Panglimakun

“how many agent survive,” tanya Johnny.

“Seven,” jawab Travist.

“Good.”

“Seven agent.”

“Apa kita akan bebas?” tanya Yuki yang sedang fokus dengan game di laptopnya.

Keenam agent lain yang berada di ruangan yang sama, serentak menoleh menatap Johnny.

“Regular Agent akan tetap bersama.”

Regular agent (search)

███████

0%

▓▓█████

35%

▓▓▓▓▓▓█

90%

▓▓▓▓▓▓▓

Search Complete!

Who are they !

Dibentuk ilegal dibawah tanggung jawab “big bos.” Tanpa ada satupun dari mereka yang mengetahui siapa orang dibalik big bos.

Penculikan, perdagangan manusia, pasar gelap, penjualan organ tubuh ilegal, penipuan, penipuan.

Hanya itu yang mereka lakukan dari dulu sampai sekarang.

Read more

tw // harsh word tw // abusive tw // kekerasan , blood

Tolong sekiranya akan mentrigger, silahkan keluar, ya.


Valen tidak membalas pesan Atha lagi, ia merasa bersalah karena saat gadisnya sedang butuh dirinya, tapi ia hanya bisa mengandalkan orang lain.

“Arghh.” Valen meringis saat kapas menyentuh pinggir bibirnya.

Valen sedang berusaha untuk menutup lukanya. Luka yang diperoleh dari Jayden, papa kandungnya sendiri.

2 Jam yang lalu Valen sedari tadi hanya fokus dengan buku-buku yang ada dihadapannya.

Ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar karena gugup dan takut. Setelah mengetahui kalau sang papa tau nilai ulangannya turun, namun Valen tidak bisa melakukan banyak hal selain diam di kamar.

Bahkan yang tadi otaknya berfungsi dengan sempurna, kini tiba-tiba berhenti dan hanya memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Tubuh Valen benar-benar membeku saat mendengar pintu kamarnya terbuka, sudah dapat dipastikan itu Jayden ; papa Valen.

“Saya bukan monster, kamu tidak perlu takut.” Bahkan hanya mendengar suaranya membuat darah Valen membeku di dalam sana.

Valen tertegun karena Jayden yang kini sudah berada di belakangnya, meletakkan tangan kanannya pada pundak kanan Valen.

“Apa kamu benar-benar belajar selama ini, Valen?” tanya Jayden dengan suara yang begitu mengintimidasi.

Anggukan cepat dilakukan oleh Valen. “Iya, pa,” jawab Valen.

Jayden mengangguk dan menepuk-nepuk pundak Valen perlahan.

“Tapi kenapa hasil ulangan matematika bulan ini sembilan puluh delapan?”

Valen tertegun. Ia tidak tau darimana Jayden mengetahui hal itu, padahal Valen sudah menutupinya rapat-rapat.

“Valen melakukan kesalahan, pa.”

“Bagus kamu sadar— kamu tau, kan? Saya tidak suka kalau kamu berbuat salah?”

Valen menjawab hanya dengan anggukan, ia menggenggam kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja, lalu ia memejamkan kedua matanya seakan siap dan tau dengan apa yang akan terjadi nanti.

Ctar...

Tali pinggang yang sudah Jayden lepaskan dari celananya, kini sudah berhasil membuat luka di punggung Valen.

“Kenapa kamu ngelakuin itu, Valen.”

Ctar...

“Maaf, pa.”

Ctarr...

“Kata maaf tidak bikin nilai kamu sempurna.”

“Valen akan memperbaikinya, pa.”

Jayden menghentikan aktivitasnya, ia kembali memakai tali pinggang tersebut.

“Bagus— lalu kenapa kamu buat anak saya menangis?”

Sudah Valen duga, pasti Alea akan mengadu kepada Jayden dan menangis melebih-lebihkan.

“Valen minta maaf, pa.”

“Anak saya cuman mau berbagi cerita kepada kamu, bahkan anak saya membelikan makanan kesukaan kamu, kenapa kamu begitu jahat kepada anak saya?”

“Valen bukan tidak mau, pa. Valen lagi belajar.”

“Sekali lagi saya melihat anak saya menangis karena kamu, habis kamu!”

Jayden meninggalkan Valen kembali sendirian di kamarnya.

Valen sama sekali tidak menangis atau marah, buka karena tidak sakit, namun menangis tidak ada gunanya.

Dan hal itu sudah biasa terjadi, pukulan, hinaan, kemarahan, dari Jayden sudah biasa ia terima.

Ia tidak menangis hanya saja hatinya terasa sangat sakit. Apalagi saat mendengar Jayden menyebutkan Alea dengan sebutan anak saya.

Valen juga menginginkan hal itu.


Valen sudah terbiasa mendapatkan kekerasan dari Jayden. Jika ia tidak bisa mendapatkan hasil yang sempurna, maka habislah ia ditangan Jayden.

Selain itu Valen juga tidak boleh melakukan kesalahan, seakan-akan kesalahan yang Valen lakukan adalah dosa yang sangat besar.

“Seandainya Valen terlahir sebagai anak kandung papa, pasti papa sayang ke Valen. Sama seperti papa sayang ke Ale dan kak Lauren, kan?”

Valen menghela nafas kasar. Dengan keadaan tubuh yang masih lemah dan sakit ia berdiri.

Berjalan menuju meja belajarnya. Tidak ada waktu untuk Valen mengeluh apalagi bermalas-malasan.

Besok masih ada jadwal ulangan fisika, Valen harus mendapatkan hasil yang sempurna.

Valen kembali menghidupkan laptopnya, lalu mengambil buku-buku yang ia perlukan.

Dengan rasa sakit fisik dan batin, Valen terus belajar.

Saat sedang menunggu bus di dekat sekolah, tanpa sengaja Atha melihat beberapa mobil berhenti di sebuah gedung kosong di dekat sekolahnya.

Konon katanya gedung itu tidak ada yang pernah berani memasuki gedung itu, tapi Atha tidak tau alasannya apa.

Atha tak sengaja melihat seorang perempuan cantik yang baru turun dari mobil itu.

Namun pandangan Atha buram, karena posisi gedung itu cukup jauh dari posisi Atha.

Tapi Atha sadar dan seperti mengenali sosok perempuan itu.

“Itu kakaknya kak Valen? Siapa ya namanya, Lawa, loak, ah! Kak Lauren!”

Atha dibuat heran, ada apa kakaknya Valen tiba-tiba saja ke sana, dan memasuki gedung tua itu.

“Ikutin ah!”

Tanpa ragu Atha kembali berjalan menuju gedung tua itu. Dan tanpa sadar Atha baru saja melewati bus terakhir yang menuju ke rumahnya.

Saat Atha sudah berada di depan gerbang gedung tua itu, Atha sedikit ragu untuk masuk. Namun hatinya terus berkata ia, hal itu membuat kakinya terus berjalan dan kini ia sudah berada di depan pintu gedung tua yang terbuka dengan sangat lebar.

Atha bersembunyi di belakang tong minyak besar yang berada di samping pintu masuk gedung. Gadis itu masih bisa mendengar dan melihat secara samar kegiatan yang ada di dalam gedung.

“Kak Malvin!” pekik Atha namun dengan suara kecil. Ia segera menutup mulutnya agar tidak ketahuan.

Mata Atha bahkan berhenti berkedip karena terkejut dengan pemandangan yang ia lihat sekarang.

“Empat orang yang berada di toilet pada saat Valen di bully, bu. Ini cctvnya,” kata Jinan seraya memperlihatkan rekaman cctv yang telah ia ambil dari sekolah.

Lauren menatap Malvin dan ketiga temannya yang kini sudah berlutut dihadapannya dengan tangan yang sudah terikat.

“Modelan begini berani sama adik saya?”

“Siapa anda!” tanya Malvin sedikit berteriak.

Wajah Malvin sudah babak belur karena sebelumnya mereka sudah terlibat perkelahian dengan bodyguard Lauren.

“Menurut kamu? Urus mereka,” perintah Lauren tegas, lalu ia sedikit memundurkan tubuhnya.

“Hidung mengeluarkan darah, kaki patah, benturkan kepalanya. Buat hal yang setimpal dengan apa yang adik saya rasakan.”

“Siap, Bu!”

“Saya akan melaporkan kamu ke ayah saya!” ancam Malvin saat tubuhnya diangkat oleh salah satu bodyguard Lauren.

Lauren tertawa meremehkan. “Apa tanggapan CEO Marvo company saat tau anaknya seorang perundung?”

Malvin tertegun saat mendengar Lauren mengetahui siapa ayahnya. Kini ia benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Selain pasrah menerima siksaan dari para bodyguard Lauren.

Dari jauh Atha menangis saat melihat hal itu, tubuhnya bergetar, dadanya terasa sesak. Ia salah sudah melangkah dan menyaksikan semuanya, gadis kecil itu membuat luka lamanya kembali terluka.


Setibanya Valen di rumah, ia mendapati Jayden yang sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah rumah keluarga Shaw.

Dengan penuh ketakutan, ia memberanikan diri mendekati Jayden.

“Pa, saya terpilih menjadi perwakilan peserta olimpiade fisika tingkat nasional, mewakili Jakarta.”

Tidak ada jawaban dari Jayden, laki-laki tua itu masih fokus dengan kerjaannya.

“Valen akan membuktikan bahwa Valen bisa, pa. Valen akan membuat papa bangga.”

Jayden tertawa, bukan kerena lucu. Namun menertawakan keberanian Valen yang dianggap hal bodoh baginya.

Jayden menutup laptopnya dan melepas kacamata yang ia kenakan.

“Kamu fikir saya akan muji kamu? 'wah anak saya membanggakan sekali, saya sangat bangga, semangat ya jagoan saya.' Jangan pernah kamu bayangkan, karena hal itu tidak akan pernah terjadi.”

Valen tersenyum miris, namun ia menerima kenyataan itu, tujuan Valen bukan untuk dipuji namun ia berharap untuk diakui.

“Valen tau, pa.”

“Bagus. Dan kamu harus tau, tanggung jawab kamu lebih besar, kalau kamu kalah maka siap-siaplah. Bukan hanya cambukan, tapi saya bisa saja menjahit mulut kamu itu.”

Jayden beranjak meninggalkan Valen. Valen tertegun dengan ancaman dari Jayden.

Namun tiba-tiba dia teringat akan satu hal, Atha! Ia melupakan gadis itu.

Valen mengeluarkan handphone dari saku celananya. Saat ia hendak menelepon Atha dan menanyakan keberadaan gadis itu, ia dikejutkan dengan pesan masuk dari Naren.

“Sini aku buka helmnya,” ucap Valen saat melihat Atha hendak membuka helm yang ada di kepalanya.

Tanpa penolakan Atha mendekat ke Valen yang masih di atas motor.

Setelah melepas helm Atha, Valen merapikan rambut Atha, membuat Atha tersipu malu.

“Berantakan rambutnya,” kata Valen.

“Kamu rapiin rambut aku, tapi hati aku yang berantakan,” sahut Atha.

Atha yang menyadari apa yang baru saja ia katakan, dengan segera membalikkan badannya karena malu.

Melihat Atha yang malu karena perkataannya sendiri, Valen terkekeh. Ia segera turun dari motor, tidak lupa ia membawa helm miliknya dan juga Atha, karena bahaya jika ditinggal di sana.

“Ada yang saling nih, yeee,” goda Valen seraya berdiri di samping Atha.

“Udah ih, malu!” Protes Atha tegas dengan muka yang merah padam.

“Ha ha ha, yaudah ayo masuk.”

“Kak, kakak gak malu?”

Valen mengernyit heran dengan pertanyaan yang dilontarkan Atha barusan.

“Malu?”

Atha mengangguk, ia menunjuk hidung Valen, lalu memegang hidungnya sendiri.

“Plaster Frozen di hidung, kak Valen,” katanya menjelaskan pertanyaannya tadi.

Valen yang sudah paham menjawab dengan gelengan pelan. “Enggak.”

“Ah!” Seru Atha teringat akan sesuatu. “Atha punya plaster coklat, sini Atha ganti.”

Atha baru saja hendak melepaskan plaster yang ada di hidung Valen. Namun Valen dengan cepat menepis tangan Atha sedikit kasar, membuat Atha kaget.

“Sorry— Tapi jangan diganti, ini dari adik aku.”

Atha terdiam merasa bersalah. Ia merutuki dirinya sendiri dalam diam.

“Maaf, kak.”

“Nggak apa-apa, maaf aku kasar jadinya.”

“Ah, enggak kok! Akunya aja gak sopan, he he he. Ayo masuk.”

Atha berjalan terlebih dahulu mendahului Valen, sebelum itu ia meraih helm miliknya yang ada di tangan Valen tadinya.

Valen sempat terdiam merasa bersalah kepada gadis yang sudah berjalan di depannya.

Segera Valen menyusul Atha agar tidak ketinggalan, karena langkah gadis itu lumayan besar dan cepat.

Selama perjalan tidak ada percakapan, yang biasanya Atha akan mengoceh namun sekarang hening dan terasa canggung.

Sampai keduanya tiba di depan kelas Atha yang masih di lantai satu. Atha membalikkan badannya menatap Valen.

“Terima kasih, ya, kak. Udah mau anter Atha.”

“Sama-sama, maaf soal tadi.”

“Iya, Atha juga minta maaf karena gak sopan.”

Suasana di kantin sedikit gaduh karena ada Valen dan ketiga temannya di sana. Ini hal yang jarang terjadi, biasanya hanya ada Naren, Rangga dan Haydan. Sedangkan Valen lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan atau ruang osis.

“Lo gak kerasukan, kan?” Rangga kembali bertanya pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang tadi ia tanyakan dari kelas.

“Hm,” jawab Valen dengan gumaman.

“Ya lagian bagus Valen mau ke kantin, jadi gue bisa lihat cewe-cewe dari dekat. Ya, gak neng,” kata Haydan seraya menggoda satu murid perempuan yang beradda tidak jauh dari hadapannya.

Murid perempuan itu bergidik ngeri. “Dih, jijik.”

“Dih, ngaca.”

“Lo beneran nggak apa-apa, kan, Val?” tanya Naren yang duduk di kursi di hadapan Valen berdampingan dengan Rangga. “Maksud gue tuh, lagian lo aneh, tiba-tiba gini,” tambahnya.

Valen menyeruput jus yang sudah di pesan Haydan sebelumnya, lalu ia menjawab, “Gue cuman mau nikmatin masa remaja sama sahabat-sahabat gue, gak boleh?” Valen tersenyum lebar.

Namun terasa aneh bagi Naren dan Rangga.

“Kalo gak boleh, biar gue pergi nih.” Saat Valen hendak berdiri ia segera ditahan, tentu saja Valen membalasnya dengan tertawa.

Kini suasana kantin kembali kondusif, sampai tiba-tiba kembali ribut karena kehadiran sosok Malvin yang ada saja tingkahnya.

“Perhatian perhatian!” Itu bukan suara Malvin melainkan suara Farrel sahabat dekat Farrel, yang selalu ada di samping Malvin dimanapun Malvin berada.

“Wow ada bang jago yang udah menunjukkan dirinya ke kantin, nih.” Malvin bersuara cukup keras.

Valen melamparkan tatapan kebingungan ke ketika sahabatnya, seakan bertanya apa yang sedang terjadi, namun ketiga sahabatnya itu hanya menjawab dengan gelengan.

Valen merasakan seseorang menepuk pundaknya, siapa lagi kalau bukan Malvin. Kini Valen sadar dan tahu apa yang akan terjadi. Karena risih Valen dengan cepat menepis tangan Malvin dari pundaknya.

“Wow, biasa aja dong, bro,” kata Malvin tidak terima.

Valen tidak menjawab, ia memilih untuk diam dan tidak terpancing, bisa habis kalau kejadian kemarin kembali terulang, bisa-bisa ia tinggal tulang di rumah nanti.

Merasa gagal memancing emosi Valen, Malvin merasa kesal. Ia segera menaiki meja yang ada di hadapan Valen dkk. Kini semua fokus para murid tertuju kepada Malvin.

“Lo pada mau tau, gak? Bang jago yang lo pada idam-idamkan ini kemarin nantang gue. Malvin! Si panglima tempur yang disegani banyak sekolah di Jakarta!” Malvin berteriak memberikan informasi yang tidak penting itu.

Valen tertawa sinis ia kembali meminum jus miliknya, agar kepalanya tidak terasa panas.

Lagi-lagi Malvin kesal karena tidak berhasil memancing emosi Valen. Namun Malvin adalah Malvin, ia masih menyimpan seribu cara agar Valen terpancing.

“Dan kalian tau apa? Dia gak datang dong, ha ha ha.”

Tidak ada yang tertawa selain teman-teman Malvin yang sama anehnya seperti dia.

“Cupu ya, lo ternyata, emang kodratnya ketua osis tuh cupu, bodoh!”

“Turun,” tegas Valen tanpa menatap Malvin.

“Wih bersuara juga nih, abang jago.”

“Turun saya bilang!” tegas Valen kini matanya menatap Malvin dengan tatapan tajam.

“Gak!”

“Turun!” Bukan Valen, melainkan Bina salah satu murid perempuan yang lumayan dekat dengan Valen, ia dan kedua temannya sedari tadi menyaksikan kejadian konyol itu. “Dia udah bilang turun, kan? Paham? Kalo enggak mending keluar dari sekolah jangan bodoh!”

Bina mendekat ke Valen. “Val, gue dapet chat dari pak Dipta katanya lo disuruh ke ruangannya, bareng gue,” kata perempuan berambut panjang nan cantik itu.

Tanpa memperdulikan apa-apa lagi, Valen menuruti Bina, kini mereka berjalan berbarengan meninggalkan kantin aneh itu.

Valen benar-benar tidak memperhatikan sekitar, bahkan ia tidak menyadari saat dirinya melewati Atha yang baru saja tiba di kantin.

“Wait .... Your boyfriend, Atha!” sentak Macha atau yang sering dipanggil maca.

Atha tidak langsung menjawab, pandangannya masih terfokus ke Valen yang semakin menjauh. Dadanya tiba-tiba terasa sakit, saat melihat Valen.

“With kak Bina! mantan dia! omo!”

Maca menoleh ke Atha yang masih diam mematung, sedikit kesal Maca menggoyangkan tubuh Atha.

“Halo, Athalia, lo denger kan?”

“Denger kok.”

“Terus lo gak marah? Ngapain kek gitu.”

“Gak usah lebay, Ca.”

“What! You know, kan. Mereka tuh gosipnya putus karena kak Bina kemarin belum tujuh belas tahun, dan sekarang udah. So, gak menutup kemungkinan mereka masih saling— Atha!” Maca berteriak saat Atha berjalan kemebali ke gedung sekolah, bukan ke kantin.


“Jadi gini Valen. Karena beberapa bulan lagi akan ada olimpiade fisika tingkat nasional, saya ingin kamu yang akan mewakilkan sekolah bersama dengan Bina dan Jay,” kata Dipta menjelaskan tujuannya memanggil Valen ke sana.

Di sana tidak hanya ada Valen, namun Bina dan juga Jay juga ada di sana.

Valen terdiam sejenak, berfikir apa yang harus ia lakukan.

“Gimana, Valen? Ini kesempatan bagus loh, kalau kalian menang kalian akan mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri.”

Valen masih terdiam, memang itu kesempatan yang bagus, namun belum tentu untuk Valen mengingat keadaan keluarganya seperti apa.

“Sepertinya tidak bisa, pak. Saya harus mengurus osis dan fokus belajar untuk ujian yang akan mendatang.”

“Kamu tidak perlu khawatir, untuk masalah osis saya akan bilang ke Bayu, sementara tugas kamu dipegang oleh Alam untuk sementara, untuk Ujian kamu jangan khawatir, waktu kamu untuk belajar tidak akan pernah terganggu.”

“Ayo, Val. Kita butuh lo, ya kan, Jay?” ucap Bina berusaha agar Valen mengiyakan tawaran dari Dipta.

“Bener, Val. Satu sekolah tau kali potensi lo, apalagi di fisika.”

Bina mengangguk setuju. “Gimana, Val?”

Valen menoleh kini netra mereka saling bertemu, ada perasaan aneh bagi Valen saat menatap mata Bina. Mata yang tak pernah ia tatap lagi semenjak mereka putus, kini kembali bertemu.

“Boleh, pak,” jawab Valen namun sedikit ragu.

“Yeay! Tim sukses nih, Jay.”

“Yoi, ha ha ha.”


Setelah ditetapkan menjadi peserta olimpiade fisika yang akan datang, kini jadwal pulang Valen sedikit lebih lama, yang tadinya pada pukul tiga sore, kini menjadi pukul enam sore, karena ia, Bina dan Jay harus mulai berlatih.

“Jay boleh nebeng, gak?” tanya Bina saat kegiatan mereka selesai.

“Sorry Bin, cewe gue udah nunggu, duluan ya, Val.”

“Yo.”

Valen memasuki satu persatu alat tulis miliknya ke dalam tas, lalu ia beralih untuk mengenakan hoodie hitam kesayangannya.

“Bareng, Bin. Mau?” ajak Valen. Ia sempat berpikir sejenak tadi karena ada Atha, tapi ia yakin Atha pasti sudah pulang mengingat sekarang sudah pukul enam sore.

“Boleh? Cewe lo?”

“Paling udah pulang.”

“Paling? Memang lo gak ngabarin ata nanya gitu?”

Valen menggeleng dengan wajah datar.

“Kebiasaan lama lo, ya.”

Valen terkekeh pelan. “Yok.”

“Yok!”


“Sorry, Bin. Gue gak bawa helm lebih, biasanya Atha bawa sendiri.”

Bina mengangguk paham. “Dulu juga gitu, kan? Kayaknya nggak apa-apa deh, gak bakalan kena tilang juga.”

“Yaudah, ayo.”

Saat Valen hendak menaiki motornya, ia dikejutkan dengan kehadiran Atha tiba-tiba.

“Kak Valen pulang sama kak Bina?” tanya Atha dengan raut wajah kecewa terpapar jelas.

Valen kembali melepaskan helm yang sudah ia kenakan tadi. Tak hanya VAlen yang kaget dengan kemunculan Atha tiba-tiba, namun Bina juga. Ada perasaan bersalah di benaknya.

“Kamu belum pulang?” tanya Valen seraya mendekat ke Atha.

Atha menggeleng, matanya tertuju pada Bina yang hanya diam di belakang Valen.

“Kak Bina gak bawa helm?” tanya Atha dengan polos. “Nih pake punya Atha aja.”

“Eh, gak usah, gue pulang naik bus aja, lo —”

Atha menggeleng, lalu ia meletakkan helm miliknya di tangan Bina secara paksa.

“Kak Valen yang ngajak, kan? Berarti kak Valen harus tanggung jawab, lagian Atha salah kok, nunggu kak Valen tapi gak ngabarin, Atha pulang naik bus aja deh— kak Valen hati-hati ya antar kak Bina nya,” ucap Atha pelan namun ia tetap tersenyum lebar.

“Kamu tunggu sebentar, ya? Aku antar Bina ter—”

“No, Atha bisa sendiri. Bye, kak!”

Atha berjalan meninggalkan Valen da Bina yang masih terdiam di sana. Tak sengaja Atha meneteskan air mata.

“Ih apasih alay banget, Atha,” lirihnya seraya mengusap kasar air matanya berharap air matanya berhenti mengalir, namun nihil kenyataannya air mata itu semakin deras mengalir.

“Val, kejer gih, gue sendiri aja pulang naik bus.”

Bukannya menjawab dan menuruti perkataan Bina, Valen malah kembali memakai helmnya dan menaiki motornya.

“Yok, Bin. Gue anter.”

tw // kekerasan tw // abusive , blood cw // harsh word Harap bijak, ya. Sekiranya topiknya mentrigger, tolong segera ditinggalkan.

Valen berjalan dengan langkah pelan, jujur ia takut untuk pulang, namu mau bagaimanapun rumahnya hanya itu, hanya itu rumah untuk ia pulang.

Walau ia tau kepulangannya akan membuatnya terluka kembali, Valen siap menghadapi itu.

“Pak,” sapa Valen kepada satpam komplek yang sedang keliling.

“Loh baru pulang, Valen.”

“Iya, nih, pak. Duluan, ya, pak.”

“Hati-hati nak.”


Baru ia sampai di gerbang rumah, perasaan takutnya semakin menjadi-jadi. Tangan Valen ragu untuk membuka gerbang yang sudah tertutup rapat, mulutnya enggan untuk memanggil satpam yang menjaga rumahnya.

“Gak usah takut, Val. Lo bukan pengecut.”

Dengan ragu Valen membuka gerbang rumahnya, langkahnya bergetar namun yakin.

“Abang pulang!” Valen disambut oleh suara teriakan Alea saat dirinya baru ssaja membuka pinut.

“Abang jahat! Masa tadi adek gak dijemput, Alea ngambek!” ucap Alea marah kepada Valen.

Valen hendak mengusap kepala Alea, namun tangannya tertahan karena suara teriakan dari Agatha.

“Jangan sentuh anak saya!”

Valen menoleh ia mendapatkan Agatha dan Jayden yang baru saja turun dari tangga sedang berjalan menghampiri dirinya dan Alea.

“Bawa Alea ke kamar, ma,” perintah Jayden tegas ke Agatha.

“Ih papa, adek masih mau marahin abang.”

Jayden tersenyum, senyum yang tak pernah Valen lihat sebelumnya.

“Anak papa yang cantik tidur, ya. Sudah malam, biar papa yang marahin abang.”

Alea dibawa oleh Agatha ke kamar, tersisa Valen dan Jayden di sana. Namun tanpa satupun dari mereka yang tahu, Lauren sedari tadi melihat dari jauh.

“Dari mana saja kamu anak haram?”

Kalimat pembuka dan juga sapaan dari Jayden untuk Valen, sudah membuat goresan di hati Valen.

“Sekolah, pak,” jawab Valen lirih.

Jayden mendekat ke arah Valen, ia menggunakan jarinya untuk menoyor kepala Valen yang sedari tadi hanya menunduk. Satu toyoran, dua toyoran hingga kelima toyoran Valen terima hingga kepalanya sedikit teerbentur ke dinding.

“Kamu jagoan, kan? Lawan saya sekarang, jagoan kamu, kan!” bentak Jayden dengan suara meninggi.

Valen tidak menjawab, bahkan hanya untuk menatap mata Jayden ia sangat takut, apalagi untuk menggerakkan bibirnya.

“Jawab anak haram!” teriak Jayden dengan tangan yang kini ia gunakan untuk menarik rambut Valen cukup kuat.

“Maaf, pa,” lirih Valen.

Plak

Satu tamparan keras berhasil membuat Valen tersungkur dan mengeluarkan darah dari hidungnya.

“Mana yang buat onar di sekolah tadi!” Jayden menarik kerah kemeja seragam yang Valen kenakan.

Valen menatap Jayden dengan tatapan sayu, hanya kata maaf yang bisa ia keluarkan dari mulutnya.

“Maaf .... Maaf .... Maaf.”

“Saya tidak butuh maaf kamu! Bisa satu hari saja kamu tiddak buat masalah, saya butuh kamu supaya harta orang tua saya bisa turun ke tangan saya. Dan itu akan terjadi saat kamu menginjak umur dua puluh lima tahun dengan gelar yang sudah ayah saya tentukan. Setelah itu saya tidak peduli dengan kamu!”

Jayden lagi-lagi menampar Valen cukup keras.

“Bisa kamu tidak buat ulah sampai saat itu datang? Saya muak!”

“Bisa, pa.” Dengan wajah yang sudah babak belur, hidung yang terus mengeluarkan darah, dan kepala yang terasa sangat pusing Valen menjawab dengan yakin.

“Maaf, pa.”

Jayden melepas cengkramannya, membuat tubuh Valen benar-benar terjatuh.

“Sekali lagi kamu buat masalah, saya tidak segan berbuat lebih dari ini!” ancam Jayden lalu meninggalkan anak laki-lakinya di sana sendirian.

Valen tertawa, mulutnya mengeluarkan darah begitu juga dengan hidungnya. Namun sekuat tenaga Valen berusaha untuk berdiri. Dirasa kuat Valen berjalan pelan menuju kamarnya.

“Lawan Valen,” kata Lauren yang kini sedang menangis karena menyaksikan kebrutalan papanya dengan mata kepalanya sendiri.

Langkah Valen terhenti, ia tersenyum namun tak menoleh untuk menatap Lauren.

“Kehadiran Valen hanya untuk luka, kak. Selagi Valen kuat, Valen akan terus menahannya.”

“Val-”

“Tidur, kak. Jangan bergadang gak baik buat kesehatan, bisa terkena gagal jantung, depresi juga, kan. Valen gak mau kakak sakit.”

“Terus lo gimana, Valen. PTSD .... Lo udah duluan sakit daripada gue, Valen. Gue gagal.”

Tangis Lauren semakin menjadi, ia benar-benar merasa gagal. Gadis itu selalu menjadi saksi bisu saat Valen dipukul, disiksa, bahkan ditendang oleh Jayden sedari kecil.

Lauren juga orang pertama dan satu-satunya keluarga yang mengetahui Valen mengalami PTSD. Lauren hanya bisa membantu dengan membayar dokter pribadi untuk Valen secara diam-diam.

“Valen sedikit membaik, kak. Valen akan damai dengan masa lalu, Valen kuat.”

“Val-”

Valen tidak mendengar panggilan dari Lauren, ia kembali berjalan memasuki kamarnya.

Setibanya di kamar, Valen terjatuh tepat di samping tempat tidurnya.

“Sakit, semuanya sakit. Tolong,” lirih Valen. Namun ia sama sekali tidak menangis.

Suara pintu kamar Valen terbuka menandakan seseorang masuk ke sana. Valen tidak kuat untuk membuka matanya, ia hanya berkata, “Keluar kak, Valen harus belajar.”

“Abang, ini adek.” Suara kecil nan lembut Alea membuat Valen memaksakan dirinya untuk duduk.

Valen duduk menyandarkan tubuhnya di tempat tidurnya.

“Tidur, Ale,” ucapnya dengan susah payah.

Bukannya menuruti ucapan Valen, Alea malah mendekat dan duduk di depan Valen.

“Jangan mendekat, Alea.”

“Alea bawa handuk, Alea bersihin darahnya, ya?”

Saat Alea akan membersihkan darah yang memenuhi wajah Valen, segera Valen menahan tangan Alea. Ia takut kalau tangan gadis kecil itu menyentuh dirinya, ia akan kembali dipukul oleh Jayden.

“Jangan, Alea,” larang Valen tegas. Saya nggak apa-apa, keluar Alea, tidur.”

Alea menggeleng. “Alea lihat abang dipukul, papa. Maafin adek, abang. Gara-gara adek, abang dipukul sama papa.”

Dengan mata sayunya Valen melihat Alea meneteskan air mata.

“Alea mau abang maafin?”

“Mau abang!” seru Alea semangat.

“Alea balik ke kamar, ya. Tidur besok sekolah, abang antar terus abang jemput.”

“Beneran? Abang gak marah lagi? Abang jangan pake saya lagi, ya serem.”

“Iya.”

Alea tersenyum senang, ia menghapus air matanya, lalu mendekatkan dirinya ke Valen. “Adek ada plaster frozen, adek pakein di hidung abang, ya? biar darahnya gak keluar lagi.”

Valen pasrah, ia tidak mau menolak karena itu akan menyakiti perasaan Alea tentu saja, dan ia tidak mau hal itu terjadi.

“Iya, boleh.”


Pukul dua belas dini hari, setelah semua luka yang ia terima tadi, kini Valen duduk di kursi meja belajarnya. Ia tidak bisa menjadikan hal tadi sebagai alasan ia tidak belajar.

“Besok ulangan lagi, Val. Fokus,” ucapnya pada diri sendiri.

Valen meraih buku-bukunya, ia juga menghidupkan kembali handphone yang sempat mati tadi. Begitu banyak notifikasi masuk, namun ia tidak punya waktu untuk membaca itu, ia harus belajar.

“Buktiin ke papa kallo lo bisa, Val.”

“Nak, bangun nak—”

Suara berat seorang pria membuat Valen mengangkat kepalanya perlahan.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, sudah cukup lama Valen terkurung di dalam bilik toilet. Tak banyak yang bisa ia lakukan, pada saat yang bersamaan baterai handphonenya habis, membuat Valen tidak bisa menghubungi siapapun untuk membantunya.

“Siapa yang kurung kamu? Kamu dirundung?”

“Terima kasih pak Santo,” ucap Valen ramah kepada Santo satpam penjaga sekolah.

“Besok laporkan ini ke bk, biar saya jadi saksi untung saja saya cek toilet ini, soalnya saya curiga kenapa tiba-tiba ada tulisan rusak di depan pintu.”

Valen hanya merespon dengan senyuman. Lalu Valen dibantu oleh Santo berdiri dan keluar dari toilet gelap itu.

“Sekolah udah lumayan gelap, cuman ada beberapa lampu yang hidup, saya harus cek beberapa ruangan lagi, kamu berani, kan, nak?” tanya Santo yang masih memegang tubuh Valen.

Valen mengangguk tak lupa ia tersenyum tipis ke Santo. “Terima kasih, ya, pak.”

Setelah itu Santo meninggalkan Valen sendirian di sana. Kelas Valen tidak terlalu jauh, karena gelap jadi terlihat jauh di mata Valen.

Valen tertegun, bohong jika ia bilang tidak takut, faktanya salah satu ketakutan terbesar Valen adalah kegelapan.

Perlahan ia melangkah, menepis jauh-jauh rasa takutnya. Setelah sampai di kelas, cepat-cepat Valen mengambil tas nya yang masih ada di sana, lalu ia berlari dengan kencang keluar dari gedung kelas.

Sesampainya di luar gedung, Valen berusaha mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum berjalan kembali menuju parkiran.

“Sial,” umpat Valen setibanya ia di parkiran.

Ia lagi-lagi dibuat kesal, setelah dikurung di dalam toilet, kini ban motornya juga dikempesin, Valen sudah memastikan pasti ini perbuatan Malvin dan kawan-kawannya.

Mau tidak mau Valen harus mendorong motornya itu, motor sport Honda yang akan berat jika didorong sendirian.

“Masa lalu gue jadi apa, ya, gini amat hidup.”


“Ayah! itu kayaknya ka Valen!” Atha memekik dari dalam mobil saat melihat seorang murid laki-laki yang sangat ia kenalin.

“Berhenti dulu, ayah,” pintanya lagi.

Dengan cepat Jovan memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, saat itu juga Atha segera turun dan berlari menghampiri Valen yang tidak jauh di belakang mereka.

“Kak Valen!” panggil Atha sedikit berteriak.

Valen membulatkan matanya saat melihat Atha dan Jovan yang sedang berjalan ke arahnya. Segera Valen memarkirkan motornya, lalu ia melemparkan senyum kepada Atha.

“Udah malem kok masih di luar?” tanya Valen saat Atha sudah berdiri di hadapannya.

Tak terduga gadis itu menangis. “Loh kenapa nangis?” tanya Valen kebingungan seraya mendekatkan tubuhnya ke Atha.

“Kak Valen jahat! Masa ninggalin Atha sendirian tadi, mana kak Valen gak ada kabar,” jawabnya sesegukan.

Valen merasaa lega dengan jawaban Atha, namun mau tak mau ia harus memutar otak untuk menemukan alasan kenapa dirinya menghilang tadi, tidak mungkin ia jujur kalau ia mengalami pannick dan berakhir di kurung di toilet.

“Maaf, ya, tadi aku disuruh sama pak santo— Halo om.” Valen menjeda ucapannya saat Jovan mendekat ke arah mereka.

“Halo,” sahut Jovan ramah. “Kalo mau ngobrol di dalam mobil saja, sekalian saya antar kamu, Vaslin.”

“Valen ayah!”

“Ya, Valen.”

Valen tertawa kecil mendengarnya. “Tidak usah, om, kebetulan Valen bawa motor,” tolaknya ramah.

“Kamu tadi dorong motor, ban motor kamu kempes itu, ayo saya antarkan demi anak saya juga,” sahut Jovan sedikit tegasa.

Valen mau saja menerima tawaran dari Jovan, namun terlalu banyak yang membuatnya takut untuk menerima tawaran itu.

“Saya bawakan motor kamu ke bengkel yang ada di dekat sana,” kata Jovan sambil mengambil alih motor Valen.

“Tapi, om.”

“Atha bawa pacar kamu ke mobil.”

“Oke, ayah.”

Tanpa bisa berbuat apa-apa Valen hanya mengikuti tawaran dari Jovan, namun ia benar-benar tidak enak, walaupun Atha adalah pacarnya, bukan berarti seperti ini.

“Kak Valen udah makan?” tanya Atha ketika keduanya dan Jovan sudah di mobil.

Valen tersenyum sebelum menjawab pertanyaan dari Atha. “Sudah, Atha sudaha makan?”

“Anak saya nolak makan karena kepikiran kamu,” timpal Jovan yang tengah fokus menyetir.

“Ih ayah apaan, sih!”

“Kan bener kata ayah, Atha gak mau makan kalo ayah gak bantu Atha cari kak Vaslin,” kata Jovan meniru kata-kata yang Atha lontarkan padanya sebelumnya.

“Ayah!”

Valen hanya bisa tertawa canggung dan meerasa tidak enak kepada Jovan.


Sepanjang perjalanan hanya ada ocehan Atha yang memenuhi mobil, Valen begitu tenang saat mendengar suara ocehan gadis itu, walaupun sifat Atha yang sesekali menyebalkan namun kehadirannya begitu mewarnai hidup Valen.

“Om, di sini saja,” ucap Valen saat Jovan hendak memasuki komplek rumah Valen.

“Loh kenapa, kak?” tanya Atha kebingungan

“Nggak apa-apa, biasanya tamu wajib lapor, jadi susah udah malam, jadi om sama Atha langsung pulang,” jawabnya berbohong.

Valen tau kepulangannya sudah ditunggu Jayden di rumah, bisa menjadi masalah kalau Jayden mengetahui dirinya diantar oleh pacar dan ayah dari sang pacar.

“Yasudah kalau begitu.”

“Beneran nggap apa-apa, kak?”

“Iya beneran, om sekali lagi terima kasih, ya, tumpangannya, maaf saya membuat anak om menunda makan. Atha, pulang langsung makan, ya? Kalau ada pr langsung kerjakan.”

Atha megangguk mantap. “Baik, kak!”

Lalu Valen segera keluar dari mobil Jovan berbarengan dengan Atha yang akan pindah ke kursi penumpang depan. Valen menunggu sejenak, setelah mobil Jovan pergi baru ia masuk ke komplek rumahnya.

“Mati pun, Valen siap, pa.”

“Nak, bangun nak—”

Suara berat seorang pria membuat Valen mengangkat kepalanya perlahan.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, sudah cukup lama Valen terkurung di dalam bilik toilet. Tak banyak yang bisa ia lakukan, pada saat yang bersamaan baterai handphonenya habis, membuat Valen tidak bisa menghubungi siapapun untuk membantunya.

“Siapa yang kurung kamu? Kamu dirundung?”

“Terima kasih pak Santo,” ucap Valen ramah kepada Santo satpam penjaga sekolah.

“Besok laporkan ini ke bk, biar saya jadi saksi untung saja saya cek toilet ini, soalnya saya curiga kenapa tiba-tiba ada tulisan rusak di depan pintu.”

Valen hanya merespon dengan senyuman. Lalu Valen dibantu oleh Santo berdiri dan keluar dari toilet gelap itu.

“Sekolah udah lumayan gelap, cuman ada beberapa lampu yang hidup, saya harus cek beberapa ruangan lagi, kamu berani, kan, nak?” tanya Santo yang masih memegang tubuh Valen.

Valen mengangguk tak lupa ia tersenyum tipis ke Santo. “Terima kasih, ya, pak.”

Setelah itu Santo meninggalkan Valen sendirian di sana. Kelas Valen tidak terlalu jauh, karena gelap jadi terlihat jauh di mata Valen.

Valen tertegun, bohong jika ia bilang tidak takut, faktanya salah satu ketakutan terbesar Valen adalah kegelapan.

Perlahan ia melangkah, menepis jauh-jauh rasa takutnya. Setelah sampai di kelas, cepat-cepat Valen mengambil tas nya yang masih ada di sana, lalu ia berlari dengan kencang keluar dari gedung kelas.

Sesampainya di luar gedung, Valen berusaha mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum berjalan kembali menuju parkiran.

“Sial,” umpat Valen setibanya ia di parkiran.

Ia lagi-lagi dibuat kesal, setelah dikurung di dalam toilet, kini ban motornya juga dikempesin, Valen sudah memastikan pasti ini perbuatan Malvin dan kawan-kawannya.

Mau tidak mau Valen harus mendorong motornya itu, motor sport Honda yang akan berat jika didorong sendirian.

“Masa lalu gue jadi apa, ya, gini amat hidup.”


“Ayah! itu kayaknya ka Valen!” Atha memekik dari dalam mobil saat melihat seorang murid laki-laki yang sangat ia kenalin.

“Berhenti dulu, ayah,” pintanya lagi.

Dengan cepat Jovan memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, saat itu juga Atha segera turun dan berlari menghampiri Valen yang tidak jauh di belakang mereka.

“Kak Valen!” panggil Atha sedikit berteriak.

Valen membulatkan matanya saat melihat Atha dan Jovan yang sedang berjalan ke arahnya. Segera Valen memarkirkan motornya, lalu ia melemparkan senyum kepada Atha.

“Udah malem kok masih di luar?” tanya Valen saat Atha sudah berdiri di hadapannya.

Tak terduga gadis itu menangis. “Loh kenapa nangis?” tanya Valen kebingungan seraya mendekatkan tubuhnya ke Atha.

“Kak Valen jahat! Masa ninggalin Atha sendirian tadi, mana kak Valen gak ada kabar,” jawabnya sesegukan.

Valen merasaa lega dengan jawaban Atha, namun mau tak mau ia harus memutar otak untuk menemukan alasan kenapa dirinya menghilang tadi, tidak mungkin ia jujur kalau ia mengalami pannick dan berakhir di kurung di toilet.

“Maaf, ya, tadi aku disuruh sama pak santo— Halo om.” Valen menjeda ucapannya saat Jovan mendekat ke arah mereka.

“Halo,” sahut Jovan ramah. “Kalo mau ngobrol di dalam mobil saja, sekalian saya antar kamu, Vaslin.”

“Valen ayah!”

“Ya, Valen.”

Valen tertawa kecil mendengarnya. “Tidak usah, om, kebetulan Valen bawa motor,” tolaknya ramah.

“Kamu tadi dorong motor, ban motor kamu kempes itu, ayo saya antarkan demi anak saya juga,” sahut Jovan sedikit tegasa.

Valen mau saja menerima tawaran dari Jovan, namun terlalu banyak yang membuatnya takut untuk menerima tawaran itu.

“Saya bawakan motor kamu ke bengkel yang ada di dekat sana,” kata Jovan sambil mengambil alih motor Valen.

“Tapi, om.”

“Atha bawa pacar kamu ke mobil.”

“Oke, ayah.”

Tanpa bisa berbuat apa-apa Valen hanya mengikuti tawaran dari Jovan, namun ia benar-benar tidak enak, walaupun Atha adalah pacarnya, bukan berarti seperti ini.

“Kak Valen udah makan?” tanya Atha ketika keduanya dan Jovan sudah di mobil.

Valen tersenyum sebelum menjawab pertanyaan dari Atha. “Sudah, Atha sudaha makan?”

“Anak saya nolak makan karena kepikiran kamu,” timpal Jovan yang tengah fokus menyetir.

“Ih ayah apaan, sih!”

“Kan bener kata ayah, Atha gak mau makan kalo ayah gak bantu Atha cari kak Vaslin,” kata Jovan meniru kata-kata yang Atha lontarkan padanya sebelumnya.

“Ayah!”

Valen hanya bisa tertawa canggung dan meerasa tidak enak kepada Jovan.


Sepanjang perjalanan hanya ada ocehan Atha yang memenuhi mobil, Valen begitu tenang saat mendengar suara ocehan gadis itu, walaupun sifat Atha yang sesekali menyebalkan namun kehadirannya begitu mewarnai hidup Valen.

“Om, di sini saja,” ucap Valen saat Jovan hendak memasuki komplek rumah Valen.

“Loh kenapa, kak?” tanya Atha kebingungan

“Nggak apa-apa, biasanya tamu wajib lapor, jadi susah udah malam, jadi om sama Atha langsung pulang,” jawabnya berbohong.

Valen tau kepulangannya sudah ditunggu Jayden di rumah, bisa menjadi masalah kalau Jayden mengetahui dirinya diantar oleh pacar dan ayah dari sang pacar.

“Yasudah kalau begitu.”

“Beneran nggap apa-apa, kak?”

“Iya beneran, om sekali lagi terima kasih, ya, tumpangannya, maaf saya membuat anak om menunda makan. Atha, pulang langsung makan, ya? Kalau ada pr langsung kerjakan.”

Atha megangguk mantap. “Baik, kak!”

Lalu Valen segera keluar dari mobil Jovan berbarengan dengan Atha yang akan pindah ke kursi penumpang depan. Valen menunggu sejenak, setelah mobil Jovan pergi baru ia masuk ke komplek rumahnya.

“Mati pun, Valen siap, pa.”

tw // bullying tw // mention of mental issue cw // harsh word

tolong bijak, ya. sekiranya mentrigger langsung tinggalin aja


Suasana kelas 11-Ipa1 hanya dipenuhi suara pena dan suara kertas yang dibolak-balikkan. Ulangan harian matemati yang membuat seluruh murid kini hanya bisa fokus menjawab soal demi soal.

Tidak terkecuali Valen, namun dengan kecerdasan yang ia miliki, laki-laki yang selalu meraih peringkat pertama di kelas dan juga di angkatan, sudah menyelesaikan soal-soal yang ada dihadapannya.

Valen terus diganggu oleh teman-temannya terlebih Haydan yang duduk tepat di bangku belakang Valen, namun Valen tidak bisa membantu banyak, soal yang diberikan memang sama namun selalu beracakan begitulah gaya pak Dipta. Guru muda nan killer.

“Haydan kamu diam, atau soalnya saya tarik?”

Teguran kedua dari Dipta untuk Haydan.

“Baik, pak. Maaf, pak,” sahut Haydan dengan perasaan takut.

Valen tersenyum kecil tanpa menoleh menatap Haydan yang sudah berhenti mengganggunya. Tiba-tiba ia merasakan getaran dari saku celananya, notifikasi dari handphone yang ia bedakan, notifikasi yang sangat menakutkan bagi Valen.

Segera Valen mengeluarkan handphonenya diam-diam, lalu membaca pesan masuk itu.

Valen panik seketika, panik dan takut. Nafasnya mulai tak beraturan, kepalanya terasa sangat pusing. Valen kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku celana agar tidak ketahuan Dipta ia sedang bermain handphone.

Valen kembali di serang serangan panik untuk yang kesekian kalinya, ia tidak bia berbuat banyak, terus-terusan mengatur nafasnya, namun sia-sia.

“Pak.” Valen mengangkat tangannya. “Saya boleh izin ke toilet, pak?” tanya Valen meminta izin.

“Boleh jika ulangan kamu sudah selesai, silahkan bawa ke depan.”

Tangan Valen bergetar saat hendak meraih kertasa ulangan miliknya, namun ia segera menahannya dengan tangan yang satu lagi, setelah di rasa aman Valen membawa kertas ulangan itu ke meja Dipta.

“Val!” Haydan menahan tangan Valen saat Valen berjalan melewatinya, namun segera ditepis oleh Valen. Valen berlalu dengan cepat keluar dari kelas.

“Anjir basah banget tangannya, ngompol ya dia.”

“Haydan.”

“Baik, pak, salah, pak.”


Valen berjalan menyusuri korider sekolah, tanpa ia sadari ia baru saja melewati kelasa 12-Ips3 dan melewati Malvin dan teman-temannya yang sedang berkumpul di depan kelas.

“Wih, ikutin gak bos?”

“Gas.”

Sesampainya Valen di toilet, ia masih tidak menyadari Malvin dan teman-temannya mengikuti dari belakang.

Valen masuk ke dalam satu bilik toilet, dan menguncinya dengan segera. Laki-laki itu terduduk lemah di lantai, berusaha mengatur nafasnya. Berulang kali ia memukul-mukul dadanya yang terasa sakit.

“Fuck,” lirihnya pelan.

Di luar bilik toilet itu diam-diam Malvin dan teman-temannya menunggu Valen keluar. Malvin keheranan saat melihat Valen dari sela-sela yang terduduk di lantai.

“Lemah banget kayaknya, tegang banget, ya? Punya cewe, kan, ngapain solo.”

Suara gelak tawa memenuhi toilet, Valen tidak bisa melawan, ia sedang melawan rasa panik yang menyerangnya.

Kepalanya seratu kali lipat terasa sakit, kedua tangan Valen bergerak meremas dan menarik rambutnya sendiri.

“Arghhh.” ringisan kerasa Valen terdengar sampai keluar, tentu saja didengar oleh Malvin dan teman-teman.

“Wow, hebat!” seru Malvin dengan kekehan.

Lagi dan lagi gelak tawa mengejek keluar dari mulut mereka.

“Gimana kalo kita kunci dari luar, bos?” usul salah satu teman Malvin.

Malvin berfikir sejenak lalu ia mengangguk setuju, detik kemudia mereka menahan pintu bilik toilet yang ada Valen menggunakan ember yang berisikan air, dan menahan gagang pintu menggunkan pel yang ada di sana.

“Semoga puas, ya, bro.”

Valen tidak mendengar suara Malvin lagi, ia sedikit merasa tenang walaupun kondisinya masih terlihat sama.

Wajah Valen berubah pucat, saat ia hendak berdiri Valen hilang kendali sehingga tubuhnya kembali terjatuh di lantai. Dengan sekuat tenaga Valen meraih knop pintu, namun tidak bisa terbuka karena sudah tertahan dari luar.

Valen menyandarkan tubuhnya lemas, matanya terasa sangat berat, Valen kembali mengingat dengan jelas hal-hal yang membuatnya trauma, memori saaat ia dipukul dan disiksa oleh papanya kembali terputar.

“Ma .... Sakit, ma,” gumaman terakhir dari mulut Valen sebelum matanya tertutup dengan sempurna.

“Cil, aelah, Cil. Lebay banget sih, cuman gitu aja.”

Alam sahabat Valen sedari kecil yang wakil ketua osis, kini sedang menemani Atha di uks.

Kondisi Atha memang tidak terlalu parah, hanya saja Atha lemah saat dibentak oleh Malvin dkk.

Untung saja Malvin tidak bertindak terlalu jauh, karena di sana ada Naren, Haydan dan Rangga.

“Diem!”

Atha memejamkan matanya, enggan menatap Alam. Gadis itu sekarang sedang sedih dan marah.

“Valen baru bangun tidur, Cil. Tadi gue di chat dia,” kata Alam tentu saja berbohong, bahkan dirinya tidak tahu keberadaan Valen di mana sekarang.

Mendengar kalimat itu, Atha menoleh dan membuka matanya lebar-lebar.

“Kakak, selingkuhan kak Valen, ya?” Atha menuduh Alam penuh curiga.

“Dih, aneh lo, Cil.”

“Lagian aku pacarnya, kok kakak duluan yang dikabarin!”

“Gue sahabatnya dari rahim, mau apa, lo?”

“Alasan!”

Ruang UKS yang hanya diisi oleh Alam dan Atha kini hanya dipenuhi perdebatan tak penting mereka.


Valencio Hengkara S, murid laki-laki kelas 11-IPA2 yang menjabat sebagai ketua osis di SMA NEO, baru saja sampai di sekolah.

Kedatangannya tentu saja menarik perhatian murid-murid yang ada di sana, terlebih lagi murid perempuan.

Tidak ada yang bisa berpaling dari pesona cowok tinggi dan tampan itu. Seperti biasa dengan hoodie hitam kesayangannya menambah kesan tampan yang menggoda.

Tanpa memperdulikan panggilan dari murid-murid perempuan yang memanggilnya, Valen tetap berjalan di koridor sekolah.

Namun ada yang berbeda dengan laki-laki itu. Aura nya tidak ramah seperti biasa, tatapan yang lurus ke depan, tatapan mata yang sangat tajam.

Valen memberhentikan langkahnya di depan kelas 12-IPS3, yang lebih dikenal sebagai kelas perkumpulan murid-murid nakal. Salah satu murid di sana adalah Malvin, murid laki-laki yang namanya Valen dengar sudah menyentuh wanitanya pagi ini.

Dengan penuh amarah, dada yang naik turun karena nafas yang tidak beraturan Valen masuk ke dalam kelas itu.

“Mana Malvin.” Suara datar dan tidak bersahabat dari Valen menarik perhatian seluruh murid yang berada di kelas.

Dan juga murid laki-laki yang bernama Malvin.

“Wow wow ada bang jago nih.”

Mendengar suara Malvin, Valen dengan segera melangkah ke arah suara.

Brak

Tidak terduga Valen menendang kursi yang diduduki Malvin, tentu saja membuat Malvin terjatuh.

Dilihatnya Malvin lengah, Valen segera mencengram kerah kemeja Malvin dengan kuat

Don't you dare, macem-macem sama wanita saya!”

Bukannya takut Malvin merespon dengan senyuman meremehkan.

*Bugh”

Satu pukulan dihadiahi Valen ke wajah Malvin.

“Brengsek!” teriak Malvin tidak terima.

“Bayaran karena anda nyentuh wanita, saya.”

Valen berdiri seraya menarik kerah kemeja Malvin, agar Malvin ikut berdiri. Lalu dengan kuat Malvin didorong sehingga menabrak dinding kelas.

Aksi Valen disaksikan oleh seluruh murid yang ada di kelas itu. Hanya ada seruan dan bisikan dari mereka.

Valen mengeluarkan smirk di bibirnya, mata kecilnya menatap mata Malvin dengan tatapan mengintimidasi.

“Jangan pernah sentuh wanita, saya,” ancam Valen.

Valen melepas cengkraman tersebut, ia melempar Malvin sehingga Malvin kembali tersungkur di lantai.

“Lo laki, kan? Ketemu saya di lapangan belakang sekolah nanti malam— jangan berani sama, cewe.”

Setelah memberi tantangan tersebut, Valen melangkahkan kakinya meninggalkan Malvin yang penuh emosi sekarang.

“Awas lo, gue buat mati lo nanti, ya, bajingan!”


“Cantik ....., aku tau kamu cuman pura-pura, Malvin gak sampe mukul kamu.”

Setelah membalas perbuatan Malvin, Valen dengan segera menghampiri gadisnya di uks.

Namun sayang kehadiran Valen, tidak disambut dengan ramah oleh sang gadis. Atha masih tetap terpejam pura-pura.

“Bete!”

Valen tertawa karena tingkah lucu, Atha.

“Udah bel tuh, ayo masuk.”

Atha mendengkus kesal. Ia segera duduk, mau gimanapun Atha tidak mau bolos, walaupun di kelas ia akan mengantuk, ia akan tetap hadir di kelas, walaupun sering dianggap hantu, dia ada namun tak terlihat.

“Sini aku pakein.”

“Gak usah, Atha bukan bayi!”

Atha menolak tawaran Valen untuk memakaikan sepatunya, saat Atha sedang memakai sepatu, bersamaan dengan itu Valen melepas hoodie yang ia kenakan.

Tanpa berbicara Valen mengenakan hoodie nya di pinggang Atha, saat Atha selesai memakai sepatunya dan berdiri tegak di samping Valen.

“Ngapain?” tanya Atha datar saat Valen berjongkok di hadapan Atha, dengan punggung yang ada di hadapan Atha.

“Naik, biar aku antar cantiknya aku, ke kelas. Kasihan habis sakit.”

Atha tersipu malu dengan, ternyata tujuan Valen mengenakan hoodie nya pada pinggang Atha, agar Atha tertutup saat digendong karena Atha mengenakan rok pendek.

“Ayo cantik.”

Masih tersipu Atha segera menjatuhkan dirinya di punggung Valen. Saat itu juga Valen berdiri.

Raut wajah Valen sedikit berubah, ia merasakan sakit dari bekas cambukan papanya semalam.

“Ringan banget, kayak gendong hantu aku.”

“Ih! Ngeselin!”

“Hahahaha, ready?”

“Ready!”

“Pegang erat-erat cantik.”

Atha melingkarkan tangannya di leher Valen dan meletakkan dagunya di pundak kanan Valen.

Atha terkagum, bahkan hanya dilihat dari samping laki-laki itu sangat tampan baginya.

Valen melangkahkan keluar dari uks, walau sakit ia tetap menahannya. Ia harus menebus kesalahannya karena telah membuat gadisnya berurusan dengan berandalan sekolah pagi ini.