Suasana di kantin sedikit gaduh karena ada Valen dan ketiga temannya di sana. Ini hal yang jarang terjadi, biasanya hanya ada Naren, Rangga dan Haydan. Sedangkan Valen lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan atau ruang osis.
“Lo gak kerasukan, kan?” Rangga kembali bertanya pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang tadi ia tanyakan dari kelas.
“Hm,” jawab Valen dengan gumaman.
“Ya lagian bagus Valen mau ke kantin, jadi gue bisa lihat cewe-cewe dari dekat. Ya, gak neng,” kata Haydan seraya menggoda satu murid perempuan yang beradda tidak jauh dari hadapannya.
Murid perempuan itu bergidik ngeri. “Dih, jijik.”
“Dih, ngaca.”
“Lo beneran nggak apa-apa, kan, Val?” tanya Naren yang duduk di kursi di hadapan Valen berdampingan dengan Rangga. “Maksud gue tuh, lagian lo aneh, tiba-tiba gini,” tambahnya.
Valen menyeruput jus yang sudah di pesan Haydan sebelumnya, lalu ia menjawab, “Gue cuman mau nikmatin masa remaja sama sahabat-sahabat gue, gak boleh?” Valen tersenyum lebar.
Namun terasa aneh bagi Naren dan Rangga.
“Kalo gak boleh, biar gue pergi nih.” Saat Valen hendak berdiri ia segera ditahan, tentu saja Valen membalasnya dengan tertawa.
Kini suasana kantin kembali kondusif, sampai tiba-tiba kembali ribut karena kehadiran sosok Malvin yang ada saja tingkahnya.
“Perhatian perhatian!” Itu bukan suara Malvin melainkan suara Farrel sahabat dekat Farrel, yang selalu ada di samping Malvin dimanapun Malvin berada.
“Wow ada bang jago yang udah menunjukkan dirinya ke kantin, nih.” Malvin bersuara cukup keras.
Valen melamparkan tatapan kebingungan ke ketika sahabatnya, seakan bertanya apa yang sedang terjadi, namun ketiga sahabatnya itu hanya menjawab dengan gelengan.
Valen merasakan seseorang menepuk pundaknya, siapa lagi kalau bukan Malvin. Kini Valen sadar dan tahu apa yang akan terjadi. Karena risih Valen dengan cepat menepis tangan Malvin dari pundaknya.
“Wow, biasa aja dong, bro,” kata Malvin tidak terima.
Valen tidak menjawab, ia memilih untuk diam dan tidak terpancing, bisa habis kalau kejadian kemarin kembali terulang, bisa-bisa ia tinggal tulang di rumah nanti.
Merasa gagal memancing emosi Valen, Malvin merasa kesal. Ia segera menaiki meja yang ada di hadapan Valen dkk. Kini semua fokus para murid tertuju kepada Malvin.
“Lo pada mau tau, gak? Bang jago yang lo pada idam-idamkan ini kemarin nantang gue. Malvin! Si panglima tempur yang disegani banyak sekolah di Jakarta!” Malvin berteriak memberikan informasi yang tidak penting itu.
Valen tertawa sinis ia kembali meminum jus miliknya, agar kepalanya tidak terasa panas.
Lagi-lagi Malvin kesal karena tidak berhasil memancing emosi Valen. Namun Malvin adalah Malvin, ia masih menyimpan seribu cara agar Valen terpancing.
“Dan kalian tau apa? Dia gak datang dong, ha ha ha.”
Tidak ada yang tertawa selain teman-teman Malvin yang sama anehnya seperti dia.
“Cupu ya, lo ternyata, emang kodratnya ketua osis tuh cupu, bodoh!”
“Turun,” tegas Valen tanpa menatap Malvin.
“Wih bersuara juga nih, abang jago.”
“Turun saya bilang!” tegas Valen kini matanya menatap Malvin dengan tatapan tajam.
“Gak!”
“Turun!” Bukan Valen, melainkan Bina salah satu murid perempuan yang lumayan dekat dengan Valen, ia dan kedua temannya sedari tadi menyaksikan kejadian konyol itu. “Dia udah bilang turun, kan? Paham? Kalo enggak mending keluar dari sekolah jangan bodoh!”
Bina mendekat ke Valen. “Val, gue dapet chat dari pak Dipta katanya lo disuruh ke ruangannya, bareng gue,” kata perempuan berambut panjang nan cantik itu.
Tanpa memperdulikan apa-apa lagi, Valen menuruti Bina, kini mereka berjalan berbarengan meninggalkan kantin aneh itu.
Valen benar-benar tidak memperhatikan sekitar, bahkan ia tidak menyadari saat dirinya melewati Atha yang baru saja tiba di kantin.
“Wait .... Your boyfriend, Atha!” sentak Macha atau yang sering dipanggil maca.
Atha tidak langsung menjawab, pandangannya masih terfokus ke Valen yang semakin menjauh. Dadanya tiba-tiba terasa sakit, saat melihat Valen.
“With kak Bina! mantan dia! omo!”
Maca menoleh ke Atha yang masih diam mematung, sedikit kesal Maca menggoyangkan tubuh Atha.
“Halo, Athalia, lo denger kan?”
“Denger kok.”
“Terus lo gak marah? Ngapain kek gitu.”
“Gak usah lebay, Ca.”
“What! You know, kan. Mereka tuh gosipnya putus karena kak Bina kemarin belum tujuh belas tahun, dan sekarang udah. So, gak menutup kemungkinan mereka masih saling— Atha!” Maca berteriak saat Atha berjalan kemebali ke gedung sekolah, bukan ke kantin.
“Jadi gini Valen. Karena beberapa bulan lagi akan ada olimpiade fisika tingkat nasional, saya ingin kamu yang akan mewakilkan sekolah bersama dengan Bina dan Jay,” kata Dipta menjelaskan tujuannya memanggil Valen ke sana.
Di sana tidak hanya ada Valen, namun Bina dan juga Jay juga ada di sana.
Valen terdiam sejenak, berfikir apa yang harus ia lakukan.
“Gimana, Valen? Ini kesempatan bagus loh, kalau kalian menang kalian akan mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri.”
Valen masih terdiam, memang itu kesempatan yang bagus, namun belum tentu untuk Valen mengingat keadaan keluarganya seperti apa.
“Sepertinya tidak bisa, pak. Saya harus mengurus osis dan fokus belajar untuk ujian yang akan mendatang.”
“Kamu tidak perlu khawatir, untuk masalah osis saya akan bilang ke Bayu, sementara tugas kamu dipegang oleh Alam untuk sementara, untuk Ujian kamu jangan khawatir, waktu kamu untuk belajar tidak akan pernah terganggu.”
“Ayo, Val. Kita butuh lo, ya kan, Jay?” ucap Bina berusaha agar Valen mengiyakan tawaran dari Dipta.
“Bener, Val. Satu sekolah tau kali potensi lo, apalagi di fisika.”
Bina mengangguk setuju. “Gimana, Val?”
Valen menoleh kini netra mereka saling bertemu, ada perasaan aneh bagi Valen saat menatap mata Bina. Mata yang tak pernah ia tatap lagi semenjak mereka putus, kini kembali bertemu.
“Boleh, pak,” jawab Valen namun sedikit ragu.
“Yeay! Tim sukses nih, Jay.”
“Yoi, ha ha ha.”
Setelah ditetapkan menjadi peserta olimpiade fisika yang akan datang, kini jadwal pulang Valen sedikit lebih lama, yang tadinya pada pukul tiga sore, kini menjadi pukul enam sore, karena ia, Bina dan Jay harus mulai berlatih.
“Jay boleh nebeng, gak?” tanya Bina saat kegiatan mereka selesai.
“Sorry Bin, cewe gue udah nunggu, duluan ya, Val.”
“Yo.”
Valen memasuki satu persatu alat tulis miliknya ke dalam tas, lalu ia beralih untuk mengenakan hoodie hitam kesayangannya.
“Bareng, Bin. Mau?” ajak Valen. Ia sempat berpikir sejenak tadi karena ada Atha, tapi ia yakin Atha pasti sudah pulang mengingat sekarang sudah pukul enam sore.
“Boleh? Cewe lo?”
“Paling udah pulang.”
“Paling? Memang lo gak ngabarin ata nanya gitu?”
Valen menggeleng dengan wajah datar.
“Kebiasaan lama lo, ya.”
Valen terkekeh pelan. “Yok.”
“Yok!”
“Sorry, Bin. Gue gak bawa helm lebih, biasanya Atha bawa sendiri.”
Bina mengangguk paham. “Dulu juga gitu, kan? Kayaknya nggak apa-apa deh, gak bakalan kena tilang juga.”
“Yaudah, ayo.”
Saat Valen hendak menaiki motornya, ia dikejutkan dengan kehadiran Atha tiba-tiba.
“Kak Valen pulang sama kak Bina?” tanya Atha dengan raut wajah kecewa terpapar jelas.
Valen kembali melepaskan helm yang sudah ia kenakan tadi. Tak hanya VAlen yang kaget dengan kemunculan Atha tiba-tiba, namun Bina juga. Ada perasaan bersalah di benaknya.
“Kamu belum pulang?” tanya Valen seraya mendekat ke Atha.
Atha menggeleng, matanya tertuju pada Bina yang hanya diam di belakang Valen.
“Kak Bina gak bawa helm?” tanya Atha dengan polos. “Nih pake punya Atha aja.”
“Eh, gak usah, gue pulang naik bus aja, lo —”
Atha menggeleng, lalu ia meletakkan helm miliknya di tangan Bina secara paksa.
“Kak Valen yang ngajak, kan? Berarti kak Valen harus tanggung jawab, lagian Atha salah kok, nunggu kak Valen tapi gak ngabarin, Atha pulang naik bus aja deh— kak Valen hati-hati ya antar kak Bina nya,” ucap Atha pelan namun ia tetap tersenyum lebar.
“Kamu tunggu sebentar, ya? Aku antar Bina ter—”
“No, Atha bisa sendiri. Bye, kak!”
Atha berjalan meninggalkan Valen da Bina yang masih terdiam di sana. Tak sengaja Atha meneteskan air mata.
“Ih apasih alay banget, Atha,” lirihnya seraya mengusap kasar air matanya berharap air matanya berhenti mengalir, namun nihil kenyataannya air mata itu semakin deras mengalir.
“Val, kejer gih, gue sendiri aja pulang naik bus.”
Bukannya menjawab dan menuruti perkataan Bina, Valen malah kembali memakai helmnya dan menaiki motornya.
“Yok, Bin. Gue anter.”