80
Di sinilah Maudy sekarang, di pingging pembatas jembatan. Sedang menikmati angin siang yang begitu tidak menyehatkan. Namun hal itu begitu menenangkan bagi Maudy.
Hari ini hari yang paling menyakitkan baginya, melihat posisinya yang sudah tergantikan oleh orang lain, dan juga hubungannya yang sudah selesai.
Maudy memang belum seoenuhnya rela melepaskan Revano. Bagi Maudy Revano tidak sepenuhnya jahat. Revano juga pernah bersikap baik sebagai pacar, tapi hal itu terjadi jika laki-laki itu baru saja melakukan kesalahan. Maka dia akan melakukan segala cara agar tidak kehilangan Maudy.
Saat tadi Maudy hendak pergi ke taman belakang, dimana biasanya Revano menghabiskan waktunya jika sedang bersedih, dan tempat dimana pertama kali Maudy bertemu dengannya.
Biasa Revano hanya sendiri di sana, sampai Maudy datang dan memeluknya. Namun tadi dengan mata kepalanya sendiri, Maudy melihat Gema berada di sana.
“Ternyata segitunya kamu gak mau kehilangan Gema, Ren.” Maudy bermonolog sambil berusaha untuk tetap tenang.
“Kok bisa, ya, kamu sesayang itu sama dia. How about me?”
Maudy meraih gantungan tas miliknya yang berbentu boneka rillakuma. Boneka yang sama seperti yang akan ia berikan kepada Revano, namun sayangnya boneka itu tidak sampai ke tangan Revano.
Dengan tatapan sendu Maudy menatap gantungan yang ada di tangannya. “Aturannya aku gak ke taman belakang waktu hari pertama sekolah.”
Tangan Maudy hendak melepaskan gantungan kecil itu ke sungai yang ada di bawahnya.
“Kira-kira boneka itu bisa berenang, gak, ya?” tanya seorang laki-laki stranger, yang entah kapan sudah ada di sana.
Gantungan kecil itu tidak jadi Maudy buang saat mendengar suara laki-laki bertanta disampingnya. Dengan raut wajah penuh tanya, Maudy menoleh dan bertanya, “Sorry, lo siapa?”
Laki-laki yang ada di samping Maudy tersenyum, ia merubah posisinya menjadi lurus ke depan, dan meletakkan kedua tangannya di pagar jembatan.
Merasa tidak direspon, Maudy kembali bertanya, “Halo, lo gak tuli, kan?”
Yang ditanya hanya tertawa kecil, lalu menoleh menatap mata Maudy yang penuh tanya.
Maudy sedikit takjub saat laki-laki itu menatapnya. Karena senyum yang begitu ramah, dan mata yang begitu indah.
“Gue pernah denger dari seseorang ....” Laki-laki itu menjeda ucapannya, karena ia hendak mengubah posisinya menjadi menyandarkan tubuh ke pagar jembatan.
“Kalo udah bertemu satu kali, pasti bakal ketemu kedua kali. Takdir namanya,” sambungnya.
Tidak paham dengan yang laki-laki itu katakan, Maudy hanya bisa mengerutkan keningnya.
“Mahen, nama lengkapnya Mahendra Aidan,” ucap laki-laki yang bernama Mahen itu.
Mahen mengulurkan tangannya mengajak Maudy berkenalan. Sedikit ragu Maudy tetap meraih tangan Mahen.
“Maudy, nama lengkapnya Maudy Alaska,” balas Maudy yang juga memperkanalkan dirinya.
Tautan kedua tangan mereka terlepas oleh Maudy.
“Tangannya udah sembuh? kenapa gipsnya udah dilepas?” Pertanyaan yang begitu tiba-tiba membuat Maudy terkejut.
Mahendra adalah laki-laki yang baru saja ia temui, sedangkan tangannya digips sudah dari minggu lalu. Kini Maudy merasa aneh dan takut, ia bahkan mengira Mahen adalah seorang stalker.
“Satu minggu yang lalu gue gak sengaja nemuin cewek yang duduk di jalanan waktu hujan. Waktu gue tanya, dia ngejawab dengan tatapan kosong, katanya habis ditabrak lari sama mobil.”
Mahen adalah orang yang menolong Maudy pada saat itu, wajar jika ia mengenal Maudy.
Ingatan satu minggu yang lalu kembali terputar dengan jelas. Maudy sontak menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Ia benar-benar tidak menyangka, akan bertemu kembali dengan sang penyelamatnya pada malam itu.
“Jadi lo yang nolomgin gue?” tanya Maudy kembali memastikan, karena ia masih tidak percaya.
Mahen mengangguk pelan. “Iya. Gue rada kaget waktu balik dari toilet ngelihat lo udah gak ada di IGD. Tapi gue lega ternyata udah ada keluarga lo yang datang.”
Maudy masih tidak menyangka. Semua pikiran buruk mengenai Mahen segera Maudy hilangkan dari pikirannya. Mahen bnar benar orang baik.
“Thank you! Gue gak tau kalo lo gak ada, Hen,” ujar Maudy.
Maudy megucapkan kata terima kasih berkali-kali, ia bahkan tiba-tiba melupakan kesedihannya.
“Ternyata lo masih sekolah, ya.”
“Emang lo?”
“Gue udah semester lima, Mau,” jawab Mahen yang lagi-lagi membuat Maudy terkejut.
“Sorry, kak,” sesal Maudy karena tutur bahasanya yang sangat tidak sopan.
“Santai. Lo lagi galau? Putus ya sama pacarnya?”
Maudy tak habis pikir, bagaimana Mahen bisa benar dengan segala tebakannya.
“Kenapa tiba-tiba bilang gitu?” tanya Maudy penasaran.
Mahen kembali mengubah posisinya seperti awal, meletakkan kedua tangannya di pagar jembatan.
“Kata seseorang kalo lagi di sini, pasti lagi ada masalah. Masalah itu biasanya sama pasangannya.” Mahen tersenyum saat mengucapkan kalimat itu.
Maudy mengangguk pelan. “Kalo gitu lo juga, ya, Kak?”
Mahen menggeleng. “Gue gak ada masalah, cuman lagi pengen ke sini aja, dimana gue ketemu seseorang itu. Setidaknya dengan mengingat kembali masa-masa itu, gue kembali merasa dia ada di dekat gue.”
Firasat Maudy mengatakan sesuatu yang buruk, Maudy jadi tidak tau harus merespon seperti apa.
“Sorry jadi curhat,” sambung Mahen.
Segera Maudy menggeleng. “Nggak apa-apa, kok. Eum, sorry kalo boleh tau seseorang itu .... udah gak ada, ya?” Maudy bertanya dengan begitu hati-hati.
“Maksudnya put-”
“Dia ada,” potong Mahen, seraya menoleh untuk menatap Maudy. Maudy menjadi takut dan membuatnya salah tingkah.
“Tapi serasa jauh.”
Maudy tersenyum, menduga apa yang dirasakan Mahen sekarang seprtinya sama kayak yang ia rasakan.
“Sama kayak Reno,” lirih Maudy. “Dia ada di dekat gue tapi serasa jauh.”
“Revano jahat, ya, ke lo?”
pertanyaan yang begitu tiba-tiba kembali membuat Maudy heran. Maudy hanya mengucapkan Reno, lantas darimana Mahen mengetahui nama Revano.
Melihat ekspresi Maudy, Mahen tertawa. “Gue tau dari surat yang ada di boneka, lo. Untung aja suratnya gak basah.”
Ah! Boneka. Maudy berusaha dengan keras menjaga boneka itu agar tidak basah terkena hujan saat itu, walaupun keadaannya begitu menyendihkan.
“Bonekanya udah lo buang, ya, kak?”
“Nggak, kata siapa? udah gue kasih ke Revano di malam yang sama.”