingkan senyum tipis.

“Dia gak butuh lo, tapi lo dimanfaatin dia! Minta gaji bodoh!”

Bertepatan dengan kalimat yang baru saja Misel lontarkan. Revano dan ketiga sahabatnya tiba di lantai dua.

Tentu mereka terkejut dengan perdebatan yang kini menjadi tontonan gratis.

“Misel,” seru Moreo, segera Moreo menghampiri Misel untuk menenangkan kekasihnya itu.

“Udah jangan gini.”

Misel menoleh menatap Moreo. “Dia bodoh! Kok mau-maunya balikan sama cowo brengsek kayak Revano?”

“Udah ya, yuk, aku anter ke kelas.”

Untung saja Misel tidak menolak ajakan dari Moreo, walaupun masih banyak yang ini ia lontarkan kepada Maudy.

Maudy menatap kepergian Misel dan Moreo. Setidaknya ia bisa bernapas lega untuk sementara, walaupun kini semua mata tertuju kepadanya.

“Ody...” suara Revano memanggil Maudy, membuat Maudy segera beranjak dari sana.