Panglimakun

Sudah satu Minggu Milla di rumah sakit. Namun masih belum ada kemajuan, dia masih diam seperti hari-hari sebelumnya.

Namun Jovas tidak bosan menemani gadis itu, dan terus membantu gadis itu.

“Kamu lagi ngapain?”

Itu bukan suara Jovas, itu suara Milla. Kalimat pertama yang dia lontarkan setelah satu Minggu.

Jovas yang sedang sibuk dengan bukunya, terkejut saat suara lembut itu menusuk telinganya.

“Hai?” Jovas tidak dapat menahan senyumnya ketika sapaan Milla terdengar.

Dia pun menghentikan kegiatannya sementara.

“Kamu lagi ngapain?” Tanya Milla, sedikit melirik ke arah sebuah buku yang ada di tangan Jovas.

Jovas menunjukkan apa yang baru saja dia kerjakan. Dia baru saja menyelesaikan gambar paus di sana.

“Ikan paus.”

“Paus,” koreksi Jovas.

“Bedanya?”

Jovas kembali tersenyum lalu meletakkan buku dan pena di meja yang ada di samping tempat tidur Milla.

“Paus itu spesies mamalia, bukan ikan,” jawab Jovas sembari menatap Milla.

Milla hanya mengangguk tidak lagi menanggapinya.

“Oh, ya. Ada fakta unik mengenai paus, kamu tau?”

Milla menggeleng.

“Paus itu sama kayak lumba-lumba mereka napas melalui paru-paru, kamu tau, 'kan?”

Milla mengangguk.

“Nah, makanya mereka tidak disebut 'ikan'. Tapi cuman Paus atau lumba-lumba, bukan ikan paus, ikan lumba-lumba.”

Milla yang awalnya sedikit bosan dengan pembahasan Jovas, kini sedikit tertarik. Terlebih suara Jovas begitu lembut dan halus ketika sedang menjelaskan.

“Kalo mereka bernapas pake paru-paru berarti bisa hidup di darat dong?” Tanya Milla.

Jovas tertawa, bukan karena pertanyaannya melainkan ekspresi yang Milla tunjukkan. Terlebih dia senang karena Milla akhirnya mau berbicara.

“Nah! Itu yang menarik, Mill. Aku pernah baca kalau, paus itu adalah mamalia darat prasejarah, dan terus berevolusi sampai sekarang.”

Milla membulatkan bibirnya menjadi bentu 'o' seakan paham dengan yang Jovas jelaskan. Padahal sama sekali tidak, Milla hanya fokus dengan suara Jovas, bukan dengan topik yang disampaikan.

“Kamu dengerin aku, 'kan?” Tanya Jovas, memastikan Milla mendengarkannya, kalau tidak sia-sia saja dia menjelaskan.

Tapi tidak apa-apa kalau itu Milla.

“Dengerin kok. Cuman ya topiknya ngebosenin.”

Sudah Jovas duga. Jovas pun tertawa mendengarnya.

“Eh, Jo. Terus kenapa deh, paus bisa hidup di laut, sedangkan mereka bisa aja, 'kan, hidup di daratan. Kan pake paru-paru.

“Karena tubuh mereka yang besar, itu bisa jadi ancaman. Terus suhu udara di pantai juga jadi ancaman.”

“Maka dari itu mereka milih hidup di air, ya.”

“Juga kebiasaan.”

Milla mengernyitkan dahinya, tidak paham dengan jawaban Jovas. Saat dia hendak bertanya lagi, dokter masuk ke ruangannya, membuatnya harus menunda terlebih dahulu.


Di ruang interogasi, Rifan masih sama bungkamnya. Sudah segala macam usaha dilakukan oleh Robert maupun petugas lainnya. Tapi tetap saja pria itu bungkam.

Robert kembali masuk ke dalam ruangan itu, kemudian menarik kursi yang ada di hadapan Rifan, dan kembali duduk di sana.

Robert mengeluarkan sebuah map yang ada di tangannya, meletakkannya di atas meja. Lalu, Robert membuka map itu.

Map berisi beberapa foto. Foto korban-korban terduga pembunuhan dari tujuh tahun yang lalu.

“Ini korban kamu juga, 'kan?” Tanya Robert menunjukkan satu persatu foto korban.

Tadinya Rifan tidak tertarik, mendengar kata 'korban' Rifan pun menarik kepalanya untuk menatap ke atas meja.

“Bukan!” Tegasnya.

Robert mengangguk. Kemudian dia memajukan satu foto, foto Orang tua Milla.

“Mereka?”

Rifan kembali bungkam. Robert sudah menduga hal ini akan terjadi. Tapi bukankah seorang detektif sudah terlatih?

“Tidak ada siapa-siapa di sini, tidak ada yang mendengar kecuali saya. So, kamu boleh jujur atas semua kelakuan kamu.”

Robert mengetuk-ngetuk foto kedua orang tua Milla.

“Kamu yang bunuh mereka?”

“Pelakunya sudah tertangkap! Ngapain lo tuduh gue!”

Robert menghela napas kasar. Memang pelaku pembunuh kedua orang tua Milla sudah tertangkap, tapi Robert masih tidak yakin. Maka dari itu secara diam-diam dia mencari tahu

“Gue pernah coba bunuh mereka ...”

Pengakuan yang membuat Robert terkejut bukan main! Robert pun mulai serius mendengarkan pengakuan Rifan.

“Tapi gue telat,” katanya.

Rifan tidak berbohong. Itu benar adanya.

“Waktu gue mau masuk ke dalam ruangan orang tuanya, gue terlambat.”

“Kenapa lo mau bunuh mereka?”

“Karena gue dendam! Lo tau? Bokap Milla hutang banyak ke bokap gue. Tapi apa? Bokap Milla malah bunuh bokap gue tanpa satu orang pun tau, dan percaya sama gue!” Rifan menaikkan kedua tangan yang sudah terikat dengan borgol, meletakkannya di atas meja.

Pria itu sedikit mengangkat tubuhnya mendekati Robert.

“Mata dibayar dengan mata,” bisiknya tidak lupa seringai terbentu di bibirnya itu. “Hidung dibayar dengan hidung. Lantas nyawa dibayar dengan nyawa!”

Setelah mengatakan itu, Rifan kembali duduk. Raut wajah yang tadinya memelas, kini kembali mendapatkan semangat.

“Sayangnya gue telat ... Makanya gue serang anaknya, tapi gue gagal ... Tapi gue gak akan berhenti, lo tau gue siapa, 'kan?” Katanya, terdengar nada angkuh di sana.

Perkataan Rifan berhasil memancing emosi Robert, pasalnya pria itu menyinggung Milla.

Dengan tiba-tiba Robert menyerang dengan menarik kerah baju Rifan.

“Ouch, santai bro ...”

“Siapa yang bunuh orang tua Milla?” Tanya Robert geram, ingin sekali Robert memukul wajah Rifan yang terlihat begitu angkuh.

“Paus.”

Rifan terkekeh.

Robert menatapnya keheranan.

“Yang jelas kalo ngomong!” Robert semakin kuat mencengkram kerah baju Rifan.

“Pembunuh.”

Sudah satu Minggu Milla di rumah sakit. Namun masih belum ada kemajuan, dia masih diam seperti hari-hari sebelumnya.

Namun Jovas tidak bosan menemani gadis itu, dan terus membantu gadis itu.

“Kamu lagi ngapain?”

Itu bukan suara Jovas, itu suara Milla. Kalimat pertama yang dia lontarkan setelah satu Minggu.

Jovas yang sedang sibuk dengan bukunya, terkejut saat suara lembut itu menusuk telinganya.

“Hai?” Jovas tidak dapat menahan senyumnya ketika sapaan Milla terdengar.

Dia pun menghentikan kegiatannya sementara.

“Kamu lagi ngapain?” Tanya Milla, sedikit melirik ke arah sebuah buku yang ada di tangan Jovas.

Jovas menunjukkan apa yang baru saja dia kerjakan. Dia baru saja menyelesaikan gambar paus di sana.

“Ikan paus.”

“Paus,” koreksi Jovas.

“Bedanya?”

Jovas kembali tersenyum lalu meletakkan buku dan pena di meja yang ada di samping tempat tidur Milla.

“Paus itu spesies mamalia, bukan ikan,” jawab Jovas sembari menatap Milla.

Milla hanya mengangguk tidak lagi menanggapinya.

“Oh, ya. Ada fakta unik mengenai paus, kamu tau?”

Milla menggeleng.

“Paus itu sama kayak lumba-lumba mereka napas melalui paru-paru, kamu tau, 'kan?”

Milla mengangguk.

“Nah, makanya mereka tidak disebut 'ikan'. Tapi cuman Paus atau lumba-lumba, bukan ikan paus, ikan lumba-lumba.”

Milla yang awalnya sedikit bosan dengan pembahasan Jovas, kini sedikit tertarik. Terlebih suara Jovas begitu lembut dan halus ketika sedang menjelaskan.

“Kalo mereka bernapas pake paru-paru berarti bisa hidup di darat dong?” Tanya Milla.

Jovas tertawa, bukan karena pertanyaannya melainkan ekspresi yang Milla tunjukkan. Terlebih dia senang karena Milla akhirnya mau berbicara.

“Nah! Itu yang menarik, Mill. Aku pernah baca kalau, paus itu adalah mamalia darat prasejarah, dan terus berevolusi sampai sekarang.”

Milla membulatkan bibirnya menjadi bentu 'o' seakan paham dengan yang Jovas jelaskan. Padahal sama sekali tidak, Milla hanya fokus dengan suara Jovas, bukan dengan topik yang disampaikan.

“Kamu dengerin aku, 'kan?” Tanya Jovas, memastikan Milla mendengarkannya, kalau tidak sia-sia saja dia menjelaskan.

Tapi tidak apa-apa kalau itu Milla.

“Dengerin kok. Cuman ya topiknya ngebosenin.”

Sudah Jovas duga. Jovas pun tertawa mendengarnya.

“Eh, Jo. Terus kenapa deh, paus bisa hidup di laut, sedangkan mereka bisa aja, 'kan, hidup di daratan. Kan pake paru-paru.

“Karena tubuh mereka yang besar, itu bisa jadi ancaman. Terus suhu udara di pantai juga jadi ancaman.”

“Maka dari itu mereka milih hidup di air, ya.”

“Juga kebiasaan.”

Milla mengernyitkan dahinya, tidak paham dengan jawaban Jovas. Saat dia hendak bertanya lagi, dokter masuk ke ruangannya, membuatnya harus menunda terlebih dahulu.


Di ruang interogasi, Rifan masih sama bungkamnya. Sudah segala macam usaha dilakukan oleh Robert maupun petugas lainnya. Tapi tetap saja pria itu bungkam.

Robert kembali masuk ke dalam ruangan itu, kemudian menarik kursi yang ada di hadapan Rifan, dan kembali duduk di sana.

Robert mengeluarkan sebuah map yang ada di tangannya, meletakkannya di atas meja. Lalu, Robert membuka map itu.

Map berisi beberapa foto. Foto korban-korban terduga pembunuhan dari tujuh tahun yang lalu.

“Ini korban kamu juga, 'kan?” Tanya Robert menunjukkan satu persatu foto korban.

Tadinya Rifan tidak tertarik, mendengar kata 'korban' Rifan pun menarik kepalanya untuk menatap ke atas meja.

“Bukan!” Tegasnya.

Robert mengangguk. Kemudian dia memajukan satu foto, foto Orang tua Milla.

“Mereka?”

Rifan kembali bungkam. Robert sudah menduga hal ini akan terjadi. Tapi bukankah seorang detektif sudah terlatih?

“Tidak ada siapa-siapa di sini, tidak ada yang mendengar kecuali saya. So, kamu boleh jujur atas semua kelakuan kamu.”

Robert mengetuk-ngetuk foto kedua orang tua Milla.

“Kamu yang bunuh mereka?”

“Pelakunya sudah tertangkap! Ngapain lo tuduh gue!”

Robert menghela napas kasar. Memang pelaku pembunuh kedua orang tua Milla sudah tertangkap, tapi Robert masih tidak yakin. Maka dari itu secara diam-diam dia mencari tahu

“Gue pernah coba bunuh mereka ...”

Pengakuan yang membuat Robert terkejut bukan main! Robert pun mulai serius mendengarkan pengakuan Rifan.

“Tapi gue telat,” katanya.

Rifan tidak berbohong. Itu benar adanya.

“Waktu gue mau masuk ke dalam ruangan orang tuanya, gue terlambat.”

“Kenapa lo mau bunuh mereka?”

“Karena gue dendam! Lo tau? Bokap Milla hutang banyak ke bokap gue. Tapi apa? Bokap Milla malah bunuh bokap gue tanpa satu orang pun tau, dan percaya sama gue!” Rifan menaikkan kedua tangan yang sudah terikat dengan borgol, meletakkannya di atas meja.

Pria itu sedikit mengangkat tubuhnya mendekati Robert.

“Mata dibayar dengan mata,” bisiknya tidak lupa seringai terbentu di bibirnya itu. “Hidung dibayar dengan hidung. Lantas nyawa dibayar dengan nyawa!”

Setelah mengatakan itu, Rifan kembali duduk. Raut wajah yang tadinya memelas, kini kembali mendapatkan semangat.

“Sayangnya gue telat ... Makanya gue serang anaknya, tapi gue gagal ... Tapi gue gak akan berhenti, lo tau gue siapa, 'kan?” Katanya, terdengar nada angkuh di sana.

Perkataan Rifan berhasil memancing emosi Robert, pasalnya pria itu menyinggung Milla.

Dengan tiba-tiba Robert menyerang dengan menarik kerah baju Rifan.

“Ouch, santai bro ...”

“Siapa yang bunuh orang tua Milla?” Tanya Robert geram, ingin sekali Robert memukul wajah Rifan yang terlihat begitu angkuh.

“Paus.”

Rifan terkekeh.

Robert menatapnya keheranan.

“Yang jelas kalo ngomong!” Robert semakin kuat mencengkram kerah baju Rifan.

“Pembunuh.”

Tw // gun


“Aku tau Milla dimana.” Kalimat yang langsung Jovas lontarkan ketika Wisnu membuka jendela mobilnya.

Wisnu dan Robert sama terkejutnya mendengar ucapan Jovas. Segera saat itu juga Wisnu hendak membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Namun segera ditahan oleh Jovas.

“Gak ada waktu buat berbincang. Milla dalam bahaya sekarang. Aku akan bawa kalian ke sana, tapi jangan bawa petugas dulu,” tahan Jovas dengan tegas.

Wisnu menoleh menatap Robert, meminta jawaban darinya. Robert hanya mengangguk sebagai respon.

“Masuk.” Wisnu memberi kode agar Jovas masuk ke mobilnya.

Segera Jovas masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang mobil. Dia rela meninggalkan mobilnya di sana, demi menjemput Milla terlebih dahulu.

Jovas memberikan ponselnya, menunjukkan sebuah alamat di sana.

“Gedung tua yang gak jauh dari pasar,” katanya kepada Wisnu.

Tanpa sepatah katapun Wisnu segera melaju mobilnya menuju alamat itu.

Robert memandang Jovas, dengan pandangan aneh dan juga menaruh curiga.

“Lo tau darimana dia di sana?” Tanya Robert berusaha tetap tenang, walaupun dia curiga kepada Jovas.

“Milla chat aku, dan aku langsung sadar seketika,” jawabnya dengan jujur.

Jovas menunjuk isi percakapan terakhir yang Milla kirim kepadanya. Sedikit merasa aneh, tapi Robert tetap berusaha untuk percaya kepada Jovas.

Menyadari dengan ekspresi Robert. Jovas sedikit tidak enak kepadanya.

“Tadi aku chat Milla, mau balikin fake nails dia. Mungkin roomchat aku di pertama, jadi dia chat aku,” ujar Jovas, sedikit menduga kalau sekarang Robert sedang menaruh curiga kepadanya.

Robert hanya mengangguk. Tidak banyak respon yang dia lontarkan.

“Lo kenapa yakin dia di sana?” Kini Wisnu yang bertanya, sedikit menatap Jovas dari pantulan kaca.

“Aku yakin.”

Jawaban Jovas sedikit tidak jelas. Namun Wisnu tidak kembali bertanya karena kode dari Robert.

Sesampainya mereka di sana, mereka hanya disambut oleh gelapnya malam serta suara binatang-binatang kecil yang membuat suasana tidak terlalu hening.

Jika saja orang penakut yang berada di sana, mungkin dia akan berteriak karena ketakutan. Sungguh menyeramkan suasananya.

Mereka melangkah dengan pelan, sedikit demi sedikit mendekati pintu bangunan kosong itu.

“Kalian tunggu di sini, biar aku aja yang masuk,” titah Jovas seakan dirinya lah yang memimpin.

Robert dan Wisnu saling melemparkan pandangan. Bahkan kening mereka sama berkerut nya.

“Aku tau siapa pelakunya.”

Kalimat berikut yang keluar dari mulut Jovas sedikit menjawab kebingungan mereka.

“Siapa?” Tanya Robert.

“Debt colector, sekaligus ketua gengster sekitaran sini. Mereka sering merampas uang-uang pedangan di pasar, sering mengambil keuntungan dari orang-orang yang meminjam uang di bos mereka,” jawab Jovas.

Jovas mengetahui hal itu karena dia sering melihat aksi para gengster itu saat dia di pasar, terlebih Jovas sering berada di pasar pada saat tengah malam.

“Orangnya gak kenal ampun. Organisasi mereka awalnya tertata rapi, sampai bos pertama mereka meninggal dan kini diambil alih oleh anaknya.”

Jovas menoleh menatap Robert dan Wisnu secara bergantian.

“Aku udah sering tanya, kenapa mereka enggak lapor ke polisi, aku tanya ke beberapa pedangan di pasar.”

“Kalian tau jawaban mereka apa?” Tanya Jovas masih dengan menatap Wisnu dan Robert secara bergantian.

Robert dan Wisnu menggeleng secara bersamaan.

“Karena percuma,” jawabnya. “Polisi pun tidak mereka takuti, banyak hal yang bisa mereka lakukan.”

Cukup dibuat terkejut dengan jawaban yang Jovas lontarkan. Pasalnya baik Robert ataupun Wisnu, mereka sama-sama tidak mengetahui adanya hal itu.

“Makanya aku bilang jangan bawa petugas, karena akan mancing gengster itu.” Jovas mengangkat tangan kanannya, lalu melihat jam tangan yang dia kenakan.

Waktu sudah menunjukkan setengah tiga dini hari. Sudah begitu larut tentunya.

“Jam segini biasanya mereka masih di pasar ataupun buat kekacauan. Kita punya waktu sebelum jam empat.”

Jovas membalikkan tubuhnya, sedikit mundur agar bisa melihat Robert dan Wisnu.

“Kalian mau kerja sama, 'kan?” Tanyanya.

Robert dan Wisnu tidak langsung menjawab, mereka malah memandang satu sama lain.

“Kenapa kita harus percaya sama kamu?” Tanya Robert dengan sangat tidak yakin kepada Robert.

“Bagaimana kalau ini hanya jebakan, dan kamu salah satu dari mereka,” sambungnya.

Jovas tidak tersinggung. Bahkan dia masih bisa mengukir senyum di bibirnya.

“Sesama penjahat akan takut jika berhadapan dengan penjahat lainnya. Tapi aku tidak takut, karena aku dan dia berbeda,” jawabnya dengan tenang.

Jawaban Jovas sedikit tidak bisa dimengerti. Namun Robert berusaha untuk percaya kepada pria itu.

“Milla teman aku juga. Tidak ada teman yang akan menyakiti temannya. Iya, 'kan?”

Wisnu masih menatap Robert, menatap dengan tatapan penuh pertanyaan, dan tatapan menunggu jawaban. Lalu Robert mengangguk tidak yakin.

“Terus kita ngapain?” Kini Wisnu yang bertanya.

“Cukup tunggu di luar sampai aku kasih kode untuk masuk. Setelah itu pastikan tidak ada alat komunikasi apapun yang ada di 'dia'. Setelah itu bawa dia kemanapun kalian mau.”

“Bagaimana dengan Milla?”

“Kamu sayang Milla, 'kan, Rob?” Bukannya menjawab, Jovas malah bertanya dengan pertanyaan yang membuat Robert bungkam.

“Balas perlakuan dia setimpal mungkin. Milla akan aku bawa ke rumah sakit ... Aku janji.”


Seperti rencananya, kini Jovas pelan-pelan masuk ke dalam bangunan tua itu. Sedangkan Robert dan Wisnu menunggu di luar, dengan posisi berdiri di sisi pintu, tidak lupa memegang pistol mereka. Berjaga-jaga jika ada sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi.

Hal pertama yang Jovas lihat ketika dia menginjakkan kaki di dalam bangunan itu adalah Oil drum yang bertebaran dimana-mana, ada yang berdiri tegap ada juga yang sudah terjatuh.

Sepanjang mata Jovas memandang, dia masih belum menemukan Milla di sana. Tapi dia yakin kalau Milla ada di sana.

Dengan tenang dan yakin Jovas kembali melangkah, satu tangannya dia masukkan ke kantung Hoodie yang kebetulan tersambung, ada sesuatu yang dia sembunyikan di sana.

Selain oil drum, Jovas juga menemukan beberapa botol miras kosong beserta kardus-kardus yang sudah rusak.

“Mau ngapain kamu.”

Suara itu berhasil membuat Jovas tersentak. Segera dia membalikkan tubuhnya.

Gotcha

Jovas bernapas lega saat melihat Milla. Namun tidak begitu lega, karena keadaan Milla yang sekarang sedang disekap.

Benar dugaan Jovas, dia lah yang menculik Milla. Seorang ketua gengster dan juga seorang debt colector yang sering membuat ricuh.

Dia biasa di kenal dengan panggilan bos snake . Karena lambang gengster mereka adalah ular, dan juga perilaku dia yang seperti ular. Kadang tidak berbahaya kadang begitu berbahaya.

Namun Jovas mengetahui nama asli bos snake itu. Dia adalah Rifan Suardi.

“Lepasin Milla, Rifan.”

Rifan yang kini sedang menyekap Milla, dengan posisi tangan kiri dia tautkan di leher Milla dan tangan kanan memegang pisau yang dia arahkan ke leher Milla.

Sedangkan Milla hanya memejamkan matanya dengan air mata yang terus mengalir.

Saat mendengar suara seseorang, Milla memberanikan untuk membuka matanya. Dia sedikit tenang namun juga kembali menangis karena Jovas kini ada di hadapannya.

“Jo ...,” lirihnya dengan suara yang begitu kecil.

Rifan semakin mengeratkan tautan tangannya di leher Milla.

“Darimana kamu tau nama saya?” Tanya Rifan kepada Jovas.

“Ternyata benar kamu Rifan.” Jovas mendekat secara perlahan, namun itu menjadi ancaman bagi Rifan.

Rifan semakin mendekatkan pisau itu yang kini sedikit menggores pelipis Milla.

“Jo ...”

“Lepasin dia Rifan.” Suara Jovas kini menjadi sedikit tegas dari biasanya. Bahkan aura yang dia keluarkan begitu berbeda.

“Boleh, setelah saya bunuh dia!”

“Jovas!” Milla berteriak karena pisau itu menggores pelipis Milla kembali.

“Oh ..., Jovas nama lo? Cewe lo, nih? Gue bunuh, ya?” Ancam Rifan.

Masih sama dengan sebelumnya. Jovas masih tenang seperti tadi. Tidak ada rasa takut sedikitpun yang dia tunjukan. Bahkan masih sempatnya Jovas mengeluarkan seringai di bibirnya.

“Pisau kamu bagus ...” Jovas menggantung ucapannya, kemudian tangan yang tadi masih ada di hoodie. “Tapi punya saya lebih bagus, 'kan?” Jovas mengeluarkan isi kantung hoodienya.

Sebuah pisau yang selalu dia bawa kemana-mana. Jangan heran, karena dia gunakan untuk membunuh ayam-ayamnya.

Merasa terancam Rifan semakin mencekik leher Milla. Pisau yang ada di tangannya dia pindahkan mengarah ke leher Milla.

“Satu langkah lo mendekat, gue tusuk dia. Lo tau nama gue, berarti lo tau gue gimana, 'kan? Gue gak kenal ampun!” Ancamnya lagi, namun suaranya sedikit bergetar entah mengapa.

Jovas masih belum terancam, dia masih tenang, bahkan masih bisa mengeluarkan senyuman. Dan itu membuat Rifan terpancing emosinya.

“Letakin pisau lo!” Teriak Rifan.

“Jo ...” Tak henti-hentinya Milla menyebutkan nama Jovas, dengan doa yang ia lontarkan di dalam hati.

Fine,” kata Jovas.

Tapi, sebelum dia meletakkan pisau itu, Jovas membalikkan pisau itu terlebih dahulu. Tak lupa juga dia mengangkat kedua tangannya. Ada yang aneh dari Rifan, setelah Jovas membalikkan pisau miliknya, ekspresi yang Rifan tunjukan semakin aneh.

Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, Jovas meletakkan pisaunya. Bersamaan dengan itu, Rifan pun melepaskan Milla dan mendorongnya ke arah Jovas.

Segera Jovas berlari dan meraih Milla, dan segera membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya.

“Robert, now!” Jovas berteriak ketika Rifan hendak kabur.

Di luar, Robert dan Wisnu saling mengangguk ketika mendengar seruan Jovas. Dengan sigap keduanya masuk ke dalam.

Robert dan Wisnu langsung dihadapkan dengan Rifan yang berusaha kabur. Dengan kesigapan dan kekuatannya, Robert menendang Rifan dengan begitu kuat, kemudian membuatnya menjadi berlutut tidak lupa pula dia memborgol tangan Rifan dari belakang.

“Periksa, Wisnu,” perintah Robert, agar Wisnu memeriksa seperti yang Jovas bilang kepada mereka tadi.

“Tadi aku diculik, terus aku di-di ...” Milla yang kini ada di dekapan Jovas, mengadu kepada pria itu. Namun dia tidak kuasa kembali mengingat kejadian tadi.

Jovas semakin mengeratkan dekapannya. Bukan bermaksud tidak sopan, namun sebisa mungkin dia menangkan gadis itu.

“Diapain kamu? Biar saya balas,” kata Jovas begitu tegas dan dingin. Berbeda seperti Jovas biasanya.

Milla menggeleng enggan menjawab pertanyaan Jovas.

Lalu Jovas menangkap pipi Milla dengan tangan kanannya, dan satu tangan yang dia gunakan untuk menahan tubuh Milla.

Wajah Milla begitu berantakan, luka dimana-mana. Di mata, hidung, pelipis, bahkan bibir seperti baru digigit begitu kuat.

“Bilang ke saya, Milla.”

Milla menangis sesegukan, dia tetap tidak mau menjawab, malah gadis itu menenggelamkan wajahnya di dada bidang Jovas.

“Bawa bajingan itu Robert,” perintah Jovas dengan menggebu-gebu.

Robert menatap Jovas, sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja Jovas ucapkan. Jovas, pria yang selalu dia dengar dari Milla adalah pria yang tidak kasar atau pria lembut. Namun kini berbeda dari biasanya.

“Dia udah lecehkan perempuan mu,” sambung Jovas, berhasil membuat Robert terpancing emosinya.

Tanpa berbicara lagi, Robert menyeret Rifan dari sana. Kalau bisa sangat ingin dia lemparkan ke neraka.

“Aku di sini, jangan nangis lagi, ya? Aku akan temenin kamu, aku gak akan ninggalin kamu. Aku janji kami gak akan alami ini lagi. Trust me, Milla Gill.

Belum jauh jarak Jovas dari rumah Milla. Terpaksa Jovas putar balik, mengingat ada satu benda lagi yang belum dia balikkan kepada pemiliknya.

Setibanya di sana, Jovas tidak langsung turun dari mobil, ada sekitaran berapa menit dia menunggu di dalam mobil.

Tidak banyak yang dapat Jovas lihat, karena jarak pandang yang kabur, mengingat Jovas juga punya masalah dengan matanya. Namun ada satu yang dia sadari, ada Robert dan beberapa petugas polisi di depan rumah Milla.


“Rob!” Suara Wisnu menghentikan langkah Robert.

“Mau kemana lo?” Tanya Wisnu, dia sedikit penasaran sebab Robert begitu terburu-buru.

“Darimana aja lo?” Bukannya menjawab, Robert kembali bertanya ke Wisnu.

“Kan udah gue bilang tadi, mau ke toilet.”

Robert menghela napas, dia tidak ingat kalau Wisnu pernah bilang itu sebelumnya.

“Ada laporan penculikan, kita ke TKP sekarang.”

Robert segera melangkah kembali dengan langkah yang begitu cepat.

“Siap laksanakan!”

Ketika Robert dan Wisnu sampai di depan rumah Milla, sudah ada beberapa petugas polisi dan satu saksi yang menjadi penelpon tadinya.

Segera mereka turun dari mobil, dan menghampiri orang itu.

“Jadi gimana?” Tanya Robert tanpa basa-basi, dia terlebih dahulu bertanya kepada petugas yang sudah terlebih dahulu berada di sana.

“Tadi si Ibu nya lagi mau keluar buat buang sampah, tapi gak sengaja dia lihat orang asing pake masker lagi ngebekap seseorang. Dan pas gue cek, rumah itu kayaknya yang jadi korban.” Petugas itu menjelaskan secara rinci, lalu menunjuk ke arah rumah Milla.

Kebetulan juga rumah Milla tidak tertutup gerbang dan juga pintu rumahnya. Perasaan Robert semakin tidak karuan, dia takut dan gelisah.

“Udah cek cctv?” Robert menopang kedua tangannya di pinggang, tak henti dia menunjukkan ekspresi yang begitu kegelisahan.

“Nggak tau kenapa cctv di daerah sini udah rusak semenjak dua hari yang lalu.”

Ah ... Seketika Robert teringat, kalau tidak salah kemarin Milla juga sempat mengadu mengenai hal itu.

“Jejak atau apapun itu?”

Petugas itu mengarahkan Robert ke jalanan yang tidak jauh dari dirinya berada. Terlihat ada jejak sepatu di sana.

“Ini yang bisa kita andalkan sekarang,” ucapnya sedikit kurang yakin.

“Tunggu apa lagi? Temukan pelakunya sekarang!”

“Siap!”

Petugas itu segera melakukan tugasnya, meninggalkan Robert dan Wisnu serta beberapa petugas yang masih ada di sana.

“Jadi gimana, Rob? Beneran Milla?” Wisnu baru berani bertanya sekarang.

Dengan hati yang begitu sakit Robert mengangguk, dia menghela napas begitu kasar.

“Gue udah suruh dia di rumah aja, tapi tetap salah. Bahkan di rumah pun dia kena,” katanya lirih, terdengar rasa bersalah begitu besar di sana.

“Yaudah, Rob. Kita ke kantor dulu, selagi nunggu kemajuannya, jangan lupa berdoa.” Wisnu menepuk pundak Robert, lalu merangkul pundak Robert yang tidak setegas biasanya.

Tanpa membantah Robert pun mengikuti arahan Wisnu. Dia mengambil tempat di kursi penumpang, sedangkan Wisnu yang mengemudi sekarang.

Robert hanya bisa memijit pelipisnya dengan kasar. Memejamkan matanya, berharap tidak terjadi hal-hal yang menakutkan kepada Milla.

Baru saja mesin dihidupkan, keduanya dikejutkan dengan ketukan dari kaca pengemudi.

Wisnu membuka kaca itu, dan memperlihatkan Jovas di sana. Wajah Jovas memancarkan kegelisahan sama halnya dengan Robert.

“Aku tau Milla dimana.”

Bukankah menjadi sang ahli butuh proses dan tujuan?

Sama seperti seorang mahasiswa kedokteran yang menghabiskan begitu banyak waktu, uang, demi untuk menjadi seorang dokter kemudian?

Atau menjadi seorang detektif yang harus mempunyai kecerdasan luar biasa, demi menangkap orang-orang jahat di luar sana.

Bahkan menjadi seorang sekretaris yang harus mempelajari banyak pengetahuan, manner, dan lainnya. Demi untuk menjadi seorang sekretaris.

Bahkan menjadi seorang penulis yang harus merelakan waktu. Menghadapi begitu banyak cobaan, melawan rasa malas, demi untuk sebuah karya, yang belum tentu dihargai oleh orang-orang. Bahkan bisa saja mendapatkan caci maki.

Atau menjadi seorang pramugari yang katanya hanya butuh kecantikan, padahal begitu banyak pengorbanan yang harus mereka lakukan.

Menjadi seorang model, yang tak jarak menerima caci maki, ujaran kebencian. Yang sewaktu-waktu merusak mental sendiri. Padahal proses menjadi seorang model begitu sulit.

Proses menjadi seorang guru, yang jasanya kadang sering diremehkan. Demi pengetahuan untuk anak-anak diluar sana.

Menjadi mahasiswa yang ingin membentuk karakter dirinya. Menghadapi rintangan setiap harinya. Belum lagi saat menghadapi beberapa dosen yang egois, atau teman-teman yang munafik.

Begitu juga dengan sang ahli, begitu banyak proses yang harus dia lewati sehingga menjadi seperti ini.

Tentu dia mempunyai sebuah tujuan, layaknya mereka yang sudah disebutkan. Kuliah kedokteran untuk menjadi dokter.

Lantas, apa yang menjadi tujuan sang ahli? Sehingga melakukan semua ini.

Jawabannya ..., Hanya dia lah yang tau.

Dia yang sekarang sedang mempersiapkan barang kesukaannya. Benda tajam tentu saja. Menggunakan pakaian dengan warna kesukaan, warna hitam yang begitu gelap.

Dengan topi dan sebuah masker yang sudah dia siapkan. Dia pun melangkah menuju mobil berwarna senada seperti pakaiannya.

Setelah dia menduduki kursi pengemudi, dia tidak langsung mengenakan masker itu, bahkan dia melepaskan topi yang ada di kepalanya terlebih dahulu.

Lalu dengan yakin dan pasti dia melaju mobilnya. Untuk mencapai tujuan yang selama ini dia ingin raih.

“Morning.” Jovas menyapa kala Milla masuk ke mobil dan duduk di sampingnya. Tak lupa juga Jovas memberikan senyuman sebagai sapaan.

Milla menoleh setelah menutup pintu mobil Jovas, dia pun tersenyum juga membalas senyuman Jovas.

“Pagi juga,” ujar Milla membalas sapaan Jovas.

“Langsung aja, ya? Udah telat juga nih aku,” kata Jovas dengan satu tangan yang udah siap di setir mobil.

Milla mengangguk, tidak lupa dia menggunakan seatbelt.

Kemudian Jovas memacu mobilnya dengan kecepatan normal. Selama perjalanan tidak ada dari mereka yang bersuara, terlebih Milla masih sangat-sangat mengantuk.

Tanpa sengaja Jovas menoleh ke arah Milla, dia mendapatkan mata Milla yang hampir terpejam, namun gadis itu buka kembali.

Jovas terkekeh melihatnya.

“Tidur aja lagi,” ucap Jovas mempersilahkan Milla untuk kembali tidur.

Milla menggeleng segera. Lalu tangannya bergerak menepuk-nepuk kedua pipi yang terasa dingin.

“Enggak, ah,” tolak Milla lirih dengan suara serak. “Masa tidur, kan aku mau curi resep rahasia!”

Jovas tak dapat menahan tawa tentu saja. “Emang beneran mau curi?” tanyanya dengan polos.

Yang tadinya Milla mengantuk, tiba-tiba menjadi segar mendengar pertanyaan polos Jovas.

“Ya ..., enggak! Jawabnya tegas. “Kasihan nanti kamu bangkrut.”

Jovas hanya tertawa mendengar jawaban Milla. Karena tidak lagi mengantuk, gadis itu dilanda rasa bosan.

Milla mencari-cari dan meraba-raba sebisanya. Begitulah Milla, jika dia bosan, maka hal yang bisa dia raih akan dia mainkan semuanya.

Seperti sekarang laci dashboard mobil. Namun tak sengaja dia memegang sebuah benda yang tajam.

“Awh,” ringis Milla segera dia menarik tangannya.

Dia pun terkejut karena melihat jari telunjuknya mengeluarkan cairan merah kental.

Tidak hanya Milla, Jovas pun panik. Segera dia meraih tangan Milla, dengan netra yang masih fokus ke jalan, dia mengisap jari Milla yang mengeluarkan darah.

Milla dibuat terdiam dan membeku oleh-nya. Tidak lama Milla menarik tangannya, sedikit membuat Jovas tersentak.

“Jorok, Jo,” tegur Milla, kemudian meraih tisu yang ada di dashboard.

Jovas merasa tidak enak seketika, dia menggaruk-garuk tengkuknya yang bahkan tidak gatal.

“Maaf aku refleks,” sesalnya benar-benar merasa bersalah.

Sesekali Jovas menatap Milla. Milla mengangguk setelah itu.

“Nggak apa-apa, tapi jorok aja darah dihisap gitu. Apa sih yang gue pegang.” Penasaran Milla membuka laci dashboard.

Ternyata di sana ada sebuah pisau yang terlihat begitu tajam.

“Maaf aku kebiasaan, jadinya aku lupa ... Maaf banget, ya?” Jovas benar-benar menyesal.

Segera pria itu menepikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil pisau itu dan memindahkannya ke jok belakang.

Lagi Jovas menatap Milla dengan penuh penyesalan. Bahkan Milla keheranan dibuatnya.

“Maaf ... .”

“It's okay! Ini cuman tergores doang,” balas Milla, karena memang benar-benar tidak sakit. Ringisan yang keluar dari mulutnya tadi, hanya sekedar refleks biasa.

Jovas menghela napas panjang. Dia benar-benar merasa bersalah. Dan merutuki dirinya diam-diam, karena telah ceroboh.

Milla tertawa saat melihat ekspresi Jovas yang begitu menyesal. Seperti baru melakukan kesalahan besar, padahal hanya kesalahan kecil.

“Udah, ah. Nanti ayamnya dipatok ayam, loh,” ucap Milla sedikit bercanda agar suasana kembali tidak canggung.

Walaupun masih diliputi rasa bersalah, Jovas tertawa mendengarnya. Kemudian kembali memfokuskan dirinya untuk menyetir ke tujuan.


Ternyata Jovas benar-benar pria yang jujur. Milla dibuat terdiam olehnya. Sebabnya sekarang pria itu sedang menangkap ayam-ayam yang ada di kandang, memilih yang mana yang akan dibeli.

Dan lagi Milla terdiam karena melihat pria tampan nan kekar itu, dengan sendirinya menyembelih atau memotong kepala ayam yang kini ada di genggamannya.

Milla terheran apa pria itu tidak merasa jijik. Sedangkan dirinya sudah dari tadi hampir muntah karena bau yang ada di pasar.

Ini bukan kali pertama Milla ke pasar, dia juga sering ke pasar dengan Ibu tirinya. Namun ini kali pertama dia menginjakkan kaki di daerah pasar yang menjual ayam dan ikan-ikan, jadi baunya lebih terasa berbeda.

Sedari tadi sibuk dengan ayam-ayam yang ada di hadapannya, kini Jovas mengalihkan pandangannya menuju Milla. Gadis yang sedang menutup hidungnya dengan jari, lalu membukanya lagi karena butuh udara.

Lucu, hingga membuat Jovas sedikit tertawa. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Lalu kembali fokus pada kegiatannya, sampai selesai.

Setelah selesai Jovas menghampiri Milla. Meninggalkan ayam-ayam itu yang akan terlebih dahulu diurus oleh pedagang di sana, dan mengantarkannya ke warung pria itu.

Milla memberi jaket yang dititipkan Jovas tadi.

“Thanks, bau banget, ya?”

Milla mengangguk tanpa menutupi kejujuran dengan berbohong.

“Bau banget, kok lo tahan, sih? Kenapa gak suruh mereka aja gitu?” tanya Milla sembari mereka berjalan kembali menuju mobil.

“Aku cuman mastiin kualitas, Milla,” jawabnya dengan lembut.

“Kamu mau ikut lagi? Atau aku anter ke rumah?”

“Mau ikut!” Jawab gadis itu bersemangat. “Sekalian mau minta ayam, he he he.”

Terkesan kekanakan dan tidak tau diri memang. Namun ini salah satu cara Milla lakukan agar dia tidak lagi bersedih.

Jika bersama seseorang dia akan bersemangat dan tertawa bahagia. Namun tidak menutupi kenyataan dia akan terus menangis kala sendiri di gelapnya malam.

Bukankah seorang pemilik suatu usaha sudah seharusnya memberi kualitas terbaik untuk pelanggan?

Itu yang saya lakukan, memberi yang terbaik untuk setiap pelanggan yang memesan di warung ayam saya.

Saya sendiri sudah terkenal di daerah saya. Saat mereka mendengar nama saya, pasti mereka akan bilang wah, itu pengusaha ayam yang enak itu, ya.

Saya sangat bangga dengan pencapaian saya sekarang. Membuat setiap malamnya saya tidak pernah berhenti tersenyum.

Seperti sekarang. Saya sedang berada di sebuah ruangan di rumah saya. Rumah yang sebenarnya nyambung dengan warung ayam saya.

Saya sedang melihat-lihat barang peninggalan mendiang Ayah saya. Entah mengapa saat saya melihat barang demi barang, perasaan bahagia dan bangga saya sirna, berubah menjadi perasaan gelisah dan takut.

Saat ini saya sedang memegang sebuah pisau. Pisau yang selalu saya gunakan setiap malamnya.

Untuk membunuh ayam-ayam betina. Ah ... Rasanya mengatakan kata 'bunuh' itu terlalu kejam. Mungkin menyembelih lebih tepatnya.

Menyembelih bintang betina, yang selalu menjadi kerjaan saya setiap malamnya.

Bukan sebuah tindakan aneh, karena saya hanya ingin memastikan kualitas ayam betina yang saya sajikan kepada pelanggan, benar-benar kualitas terbaik.

Saya kembali melangkah menyusuri ruangan itu, sampai saya tiba di depan sebuah lemari. Saat saya ingin membuka lemari itu, gerakan saya terhenti karena sebuah notifikasi masuk ke ponsel saya.

Karena saya tidak suka berlama-lama membalas pesan, saya terlebih dahulu melihat pesan masuk itu.

Bibir saya tiba-tiba menarik sebuah senyuman saat membaca pesan itu.

Pesan dari teman baru saya—gadis cantik dan baik, yang bernama Milla— gadis itu menyetujui ajakan saya untuk ikut dengan saya melakukan kegiatan yang biasa saya lakukan.

Membunuh ayam betina untuk kepuasan.

Ah ... Maksud saya, menyembelih ayam betina, memastikan ayam itu layak dan menyajikannya untuk pelanggan, dan membuat pelanggan merasa puas.

Saya senang. Senang karena saya mendapatkan teman.

Bukankah seorang pemilik suatu usaha sudah seharusnya memberi kualitas terbaik untuk pelanggan?

Itu yang saya lakukan, memberi yang terbaik untuk setiap pelanggan yang memesan di warung ayam saya.

Saya sendiri sudah terkenal di daerah saya. Saat mereka mendengar nama saya, pasti mereka akan bilang wah, itu pengusaha ayam yang enak itu, ya.

Saya sangat bangga dengan pencapaian saya sekarang. Membuat setiap malamnya saya tidak pernah berhenti tersenyum.

Seperti sekarang. Saya sedang berada di sebuah ruangan di rumah saya. Rumah yang sebenarnya nyambung dengan warung ayam saya.

Saya sedang melihat-lihat barang peninggalan mendiang Ayah saya. Entah mengapa saat saya melihat barang demi barang, perasaan bahagia dan bangga saya sirna, berubah menjadi perasaan gelisah dan takut.

Saat ini saya sedang memegang sebuah pisau. Pisau yang selalu saya gunakan setiap malamnya.

Untuk membunuh ayam-ayam betina. Ah ... Rasanya mengatakan kata 'bunuh' itu terlalu kejam. Mungkin menyembelih lebih tepatnya.

Menyembelih bintang betina, yang selalu menjadi kerjaan saya setiap malamnya.

Bukan sebuah tindakan aneh, karena saya hanya ingin memastikan kualitas ayam betina yang saya sajikan kepada pelanggan, benar-benar kualitas terbaik.

Saya kembali melangkah menyusuri ruangan itu, sampai saya tiba di depan sebuah lemari. Saat saya ingin membuka lemari itu, gerakan saya terhenti karena sebuah notifikasi masuk ke ponsel saya.

Karena saya tidak suka berlama-lama membalas pesan, saya terlebih dahulu melihat pesan masuk itu.

Bibir saya tiba-tiba menarik sebuah senyuman saat membaca pesan itu.

Pesan dari teman baru saya—gadis cantik dan baik, yang bernama Milla— gadis itu menyetujui ajakan saya untuk ikut dengan saya melakukan kegiatan yang biasa saya lakukan.

Membunuh ayam betina untuk kepuasan.

Ah ... Maksud saya, menyembelih ayam betina, memastikan ayam itu layak dan menyajikannya untuk pelanggan, dan membuat pelanggan merasa puas.

Saya senang. Senang karena saya mendapatkan teman.

#

Seperti biasa Jovas menghabiskan waktunya untuk bekerja di warung ayam miliknya sendiri. Namun untuk hari berbeda, entah mengapa warungnya lebih sepi daripada biasanya. Tapi ini jadi sebuah keuntungan bagi Jovas, karena kondisinya yang masih belum stabil dan masih ketakutan. Dia menggunakan kesempatan ini buat istirahat.

Walaupun warung sepi, dia mencoba untuk mengambil sisi positifnya saja.

“Dibilang jangan bandel, bandel juga.” Bu Lasma meletakkan segelas air mineral di atas meja yang ada di hadapan Jovas.

Jovas sedari tadi sedang duduk merenung di kursi pelanggan biasa. Dia masih mengingat bayang-bayang kejadian kemarin.

“Ibu,” ringis Jovas karena Bu Lasma memukul lengannya tiba-tiba. “Sakit tangan aku,” lanjutnya, kemudian mengusap pelan lengan yang dipukul tadi.

“Coba kamu gak keluar malam-malam? 'Kan Ibu udah bilang kalo memang mau ambil ayam ke pasar, 'kan bisa pagi aja,” ucapnya lagi-lagi menceramahi Jovas.

Sungguh Jovas sudah bosan dengan celotehan Bu Lasma. Dari sejak tadi pagi dia sudah mendengarnya. “Malam lebih enak, Bu. Pasar belum rame, cuman ada pemilik— iya nurut.”

Baru saja Jovas ingin membantah, namun lagi dan lagi Lasma memukul lengan kekar Pria itu.

Kring….

Suara lonceng menandakan ada pelanggan masuk ke warung tersebut. Segera Jovas menarik tubuhnya berdiri untuk menyambut pelanggan, sekaligus kabur dari Lasma.

“Sel … amat datang,” sambutnya terbata-bata karena melihat siapa sosok pelanggan yang baru masuk ke warung ayam miliknya.

Mengenal sang pelanggan, Jovas melebarkan senyumannya. Lalu melangkah mendekat.

“Hai Milla,” sapanya kepada sang pelanggan yang tak lain tak bukan adalah Milla, —teman baru yang baru ia kenali beberapa hari yang lalu.

Milla membalas senyuman dan sapaan Jovas dengan senyuman juga.

“Hai Jo, sesuai janji, nih. Gue mau minta ayam,” kata Milla dengan wajah polosnya.

Jovas terkekeh mendengarnya, lalu ia mengangguk dan mengajak Milla untuk duduk. Mereka pun duduk saling berhadap-hadapan, Milla sedang melihat-lihat menu seperti yang Jovas suruh.

“Hmm,” gumam gadis itu. “Yang menu spesial aja deh. Bingung soalnya,” ujarnya selesai memilih menu yang ingin dia makan.

Jovas mengangguk paham, lalu mengambil buku menu yang ada di hadapan Milla untuk dibawa ke belakang.

“Aku siapin dulu, ya. Ditunggu pesanannya,” katanya sambil beranjak dari sana. Tak lupa dia memberikan senyum kepada Milla.

Milla hanya mengangguk sebagai jawaban. Selepas Jovas pergi untuk menyiapkan pesanannya, gadis itu hanya diam sambil melihat-lihat setiap sudut warung tersebut. Sesekali dia kagum dengan penampilan warung pria itu.

Tidak bisa dibilang mewah karena memang sederhana, tapi sangat memanjakan mata dengan nuansa serba coklat. Saat mata Milla liar menatap ke sudut demi sudut, tidak sengaja dia melihat Jovas yang sedang bercengkrama dengan seorang wanita paruh baya yang dia yakinin Lasma—wanita yang sering diucap oleh Jovas—.

Jovas terlihat tersenyum saat wanita itu berbicara dengannya, ada sedikit rasa penasaran di benak Milla. Namun segera dia lupakan, sangat tidak penting baginya.

Beberapa menit kemudian harum dari makanan tercium menggoda hidung Milla. Saat Milla menoleh ke belakang ternyata Jovas sedang melangkah dengan nampan makanan di tangannya.

“Wah,” seru Milla bersemangat.

“Silahkan dinikmati, semoga tidak mengecewakan,” ucap Jovas sesaat setelah ia meletakkan sebuah piring dan juga segelas minuman di atas meja.

Tanpa berpikir panjang lagi Milla segera menyantap hidangan tersebut. Seperti sihir, makanan itu benar-benar membuat Milla bungkam.

“Sumpah, Jo!” Serunya tidak percaya. Dia memakan lagi ayam tersebut, rasanya tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata.

“Ini enak banget! Baru pertama kali gue makan ayam seenak ini,” puji Milla sungguh-sungguh.

Jovas tertawa. “Biasa aja,” balasnya karena menurut pria itu, yang dia hidangkan hanya ayam biasa.

“No!” Protes Milla.

Milla benar-benar tidak bohong, tekstur ayam yang sangat pas dengan rasa keju dicampur sedikit rasa pedas, benar-benar fantastis!

Memang terlihat biasa saja, tapi entah mengapa bagi Milla ini begitu luar biasa.

“Kok bisa seenak ini, sih?” tanya Milla penasaran.

“Soalnya aku yang masak,” jawab Jovas tidak bermaksud untuk sombong, karena memang itu kebenarannya.

“Menu spesial aku sendiri yang masak, resep aku sendiri juga.”

Milla terkekeh. “Ada yang coba nyuri resep rahasianya, gak?” tanyanya bercanda.

Jovas ikut terkekeh mendengar pertanyaan asal dari Milla.

“Enggak, kok. Cuman menu biasa, yang bikin spesial tuh ...”

“Karena kamu yang masak?”

Jovas menggeleng.

“Terus?”

“Ayam yang aku masak, cuman ayam betina.”

“Anda yang memanggil polisi?” tanya petugas salah satu petugas polisi yang baru saja turun dari mobilnya.

Petugas polisi itu tidak sendiri, ada beberapa petugas lainnya dan juga Wisnu dengan Robert.

Jovas sang penelepon pun mengangguk membenarkan. Ia menunjukkan wajah cemas dan ketakutan. Wajahnya penuh dengan keringat, kemudia ia menunjuk ke arah sebuah bangunan kosong yang tidak jauh dari sana.

“Di ... Sana ...,” ucapnya terbata-bata, bahkan saat mengucapkan kalimat itu Jovas menangis.

Beberapa petugas mengikuti Robert yang langsung bergegas ke arah yang Jovas maksud.

“Mau minum?” tawar Wisnu, yang memilih untuk menemani Jovas yang kini berstatus sebagai saksi.

Jovas yang masih dihantui rasa takut, ia berusaha untuk menggeleng. Detik kemudian Jovas memberanikan menatap Wisnu.

“Rokok?”

Wisnu membulatkan matanya mendengar permintaan Jovas. “Anda mau rokok?” tanya Wisnu memastikan kembali.

Jovas mengangguk lalu berkata, “Aku biasa bisa tenang kalo ada rokok.” Sedikit ada rasa takut pada diri Jovas saat meminta, apalagi ia meminta kepada petugas polisi.

Wisnu mengangguk setuju.

“Setuju saya. Emang rokok itu penenang banget,“ujarnya setuju dengan Jovas, lalu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya dan memberikan satu batang rokok kepada Jovas.

Tak lupa juga Wisnu memberikan pemantik api kecil.

Setelah rokok itu sudah berhasil ia dapat, Jovas sedikit merasa tenang setelah apa yang menimpanya.

“Wisnu,” panggil Robert, seraya melambaikan tangan ke arah Wisnu menyuruhnya untuk gabung ke sana.

Paham dengan yang Robert maksud, Wisnu segera mengikuti arahannya Robert. Sebelum itu Robert menyuruh agar Jovas tidak kemana-mana, dan tetap di sana.

Tanpa protes apapun dari Jovas, ia mengangguk patuh. Dan tetap di sana seraya menikmati rokok isapan demi isapan.


“What!” pekik Wisnu tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. “Kasus pembunuhan ... lagi?” Wisnu menekankan kata lagi, di kalimat itu.

Robert mengangguk. “Di lihat dari tusukan yang ada di perutnya, di duga kasus pembunuhan,” katanya.

Wisnu dan Robert serentak kembali melihat sudut demi sudut tkp, dan tak lupa mereka melihat tubuh korban sebelum dibawa oleh tim forensik untuk diperiksa penyebab kematiannya.

“Rob,” panggil Wisnu, kemudian ia berjongkok karena melihat sesuatu yang tidak asing.

Tanpa menunggu lama Robert menghampiri Wisnu, Robert pun ikut berjongkok sama dengan Wisnu.

“Abu rokok.” Wisnu menunjuk ke arah abu rokok yang ada di hadapannya.

Sama dengan kasus terduga pembunuhan yang terjadi sejak lima tahun yang lalu. Di setiap tkp pasti akan selalu ada abu rokok, hanya saja mereka baru menyadari hal ini saat kasus di hotel beberapa hari yang lalu.

Robert berpikir dengan keras, apa yang terjadi. Pria itu kembali berdiri saat mengingat sesuatu, disusuk oleh Wisnu.

Tanpa berbicara Robert melangkah dengan langkah besar. Langkah yang tiba-tiba itu mengejutkan Wisnu, namun Wisnu tetap mengikuti Robert dari belakang.

Ternyata Robert teringat dengan keberadaan Jovas yang kini berstatus sebagai saksi. Robert menghampiri Jovas yang kini hanya berdiri tegap tanpa melakukan apa-apa.

“Kamu merokok?” tanya Robert, sedikit mengejutkan Jovas karena kehadiran dan pertanyaan yang tiba-tiba itu.

Sedikit ketakutan namun Jovas tetap mengangguk, pasalnya ia benar-benar baru merokok tadi.

Bukan tanpa alasan Robert bertanya seperti itu. Keberadaan Jovas yang kini menjadi orang yang pertama kali melihat korban, membuat Robert menaruh curiga kepadanya.

“Dia baru gue kasih rokok tadi, Rob,” ucap Wisnu bergabung dengan Robert.

Baru saja Robert menaruh curiga kepada Jovas, namun terpaksa ia buang jauh-jauh pikiran itu. Tapi bukan berarti ia tidak lagi curiga.

“Kamu tetap ikut kita ke kantor,” kata Robert sebelum meninggalkan Jovas dan Wisnu dan kembali ke tkp.

Walaupun masih kebingungan, lagi-lagi Jovas hanya mengangguk patuh. Ia tau hal ini akan terjadi, karena ia lah yang melapor.


Sudah hampir satu jam Jovas di kantor, ia diberi begitu banyak pertanyaan yang dapat ia jawab dengan mudah.

Jovas yang tadinya ketakutan, kini sudah lebih tenang, bahkan saat Robert bertanya dengan nada tinggi.

“Memangnya ngapain kamu ke Minimarket terlebih dahulu, kalau tau gadis itu dalam bahaya?” tanya Robert lagi.

Tidak langsung menjawab, Jovas merogoh saku hoodie hitam yang ia kenakan, Mengeluarkan satu kotak alat kontrasepsi atau yang biasa disebut kondom.

Sedikit membuat Jovas malu saat mengeluarkan benda itu dan meletakkannya di atas meja.

Robert mengangkat alisnya sebelah saat melihat benda yang Jovas keluarkan.

“Kamu belok ke mini market terlebih dahlu karena mau beli 'itu'?” Robert menunjuk benda itu, dengan tatapan aneh.

Jovas mengangguk malu.

“Gadis itu pacar kamu?”

Jovas segera menggeleng. “Dia pelanggan aku. Aku baru kenal tadi pagi.”

Robert menghempaskan tubuhnya ke senderan kursi yang ia duduki.

“Terus kenapa beli begituan? Kenapa gak langsung nolong gadis itu?”

“Aku tidak tau kalau orang yang di depannya itu ngikutin dia. Aku cuman tau ada orang yang ngikutin dia,” kata Jovas, sedikit membenarkan agar ia bisa membela dirinya.

Robert menghela napas kasar. Karena dari semua jawaban yang Jovas berikan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa Pria itu adalah pelakunya.

Bahkan sikap yang Jovas berikan, membuat polisi sedikit yakin bahwa dia bukan pelakunya.

Kini Jovas dibebaskan untuk sementara waktu, namun dia akan tetap dipanggil sewaktu-waktu sebagai saksi.

Saat ini Jovas sedang duduk di ruang depan kantor polisi. Menatap para petugas yang masih saja lalu lalang, walaupun saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Bahkan di sana ada Robert dan Wisnu yang masih sibuk bekerja. Sesekali Jovas juga melihat Robert menatapnya, entah apa arti dari tatapan yang Robert berikan.

“Jo?” Suara seorang Wanita yang baru saja masuk ke kantor polisi itu mengundang atensi Jovas.

Tidak hanya Jovas, tapi beberapa petugas lainnya, terlebih Robert. Pria itu seperti mengenali suara itu.