Panglimakun

“Kenapa diem aja?” tanya Revano memecahkan keheningan yang mengantarkan mereka hingga sampai di parkiran sekolah.

“Gak tau mau ngomong apa,” jawab Maudy jujur.

Maudy sedari tadi memang hanya diam, biasanya ia akan bawel. Karena begitu banyak hal yang menghantui pikirannya, membuat Maudy hanya diam sepanjang jalan.

Selain itu Maudy juga takut, takut dengan Revano yang tiba-tiba berubah dan takut kalau Misel melihat mereka berduaan nantinya.

“Aku anter ke kelas, ya? ” tawar Revano ketika mereka sudah turun dari mobil.

Dengan cepat Maudy menggeleng untuk menolak. Bisa-bisa ia habis di tangan Misel kalo gadis itu melihat Maudy dengan Revano.

“Gak usah, aku bisa sendiri.”

Untung saja Revano langsung menyetujui dan tidak mengikuti Maudy yang sudah jalan duluan di depannya.

Revano tersenyum saat melihat gadis di depannya berjalan begitu cepat, seperti sedang menghindari sesuatu.

“Woi.”

Revano tersentak saat tiba-tiba ada tangan merangkul dan diiringi dengan teriakan.

“Apa, Dan,” sahur Revano saat menyadari pelakunya adalah Zaidan.

“Lo baikan sama Maudy?”

“Gak pernah marahan.”

“Asik jadi nasi keinjek lagi, nih. “


“Lo baikan sama Reno, kan?” Maudy dikejutkan dengan suara Misel, yang tiba-tiba saja berada di belakangnya.

Dengan hati-hati Maudy membalikkan tubuhnya menoleh menatap Maudy.

Maudy tertegun saat melihat ekspresi wajah Misel yang sangat tidak bersahabat.

“Eh, gue tadi beli breakfast di McD. Makan, yuk?” Maudy merangkul tangan Misel, berusaha agar sahabatnya itu tidak marah.

Namun bukan seperti yang Maudy harapkan, Misel malah menarik tangannya secara kasar, lalu melipat di depan dadanya.

“Mau kasih alasan apa lagi sekarang?” tanya misel, dengan tatapan yang mengintimidasi.

Maudy menggenggam tali tas ransel yang ia kenakan dengan erat.

“Lo mau bilang kalo, 'dia itu luka sekaligus obat buat gue.' enggak bodoh!” Misel memekik marah.

Akibat kemarahan Misel, atensi para murid yang sedang ada di Koridor lantai dua kini tertuju ke dirinya dan Maudy yang hanya diam.

“Lo gak pernah diobati sama dia! Lo yang ngobatin dia susah payah, tapi lo juga yang disakiti! Lo sadar, kan?” serang Misel masih dengan suara lantangnya.

Maudy sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat murid lain yang kini berbisik kecil.

“Jawab gue, Maudy Alaska!”

“Dia butuh gue,” jawab Maudy, namun dengan suara yang begitu kecil hampir tak terdengar.

Namun masih bisa didengar oleh Misel. Mendengar jawaban Maudy, Misel menyunggingkan senyum tipis.

“Dia gak butuh lo, tapi lo dimanfaatin dia! Minta gaji bodoh!”

Bertepatan dengan kalimat yang baru saja Misel lontarkan. Revano dan ketiga sahabatnya tiba di lantai dua.

Tentu mereka terkejut dengan perdebatan yang kini menjadi tontonan gratis.

“Misel,” seru Moreo, segera Moreo menghampiri Misel untuk menenangkan kekasihnya itu.

“Udah jangan gini.”

Misel menoleh menatap Moreo. “Dia bodoh! Kok mau-maunya balikan sama cowo brengsek kayak Revano?”

“Udah ya, yuk, aku anter ke kelas.”

Untung saja Misel tidak menolak ajakan dari Moreo, walaupun masih banyak yang ini ia lontarkan kepada Maudy.

Maudy menatap kepergian Misel dan Moreo. Setidaknya ia bisa bernapas lega untuk sementara, walaupun kini semua mata tertuju kepadanya.

“Ody...” suara Revano memanggil Maudy, membuat Maudy segera beranjak dari sana.

“Gue dari dulu cuman punya Kakak, Bang. Dia yang selalu ngobatin gue waktu gue dapet hukuman. Tapi setelah Kakak gak ada, gue gak ada siapa-siapa Bang. Sampe gue punya tetangga baru yaitu Gema sama Bundanya,” kata Revano, yang kini sedang menceritakan semuanya kepada Mahen.

Awalnya Revano ragu, namun tak tau kenapa tiba-tiba ia menceritakan semuanya kepada Mahen.

“Bunda Gema ngobatin luka gue setiap gue kena hukum, Bang. sebagai gantinya gue harus jadi temen Gema sekaligus harus jaga Gema, Bang. Gema pernah hampir jadi korban penculikan dan itu trauma terbesarnya.”

Mahen menghela napas kasar setelah mendengar semua cerita dari Revano. Begitu rumit dan menyakitkan.

“Gue harus gimana, Bang?” tanya Revano, ia sudah pasrah dengan keadaan.

“Pilih salah satu dari mereka,” jawab Mahen.

Revano menyerngit saat mendengar jawaban Mahen, ia seperti kebingungan.

“Gema ... Pilih Gema,” kata Mahen, membuat Revano semakin kebingungan.

“Lo punya tanggung jawab ke Gema, perlahan jadikan Gema rumah untuk lo pulang, Vano,” lanjut Mahen.

Revano menatap liar ke arah lain, ia enggan menatap Mahen, lalu Revano tersenyum kecil.

“Lo suruh gue milih Gema, bukan karena lo suka Maudy, kan, Bang?”

Mahen tertawa kecil lalu menjawab, “Percaya gue. Lo gak akan pernah bahagia kalo nyimpen dua nama sekaligus di hati lo, Vano.”

Setelah mengakatakan hak itu Mahen keluar dari kamar yang Revano tempatkan untuk malam ini.

“Gue dari dulu cuman punya Kakak, Bang. Dia yang selalu ngobatin gue waktu gue dapet hukuman. Tapi setelah Kakak gak ada, gue gak ada siapa-siapa Bang. Sampe gue punya tetangga baru yaitu Gema sama Bundanya,” kata Revano, yang kini sedang menceritakan semuanya kepada Mahen.

Awalnya Revano ragu, namun tak tau kenapa tiba-tiba ia menceritakan semuanya kepada Mahen.

“Bunda Mahen ngobatin luka gue setiap gue kena hukum, Bang. sebagai gantinya gue harus jadi temen Gema sekaligus harus jaga Gema, Bang. Gema pernah hampir jadi korban penculikan dan itu trauma terbesarnya.”

Mahen menghela napas kasar setelah mendengar semua cerita dari Revano. Begitu rumit dan menyakitkan.

“Gue harus gimana, Bang?” tanya Revano, ia sudah pasrah dengan keadaan.

“Pilih salah satu dari mereka,” jawab Mahen.

Revano menyerngit saat mendengar jawaban Mahen, ia seperti kebingungan.

“Gema ... Pilih Gema,” kata Mahen, membuat Revano semakin kebingungan.

“Lo punya tanggung jawab ke Gema, perlahan jadikan Gema rumah untuk lo pulang, Vano,” lanjut Mahen.

Revano menatap liar ke arah lain, ia enggan menatap Mahen, lalu Revano tersenyum kecil.

“Lo suruh gue milih Gema, bukan karena lo suka Maudy, kan, Bang?”

Mahen tertawa kecil lalu menjawab, “Percaya gue. Lo gak akan pernah bahagia kalo nyimpen dua nama sekaligus di hati lo, Vano.”

Setelah mengakatakan hak itu Mahen keluar dari kamar yang Revano tempatkan untuk malam ini.

Revano dan rumah


Bagi sebagian orang tua anak adalah anugerah. Di luar sana banyak orang tua yang sangat menginginkan kehadiran seorang anak di kehidupan mereka. Namun hal itu tidak berlaku bagi orang tua Revano.

Rosa, Ibu Revano menikah dengan Devano, Ayah Jordan atas dasar perjodohan. Sama sekali tidak ada cinta diantara mereka. Bahkan cinta Jordan terdapat pada wanita lain.

Tak mudah bagi Rosa, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut dan diam. Namun diam-diam wanita yang dicintai oleh Jordan melahirkan seorang anak yang sangat cantik, Jordan terlihat sangat bahagia saat anak itu lahir, namun sayangnya ibu dari anak itu tidak bisa diselamatkan.

Hari itu menjadi hari yang sangat menyedihkan bagi Jordan, merubah watak Jordan menjadi sangat keras dan dingin. Rosa menghabiskan waktunya untuk mengurus anak suaminya dengan wanita lain.

Namun hal itu ia lakukan dengan tulus dan ikhlas, berharap Jordan akan luluh dan bisa menerimanya.

Tapi Jordan adalah Jordan, separuh jiwanya sudah ikut pergi dibawa oleh wanitanya seddangkan separuh lagi kini hidup di raga anak perempuan yang ia beri nama Rina.

Sampai suatu malam Jordan melakukan kesalahan, tak sengaja ia melakukan hubungan dengan Rosa. Namun hal itu tidak bisa dibilang sebuah kesalahan, bukan? Hal itu biasa terjadi bagi suami dan istri.

Tak lama Rosa dikabarkan mengandung, Rosa tentu saja senang mendengarkan kabar itu, namun tidak bagi Jordan. Ia sangat membenci saat mendengar Rosa hamil.

Berulang kali Jordan menyuruh Rosa untuk tidak melahirkan anak itu, namun takdir berkata lain, anak itu lahir sebagai anak laki-laki yang sangat tampan.

Awalnya Rosa takut, takut anak itu akan tumbuh menjadi seperti Jordan.


Kedua anak Jordan dan Rosa tumbuh besar bersama. Rina yang kini menginjak usia lima tahun dan Revano yang menginjak umur dua tahun.

Banyak sekali perbedaan yang mereka terima disaat masa pertumbuhan. Rina yang selalu menerima kasih dan sayang dari Jordan. Revano yang selalu menjadi sasaran kemarahan Jordan.

Setiap bulannya Revano akan menerima sebuah pukulan dari Jordan. Hari itu bertepatan pada hari ulang tahunnya, dimana seharusnya ia akan menerima hadiah namun ia harus menerima hukuman.

Hukuman karena sudah hadir di dunia ini.


“Kakak belajar apa?” tanya Revano, yang kini sudah berusia lima tahun dan Rina sudah menginjak usia delapan tahun.

“Belajar matematika,” jawab Rina, dengan mata yang masih fokus dengan tugas sekolahnya.

Revano mengangguk polos. “Kenapa kakak belajar?” pertanyaan polos itu kembali dilontarkan oleh Revano.

Rina hanya bisa menghela napas saat adik kecilnya itu sedang dalam mode penasaran.

“Biar kakak bisa kaya terus beli kue ulang tahun buat kamu.” Rina tau bahwa Revano tiddak pernah mendapatkan kue ulang tahu saat Revano ulang tahun, berbeda dengan dirinya.

Bahkan Rina tau Revano sering mendapatkan perlakukan kasar dari Jordan.


Revano yang kini sudah berusia tujuh tahun, sedang menghabiskan waktunya di rumah. Hari ini adalah hari ulang tahunnya ke tujuh, seperti biasa disetiap hari ulang tahunnya maka ia akan duduk diam di rumah, dan menunggu kepulangan Jordan ke rumah.

Untuk menghukumnya tentu saja bukan untuk merayakannya.

Kalau ditanya bagaimana dengan Rina? maka jawabannya Rosa hanya bisa diam, karena jika Rosa melawan, nyawa Revano terancam.

“Hei.” Suara Rina membuat Revano segera menoleh mencari asal suara itu.

Pasalnaya Rina baru saja berangkat sekolah dan tak mungkin berada di sana.

“Kakak!” seru Revano saat Rina berada diambang pintu kamarnya. “Kakak gak sekolah?”

Rina tersenyum lalu ia melangkah masuk ke kamar sang adik. Setibanya ia di sana, Rina mendudukkan tubuhnya di kasur Revano.

“Ayo kita beli kue, sebelum Papa pulang,” ajak Rina, seraya menarik tangan Revano.

Revano hanya diam, bahkan ia menahan tubuhnya agar tidak tertarik.

“Ayo, Reno ... Kakak punya uang, kok, uang jajan kakak kumpulin.” Rina kembali menarik tangan Revano. “Keburu Papa pulang, loh.”

“Jangan, kak. Nanti kakak dimarahin Papa,” balas Revano khawatir.

Walaupun Rina tidak akan dimarahin, namun ia tetap takut kejadian satu tahun yang lalu keulang kembali.

Rina ketahuan membeli kue ulang tahun diam-diam untuk sang adik, namun hari itu ketahuan. Jordan sangat marah, ia melampiaskan kemarahannya itu kepada Revano di hari ulang tahunnya.

“No! Trust me,” ucapnya dengan yakin.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Revano menyetujui ajakan Rina, keduanya keluar secara diam-diam dari rumah agar tidak ketahuan oleh Rosa dan beberapa pekerja yang ada di sana.

Mau tidak mauu mereka harus memilih jalan keluar dari belakang, karena jika mereka keluar dari depan sama saja seperti masuk ke kandang harimau. Di sana ada beberapa satpam yang mungkin saja akan mengadu kepada Jordan.

Kini kakak beradik itu sudah berhasil keluar, dan sedang menelusuri jalanan sempit menuju jalanan besar yang tidak jauh dari sana. Namun mereka melupakan satu hal.

“Kak ...” Revano mendadak ketakutan saat melihat seorang pria bertatto berada tidak jauh dari mereka.

Rina juka takut namun ia berusaha untuk tetap tenang.

“Gapapa, kakak di sini.” Rina menggengga, erat tangan Revano.

Keduanya kembali melangkah dengan tenang, namun sedikit buru-buru saat meleati pria bertatto itu.

“Kak ...” Revano kembali berbisik saat menyadari pria itu mengikuti mereka.

Rina tidak bisa tenang, ia juga ikut ketakutan. “Dalam hitungan ketiga lari, ya,” ucapnya.

Revano mengagguk.

“Satu ... Dua ... Tiga ...”

Dalam hitungan ketiga mereka berlari, tangan Rina setia menggenggam tangan Revano.

Saat Rina menoleh ke belakang pria itu juga ikut lari mengejar mereka. Rina kembali menoleh ke depan, ia sedikit lega saat melihat jalan raya sudah dekat.

“Lari yang kuat, dek,” ujar Rina menyemangati Revano.

Dengan sekuat tenaga Revano dan Rina berlari menjauh dari pria bertatto itu, sampai mereka kini tiba di jalan raya yang sudah ramai akan kendaraan.

Namun sialnya mereka tidak menyadari ada mobil yang melaju dengan kencang menuju ke arah mereka. Saat Rina menoleh ke kiri mobil itu sudah dekat, ia melotot dan refleks mendoromg tubuh Revano ke belakang.

“Kakak!”

Brak!

Sialnya Rina tidak bisa menyelamati diri sendiri, ia tertabrak oleh mobil itu sampai terpental ke belakang mobil.

“Kakak!” teriak Revano, ia berlari menghampiri Rina.

Revano berlutut di samping Rina, ia tidak tau harus bagaimana, ia hanya bisa menahan agar darah yang keluar dari kepala Rina berhenti.

“Kakak ... Kakak jangan merem, ya?”

“Tolong! Tolong kakak saya.”

Revano kembali menoleh untuk menatap Rina. Rina tersenyum saat netra matanya bertemu dengan netra mata Revano.

Rina berusaha mengangkat bibirnya untuk berbicara.

“Se ... Lamat ... U ... Lang ... Tahun,” lirih Rina terbata-bata. Ia sebisa mungkin untuk tetap terjaga walaupun rasa sakit menghantamnnya.

Revano tak kuasa menahan tangisnya. “Tolongin kakak,” pinta Revano kepada orang-orang yamg sudah mengerumuni mereka.

“Kakak sebentar, ya? Kakak jangan tidur, kakak harus kuat, ya?”

Dengan susah payah Rina mengangguk walaupun hanya anggukan kecil. Ia tetap berusaha untuk terjaga, ia tidak boeh kehilangan kesadaran apalagi nyawa. Ia tidak mau meninggalkan Revano sendirian di sini.


Di sini Revano sekarang, di ambang pintu ruangan rumah sakit. Revano hanya bisa melihat dari jauh, Jordan dan Rosa yang sedang menangis di depan mayat Rina.

Rina tidak bisa diselamatkan, Rina menghembuskan napas terakhirnya dipangkuan Revano.

Revano tidak tau, Revano tidak paham dengan apa yang sedang ia hadapin sekarang.

Yang ia lakukan hanya menangis sampai Jordan keluar dan menghampiri Revano. Lalu dengan sekuat tenaga menampar Revano sampai tubuh kecil Revano terjatuh dan membentur lantai rumah sakit.

Revano dan lukanya


![(https://i.imgur.com/ybYrOMq.jpg)]

Revano dan lukanya


![https://i.imgur.com/ybYrOMq.jpg]

“Kak ..., jujur gue takut,” ucap Maudy ketika dirinya dan Mahen tiba di kuburan.

Kata Damar, Revano ada di kuburan sang kakak disaat dia da masalah. Awalnya Maudy bingung, bahkan ia tidak tau kalau Revano punya seorang kakak. Namun Damar berpesan agar menjemputnya, takut kalau laki-laki itu nekat.

“Tapi kamu kasihan, kan? sana gue tunggu di sini,” kata Mahen.

Maudy terdiam tidak ada respon. Samar-samar Maudy melihat seseorang sedang duduk dengan posisi memeluk kedua kakinya dari jauh sana. Ia yakin pasti itu Revano, tapi ia tidak yakin apa itu Revano asli atau Revano jadi-jadian.

Maudy menghela napas lalu menoleh menghadap Mahen, dan berkata, “Jujur, ya, kak. Gue lebih takut setan dari pada manusia, walaupun manusia itu jahat nan keji, tapi setan lebih menyeramkan,” ucapnya panjang lebar, tak lupa Maudy membuat raut wajah yang sedikit lebay.

“Kalo manusia bisa gue tampar kalo jahat, kalo setan gak bisa malah tembus nanti,” sambungnya, membuat Mahen tertawa.

Dari ucapan sampai raut wajah Maudy benar-benar membuat Mahen ingin tertawa kencang, andai saja sekarang masih siang pasti tawanya sudah pecah.

“Yaudah gue temenin, mau?” tawar Mahen, seraya menatap mata Maudy.

Sejenak mereka hanya saling menatap satu sama lain. Lalu Maudy mengangguk setuju dan menyuruh Mahen untuk jalan terlebih dahulu.

“Udah samperin sana,” ucap Mahen, setibanya mereka didekat seseorang yang diduga Revano.

Namun Maudy masih ragu, ia takut yang ada dihadapannya sekarang bukan Revano manusia.

“Takut, kak.” Maudy menggeleng.

Mahen menghela napas lalu bersuara, “Vano,” panggil Mahen.

Revano menoleh keasal suara. Maudy sontak sembunyi dibelakang Mahen, jaga-jaga kalau yang noleh itu bukan Revano. Lalu Revano tersenyum kecil dengan mata yang liar menatap Maudy.

“Hai ...” Setelah menyapa balik, Revano kembali menoleh ke arah kuburan.

Setelah yakin itu Revano, Maudy segera menghampiri Revano dan duduk di samping Revano. Dengan perasaan yang was-was Maudy mengusap pundak kanan Revano.

“Aku di sini, kamu butuh aku, kan?” ucap Maudy berusaha menenangkan laki-laki yang ada di sampingnya.

Pundak Revano bergetar, Maudy dapat merasakan getaran itu. Pasti Revano pasti kedinginan, ia hanya menggunakan kaos lengan pendek.

“Pulang yuk?” ajak Maudy dengan suara lembutnya.

Tangan Revano bergerak mengelus batu nisan kuburan yang ada di hadapannya. Batu nisan itu bertuliskan Rina Bentala dan ada nama Jordan, Ayah Revano. Sudah dapat dipastikan itu kuburan sang Kakak Revano.

“Pulang ke mana? aku udah gak punya rumah untu pulang. Dulu kakak aku tempat untuk pulang, tapi dia pergi. Lalu kamu dan kamu juga pergi. Keduanya pergi karena kebodohan aku,” jawab Revano, tangannya masih setia mengusap batu nisan Rina.

Maudy dapat merasakan sakit saat mendengar jawaban Revano, ternyata luka yang disimpan Revano masih terlalu banyak yang belum ia ketahui.

“Pulang ke aku lagi, ya? aku gak pernah pergi.” Maudy memeluk tubuh Revano dari samping. Tubuh itu benar-benar terasa dingin.

Tidak ada jawaban dari Revano, tiba-tiba Maudy merasakan ada air jatuh di tangannya, itu bukan air hujan melainkan air mata Revano.

Maudy menangkup kedua pipi Revano, ia tak tau seberapa banyak luka yang laki-laki itu pendam sendirian, sampai ia memilih untuk menyendiri di kuburan saat malam hari.

“Hei, i'm here. Walaupun aku bukan siapa-siapa kamu lagi, kamu bisa pulang ke aku. Kamu, kan, yang selalu bilang aku rumah kamu? lantas pemilik rumah akan selalu pulang ke rumah dia, apapun yang terjadi,” ucap Maudy, jari-jarinya mengusap pelan air mata Revano yang terus mengalir.

Maudy menjeda sebentar, agar dirinya tidak terbawa suasana dan ikut menangis.

“Kecuali kalau kamu pindah ke rumah yang baru, untuk sekarang kamu masih bisa pulang ke aku,” sambung Maudy.

“Aku mau pulang ...”

“Ayo pulang ...”


Setelah membujuk Revano dengan waktu yang lama, akhirnya ia berhasil membawa Revano pulang. Kini Maudy, Revano dan Mahen sedang berada di mobil menuju rumah Maudy.

Sesampainya di rumah Maudy, hanya gadis itu yang turun dari mobil, sedangkan Revano tidak diizinkan Maudy untuk menginap di sana, takut Robert akan marah.

“Aku pulang, ya. Kak tolong antar Reno, ya?”

Mahen mengangguk. “Pasti.”

Setelah itu Mahen kembali melajukan mobilnya. Sejenak Mahen menatap Revano dari kaca, ia melihat laki-laki itu tertidur nyenyak di belakang.

“Sekejam itu dunia.”

Setelah mendengarkan pesan suara dari Damar, perasaan bersalah dan gelisah menghantui Maudy. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, sangat tidak memungkinkan jika ia harus izin keluar. Terlebih saat Robert sedang melarangnya untuk berpergian sendiri.

Yang Maudy lakukan sedari tadi hanyalah mondar-mandir seraya menggigit jari-jarinya.

“Argh ...,” erang Maudy, ia benar-benar merasa prustasi. “Gimana dong ini,” lirihnya.

Secara tiba-tiba terbesit sebuah ide di pikiran Maudy. Apa ia minta bantuan kepada Mahen aja supaya dapat izin keluar rumah. Tapi tidak mungkin mengganggu Mahen melihat waktu sudah terlalu larut.

“Terus gimana dong?” Maudy bertanya pada dirinya sendiri.

Raut wajah Maudy berubah kembali menjadi panik, ia mengacak-ngacak rambutnya kasar.

Saat Maudy sedang berperang dengan pikirannya, tiba-tiba hadnphonenya berbunyi. Tanpa menunggu lama Maudy meraih handphone yang ada di atas meja belajarnya.

Ternyata itu panggilan masuk dari Mahen, kebetulan yang sangat menguntungkan. Segera Maudy menerima panggilan itu.

“Halo, Kak, kenapa?” tanya Maudy, ingin basa-basi terlebih dahulu.

“Kok belum tidur? tadinya gue mau nge-check doang, soalnya gak enak tiba-tiba nelepon lo cuman mau minta temenin nugas tadi.”

“Sebenernya kita tiba-tiba deket kayak udah kenal lama aja udah aneh, sih, kak.”

Mahen tertawa mendengar ucapan Maudy barusan, ada benarnya. Jika diingat mereka baru kenal beberapa hari yang lalu, namun seperti sudah kenal lama.

“Kenapa lo belum tidur? gue aduin ayah lo, ya?” ancam Mahen, dengan nada bercanda tentu saja. Karena setelah mengatakan hal itu Mahen tertawa kecil.

Maudy menghela napas kasar. Helaan napas Maudy membuat suasana seketika menghening, dari balik telepon Mahen menjadi penasaran apa yang terjadi pada Maudy.

“Is everything okay?”

“Ya. Maybe.”

“Cerita aja, Ody. Maybe gue bisa bantu lo.”

Maudy menghela napas kembali secara kasar, lalu ia mulai menceritakan semuanya kepada Mahen.

“Oke, gue bakalan bantu lo, tunggu sebentar, ya.”

“Tapi, kak-” Sayangnya saat Maudy hendak kembali bersuara, sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Mahen.

Hari ini adalah hari pertama Maudy menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Bestatus sebagai siswi baru, membuat Maudy sedikit takut berada di sekolah.

Walaupun Maudy dikenal sebagai anak yang ramah dan gampang bergaul, namun baginya susah untuk menetapkan hal itu lagi di lingkungan SMAnya.

Prima high school menjadi pilihan Maudy untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Sekolah yang begitu dikenal dengan fasilitas yang mewah dan tentu saja mahal. Namun bukan itu alasan Maudy memilih sekolah di sana, melainkan karena pembelajaran yang begitu meyakinkan dan serius.

Hari pertama setelah menjalankan serangkaian kegiatan, tidak berjalan lancar bagi Maudy. Karena tiba-tiba gadis itu merasa sakit di perutnya.

Dari tadi Maudy mencari keberadaan toilet, namun tak kunjung ketemu. Malah dirinya kesasar sampai ke taman belakang sekolah.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Maudy melihat sebuah gudang kosong, karena penasaran Maudy pun melangkah ke sana, untuk memenuhi rasa penasarannya.

Saat tubuh Maudy sudah berada di depan pintu gudang tersebut, ia langsung dikagetkan dengan suara desisan seorang laki-laki. Namun suara tersebut lebih ke suara desahan sepertinya.

Segera Maudy menutup mulut dengan keda tangannya. Karena penasaran Maudy pun mengintip dari pintu yang kebetulan sedikit terbuka.

Mata Maudy melotot sempurna saat melihat seorang siswa di sana. Namun sayangnya Maudy tidak dapat melihat wajah siswa tersebut karena posisi siswa itu membelakangi Maudy.

Tanpa berpikir lama lagi, Maudy membuka kamera handphone miliknya, dan merekam aksi mesum siswa tersebut. Maudy tak lupa juga menutup telinga kanannya agar tidak ternodai dengan suara aneh itu.

Setelah beberapa menit, Maudy melangkah kembali ke posisi di awal ia berada di sana. Maudy bermain dengan handphonennya, menyaksikan lagi video yang ia rekam begitu jelas.

“Ih, mesum amat,” monolog Maudy jijik.

“Dari kapan lo di sana?”

Mendengar suara seseorang bertanya membuat Maudy gelagapan. Segera gadis itu mematikan layar handphonennya dan menyembunyikannya di balik tubuh.

Siswa laki-laki yang baru saja Maudy rekam tadi, kini dengan jelas berada di hdapan Maudy. Maudy sedikit takut menatap Siswa itu, jadi ia memilih untuk menunduk.

“Lo rekam gue?” tanya siswa itu lagi, namun masih tidak mendapatkan jawaban dari Maudy.

Maudy tertegun, bahkan sakit perutnya hilang dan digantikan dengan rasa takut.

“Eum ... anu ... saya anu ... he he he.” Perlahan Maudy melangkah berusaha lari dari sana.

Sialnya langkah Maudy tertahan karena siswa itu menahan lengan Maudy.

“Bantu gue,” pinta siswa itu tiba-tiba.

Mata Maudy membulat sempurna, namun ia reflex membalikkan tubuhnya dan menarik lengannya.

“Apa-apaan, lo mau gue bantu berbuat mesum? itu namanya pelec-euhmmm lep!” Suara Maudy tertahan karena mulutnya tiba-tiba dibungkam oleh siswa yang ada di hadapan Maudy.

“Jangan teriak,” ucap siswa itu, lalu menarik Maudy masuk ke dalam gudang.”

Maudy memberontak sebisa dan sekuat mungkin, namun kekuatan siswa itu seribu kali lebih kuat dari Maudy. Yang bisa Maudy lakukan sekarang hanyalah pasrah dan berdoa kepada Tuhan, agar dirinya diberi keselamatan.

“Lep ... Pas!” Akhirnya Maudy berhasil melepaskan dirinya dari siswa itu.

“Lo jangan macem-macem, ya, sama gue!” peringat Maudy dengan tegas. “Kepala sekolah di sini temennya bokap gue!” lanjutnya.

Maudy tidak berbohong, itu benar adanya.

Bukannya mendengar peringatan dari Maudy, siswa itu malah membuka satu persatu kancing kemeja yang ia kenakan.

Dengan cepat Maudy membalikkan tubuhnya, gadis itu merasakan detak jantungnya berdetak dua ribu kali lebih cepat. Dengan tangan yang bergetar Maudy berusaha menghubungi bala bantuan melalui handphone miliknya.

Namun hari ini kesialan berpihak pada Maudy, tiba-tiba saja handphonenya kehilangan jaringan.

Maudy hampir menangis, ia memejamkan matanya dan hanya bisa pasrah.

“Bantuin obatin luka dipunggung gue.” Siswa itu kembali bersuara dengan suara lembutnya.

Mata Maudy kembali terbuka, namun ia belum membalikkan tubuhnya.

“Maaf kalo gue kasar. Nama gue Revano panggil aja Vano. Gue anak baru di sini,” ucap siswa yang bernama Revano itu.

“Gue gak jadi lepas kemejanya,” sambung Revano meyakinkan Maudy.

Maudy awalnya tidak mempercayainya, namun ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Revano tiba-tiba meyakinkannya.

Dengan hati-hati Maudy membalikkan tubuhnya, kepala Maudy masih menunduk. Saat tubuhnya sudah benar-benar menghadap Revano, perlahan ia mendongak. Dan benar, Revano tidak jadi membuka kemejanya.

“Kalo lo denger suara aneh tadi, itu bukan desahan,” kata Revano menjelaskan semuanya kepada Maudy. “Gue lagi bersihin luka.”

Maudy mengangguk, walaupun ia tak sepenuhnya percaya.

“Tolong, ya?”


Akhirnya Maudy membantu Revano mengobati luka yang ada di punggungnya. Selama mengoleskan obat demi obat di punggung Revano, Maudy hampir menangis saat melihat luka yang begitu banyak di sana.

“Udah,” ucap Maudy lalu meletakkan kembali kapas dan obat antiseptik ke sebuah kotak p3k.

Revano tak langsung mengenakan kembali kemejanya, ia hanya bisa menyembunyikan tubuh depannya menggunakan tas.

“Thanks ...” Revano tanpak kebingungan karena ia belum mengetahui nama siswi yang dihadapannya.

“Maudy. Atau panggil aja Ody,” ucap Maudy seakan paham dengan kebingungan Revano.

“Thanks Maudy,” ucapnya lagi, tak lupa Revano tersenyum kepada gadis manis yang ada di hadapannya.

Maudy mengangguk. “No need to thanks,” balas Maudy, yang juga tersenyum.

Hening menemani keduanya, sampai Maudy memberanikan diri untuk bertanya, “Eum ... Sorry tapi itu lukanya kenapa? Lo gak dibully, kan?” Ekspresi wajah Maudy sedikit khawatir dan takut.

Revano menoleh saat Maudy bersuara, setelah Maudy selesai bertanya Revano menggeleng.

“Bukan, kok,” jawab Revano singkat.

“Lo jangan takut, gue bantu kalo emang-”

'Bukan,” potong Revano, berhasil membuat Maudy bunkam.

“Dari ayah gue,” jawab Revano untuk pertanyaan yang Maudy berikan.

Mau tidak mau Revano harus menjawab dengan jujur, agar gadis di hadapannya tidak bawel.

Setelah mendengar semua cerita dan alasan dibalik luka-luka itu, hubungan Maudy dan Revano semakin dekat. Bahkan Maudy dikenalkan kepada empat sahabat Revano, yaitu, Moreo, Damar, Zaidan dan seorang cewe bernama Gema.

Setiap bulan ditanggal yang sama, Maudy akan membantu Revano untuk mengobati lukanya. Berulang kali Maudy berkata agar Revano melawan, namun Revano akan terus menjawab, “Ini udah hukuman untuk gue, semuanya kesalahan gue, Ody.”

Maudy belum mengetahui apa alasannya Revano dihukum, saat Maudy ingin mencari tahu, tidak ada dari sahabat Revano yang mengetahui hal itu.

Revano memilih untuk diam dan merahasiakan hal itu.


Setelah hampir tiga tahun, tidak seperti biasanya Maudy akan ke gudang belakang, karena tanggal itu sudah lewat. Hanya saja tujuan Maudy kali ini berbeda.

Ia ingin menyudahi hubungannya dengan Revano. Saat Maudy tiba di sana, hal pertama yang ia lihat adalag Revano, berdua dengan Gema yang sedang memeluk Revano.

Senyum mengembang di bibir Maudy, lalu ia berkata, “Sudah seharusnya dari dulu kayak gini, Reno.”

Kepler

Djsms jsks