Panglimakun

Di sinilah Maudy sekarang, di pingging pembatas jembatan. Sedang menikmati angin siang yang begitu tidak menyehatkan. Namun hal itu begitu menenangkan bagi Maudy.

Hari ini hari yang paling menyakitkan baginya, melihat posisinya yang sudah tergantikan oleh orang lain, dan juga hubungannya yang sudah selesai.

Maudy memang belum seoenuhnya rela melepaskan Revano. Bagi Maudy Revano tidak sepenuhnya jahat. Revano juga pernah bersikap baik sebagai pacar, tapi hal itu terjadi jika laki-laki itu baru saja melakukan kesalahan. Maka dia akan melakukan segala cara agar tidak kehilangan Maudy.

Saat tadi Maudy hendak pergi ke taman belakang, dimana biasanya Revano menghabiskan waktunya jika sedang bersedih, dan tempat dimana pertama kali Maudy bertemu dengannya.

Biasa Revano hanya sendiri di sana, sampai Maudy datang dan memeluknya. Namun tadi dengan mata kepalanya sendiri, Maudy melihat Gema berada di sana.

“Ternyata segitunya kamu gak mau kehilangan Gema, Ren.” Maudy bermonolog sambil berusaha untuk tetap tenang.

“Kok bisa, ya, kamu sesayang itu sama dia. How about me?”

Maudy meraih gantungan tas miliknya yang berbentu boneka rillakuma. Boneka yang sama seperti yang akan ia berikan kepada Revano, namun sayangnya boneka itu tidak sampai ke tangan Revano.

Dengan tatapan sendu Maudy menatap gantungan yang ada di tangannya. “Aturannya aku gak ke taman belakang waktu hari pertama sekolah.”

Tangan Maudy hendak melepaskan gantungan kecil itu ke sungai yang ada di bawahnya.

“Kira-kira boneka itu bisa berenang, gak, ya?” tanya seorang laki-laki stranger, yang entah kapan sudah ada di sana.

Gantungan kecil itu tidak jadi Maudy buang saat mendengar suara laki-laki bertanta disampingnya. Dengan raut wajah penuh tanya, Maudy menoleh dan bertanya, “Sorry, lo siapa?”

Laki-laki yang ada di samping Maudy tersenyum, ia merubah posisinya menjadi lurus ke depan, dan meletakkan kedua tangannya di pagar jembatan.

Merasa tidak direspon, Maudy kembali bertanya, “Halo, lo gak tuli, kan?”

Yang ditanya hanya tertawa kecil, lalu menoleh menatap mata Maudy yang penuh tanya.

Maudy sedikit takjub saat laki-laki itu menatapnya. Karena senyum yang begitu ramah, dan mata yang begitu indah.

“Gue pernah denger dari seseorang ....” Laki-laki itu menjeda ucapannya, karena ia hendak mengubah posisinya menjadi menyandarkan tubuh ke pagar jembatan.

“Kalo udah bertemu satu kali, pasti bakal ketemu kedua kali. Takdir namanya,” sambungnya.

Tidak paham dengan yang laki-laki itu katakan, Maudy hanya bisa mengerutkan keningnya.

“Mahen, nama lengkapnya Mahendra Aidan,” ucap laki-laki yang bernama Mahen itu.

Mahen mengulurkan tangannya mengajak Maudy berkenalan. Sedikit ragu Maudy tetap meraih tangan Mahen.

“Maudy, nama lengkapnya Maudy Alaska,” balas Maudy yang juga memperkanalkan dirinya.

Tautan kedua tangan mereka terlepas oleh Maudy.

“Tangannya udah sembuh? kenapa gipsnya udah dilepas?” Pertanyaan yang begitu tiba-tiba membuat Maudy terkejut.

Mahendra adalah laki-laki yang baru saja ia temui, sedangkan tangannya digips sudah dari minggu lalu. Kini Maudy merasa aneh dan takut, ia bahkan mengira Mahen adalah seorang stalker.

“Satu minggu yang lalu gue gak sengaja nemuin cewek yang duduk di jalanan waktu hujan. Waktu gue tanya, dia ngejawab dengan tatapan kosong, katanya habis ditabrak lari sama mobil.”

Mahen adalah orang yang menolong Maudy pada saat itu, wajar jika ia mengenal Maudy.

Ingatan satu minggu yang lalu kembali terputar dengan jelas. Maudy sontak menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Ia benar-benar tidak menyangka, akan bertemu kembali dengan sang penyelamatnya pada malam itu.

“Jadi lo yang nolomgin gue?” tanya Maudy kembali memastikan, karena ia masih tidak percaya.

Mahen mengangguk pelan. “Iya. Gue rada kaget waktu balik dari toilet ngelihat lo udah gak ada di IGD. Tapi gue lega ternyata udah ada keluarga lo yang datang.”

Maudy masih tidak menyangka. Semua pikiran buruk mengenai Mahen segera Maudy hilangkan dari pikirannya. Mahen bnar benar orang baik.

“Thank you! Gue gak tau kalo lo gak ada, Hen,” ujar Maudy.

Maudy megucapkan kata terima kasih berkali-kali, ia bahkan tiba-tiba melupakan kesedihannya.

“Ternyata lo masih sekolah, ya.”

“Emang lo?”

“Gue udah semester lima, Mau,” jawab Mahen yang lagi-lagi membuat Maudy terkejut.

“Sorry, kak,” sesal Maudy karena tutur bahasanya yang sangat tidak sopan.

“Santai. Lo lagi galau? Putus ya sama pacarnya?”

Maudy tak habis pikir, bagaimana Mahen bisa benar dengan segala tebakannya.

“Kenapa tiba-tiba bilang gitu?” tanya Maudy penasaran.

Mahen kembali mengubah posisinya seperti awal, meletakkan kedua tangannya di pagar jembatan.

“Kata seseorang kalo lagi di sini, pasti lagi ada masalah. Masalah itu biasanya sama pasangannya.” Mahen tersenyum saat mengucapkan kalimat itu.

Maudy mengangguk pelan. “Kalo gitu lo juga, ya, Kak?”

Mahen menggeleng. “Gue gak ada masalah, cuman lagi pengen ke sini aja, dimana gue ketemu seseorang itu. Setidaknya dengan mengingat kembali masa-masa itu, gue kembali merasa dia ada di dekat gue.”

Firasat Maudy mengatakan sesuatu yang buruk, Maudy jadi tidak tau harus merespon seperti apa.

“Sorry jadi curhat,” sambung Mahen.

Segera Maudy menggeleng. “Nggak apa-apa, kok. Eum, sorry kalo boleh tau seseorang itu .... udah gak ada, ya?” Maudy bertanya dengan begitu hati-hati.

“Maksudnya put-”

“Dia ada,” potong Mahen, seraya menoleh untuk menatap Maudy. Maudy menjadi takut dan membuatnya salah tingkah.

“Tapi serasa jauh.”

Maudy tersenyum, menduga apa yang dirasakan Mahen sekarang seprtinya sama kayak yang ia rasakan.

“Sama kayak Reno,” lirih Maudy. “Dia ada di dekat gue tapi serasa jauh.”

“Revano jahat, ya, ke lo?”

pertanyaan yang begitu tiba-tiba kembali membuat Maudy heran. Maudy hanya mengucapkan Reno, lantas darimana Mahen mengetahui nama Revano.

Melihat ekspresi Maudy, Mahen tertawa. “Gue tau dari surat yang ada di boneka, lo. Untung aja suratnya gak basah.”

Ah! Boneka. Maudy berusaha dengan keras menjaga boneka itu agar tidak basah terkena hujan saat itu, walaupun keadaannya begitu menyendihkan.

“Bonekanya udah lo buang, ya, kak?”

“Nggak, kata siapa? udah gue kasih ke Revano di malam yang sama.”

Misel dan Moreo sudah tiba di rumah sakit, mereka segera berlari menuju rumah sakit. Langkah keduanya tertahan saat mendengar suara yang tidak asing.

“Mor.” panggil Revano, yang juga baru tiba di rumah sakit.

Bersamaan Misel dan Revano membalikkan tubuh mereka untuk menoleh menatap ke asal suara.

Misel membuat sebuah seringai kecil saat melihat kedatangan Revano. Tanpa takut Misel melangkah, dengan sekuat tenaga gadis itu mendorong tubuh Revano.

“Punya malu, lo? Gak malu dateng ke sini?” tanya Misel, dengan suara lemah karena lelah akibat menangis.

Moroe segera menarik tubuh Misel, karena ini semua pandangan tertuju kepada mereka.

“Malu dikit, kek, lo, anjing!” umpat Misel penuh emosi.

Sungguh gadis itu sudah muak untuk berhadapan dengan laki-laki, yang berstatus pacaran dengan sahbaatnya.

“Udah, Sel, gak enak. Ini di rumah sakit,” ucap Moreo berusaha menenangkan gadisnya.

Namun Misel yang sudah tersalut emosi, sama sekali tidak bisa mengendalikannya.

“Dia kayak anjing, Reo!”

“Iya aku tau.”

Revano yang sudah berulang kali mendapatkan makian, ia hanya bisa diam. Tanpa mengeluarkan bantahan atau protes.

Saat Misel hendak kembali mengeluarkan makian untuk Revano. Ia harus menahannya, karena kehadiran Robert.

“Where is my daughter?” tanya Robert, dengan raut wajah yang begitu panik.

Robert menatap satu persatu dari mereka, dengan tatapan menuntut jawaban.

“Kita belum masuk, Om.”

Mendengar jawaban yang cukup mengecewakan dari Moreo, segera Robert melangkah menuju ruang IGD. Diikutin oleh Moreo dan Misel, dan Revano yang masih bungkam.

Misel hendak memakinya lagi, namun segera ditahan oleh Moreo, karena sudah ada Robert di sana.

Saat mereka hendak memasuki ruang IGD, mereka duluan dikagetkan kemunculan Maudy tiba-tiba.

Gadis itu keluar dari IGD dengan kondisi tangan kanan yang digips. Maudy juga dikagetkan dengan kehadiran Ayah, dua sahabatnya dan satu laki-laki yang sangat tidak ingin ia lihat untuk saat ini.

“Hei, are you okay?” tanya Robert, masih dengan raut wajah paniknya.

Perlahan tangan Robert meraih tubuh kecil Maudy, mengusap pelan rambut yang basah, karena air hujan.

“I'm okay, Ayah. Cuman kesenggol mobil aja, kok,” jawab Maudy dengan begitu santai.

Bahkan Maudy masih mengembangkan senyumnya, agar yang ada di sana tidak lagi khawatir.

“Cuman kata, lo?” imbuh Misel kesal.

Maudy mengangguk, lalu menjawab, “Iya. Lagian ini mungkin digips sebentar aja, kok.” Maudy kembali tersenyum agar Misel tidak terlalu khawatir.

“Yaudah ayo pulang,” ajak Robert disahut anggukan oleh Maudy dan juga Misel.

Maudy berjalan dengan Robert dan juga Misel yang ada di sampingnya.

Revano sedari tadi hanya diam, tanpa bersuara. Padahal begitu banyak pertanyaan yang mau ia tanyakan.

“Kamu siapa yang bawa ke rumah sakit, Maudy?” tanya Robert, membuat langkah Maudy terhenti.

Maudy menoleh ke belakang, mencari-cari seseorang.

“Tadi ada, kok gak ada, ya. Ody juga belum bilang terima kasih.” Mata Maudy liar melihat ke penjuru rumah sakit.

Namun nihil, Maudy tidak menemukan orang tersebut. Lagian Maudy tidak begitu ingat gimana bentuk wajah dari orang yang membantunya.

“Yasudah mungkin suatu saat nanti ketemu lagi, kamu harus pulang, istirahat.”

Robert kembali menuntun Maudy, begitu juga dengan Misel.

Revano yang sedari tadi hanya diam, kini ingin mengambil langkah untuk menghampiri Maudy. Namun sayang langkahnya ditahan oleh Moreo.

“Mending lo pulang, lo lihat sendiri, kan? Bahkan dia natap lo aja gak mau,” ucap Moreo dengan tegas.

“Revano lo denger gue, ya. Mending lo tinggalin salah satu dari mereka.”

“Maksud lo?”

“Lo gak udah janjian sama Maudy, tapi lo malah ke rumah Gema, kan?”

Revano diam, ia tidak bisa membantah karena itu kebenarannya.

Moreo benar-benar sudah tidak tahan dengan sikap sahabatnya itu. Tanpa berbicara lagi, Moreo meninggalkan Revano yang hanya diam.

Revano melihat kepergian Maudy dari jauh. Ia berharap Maudy akan menoleh walaupun hanya menatapnya sekilas, namun itu tidak terjadi.

Revano menghela napas kasar saat mobil Robert dan Moreo melaju pergi dari sana.

“Maaf ....,” lirih Revano penuh penyesalan.

“Revano?”

Suara memanggil namanya, membuat Revano menoleh. Seorang laki-laki yang lebih tua beberapa tahun darinya, kini sedang berdiri di belakang tak jauh dari Revano.

“Ya?” Revano menatap laki-laki itu penuh penasaran.

Tangan laki-laki itu menyerahkan sebuah boneka. Sebuah boneka Rillakuma berukuran sedang, dengan surat yang ada di tangan boneka itu.

Kening Revano mengerut kebingungan. “Maksudnya?”

Laki-laki itu tersenyum. “Revano, kan?”

“Ya, saya Revano. Anda siapa?”

“Diambil dulu ini boneka punya kamu.”

Lagi Revano semakin dibuat kebingungan. Namun ia tetap meraih boneka itu.

“Saya yang bantu pacar kamu,” ucap laki-laki itu berhasil membuat Revano terkejut.

Darimana ia tau kalau Revano itu pacar dari Maudy.

Seakan tau Revano kebingungan, laki-laki itu berkata, “Saya tau nama kamu dari surat yang ada di lengannya itu. Kalau gitu saya pamit.”

Revano masih terdiam dengan pikirannya. Untuk menjawab semua pertanyaan yang berputar di pikirannya, Revano membuka surat yang tertempel pada lengan boneka itu.

Dari pacarnya Revano “Hug me. I'm boo”

Dua jam sebelumnya, saat Revano hendak berangkat menghampiri Maudy. Tiba-tiba Reno harus mendapatkan panggilan dari Nina, Mama Gema.

Mau tidak mau Revano harus mengangkatnya dan sudah dapat dipastikan ia akan terlambat.

“Halo, Bun.” Seperti biasa Revano akan memanggil Nina dengan sebutan Bunda. Alasannya karena kedekatakan mereka yang sudah seperti keluarga.

“Halo, Nak. Kamu hari ini ulang tahun, kan? Ayo ke rumah Bunda, Bunda sama Gema udah masak, loh, buat hari ini.”

Revano mengehembuskan napas kasar, karena tiba-tiba ia dihadapkan dengan situasi yang sulit.

Tidak enak jika Revano menolak ajakan Nina, terlebih Nina sudah masak untuk merayakan ulang tahun Reno.

Bagi Revano memang hari ulang tahun adalah hari yang sangat tidak ia tunggu, bahkan ia sangat membenci saat hari itu tiba. Namun saat bersama Maudy atau keluarga Gema, ia menjadi lupa dengan segala luka, yang ia dapat di hari itu.

Sambungan telepon tertutup saat Revano menjawab iya. Terdengar ketidakpastian di jawaban itu. Tapi Revano berusaha untuk menghargai.

Tanpa menunggu lama lagi Revano segera memacu mobilnya. Menuju rumah Gema, bukan ke tempat di mana Maudy sudah menunggunya di sana.


Sesampainya Revano di rumah Gema, ia disambut dengan ramah seperti biasa oleh Nina dan Gema. Nina tidak berbohong saat ia mengatakan, bahwa ia sudah masak untuk merayakan ulang tahun Revano.

Karena saat Revano diajak masuk ke dalam, ia melihat begitu banyak makanan yang sudah tersedia di meja ruang tamu. Bahkan Revano dibuat heran, siapa yang akan menghabiskan semua itu.

“Kamu duduk aja dulu di sana sama Gema, Bunda mau ambil sesuatu di dapur,” ucap Bunda, lalu beranjak meninggalkan Revano dan Gema.

Tanpa menunggu lagi, Revano dan Gema segera menuju ke sofa ruang tamu. Saat keduanya sudah berada di sana, tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka, baik dari Revano maupun Gema.

Tiba-tiba suasana menjadi canggung, padahal biasanya saat Revano ada di sana, Gema akan berisik, dan Revano akan tertawa tidak datar seperti sekarang.

Gema memparhatikan gerak-gerik Revano yang sedang fokus dengan handphone miliknya.

“Re-”

“Nak Vano, bantu Bunda sebentar.” Suara Nina memotong Gema yang hendak berbicara.

Segera Revano beranjak menuju ke dapur, ia meletakkan handphonenya terlebih dahulu di meja.

Cahaya yang memantul dari handphone Revano menarik perhatian Gema. Gadis itu meraih handphone milik Revano, dan melihat handphone tersebut menampilkan room chat Revano dengan Maudy.

Terntara Revano hendak mengirimkan pesan untuk Maudy, namun sayangnya pesan itu belum sempat Revano kirimkan, karena ia dipanggil Nina.

Entan apa yang terbesit di benak Gema, ia segera menghapus pesan yang akan dikirimkan Revano untuk Maudy. Bahkan Gema menghapus nama Gema dari roomchat.

Pesan yang akan dikirmkan Revano berbunyi Ody, aku harus ke rumah Gema sebentar. Kamu pulang aja dulu, ya? Habis dari rumah Gema, nanti aku jemput.

Dan sayangnya pesan itu tidak sampai ke Maudy, karena Gema. Membuat Maudy harus menunggu tanpa kabar dari Revano.

Saat Revano kembali dengan napan yang berisikan gelas. Segera Gema meletakkan handphone milik Revano.

Namun pergerakan Gema menimbulkan kecurigaan, sehingga Revano melemparkan tatapan tajam kepadanya.

“Kenapa?” tanya Revano tiba-tiba.

“Ah, itu enggak, kok,” jawab Gema dengan gelagat yang membuat Revano menatapnya penuh kecurigaan.

“Kamu megang handphone aku?”

Gema menggeleng kuat. “No! He he, aku gak mungkin megang handphone kamu tanpa izin.”

Tanpa memperpanjang lagi, Revano segera duduk di tempat semula. Bahkan setelah satu jam dirinya berada di rumah Gema, ia masih belum tersadar, pesannya belum tersampaikan ke Maudy.

“Vano aja yang bawa, Bun,” ucap Revano seraya menahan tangan Nina, saat Nina hendak membawa piring kotor ke dapur.

Lalu tanpa menunggu lama Revano membereskan semuanya tentus saja dengan bantuan Nina. Sedangkan Gema, gadis itu memilih untuk tetap duduk di sofa.

Saat Revano dan Nina sedang sibuk di dapur, handphone Revano yang laki-laki itu tinggalkan di meja, berbunyi menandakan sebuah pesan masuk.

Lagi-lagi Gema meraih handphone milik Revano. Saat ia membaca pesan masuk dari Maudy, lagi-lagi gadis itu membalasnya. Tak lupa ia menghapus nama Maudy dari roomchat, agar tidak ketahuan oleh Revano.

Untung saja Revano kembali cukup lama dari dapur, jadi Gema merasa sangat aman.

Saat Revano kembali, ia meraih handphonenya dan hanya melihat layar kunci, sama sekali tidak ada balasan dari Maudy. Membuatnya sedikit cemas dan takut.

“Nak Vano jangan pulang dulu, ya? Di sini dulu, Bunda kangen sama kamu.”

Padahal baru saja Revano hendak izin untuk pulang, ia takut Maudy akan marah, karena sudah dua jam Revano di sini.

Namun Revano sama sekali tidak berani membantah Nina. Nina sudah ia anggap seperti ibunya, bahkan lebih dari itu.

Waktu demi waktu Revano habiskan berbicara dengan Nina, mendengarkan semua cerita Nina. Sampai tiba-tiba fokusnya terbagi karena notifikasi pesan masuk yang tak kunjung berhenti.

Segera Revano meraih handphonenya karena perasaan curiga. Pesan itu tidak ada hentinya.

Namun jantung Revano yang hampir berhenti, saat membaca pesan terakhir yang dikirim oleh Moreo. Tidak banyak yang Revano baca, namun fokusnya tertuju pada kalimat, Maudy kecelakaan.

Tw // kekerasan Cw // harsh word

Sekiranya memicu seuatu, tolong ditinggalkan, okkey😉


Revano terbangun saat handphone miliknya tak henti-henti berbunyi.

Dengan kondisi kepala yang masih pusing, tubuh yang begitu sakit dan kedinginan, Revano memaksa agar bisa bangun.

Revano meraih handphone miliknya yang berada di nakas, dengan mata sayu Revano melihat siapa yang meneleponnya di pagi buta.

Papa

Satu nama yang membuat Revano bangun seratus persen. Ia tidak peduli seberapa sakit kepala yang ia alami, seberapa sakit yang tubuhnya rasakan.

*Revano membaca beberapa pesan dari Papa.* Di pesan itu hanya tertulis kata pulang beberapa kali.

Revano teringat sekarang ia sedang berada di rumah Maudy, rumahnya untuk pulang.

Lantas Revano berpikir, kemana ia harus pulang, jika ia sudah berada di rumah?

Tanpa menunggu lagi, Revano bersiap-siap untuk pergi ke rumahnya, bukan pulang.

Terpikir oleh Revano untuk menuliskan sebuah surat. Ia mengeluarkan buku yang ada di tasnya, dan juga novel-novel yang dititipkan Zaidan.

Awalnya Revano tidak tau harus menuliskan apa, jika ia tulis ia harus pulang, maka ia akan menyakiti perasaan Maudy, karena semalam ia baru saja bilang kalau Maudy itu adalah rumah baginya.

Namun Revano dengan bodohnya menuliskan bahwa ia akan pulang ke rumah Gema.


Sesampainya Revano di rumah, ia disambut oleh Jordan Matteo, Papa Revano.

“Ikut saya ke ruang kerja,perintah Jordan, dengan nada begitu datar.

Dengan perasaan campur aduk, Revano mengikuti langkah Jordan.

“Berlutut,” “perintah Jordan ketika mereka sampai di ruang kerjanya.

Tanpa banyak protes Revano mengikuti perintah Jordan, ia tau apa yang akan Jordan berikan kepadanya.

Cambukan demi cambukan, seperti biasa.

Clak ....

Satu cambukan berhasil mendarat di punggung Revano. Begitu pedih karena luka bekas cambukan tadi malam masih belum kering.

Sebelum Revano pulang ke rumah Maudy, dia juga sudah mendapatkan cambukan demi cambukan dari Jordan. Namun Revano berhasil kabur, untuk pertama kalinya.

Hal itu memicu kemarahan Jordan.

“Udah berani kabur?” tanya Jordan dengan tangan yang masih mengayunkan cambukan ke punggung Revano.

Revano terpejam menerima rasa sakit yang tiada habisnya.

“Kamu mau lari dari hukuman, Revano?”

Hal bodoh yang Revano lakukan, kabur saat hari dimana ia harus dihukum karena kesalahannya di masa lalu.

Hukuman itu akan selalu ia terima setiap bulan, di tanggal yang sama di mana ia melakukan kesalahan itu.

Dan juga bertepatan disaat ia lahir ke dunia.

Clak ...

Sudah tak terhitung cambukan ke berapa yang mendarat di punggung Revano.

Revano keluar dengan keadaan yang begitu mengenaskan, tubuh yang penuh dengan keringat, dan juga darah yang menetes dari punggungnya.

Saat Revano keluar dari ruang kerja Jordan, Revano melihat Anna, wanita yang dipanggil Mama oleh Revano. Tengah berdiri tidak jauh dari sana.

Wanita itu hanya diam dan menatap Revano, hal itu lebih menyakitkan daripada cambukan yang diberikan Jordan.

Dengan langkah gontai, Revano melangkah masuk ke kamarnya, belum ia sampai ke kasur, tubuhnya terjatuh lemah.

“Maudy .... Peluk aku, kayak dulu saat pertama kamu nemuin aku di belakang sekolah. Peluk aku, sakit ....”


Kembali di mana Revano meminta agar Maudy mengobati luka-luka yang ada di punggungnya.

Maudy baru teringat, hari ini adalah hari di mana Revano ulang tahun. Hari di mana Revano akan menerima hukuman dari sang Papa.

Maudy yang sudah selesai mengobati luka-luka itu, hanya bisa diam dan menahan tangisnya.

Ia tidak tau harus bagaimana.

Revano kembali mengenakan seragam sekolah miliknya, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi mobil.

“Arghh ...” Revano meringis karena sakit dari luka-lukanya.

Namun segera Revano melupakan rasa sakit itu, ia menoleh menatap gadis yang sudah mengobatinya.

“Terima kasih, ya, sayang? Terima kasih selalu ada untuk mengobati luka-luka aku.”

Revano tersenyum, lalu meraih kedua tangan mungil Maudy. Untung saja gadis itu tidak menolak.

“Izinin aku ngomong sebentar, ya?”

Maudy mengangguk.

Revano tersenyum lega saat menerima izin dari Maudy.

“Kalau kamu bahagia dengan kita putus, oke, ayo putus. Tapi ...”

Revano menjeda ucapannya sejenak.

“Siapa yang ngobatin luka aku saat hari ulang tahun aku tiba? Kemana aku harus pulang, saat rumah aku hancur?”

Revano mengusap lembut punggung tangan gadisnya. Sedangkan Maudy berusaha untuk tidak menangis, ketika mendengar kalimat di kalimat yang keluar dari mulut Revano.

“Gema bukan rumah untuk aku pulang. Kamu tau, kan? Dari dulu, jauh sebelum aku kenal kamu, aku jadikan rumah dia sebagai tempat persembunyian saat Papa marah. Dan sampai sekarang aku ngelakuin itu.”

“Kalo gitu kamu jadiin Gema rumah aja, Ren, kamu lebih bahagia, kan?”

Revano menggeleng tidak setuju.

“Gema gak pernah bisa jadi rumah aku, sayang. Dia gak pernah bisa nyembuhin luka-luka aku, gak kayak kamu.”

“Aku bukan dokter.” Maudy benar-benar menginginkan hubungan ini berakhir, walaupun ia tidak sanggup melihat keadaan Revano seperti ini.

“Gema punya ketakutan akan darah, dulu dia pernah hampir jadi korban penculikan dan pembunuhan. Aku sebagai teman laki-laki Gema satu-satunya, Mama Gema nitipin Gema ke aku. Aku udah anggap dia seperti kakak aku sendiri, karena dia lebih tua dari aku.”

Maudy sudah tau hal itu, Revano sudah menceritakannya dulu, saat mereka baru-baru kenal.

“Aku cuman ngejaga dia, gak lebih, aku gak pernah ada perasaan lebih ke dia. I love you, i just love you, Ody.”

Oke. Maudy mengaku kalah, ia tidak sanggup jika ini semua berakhir, ia tidak mau melihat Revano terluka dan melukai dirinya lagi. Ia tidak mau melihat Revano mati konyol nantinya.

Maudy yang sedari tadi menahan agar tidak menangis, kini ia tidak menahannya lagi. Ia menangis sejadi-jadinya.

Revano menarik Maudy ke pelukannya, memeluk gadis itu dengan sangat erat, tidak peduli walau tubuhnya masih terasa sakit.

“Jangan tinggalin aku, ya? Kalo aku salah, pukul aja, nggak apa-apa, tapi jangan tinggalin aku.”

Tw // kekerasan Cw // harsh word

Sekiranya memicu seuatu, tolong ditinggalkan, okkey😉


Revano terbangun saat handphone miliknya tak henti-henti berbunyi.

Dengan kondisi kepala yang masih pusing, tubuh yang begitu sakit dan kedinginan, Revano memaksa agar bisa bangun.

Revano meraih handphone miliknya yang berada di nakas, dengan mata sayu Revano melihat siapa yang meneleponnya di pagi buta.

Papa

Satu nama yang membuat Revano bangun seratus persen. Ia tidak peduli seberapa sakit kepala yang ia alami, seberapa sakit yang tubuhnya rasakan.

*Revano membaca beberapa pesan dari Papa.* Di pesan itu hanya tertulis kata pulang beberapa kali.

Revano teringat sekarang ia sedang berada di rumah Maudy, rumahnya untuk pulang.

Lantas Revano berpikir, kemana ia harus pulang, jika ia sudah berada di rumah?

Tanpa menunggu lagi, Revano bersiap-siap untuk pergi ke rumahnya, bukan pulang.

Terpikir oleh Revano untuk menuliskan sebuah surat. Ia mengeluarkan buku yang ada di tasnya, dan juga novel-novel yang dititipkan Zaidan.

Awalnya Revano tidak tau harus menuliskan apa, jika ia tulis ia harus pulang, maka ia akan menyakiti perasaan Maudy, karena semalam ia baru saja bilang kalau Maudy itu adalah rumah baginya.

Namun Revano dengan bodohnya menuliskan bahwa ia akan pulang ke rumah Gema.


Sesampainya Revano di rumah, ia disambut oleh Jordan Matteo, Papa Revano.

“Ikut saya ke ruang kerja,perintah Jordan, dengan nada begitu datar.

Dengan perasaan campur aduk, Revano mengikuti langkah Jordan.

“Berlutut,” “perintah Jordan ketika mereka sampai di ruang kerjanya.

Tanpa banyak protes Revano mengikuti perintah Jordan, ia tau apa yang akan Jordan berikan kepadanya.

Cambukan demi cambukan, seperti biasa.

Clak ....

Satu cambukan berhasil mendarat di punggung Revano. Begitu pedih karena luka bekas cambukan tadi malam masih belum kering.

Sebelum Revano pulang ke rumah Maudy, dia juga sudah mendapatkan cambukan demi cambukan dari Jordan. Namun Revano berhasil kabur, untuk pertama kalinya.

Hal itu memicu kemarahan Jordan.

“Udah berani kabur?” tanya Jordan dengan tangan yang masih mengayunkan cambukan ke punggung Revano.

Revano terpejam menerima rasa sakit yang tiada habisnya.

“Kamu mau lari dari hukuman, Revano?”

Hal bodoh yang Revano lakukan, kabur saat hari dimana ia harus dihukum karena kesalahannya di masa lalu.

Hukuman itu akan selalu ia terima setiap bulan, di tanggal yang sama di mana ia melakukan kesalahan itu.

Dan juga bertepatan disaat ia lahir ke dunia.

Clak ...

Sudah tak terhitung cambukan ke berapa yang mendarat di punggung Revano.

Revano keluar dengan keadaan yang begitu mengenaskan, tubuh yang penuh dengan keringat, dan juga darah yang menetes dari punggungnya.

Saat Revano keluar dari ruang kerja Jordan, Revano melihat Anna, wanita yang dipanggil Mama oleh Revano. Tengah berdiri tidak jauh dari sana.

Wanita itu hanya diam dan menatap Revano, hal itu lebih menyakitkan daripada cambukan yang diberikan Jordan.

Dengan langkah gontai, Revano melangkah masuk ke kamarnya, belum ia sampai ke kasur, tubuhnya terjatuh lemah.

“Maudy .... Peluk aku, kayak dulu saat pertama kamu nemuin aku di belakang sekolah. Peluk aku, sakit ....”


Tw // kekerasan Cw // harsh word

Sekiranya memicu seuatu, tolong ditinggalkan, okkey😉


Revano terbangun saat handphone miliknya tak henti-henti berbunyi.

Dengan kondisi kepala yang masih pusing, tubuh yang begitu sakit dan kedinginan, Revano memaksa agar bisa bangun.

Revano meraih handphone miliknya yang berada di nakas, dengan mata sayu Revano melihat siapa yang meneleponnya di pagi buta.

Papa

Satu nama yang membuat Revano bangun seratus persen. Ia tidak peduli seberapa sakit kepala yang ia alami, seberapa sakit yang tubuhnya rasakan.

*Revano membaca beberapa pesan dari Papa. Di pesan itu hanya tertulis kata pulang beberapa kali.*

Revano teringat sekarang ia sedang berada di rumah Maudy, rumahnya untuk pulang.

Lantas Revano berpikir, kemana ia harus pulang, jika ia sudah berada di rumah?

Tanpa menunggu lagi, Revano bersiap-siap untuk pergi ke rumahnya, bukan pulang.

Terpikir oleh Revano untuk menuliskan sebuah surat. Ia mengeluarkan buku yang ada di tasnya, dan juga novel-novel yang dititipkan Zaidan.

Awalnya Revano tidak tau harus menuliskan apa, jika ia tulis ia harus pulang, maka ia akan menyakiti perasaan Maudy, karena semalam ia baru saja bilang kalau Maudy itu adalah rumah baginya.

Namun Revano dengan bodohnya menuliskan bahwa ia akan pulang ke rumah Gema.


Sesampainya Revano di rumah, ia disambut oleh Jordan Matteo, Papa Revano.

“Ikut saya ke ruang kerja,perintah Jordan, dengan nada begitu datar.

Dengan perasaan campur aduk, Revano mengikuti langkah Jordan.

“Berlutut,” “perintah Jordan ketika mereka sampai di ruang kerjanya.

Tanpa banyak protes Revano mengikuti perintah Jordan, ia tau apa yang akan Jordan berikan kepadanya.

Cambukan demi cambukan, seperti biasa.

Clak ....

Satu cambukan berhasil mendarat di punggung Revano. Begitu pedih karena luka bekas cambukan tadi malam masih belum kering.

Sebelum Revano pulang ke rumah Maudy, dia juga sudah mendapatkan cambukan demi cambukan dari Jordan. Namun Revano berhasil kabur, untuk pertama kalinya.

Hal itu memicu kemarahan Jordan.

“Udah berani kabur?” tanya Jordan dengan tangan yang masih mengayunkan cambukan ke punggung Revano.

Revano terpejam menerima rasa sakit yang tiada habisnya.

“Kamu mau lari dari hukuman, Revano?”

Hal bodoh yang Revano lakukan, kabur saat hari dimana ia harus dihukum karena kesalahannya di masa lalu.

Hukuman itu akan selalu ia terima setiap bulan, di tanggal yang sama di mana ia melakukan kesalahan itu.

Dan juga bertepatan disaat ia lahir ke dunia.

Clak ...

Sudah tak terhitung cambukan ke berapa yang mendarat di punggung Revano.

Revano keluar dengan keadaan yang begitu mengenaskan, tubuh yang penuh dengan keringat, dan juga darah yang menetes dari punggungnya.

Saat Revano keluar dari ruang kerja Jordan, Revano melihat Anna, wanita yang dipanggil Mama oleh Revano. Tengah berdiri tidak jauh dari sana.

Wanita itu hanya diam dan menatap Revano, hal itu lebih menyakitkan daripada cambukan yang diberikan Jordan.

Dengan langkah gontai, Revano melangkah masuk ke kamarnya, belum ia sampai ke kasur, tubuhnya terjatuh lemah.

“Maudy .... Peluk aku, kayak dulu saat pertama kamu nemuin aku di belakang sekolah. Peluk aku, sakit ....”


Maudy memutar bola matanya malas, saat melihat Revano di samping mobilnya.

Namun mau bagaimana lagi, ia tidak bisa meninggalkan mobil itu di sana, bisa-bisa ia digantung oleh Robert nanti.

Mau tidak mau Maudy harus bertemu dengan laki-laki mengesalkan itu.

“Hai,” sapa Revano ketika Maudy melewatinya.

Maudy masih enggan merespon sapaan laki-laki itu. Gadis itu segera membuka kunci mobilnya, dan hendak masuk ke mobil.

Namun Maudy ditahan oleh tangan kekar Revano.

“Biar aku yang bawa, ya?”

“Aku mau putus,” ucap Maudy mengalihkan pembicaraannya.

Revano tersenyum, namun hatinya terasa sakit saat mendengar ucapan dari gadis itu.

“Aku numpang ke rumah Misel, ya? Temen-temen aku di sana.” Revano memilih untuk tidak menjawab ucapan dari Maudy.

Maudy menghela napas kasar dan mengalah. Ia pikir tidak salah kalau Revano yang mengantarkannya ke rumah Misel, ia bisa mengambil waktu untuk bicara ke Revano di perjalanan nanti.

Selama perjalanan Maudy enggan untuk berbicara, bahkan untuk menatap laki-laki yang ada disampingnya saja tidak mau.

Ia memilih untuk bermain dengan boneka octopus kecil miliknya. Boneka itu dapat berubah ekspresi jika dibalik, Maudy suka memainkan boneka itu jika sedang bersama dengan Revano.

Apalagi saat ia sedang ingin bermanja dengan Revano, namun itu tidak pernah terjadi lagi.

Maudy melemparkan boneka octopus yang menampilkan ekspresi marah ke depannya.

Revano tertawa kecil melihat tingkah Maudy. Menurutnya itu sangat menggemaskan, walaupun ia tau, Maudy sedang marah.

“Aku mau putus.” Lagi-lagi Maudy mengucapkan kalimat menyakitkan itu.

Fokus Revano hampir teralihkan.

“Ayo putus?” Maudy menoleh untuk menatap Revano yang sedang fokus menyetir.

“Kalo kita putus, kamu bebas sama Gema, dia rumah kamu, rumah kamu pulang. Kalo aku cuman tempat singgah, kan?”

Revano bungkam.

“Aku capek, aku kecewa sama diri aku sendiri, aku gak bisa jadiin diri aku sendiri tempat untuk kamu pulang.” Awalnya Maudy tidak berniat untuk menangis, namun itu mustahil.

“Aku gak mau terus menerus gini, aku gak mau kamu terikat sama dua hati, Ren. Lepasin aku, ya?”

Tangisan Maudy semakin menjadi, entah mengapa yang membuat gadis itu terlalu emosional hari ini.

Revano masih dengan egonya, ia tidak menjawab kalimat demi kalimat yang Maudy ucapkan.

Sampai mereka tiba di depan sebuah supermarket. Revano menoleh menatap Maudy yang masih menangis di sana.

Saat tangan Revano hendak meraih wajah gadis itu, dengan kasar gadis itu menepis.

“Mau putus!” Maudy berteriak meluapkan emosi yang sudah lama ia tahan.

Revano menghela napas kasar, lalu menjawab, “Ia putus, tapi obatin aku sebentar, ya?”

Maudy yang tadinya enggan menatap Revano, kini ia menoleh, menatap Revano dengan penuh kebingungan.

Tanpa berbicara lagi, Revano membuka kancing seragam sekolah yang ia kenakan satu persatu.

Maudy mengusap air matanya kasar, ia masih menatap Revano dengan penuh kebingungan.

Saat Revano melepaskan kancing terakhirnya Maudy memekik, “Kamu mau ngapain!” Maudy menoleh membuang muka.

Revano tertawa. Maudy tidak habis pikir, bisa-bisanya laki-laki itu tertawa disaat seperti ini.

“Tolong obatin aku, ya? Aku dipukul Papa lagi.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Maudy tidak berniat untuk menunggu balasan lagi. Ia melempar handphone miliknya ke kursi penumpang, lalu memacu mobilnya kembali.

Setelah memarkirkan mobil, segera Maudy melangkah menuju kelasnya.

Namun seketika ia harus menghentikan langkahnya karena mendengar suara yang begitu keras memanggil namanya.

“Maudy sahabat ku!” teriak Zaidan, mau tak mau Maudy harus membalikkan tubuhnya.

Maudy memutar bola matanya juga, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

“Apa?” tanya Maudy ketika dirinya kini sudah berhadapan dengan Zaidan.

Seperti biasa, Zaidan akan menunjukkan senyuman andalannya sebelum ia berbicara dengan Maudy.

“He he he.” Zaidan tertawa kecil, lalu berkata, “Minjem novel lagi, dong.”

Sontak Maudy menarik napas panjang lalu menghelanya kasar.

“Ya mana ada Zaidan, harusnya lo bilang dong dari kemarin, biar gue bawa. Lagian buat apaan sih novel? Kayak lo rajin baca aja,” jawab Maudy kesal.

Bukannya tersinggung, Zaidan malah menyetujui jawaban dari Maudy barusan.

“Makanya itu, gue mau belajar rajin baca!”

“Harusnya baca buku pelajaran, Zaidan ....” Maudy merasa gemas dengan Zaidan.

“Bukan malah baca novel, kapan pinternya?”

Zaidan memutar bola matanya sebelum menjawab, “Kalo pinter, mah, itu udah jatah lo sama Reno, gue bagian bodohnya aja.”

“Ah, bodo lah, gue mau ke kelas. Nanti chat aja mau minjem judul apa,” ucap Maudy sudah malas melanjutkan percakapannya dengan Zaidan, bisa-bisa ia darah tinggi nantinya.

Segera Maudy membalikkan badan untuk kembali melangkah ke kelas. Namun lagi-lagi ia mendengar teriakan Zaidan.

“Tolong suruh Reno balik ke kelas, ya!”

Maudy terkejut dan kebingungan, Reno? Ke kelas? Apa laki-laki itu ada di kelas Maudy sekarang?

Maudy berpikir itu tidak mungkin terjadi. Pasti Revano lebih memilih menghabiskan waktunya dengan Gema, daripada dengannya.

Gadis itu tidak mengambil serius ucapan Zaidan tadi, namanya aja Zaidan, lebih banyak ngawurnya daripada serius.

Saat Maudy memasuki ruang kelasnya, senyum yang tadi ia kembangkan ke teman-teman yang ada di depan pintu, kini tiba-tiba hilang ketika ia melihat sosok Revano di sana.

Mood Maudy berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat kekasihnya, ah, mantan kekasihnya. Walaupun belum resmi, tapi Maudy akan meresmikannya nanti.

Tak ingin ambil pusing, Maudy tetap melangkah menuju meja miliknya, namun ada yang membuat ia bingung, kemana Misel, mengapa gadis cerewet itu belum tiba. Padahal sebentar lagi sudah mau masuk.

“Pagi Maudy,” sapa Revano dengan senyuman manis dan suara yang begitu lembut.

Maudy tidak goyah, dan tidak boleh goyah. Ia hanya bergumam lalu duduk di kursi milik Misel, mengingat Revano duduk di kursi miliknya.

“Udah sarapan?” Revano kembali bertanya agar mendapatkan perhatian dari Maudy.

Namun gagal, Maudy tidak menjawab. Gadis itu malah bermain dengan handphonenya.

Daripada menjawab pertanyaan dari Revano, Maudy memilih untuk menanyakan dimana keberadaan sahabatnya.

Mau membuka room chat dirinya dengan Misel, lalu mengetik pesan.

Sel, lo gak sekolah? Atau telat?

Pesan itu tak kunjung dibalas, membuat Maudy sedikit dongkol, apalagi suara Revano yang terus mengganggunya.

Ting

Satu notifikasi yang membuat Maudy begitu senang. Maudy mendapatkan sebuah pesan suara dari Misel.

“Ody, gue gak sekolah, gue sakit. Tolong jenguk gue, ya, bawa makanan yang banyak.”

Mendengar pesan suara tersebut membuat mood Maudy semakin berantakan.

Benar-benar hari yang menyebalkan baginya.

“Nanti bareng, ya? Aku aja yang nyetir,” kata Revano kembali bersuara.

Maudy enggan menjawab, ia memilih untuk tetap diam dan mengeluarkan buku dari dalam tasnya.

“Aku gak bawa mobil, jadi nanti kita bareng, ya? Aku anter beli makanan buat Misel juga,” lanjut Revano masih berusaha menarik perhatian gadisnya.

Namun lagi-lagi Revano gagal, untung saja laki-laki itu memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, tapi tidak melebihi tingkat kesabaran, yang Maudy punya untuk menghadapi dirinya.

Mendengar suara bel yang menandakan kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai. Revano menyerah, ia berdiri lalu mengusap pucuk kepala Maudy pelan.

“Semangat belajarnya.”

Maudy Alaska, gadis yang sedang menatap sendu rintik hujan melalui jendela kamarnya. Ia terus menerus mendengar notifikasi masuk, dan ia yakin itu dari Revano, kekasihnya.

Maudy menghela napas kasar, jujur ia lelah. Bukan lelah menghadapi Revano, namun lelah dengan dirinya sendiri.

Tidak tegas, gampang tidak enakan, gampang nangis, terlalu baik, apalagi kepada orang yang ia sayang.

Tring....

Suara notifikasi yang berubah menjadi suara dering telepon, membuat pertahanan Maudy sedikit goyah.

Namun ia tersadar, ia sudah janji kepada dirinya sendiri untuk menyelesaikan hubungannya dengan Revano secepatnya.

Tringg...

Sudah beberapa menit, suara dering telepon itu masih saja terdengar.

Merasa geram Maudy melangkah menuju meja belajarnya, lalu mengangkat telepon masuk dari Revano, dan kembali meletakkannya di meja.

“Thank you, already picked up my phone,” ucap Revano dari balik telepon.

Tidak ada jawaban dari Maudy.

“I need you, i'm here, di depan rumah kamu.”

Mata Maudy membulat sempurna, segera gadis itu masih handphonenya dan berjalan ke luar, menuju jendela yang dapat memperlihatkan depan rumahnya.

Dan benar saja Maudy melihat Revano di depan pagar rumahnya, namun samar-samar karena hujan.

“They don't let me in,” ujar Revano, suaranya terdengar bergetar.

Maudy sudah tau akan hal itu, ia lah yang menyuruh kepada satpam yang menjaga rumahnya, agar tidak mengizinkan Revano masuk seperti biasanya.

Maudy meremas gorden sedikit kasar.

Hug me, please ....”

Air mata yang sedari tadi ia tahan berhasil lolos. Segera Maudy mematikan sambungan teleponnya, ia berlari untuk mencari keberadaan payung di rumahnya.

Setelah mendapat payung itu, ia segera keluar dari rumah.

Sesampainya Maudy di depan pagar rumah, begitu terkejut dirinya saat melihat Revano yang berdiri tanpa ada pelindung diri dari hujan.

“Pak buka pagarnya!” perintah Maudy, ia sedikit berteriak agar terdengar oleh satpam yang ada di sana.

Setelah pagar terbuka, Maudy melangkah dengan langkah sedikit lebar, menghampiri Revano yang sudah basah kuyup.

“Kamu ngapain?” tanya Maudy dengan suara yang dikeraskan.

Revano tersenyum saat melihat Maudy kini ada di hadapannya.

“Pulang,” jawab

“Rumah kamu bukan di sini.”

“Kamu rumah aku.”

Maudy terdiam mendengar jawaban dari Revano. Ia hanya bisa menghela napas.

“Pak tolong bawain motor Reno ke dalam, ya,” suruh Maudy kepada salah satu satpam di sana.

“Baik, Non.”

Maudy membawa Revano yang basah kuyup ke rumahnya, untung saja Ayah Maudy belum pulang, jadi ia tidak akan kena omelan maut dari Ayahnya.

Sesampainya mereka di dalam, Maudy memanggil ART rumahnya untuk membuatkan segelas susu panas untuk Revano.

“Kamu tunggu di situ.” Saat Maudy hendak pergi, Revano menahan tangan Maudy.

“Jangan ke mana-mana,” ucapnya memohon.

“Aku mau ambil selimut, Ren,” jawab Maudy, mau tak mau ia harus melepaskan tangan Revano.

Untung saja laki-laki itu menurut.

Setelah mengambil sebuah selimut berukuran besar dari kamarnya, Maudy kembali menghampiri Revano yang sedang menggigil kedinginan.

Maudy segera menyelimuti tubuh kekar pacarnya itu.

“Ganti baju, ya? Aku udah siapin baju di kamar tamu,” kata Maudy disahut gelengan oleh Revano.

“Peluk.”

Suara serak, bergetar dan raut wajah yang begitu membuat Maudy kasihan dengan Revano.

“Iya, nanti aku peluk, ganti baju dulu, ya?”

Akhirnya Revano menurut, dan mengikuti langkah Maudy ke kamar tamu.

Maudy kini sedang menunggu Revano yang sedang ganti baju di kamar mandi. Gadis itu duduk di atas kasur kamar tamu, menyenderkan tubuhnya di headboard kasur.

Tiba-tiba Maudy kepikiran, apa yang menimpa Revano hingga laki-laki itu rela menunggu di derasnya hujan.

Saat Maudy sedang bergelut dengan pikirannya, pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan Revano di sana.

Maudy tersenyum menyambut laki-laki itu. Namun tiba-tiba ia dibuat terkejut, karena pergerakan Revano yang tiba-tiba merebahkan tubuhnya di kasur dan menjadikan paha Maudy sebagai bantal.

Untuk apa Maudy terkejut karena ini bukan pertama kalinya. Revano akan terus bersikap manja jika ia sedang menghadapi masalah.

Hal itu harus disyukuri, karena sebelum ia mengenal Maudy, Revano memilih untuk menyakiti dirinya sendiri saat ia sedang mendapatkan masalah.

Tangan Maudy tergerak untuk mengusap pelan rambut yang masih basah itu.

“Kenapa?” tanya Maudy pelan dan lembut tak ingin Revano tersinggung.

“Berisik. Kepala aku berisik, rumah berisik.”

Maudy mengangguk paham, ia kembali mengusap rambut Revano.

Usapan demi usapan membuat Revano mengantuk, dan kini ia sudah terlelap di pangkuan Maudy.

Saat Maudy melihat jam yang ada di dinding, ia sedikit terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul satu malam.

Ia yakin pasti Ayahnya sudah pulang.

Perlahan Maudy memperbaiki posisi Revano, tak lupa gadis itu menyelimuti tubuh kekar Revano.

Dengan langkah pelan, Maudy keluar dari kamar tamu, membiarkan Revano istirahat dengan tenang di rumahnya.

Setelah ia keluar, Maudy kembali ragu, apa ia harus izin ke Ayahnya? Atau biarkan saja Revano tidur di rumah tanpa Ayahnya tau.

Maudy yakin Ayahnya tidak akan marah, namun akan mengomel, bukan omelan yang bikin hati Maudy sakit, namun omelan yang bikin Maudy malu.

Pernah sekali saat Ayah pulang lebih cepat, dan mendapatkan Revano yang sedang tidur dipelukan Maudy.

Laki-laki yang dipanggil Ayah oleh Maudy akan mengomel saat Revano pulang.

“Ciee pacarnya tidur sambil dipeluk.”

“Hu hu hu, anak Ayah udah dipeluk orang lain.”

Dan berbagai macam. Sebenarnya lebih ke ejekan, tapi ejekan itu terus menerus diulang sampai keesokan harinya.

“Ah, izin aja, deh.” Maudy melangkah dengan langkah pasti menuju ruang kerja sang Ayah.

Tok tok

Maudy membuka pintu kerja sang Ayah, dan benar saja Ayahnya sedang berada di sana.

“Boleh Ody masuk, Yah?” tanya Maudy meminta izin.

Robert Alaska, Ayah dari Maudy mengangguk. “Sure, come,” balasnya mengizinkan Maudy.

Robert yang tadinya sedang melanjutkan pekerjaan yang ia bawa dari kantor, memilih untuk berhenti sebentar.

“Why? Ada masalah di sekolah?” tanya Robert ketika Maudy menghampirinya.

“Janji jangan marah, ya?”

Robert mengangguk. “Mana mungkin Ayah marah?”

Maudy tertawa kecil lalu mengangguk.

“Ayah, temen Ody nginep, ya?”

Robert tersenyum saat mendengar permintaan izin dari Maudy.

“Temen apa temen?” goda Robert.

“Ihhh, temen, Ayah.”

“Temen atau temen?” Robert kembali menggoda anak gadisnya itu.

“Ayah!”

“Revano,” lirih Maudy pelan.

Tawa Robert lepas membuat Maudy mendecak kesal mendengarnya.

Tawa yang begitu terdengar mengesalkan.

“Okey,” ujar Robert begitu mudah.

Maudy kebingungan, kenapa sang Ayah tidak menanyakan atau marah.

“Ayah gak marah?” tanya Maudy.

“No, kenapa harus marah? Dulu waktu Ayah pacaran sama mama kamu, Ayah juga sering nginep, tuh.”

Maudy mendecak lalu tertawa kecil. “Itu mah beda, kalo Ayah.”

“Beda apanya?”

Maudy menggeleng tidak berani menjawab lagi.

“Nothing, Ayah aku juga minjem baju Ayah buat Reno, ya?”

Robert kembali mengangguk. “Iya, Ody.”

“Yes! Thank you, Ayah!” Maudy yang tadinya duduk di atas meja kerja Robert, kini ia melompat dan berdiri di samping Robert.

“Kalo gitu Ody mau bobo dulu, ya.”

“Bobo nya di kamar sendiri, kan?”

“Iya, dong, gak mungkin sama Reno.”

“Siapa tau, kan, namanya anak muda.”

Maudy tidak tersinggung. Ia malah tertawa, dan disahut tawa juga oleh Robert.

Tidak mungkin Maudy akan tidur bersama dengan Revano, dan tidak akan terjadi.

Maudy Alaska, gadis yang sedang menatap sendu rintik hujan melalui jendela kamarnya. Ia terus menerus mendengar notifikasi masuk, dan ia yakin itu dari Revano, kekasihnya.

Maudy menghela napas kasar, jujur ia lelah. Bukan lelah menghadapi Revano, namun lelah dengan dirinya sendiri.

Tidak tegas, gampang tidak enakan, gampang nangis, terlalu baik, apalagi kepada orang yang ia sayang.

Tring....

Suara notifikasi yang berubah menjadi suara dering telepon, membuat pertahanan Maudy sedikit goyah.

Namun ia tersadar, ia sudah janji kepada dirinya sendiri untuk menyelesaikan hubungannya dengan Revano secepatnya.

Tringg...

Sudah beberapa menit, suara dering telepon itu masih saja terdengar.

Merasa geram Maudy melangkah menuju meja belajarnya, lalu mengangkat telepon masuk dari Revano, dan kembali meletakkannya di meja.

“Thank you, already picked up my phone,” ucap Revano dari balik telepon.

Tidak ada jawaban dari Maudy.

“I need you, i'm here, di depan rumah kamu.”

Mata Maudy membulat sempurna, segera gadis itu masih handphonenya dan berjalan ke luar, menuju jendela yang dapat memperlihatkan depan rumahnya.

Dan benar saja Maudy melihat Revano di depan pagar rumahnya, namun samar-samar karena hujan.

“They don't let me in,” ujar Revano, suaranya terdengar bergetar.

Maudy sudah tau akan hal itu, ia lah yang menyuruh kepada satpam yang menjaga rumahnya, agar tidak mengizinkan Revano masuk seperti biasanya.

Maudy meremas gorden sedikit kasar.

Hug me, please ....”

Air mata yang sedari tadi ia tahan berhasil lolos. Segera Maudy mematikan sambungan teleponnya, ia berlari untuk mencari keberadaan payung di rumahnya.

Setelah mendapat payung itu, ia segera keluar dari rumah.

Sesampainya Maudy di depan pagar rumah, begitu terkejut dirinya saat melihat Revano yang berdiri tanpa ada pelindung diri dari hujan.

“Pak buka pagarnya!” perintah Maudy, ia sedikit berteriak agar terdengar oleh satpam yang ada di sana.

Setelah pagar terbuka, Maudy melangkah dengan langkah sedikit lebar, menghampiri Revano yang sudah basah kuyup.

“Kamu ngapain?” tanya Maudy dengan suara yang dikeraskan.

Revano tersenyum saat melihat Maudy kini ada di hadapannya.

“Pulang,” jawab

“Rumah kamu bukan di sini.”

“Kamu rumah aku.”

Maudy terdiam mendengar jawaban dari Revano. Ia hanya bisa menghela napas.

“Pak tolong bawain motor Reno ke dalam, ya,” suruh Maudy kepada salah satu satpam di sana.

“Baik, Non.”

Maudy membawa Revano yang basah kuyup ke rumahnya, untung saja Ayah Maudy belum pulang, jadi ia tidak akan kena omelan maut dari Ayahnya.

Sesampainya mereka di dalam, Maudy memanggil ART rumahnya untuk membuatkan segelas susu panas untuk Revano.

“Kamu tunggu di situ.” Saat Maudy hendak pergi, Revano menahan tangan Maudy.

“Jangan ke mana-mana,” ucapnya memohon.

“Aku mau ambil selimut, Ren,” jawab Maudy, mau tak mau ia harus melepaskan tangan Revano.

Untung saja laki-laki itu menurut.

Setelah mengambil sebuah selimut berukuran besar dari kamarnya, Maudy kembali menghampiri Revano yang sedang menggigil kedinginan.

Maudy segera menyelimuti tubuh kekar pacarnya itu.

“Ganti baju, ya? Aku udah siapin baju di kamar tamu,” kata Maudy disahut gelengan oleh Revano.

“Peluk.”

Suara serak, bergetar dan raut wajah yang begitu membuat Maudy kasihan dengan Revano.

“Iya, nanti aku peluk, ganti baju dulu, ya?”

Akhirnya Revano menurut, dan mengikuti langkah Maudy ke kamar tamu.

Maudy kini sedang menunggu Revano yang sedang ganti baju di kamar mandi. Gadis itu duduk di atas kasur kamar tamu, menyenderkan tubuhnya di headboard kasur.

Tiba-tiba Maudy kepikiran, apa yang menimpa Revano hingga laki-laki itu rela menunggu di derasnya hujan.

Saat Maudy sedang bergelut dengan pikirannya, pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan Revano di sana.

Maudy tersenyum menyambut laki-laki itu. Namun tiba-tiba ia dibuat terkejut, karena pergerakan Revano yang tiba-tiba merebahkan tubuhnya di kasur dan menjadikan paha Maudy sebagai bantal.

Untuk apa Maudy terkejut karena ini bukan pertama kalinya. Revano akan terus bersikap manja jika ia sedang menghadapi masalah.

Hal itu harus disyukuri, karena sebelum ia mengenal Maudy, Revano memilih untuk menyakiti dirinya sendiri saat ia sedang mendapatkan masalah.

Tangan Maudy tergerak untuk mengusap pelan rambut yang masih basah itu.

“Kenapa?” tanya Maudy pelan dan lembut tak ingin Revano tersinggung.

“Berisik. Kepala aku berisik, rumah berisik.”

Maudy mengangguk paham, ia kembali mengusap rambut Revano.

Usapan demi usapan membuat Revano mengantuk, dan kini ia sudah terlelap di pangkuan Maudy.

Saat Maudy melihat jam yang ada di dinding, ia sedikit terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul satu malam.

Ia yakin pasti Ayahnya sudah pulang.

Perlahan Maudy memperbaiki posisi Revano, tak lupa gadis itu menyelimuti tubuh kekar Revano.

Dengan langkah pelan, Maudy keluar dari kamar tamu, membiarkan Revano istirahat dengan tenang di rumahnya.

Setelah ia keluar, Maudy kembali ragu, apa ia harus izin ke Ayahnya? Atau biarkan saja Revano tidur di rumah tanpa Ayahnya tau.

Maudy yakin Ayahnya tidak akan marah, namun akan mengomel, bukan omelan yang bikin hati Maudy sakit, namun omelan yang bikin Maudy malu.

Pernah sekali saat Ayah pulang lebih cepat, dan mendapatkan Revano yang sedang tidur dipelukan Maudy.

Laki-laki yang dipanggil Ayah oleh Maudy akan mengomel saat Revano pulang.

“Ciee pacarnya tidur sambil dipeluk.”

“Hu hu hu, anak Ayah udah dipeluk orang lain.”

Dan berbagai macam. Sebenarnya lebih ke ejekan, tapi ejekan itu terus menerus diulang sampai keesokan harinya.

“Ah, izin aja, deh.” Maudy melangkah dengan langkah pasti menuju ruang kerja sang Ayah.

Tok tok

Maudy membuka pintu kerja sang Ayah, dan benar saja Ayahnya sedang berada di sana.

“Boleh Ody masuk, Yah?” tanya Maudy meminta izin.

Robert Alaska, Ayah dari Maudy mengangguk. “Sure, come,” balasnya mengizinkan Maudy.

Robert yang tadinya sedang melanjutkan pekerjaan yang ia bawa dari kantor, memilih untuk berhenti sebentar.

“Why? Ada masalah di sekolah?” tanya Robert ketika Maudy menghampirinya.

“Janji jangan marah, ya?”

Robert mengangguk. “Mana mungkin Ayah marah?”

Maudy tertawa kecil lalu mengangguk.

“Ayah, temen Ody nginep, ya?”

Robert tersenyum saat mendengar permintaan izin dari Maudy.

“Temen apa temen?” goda Robert.

“Ihhh, temen, Ayah.”

“Temen atau temen?” Robert kembali menggoda anak gadisnya itu.

“Ayah!”

“Revano,” lirih Maudy pelan.

Tawa Robert lepas membuat Maudy mendecak kesal mendengarnya.

Tawa yang begitu terdengar mengesalkan.

“Okey,” ujar Robert begitu mudah.

Maudy kebingungan, kenapa sang Ayah tidak menanyakan atau marah.

“Ayah gak marah?” tanya Maudy.

“No, kenapa harus marah? Dulu waktu Ayah pacaran sama mama kamu, Ayah juga sering nginep, tuh.”

Maudy mendecak lalu tertawa kecil. “Itu mah beda, kalo Ayah.”

“Beda apanya?”

Maudy menggeleng tidak berani menjawab lagi.

“Nothing, Ayah aku juga minjem baju Ayah buat Reno, ya?”

Robert kembali mengangguk. “Iya, Ody.”

“Yes! Thank you, Ayah!” Maudy yang tadinya duduk di atas meja kerja Robert, kini ia melompat dan berdiri di samping Robert.

“Kalo gitu Ody mau bobo dulu, ya.”

“Bobo nya di kamar sendiri, kan?”

“Iya, dong, gak mungkin sama Reno.”

“Siapa tau, kan, namanya anak muda.”

Maudy tidak tersinggung. Ia malah tertawa, dan disahut tawa juga oleh Robert.

Tidak mungkin Maudy akan tidur bersama dengan Revano, dan tidak akan terjadi.