Panglimakun

“Mama mana, Ayah?”


Ran sedari tadi menunggu Johnny di depan pintu rumahnya, ini sudah jam lima sore dan dia masih setia menunggu dari jam dua siang tadi.

Ran hanya tinggal bersama Maraka dan Hazel di rumah, karena Mamanya sudah dua hari tidak pulang, dan Johnny sama sekali tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.

“Adek, ayok mam!” teriak Maraka yang baru saja bangun dari tidur siangnya.

Maraka yang masih berusia enam tahun tidak tahu bagaimana caranya bisa membujuk Ran agar bisa makan.

Maraka pun melangkah dan menghampiri Ran yang masih saja diam di depan pintu.

“Ayok mam, adek,” ajaknya lagi.

Ran menggelengkan kepalanya, dia tidak menghiraukan Maraka.

“Adek mau apa?”

“Mau Mama, Abang.”

Maraka seketika diam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan dirinya saja bingung kemana Mamanya pergi beberapa hari ini.

“Nanti Ayah mar—”

“Ayah!” Ran berteriak dengan begitu kencang saat motor Johnny berhenti di depan halaman kecil rumahnya.

Segera Ran bangun dan berlari kecil menghampiri Johnny. Setelah Johnny melepaskan helmnya, Johnny tidak sadar ada Ran yang sedari tadi menunggu untuk disambut, dia berjalan begitu saja masuk ke dalam rumah dengan wajah masamnya.

Namun, Ran masih belum menyerah, dia pun segera menyusul Johnny. Saat sudah di samping Johnny, Ran menarik-narik kecil celana yang Johnny kenakan.

“Mama mana, Ayah?” tanya Ran dengan polos.

Menyadari kehadiran Ran, Johnny pun menghentikan langkahnya, dia melihat kebawah sudah ada Ran di sana.

“Ayah, Mama, Ran mau Mama,” ucapnya lagi.

“Ayah, Ran belum makan!” seru Maraka yang baru saja menutup pintu rumah dan menghampiri Johnny dengan Ran, tidak lupa dia mengadu kepada Johnny.

Johnny pun mengernyit, wajah lelahnya semakin menjadi lelah ketika mendengar pengaduan dari Maraka.

Johnny merendahkan tubuhnya untuk mengangkat tubuh kecil Ran.

“Ayo makan Ayah suapin,” kata Johnny tanpa berbasa-basi membawa Ran ke dapur.

“Nda! Ran mau Mama, Ran mau Mama!” Ran merengek dengan berteriak, sangking kerasnya suara Ran, Hazel pun terbangun dan menghampiri Johnny, Ran, Maraka yang sudah ada di dapur.

“Turun! Turun!” Ran memberontak agar Johnny menurunkannya.

Karena tubuh Johnny begitu lemah, dia pun menurunkan Ran dari gendongannya.

“Makan dulu, Ran, Ayah capek. Jangan gini, ya?”

“Ran mau Mama! Mama! Ran gak mau makan kalo gak ada Mama!”

Plak!

Suara itu berhasil membuat Maraka dan Hazel membeku di tempat. Pasalnya, baru saja detik itu dengan mata kepalanya sendiri, Maraka dan Hazel melihat Johnny memukul tubuh kecil adiknya dengan begitu keras.

“Mama!” Ran menangis dengan begitu histeris, bahkan dalam tangisnya itu dia masih saja menyebut Mamanya.

Ran segera berlari ke kamar, diikuti oleh Maraka, tidak lupa dia menarik tangan Hazel.

Setelah ketiga anaknya itu masuk ke dalam kamar, Johnny menjatuhkan tubuhnya seketika. Dia baru saja menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Untuk yang pertama kalinya Johnny berbuat kasar kepada Ran.

Lelahnya membuat Johnny seperti ini. Johnny tahu ini salah, namun semuanya sudah terjadi.

Setelah sekian lama, Johnny pun beranjak menuju kamar anak-anaknya, perlahan dia membuka pintu itu, mereka tidak sadar atas kehadiran Johnny. Dari ambang pintu Johnny melihat Maraka terus menghapus air mata Ran, Hazel yang hanya berdiri diam di sisi kasur tanpa berbuat apa-apa, dan Ran yang terus menangis sambil meneriaki kata 'Mama'.

Johnny tidak tahu harus berbuat apa, hubungannya dengan istirnya tidak berjalan dengan lancar, dua hari yang lalu mereka baru saja mengalami pertengkaran yang begitu hebat.

Johnny mendapatkan fakta kalau Karin—istrinya itu—selingkuh darinya. Johnny masih berusaha untuk tidak mempercayai fakta itu, dan masih yakin kalau semuanya baik-baik saja.

“Pa,” panggilku sebelum Papa keluar dari pintu rumah untuk berangkat kerja.

“Ya? Ada apa, Zel?” Papa berbalik badan menatapku.

Aku sedikit takut sebenarnya, bagaimana caranya untuk meminta izin kalau aku harus membawa teman-teman ke rumah untuk kerja kelompok.

“Itu ... Azel ada kerja kelompok, dan harus dikerjakan di rumah ini, boleh, tidak, Pa?” tanyaku sedikit hati-hati.

Papa diam sejenak, aku mulai khawatir Papa akan memberikan reaksi yang tidak aku inginkan.

“Sure, why not? Jangan lupa bilang bibi biar semuanya disiapkan. Terus gimana les kamu?”

Ah, benar saja, aku lupa bilang sesuatu ke Papa.

“Gurunya ada urusan hari ini, Pa. Jadi Azel cuman dikasih tugas buat dibawa besok.”

Papa mengangguk sambil tersenyum. “Les piano lancar, kan?”

Aku menunduk, bingung harus menjawab apa, pasalnya aku belum ada perkembangan sama sekali. Perlahan aku menggenggam tanganku agar tidak terlihat bekas luka akibat dipukul oleh guru les piano ku.

“Lancar, Pa. Tapi Azel masih biasa saja.”

“Wajar, gimana nanti malam belajar sama Papa?”

Aku harus jawab apa sekarang, aku yakin tidak akan baik-baik saja kalau belajar dengan Papa. Memang dia tidak kasar, tapi begitu mengintimidasi.

“Boleh, Pa.”


“Kamu ngapain, sih, kalau di mobil main handphone terus, Zel?” Damar, supir pribadi mu bertanya sambil melirik ku sesekali melalui kaca depan.

“Sambat.”

“Apa itu?”

“Keluh kesah di twitter, Pak.”

Damar menggelengkan kepalanya pelan. “Dasar anak muda.”

“Oh, ya, Pak. Nanti Azel pulang sekalian sama teman-teman, ya? Ada kerja kelompok,” kataku sembari menyimpan ponsel di saku celana.

“Baiklah.”

Setelah itu aku menikmati jalanan kota menuju sekolah yang begitu padat. Aku berpikir apa yang akan terjadi nanti di sekolah. Apa aku akan terus dilirik dengan mata tajam mereka, dan terus dicemooh? Entahlah, yang penting aku harus tetap diam.

Hari ini rasanya begitu melelahkan, bahkan sangat melelahkan daripada hari-hari sebelumnya—tentu hari-hari setelah aku diadopsi—kegiatan yang harus aku lakukan terus menerus bertambah. Les demi les, hari ini selain les piano aku juga harus menghadiri les mata pelajaran perminatan yang benar-benar harus aku pelajari.

Semuanya selesai pukul setengah satu malam, dan sekarang aku sedang ada di perjalanan pulang. Rasanya tidak masuk akal aku baru pulang jam segini. Selama perjalanan aku tidak bisa menahan rasa kantuk ku. Tapi, aku terus menahannya, karena kalau aku sudah tidur, aku akan susah dibanguni.

Akhirnya aku pun sampai di rumah, rumah yang sangat besar itu begitu sepi, bahkan tidak ada suara nyamuk berbunyi. Berbeda dengan panti asuhan, yang sempit dan berisik, namun menyenangkan.

Aku melangkah menuju kamar, saat aku hendak masuk, aku baru saja teringat kalau aku ada janji dengan Rayna. Sebenarnya bukan janji, tapi kalau tidak aku turuti pasti dia akan marah.

Aku pun melangkah dengan cepat menuju rumah pohon, samar-samar aku lihat lampu rumah pohon itu masih menyala, membuat aku yakin kalau Rayna masih terjaga.

Perlahan aku menaiki anak tangga satu persatu dengan hati-hati.

Tok tok tok

Aku mengetuk pintu rumah pohon Rayna, cukup lama aku menunggu pintu itu dibukakan. Sampai akhirnya Rayna membukakan pintu dan menyambutku dengan wajah masamnya. Ah, apa yang aku harapkan? Rayna dengan wajah ramah? Tidak mungkin, bahkan saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, dia menyambutku dengan wajah masamnya.

“Kenapa?” tanyaku to the point.

Rayna tidak menjawab, dia kembali masuk ke rumah pohonnya itu tanpa menutup pintu. Aku melihat dia mengambil beberapa buku dan sebuah benda kecil. Rayna pun kembali dan menyerahkan barang yang baru saja dia ambil—lima buku dan satu rubik yang sudah rusak.

Aku tidak bertanya tapi tangan ku bergerak meraih barang itu.

“Itu catatan tentang mata pelajaran perminatan, sesuai dengan jurusan, lo,” kata Rayna.

Aku mengernyit, kemudian aku pun membuka satu buku itu, di halaman pertama aku melihat kalimat 'humas' aku tidak asing dengan kalimat ini, aku baru mempelajarinya tadi di sekolah dan di tempat les.

“Maaf rubik lo rusak,” kata dia lirih.

Aku menebak kalau Rayna mengambil rubik itu dari kamarku, tidak usah ditanya lagi, pasti dia masuk dari jendela, karena aku tidak menguncinya.

“Thanks,” responku singkat. “Ada lagi?” tanyaku memastikan, siapa tahu ada yang belum dia berikan lagi.

Rayna diam sejenak, matanya menatap liar ke arah lain dengan cepat, kemudian dia berkata, “Rubik itu susah gue selesaikan, dan sekarang rusak. Tapi, gue yakin sama lo semuanya akan baik-baik saja.”

Aku menunduk menatap rubik yang ada di atas tumpukan buku di tanganku, ya, memang rusak, mungkin karena rubik itu sudah waktunya rusak, kenapa dia harus sedih seperti itu.

“Ini rubik gue dari panti asuhan, wajar aja kalau rusak, mungkin rapuh. Jangan merasa bersalah.”

Aku sebenarnya tidak yakin alasan Rayna sedih karena rubik ini.

“Ya. Dan gue semakin yakin semuanya akan baik-baik saja.”

Aku terdiam sejenak, apa yang baik-baik saja? Rubik? Atau apa? Entahlah, aku tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu, karena Rayna kini sudah kembali masuk ke dalam rumah pohonnya, meninggalkan aku sendirian yang sedang kebingungan dengan kalimat anehnya.

Hari ini rasanya begitu melelahkan. Setelah sekolah, aku harus mengikuti kegiatan les tambahan, setelah itu aku harus les piano. Ternyata begini kehidupan anak orang kaya di luar sana.

Ya, walau aku gak tahu pasti bagaimana kehidupan mereka, lebih baik daripada aku, atau bahkan lebih parah. Setidaknya aku bersyukur karena guru les pelajaran perminatan aku ramah, tidak seperti guru les piano.

Bahkan hari ini aku sudah beberapa kali terkena pukulan kecil di tangan ku, dia memukul tangan-tangan ku mengenakan rotan yang selalu dia bawa kemana-mana.

Saat ini aku sedang di perjalanan pulang menuju rumah, sebenarnya ada senangnya juga jika aku harus pulang malam seperti ini, setidaknya aku tidak jumpa dengan Papa, yang akan menantang ku seperti hari itu.

Selama perjalanan aku tidak bisa menahan rasa kantuk, tapi aku tidak boleh tertidur, kalau aku tertidur aku akan susah dibangunkan dan rasa malas akan menguasai ku. Terlebih setelah ini aku harus menemui Rayna, walaupun aku ragu Rayna masih terjaga.

Sesampainya di rumah, aku tidak melihat siapa-siapa, rumah yang sangat besar ini kosong, bahkan suara nyamuk berterbangan saja tidak ada. Berbeda seperti di panti asuhan dulu, kecil, berisik.

Aku melangkah dengan langkah gontai karena rasa lelah dan ngantuk, sesampainya aku di depan pintu kamar aku hampir saja lupa, lupa untuk menemui Rayna di rumah pohonnya.

Aku pun segera melangkahkan kakiku ke sana, tidak perduli dengan tubuhku yang sudah begitu lelah dan juga sudah sedikit lengket.

Aku melihat rumah pohon itu masih diterangi dengan lampu, aku yakin kalau Rayna masih terjaga.

Tok tok tok

Aku mengetuk pintu rumah kayu Rayna setelah sampai di hadapan pintu itu. Sedikit lama aku menunggu pintu itu terbuka, sampai akhirnya Rayna muncul dengan wajah masamnya. Ya, apa yang aku harapkan, Rayna dengan wajah ramahnya? Bahkan saat pertama kali aku sampai di rumah ini, dia menyambutku dengan wajah masamnya itu.

“Kenapa?” tanyaku to the point, tidak mau berbasa-basi karena aku ingin segera tidur setelah ini.

Rayna tidak menjawab dia kembali masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu, aku tidak tahu apa itu.

“Nah,” katanya, seraya mengulurkan tangannya.

Dia menyerahkan lima buku dan juga sebuah rubik yang ada di atasnya. Aneh, itu seperti rubik ku, tapi kenapa rusak?

Aku mengernyit, tapi segera meraih buku itu dan juga rubiknya.

“Buku tentang perminatan, dasar sih, tapi gue yakin itu bisa ngebantu lo,” ucap Rayna. “Dan, sorry rubiknya rusak,” lanjutnya.

Aku diam sejenak kemudian membuka salah satu buku yang ada di tanganku. Buku itu seperti catatan, tapi terlihat begitu rapi, bait pertama aku membaca kalimat etika, aku tidak asing dengan materi ini, aku sudah membacanya tadi di sekolah dan juga di tempat les.

Aku segera menutup buku itu dan menatap Rayna. “Buat gue?”

“Gak mungkin buat Adhitama, dia udah nguasai semua itu,” jawab Rayna. Aku kira dia ingin bercanda, tapi dia mengatakan itu dengan wajah datarnya.

“Itu bisa ngebantu hidup, lo, dan gak akan rusak kayak rubik itu.”

Aku mengangguk. “Thanks, gue mau masuk ke kamar dulu, gak ada lagi, kan?” tanyaku memastikan.

Rayna terlihat terdiam sejenak, matanya liar menatap ke arah lain dengan cepat, lalu dia menjawab, “Nggak ada.”

Aku pun mengangguk kemudian bersiap untuk menuruni tangga rumah pohon Rayna.

Langkahku tertahan karena aku mendengar gumaman Rayna.

“Ya?”

“Selain susah gue selesaikan, rubik itu juga rusak kalau di tangan gue,” ujar Rayna.

Aku mengernyit tidak paham apa yang dimaksud oleh Rayna, udah kedua kalinya dia berbicara tentang rubik dan menyambungkannya dengan hidup, entahlah apa maksud dia, aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu sepertinya, karena tiba-tiba saja Rayna masuk begitu saja tanpa menjelaskan apa yang baru saja dia ujarkan.

Hari ini rasanya begitu melelahkan. Setelah sekolah, aku harus mengikuti kegiatan les tambahan, setelah itu aku harus les piano. Ternyata begini kehidupan anak orang kaya di luar sana.

Ya, walau aku gak tahu pasti bagaimana kehidupan mereka, lebih baik daripada aku, atau bahkan lebih parah. Setidaknya aku bersyukur karena guru les pelajaran perminatan aku ramah, tidak seperti guru les piano.

Bahkan hari ini aku sudah beberapa kali terkena pukulan kecil di tangan ku, dia memukul tangan-tangan ku mengenakan rotan yang selalu dia bawa kemana-mana.

Saat ini aku sedang di perjalanan pulang menuju rumah, sebenarnya ada senangnya juga jika aku harus pulang malam seperti ini, setidaknya aku tidak jumpa dengan Papa, yang akan menantang ku seperti hari itu.

Selama perjalanan aku tidak bisa menahan rasa kantuk, tapi aku tidak boleh tertidur, kalau aku tertidur aku akan susah dibangunkan dan rasa malas akan menguasai ku. Terlebih setelah ini aku harus menemui Rayna, walaupun aku ragu Rayna masih terjaga.

Sesampainya di rumah, aku tidak melihat siapa-siapa, rumah yang sangat besar ini kosong, bahkan suara nyamuk berterbangan saja tidak ada. Berbeda seperti di panti asuhan dulu, kecil, berisik.

Aku melangkah dengan langkah gontai karena rasa lelah dan ngantuk, sesampainya aku di depan pintu kamar aku hampir saja lupa, lupa untuk menemui Rayna di rumah pohonnya.

Aku pun segera melangkahkan kakiku ke sana, tidak perduli dengan tubuhku yang sudah begitu lelah dan juga sudah sedikit lengket.

Aku melihat rumah pohon itu masih diterangi dengan lampu, aku yakin kalau Rayna masih terjaga.

Tok tok tok

Aku mengetuk pintu rumah kayu Rayna setelah sampai di hadapan pintu itu. Sedikit lama aku menunggu pintu itu terbuka, sampai akhirnya Rayna muncul dengan wajah masamnya. Ya, apa yang aku harapkan, Rayna dengan wajah ramahnya? Bahkan saat pertama kali aku sampai di rumah ini, dia menyambutku dengan wajah masamnya itu.

“Kenapa?” tanyaku to the point, tidak mau berbasa-basi karena aku ingin segera tidur setelah ini.

Rayna tidak menjawab dia kembali masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu, aku tidak tahu apa itu.

“Nah,” katanya, seraya mengulurkan tangannya.

Dia menyerahkan lima buku dan juga sebuah rubik yang ada di atasnya. Aneh, itu seperti rubik ku, tapi kenapa rusak?

Aku mengernyit, tapi segera meraih buku itu dan juga rubiknya.

“Buku tentang perminatan, dasar sih, tapi gue yakin itu bisa ngebantu lo,” ucap Rayna. “Dan, sorry rubiknya rusak,” lanjutnya.

Aku diam sejenak kemudian membuka salah satu buku yang ada di tanganku. Buku itu seperti catatan, tapi terlihat begitu rapi, bait pertama aku membaca kalimat etika, aku tidak asing dengan materi ini, aku sudah membacanya tadi di sekolah dan juga di tempat les.

Aku segera menutup buku itu dan menatap Rayna. “Buat gue?”

“Gak mungkin buat Adhitama, dia udah nguasai semua itu,” jawab Rayna. Aku kira dia ingin bercanda, tapi dia mengatakan itu dengan wajah datarnya.

“Itu bisa ngebantu hidup, lo, dan gak akan rusak kayak rubik itu.”

Aku mengangguk. “Thanks, gue mau masuk ke kamar dulu, gak ada lagi, kan?” tanyaku memastikan.

Rayna terlihat terdiam sejenak, matanya liar menatap ke arah lain dengan cepat, lalu dia menjawab, “Nggak ada.”

Aku pun mengangguk kemudian bersiap untuk menuruni tangga rumah pohon Rayna.

Langkahku tertahan karena aku mendengar gumaman Rayna.

“Ya?”

“Selain susah gue selesaikan, rubik itu juga rusak kalau di tangan gue,” ujar Rayna.

Aku mengernyit tidak paham apa yang dimaksud oleh Rayna, udah kedua kalinya dia berbicara tentang rubik dan menyambungkannya dengan hidup, entahlah apa maksud dia, aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu sepertinya, karena tiba-tiba saja Rayna masuk begitu saja tanpa menjelaskan apa yang baru saja dia ujarkan.

“Karin, saya gak masalah kemarin kamu selingkuh, saya maafin kamu, Karin. Sekarang kembali ke saya dan anak-anak.” Sedari tadi Johnny memohon kepada Karin yang sedang mondar-mandir memasuki baju-baju dari lemari ke koper besar miliknya.

Sayangnya Karin seakan tuli dan malas untuk mendengar semua permohonan yang keluar dari mulut suaminya itu.

Karena geram Johnny pun menahan tangan Karin, membuat Karin harus menghentikan langkahnya.

Johnny membalikkan tubuh Karin hingga kini mata mereka saling beradu tatap.

Mata yang dulu begitu senang jika ditatap, mata yang dulu begitu membuat Johnny jatuh cinta kini semua sirna begitu saja.

“Aku mohon,” pinta Johnny, dengan nada yang begitu miris.

Karin tertawa kecil mendengarnya, lebih tepatnya seringai mengejek. Dia dengan kuat melepaskan genggaman tangan Johnny dari lengannya dengan satu hentakan.

“Dimana harga diri kamu sebagai pria, Jo?” ujar Karin dengan nada menantang. Setelahnya Karin kembali membalikkan tubuhnya, dan melanjutkan kegiatan memasukkan baju dari lemari ke koper miliknya.

Mendengar ujaran yang keluar dari mulut Karin, membuat Johnny geram hingga kedua tangannya mengepal sempurna dan begitu kuat. Johnny marah, begitu marah hingga dadanya naik turun, berusaha untuk mengatur napasnya.

Namun sayangnya kali ini Johnny kalah dengan emosinya. Dengan cepat dan kuat Johnny kembali menarik dan mencengkram lengan kiri Karin dengan begitu kuat, lebih kuat daripada sebelumnya, sampai Karin mengeluarkan suara meringis kesakitan.

“Lantas bagaimana dengan harga diri kamu, Karin!” Johnny bertanya dengan nada bicara yang begitu tinggi dan begitu lantang, mungkin saja suaranya terdengar hingga keluar kamar, atau bahkan keluar rumah.

Persetan jika ada tetangga yang mendengarnya, Johnny sekarang sama sekali tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, emosi lah yang mengambil alih diri Johnny sepenuhnya.

Johnny menatap mata Karin dengan begitu tajam. Anehnya Karin menjadi takut, bahkan tatapan menantangnya tiba-tiba tidak bisa dia keluarkan.

“Dimana harga diri kamu sebagai seorang istri dan juga Ibu, Karin?” Suara Johnny melemah, namun tetap terdengar begitu mengintimidasi, terlebih tatapannya yang semakin tajam.

“Saya tanya ke kamu, Karin ... .”

Johnny memberi jeda sejenak agar Karin memberikan jawaban atas pertanyaannya. Namun, karena takut, Karin memilih untuk tetap diam dan bungkam.

“Jawab!” Teriak Johnny dengan nada bicara yang kembali meninggi.

“Berani kamu bilang saya tidak punya harga diri, sekarang saya tanya kamu ... KARINA RANIA!”

Tubuh Karin bergetar dengan hebat ketika mendengar namanya disebutkan lengkap dan dengan nada yang begitu tinggi. Untuk pertama kalinya Johnny seperti ini, walau biasanya mereka terlibat dalam pertengkaran, namun Johnny tidak pernah seperti ini.

Hari ini, Karin benar-benar membuat Johnny begitu marah, hingga tidak peduli dengan siapa dia berhadapan sekarang. Tidak ada lagi di benaknya untuk berusaha menahan emosi karena sedang berhadapan dengan Karin.

Johnny merasa sudah cukup dirinya diinjak-injak sekarang, sudah cukup dia bersujud mengemis di hadapan perempuan yang sama sekali tidak menghargai dirinya sebagai pria dan juga sebagai suami.

Semuanya sudah cukup. Johnny melonggarkan cengkraman tangannya, kemudian dia berkata, “Kamu mau pergi? Silahkan, tapi jangan pernah berharap untuk bisa kembali, Karin.”

Tubuh Karin yang tadinya seakan kehilangan tenaga, kini kembali kuat hingga bisa mendorong tubuh Johnny dengan begitu kuat.

“Ya! Harusnya dari dulu, dan aku gak akan pernah kembali, Johnny. Aku gak akan pernah menyesal!” Tegasnya.

Karin kembali berurusan dengan kopernya, dirasa sudah cukup, dia pun menutup kopernya dan tidak lupa dia mengambil tas kecil miliknya sebelum melangkahkan kaki keluar dari kamar itu.

Kamar yang menjadi saksi bisu bahwa dirinya dengan Johnny pernah menjalin kasih di sana. Kamar yang menjadi saksi bisu setiap pertengkaran dirinya dengan Johnny. Kamar yang menjadi saksi bisu kehangatan Johnny yang dia tepis dengan begitu kuat.

Kini dengan yakin Karin ingin meninggalkan semua itu. Meninggalkannya sendiri dengan Johnny yang kini terlihat begitu lesu.

“Karin ...,” panggil Johnny dengan lirih, saat kaki Karin akan keluar dari kamar.

Entah kenapa Johnny tiba-tiba memanggil nama itu lagi. Apa karena dia tidak bisa melepaskan Karin begitu saja? Bukan ... Johnny sudah dengan siap melepaskan perempuan itu dari genggamannya.

Satu hal yang menjadi alasan mengapa Johnny kembali memanggil nama perempuan itu, anak-anak ... Bagaimana dengan anak-anak.

Lagi dan lagi, seakan tuli Karin tidak peduli dengan Johnny, tanpa keraguan dia melangkah keluar dari kamar itu, hingga langkahnya terhenti tidak jauh dari sana.

Terhenti karena ada dua pasang mata yang kini menatapnya. Maraka dan Hazel, dua anak laki-laki yang dia kandung selama sembilan bulan, dua anak laki-laki yang dia lahirkan dari rahimnya sendiri, kini sedang menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

Karin egois, begitu egois, sebagai seorang Istri, tapi apa dia akan egois juga sebagai seorang Ibu ... Maka jawabannya iya. Dengan langkah pelan, namun sedikit tidak yakin Karin melangkah sembari menyeret kopernya, melewati kedua anak laki-lakinya itu, yang masih membisu di sana.

Keegoisan Karin tidak menutupi bahwa dia masih tidak yakin untuk meninggalkan anak-anaknya. Karin menghentikan langkahnya saat dia sudah tiba di depan pintu rumah, dia kembali membalikkan tubuhnya untuk melihat kedua anak laki-lakinya yang masih sama diamnya di sana.

Aneh ... Karin merasa aneh, kenapa tidak ada satupun dari mereka yang meneriaki namanya, atau berlari untuk memeluk dirinya.

Hal itu membuat Karin semakin yakin untuk meninggalkan semuanya di sini, dan memulai kembali dengan kebahagiannya yang sesungguhnya.

Tanpa berpamitan, Karin melangkahkan kakinya keluar pergi dari rumah yang dia bangun dengan Johnny.

Rumah kecil yang awalnya menyimpan banyak tawa dan kehangatan, kini hancur begitu saja.

“Mama pergi.” Satu kalimat keluar dari mulut kecil Hazel setelah terdiam.

Dengan polosnya Maraka mengangguk. “Mama selalu pergi,” jawabnya.

Maraka memang masih belum tahu apa-apa, tapi dia tahu kalau Mamanya sudah pergi, Maraka tidak tahu Mamanya akan kembali atau tidak. Yang dia tahu dari penglihatannya setiap malam, Mamanya selalu pergi.

“Tapi Abang gak akan pergi.” Dengan polosnya Maraka menggenggam tangan Hazel dan memberikan senyuman kepada adiknya itu.

Maraka terlalu dini untuk memahami apa maksud dari kata pergi sesungguhnya.

Hazel mengangguk kemudian dia bertanya, “Adik kemana?”


“Ran, jangan lari-lari, Nak, nanti jatuh.” Jay berusaha memperingati Ran, gadis kecil Johnny yang kini sedang berlari ke arah rumah dengan kaki-kaki kecilnya.

Di kedua tangan kecilnya dia menggenggam dua es krim yang dibelikan oleh Jay tadinya. Ran begitu senang dan bersemangat untuk memberikan es krim itu untuk Abang-abangnya.

Jay tidak bisa menahan tawanya melihat kegemasan gadis kecil di depannya itu. Dia kembali teringat bagaimana Johnny bisa membenci gadis kecil itu. Padahal dia hanya gadis kecil yang belum memiliki dosa sama sekali.

“Mama!”

Jay tersentak ketika mendengar Ran berteriak dengan lantang. Pandangannya pun tertuju pada sebuah mobil yang tidak jauh dari rumah Johnny. Begitu jelas Jay melihat Karin sedang menatap Ran, sebelum dia masuk ke dalam mobil itu.

“Mama!”

“Ran, jangan lari!” Jay berteriak ketika Ran kembali berlari hendak mengejar mobil itu.

Brak!

“Mama!”

Mata Jay melotot dengan sempurna melihat Ran tersungkur hingga mengeluarkan suara yang begitu keras. Dengan cepat dan sigap dia menghampiri Ran dan mengangkat tubuh gadis kecil itu.

“Mama, Mama.” Ran menunjuk ke arah mobil yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Gadis kecil ini seakan tidak peduli dengan luka di telapak tangan, kaki, lutut, dan darah yang mengalir dari keningnya.

“Mama ...” Ran menoleh menatap Jay yang hanya bisa diam, tanpa bisa memberikan reaksi apa-apa.

“Mama pelgi.”

Hal terindah yang pernah saya pilih dalam kehidupan saya adalah menikahi seorang perempuan yang begitu saya cintai. Namanya Karina Rania, perempuan yang sangat cantik dan memiliki kepribadian yang membuat saya takjub. Semasa pacaran dia tidak mengeluh dengan saya yang penuh dengan kesederhanaan, saya kira dia menerima saya apa adanya, terlebih keadaan orang tua saya yang benar-benar biasa saja.

Namun ternyata saya salah—semua terungkap setelah menikah—setelah menikah saya jadi tahu sikap asli dia. Dia tidak sesempurna yang terlihat di mata saya dulu. Dia selalu saja mengeluh tentang pekerjaan saya. Pekerjaan saya yang bisa berubah setiap Minggu atau bahkan setiap harinya—karena saya memang belum menemukan pekerjaan tetap.

Tapi, demi dia dan demi anak saya yang dia kandung, saya berusaha sebisa mungkin. Apapun yang bisa saya lakukan maka saya lakukan, demi membawa pulang kebutuhan mereka.

Benar kata orang-orang menikah bukan hanya tentang hidup bersama dengan kebahagiaan bersama orang yang dicintai. Banyak sekali rintangan yang harus saya lakukan, sampai saya sendiri terpengaruh.

Emosi saya sering tidak bisa terkendali, tapi setidaknya saya masih bisa sadar, dan sebisa mungkin saya tidak menyakiti keluarga kecil saya.

Hal itu saya pertahankan sampai anak kedua saya lahir, umur mereka hanya terpaut satu tahun, jadi begitu sulit untuk saya mencari uang untuk mereka. Tapi, kembali lagi, saya tidak pernah menyerah apapun ceritanya.

Perempuan yang lemah lembut, perempuan yang penuh cinta, perempuan yang membuat saya takjub seketika sirna begitu saja. Setiap hari yang saya dapatkan hanya cacian dan bentakan. Saat saya pulang ke rumah untuk mendapatkan ketenangan, ada saja masalah yang harus saya hadapi.

Sampai dua tahun kemudian anak ketiga saya lahir, dia adalah anak perempuan—satu-satunya anak perempuan di keluarga kecil saya. Saya sangat bahagia, terlebih saat melihat matanya, begitu mirip dengan Ibunya. Entah mengapa saya langsung jatuh cinta dengan Anak itu. Rasanya saya harus benar-benar siap menjaga dia.

Ternyata saya salah, karena pengkhianatan perempuan yang saya cintai itu membuat saya benci kepada Anak perempuan saya—terlebih saat menatap matanya. Iya, Karina Rania berkhianat, dia pergi dan menjalin hubungan dengan pria lain di luar sana.

Sudah bertahun-tahun dia mengkhianati saya, namun terungkap setelah anak perempuan saya berusia tiga tahun.

Dia mengaku sendiri, dengan alasan dia muak dan malu dengan saya yang begitu banyak hutang—padahal saya lakukan itu demi untuk mereka.

Saya bisa apa? Saya kehilangan dia dan harus mengurus tiga anak dengan status ‘Ayah’ dan mulai saat itu juga saya gagal menjadi seorang Ayah


🌙

Maraka Putra Aditya anak pertama saya, saya panggil dia dengan panggilan ‘Abang’. Entah mengapa saya begitu suka dengan panggilan itu. Sedikit informasi saja, saya selalu menamakan putra atau putri di setiap nama tengah anak saya, saya mau orang-orang tahu kalau mereka adalah putra atau putri Aditya—anak saya.

Banyak kesalahan yang saya lakukan karena saat dia lahir itu adalah pengalaman pertama saya menjadi seorang Ayah. Tapi, dengan semua tanggung jawab saya, saya sedikit demi sedikit belajar memperbaiki kesalahan saya.

Sampai akhirnya sekarang dia sudah berusia tujuh tahun, sudah menduduki bangku sekolah dasar. Di umurnya yang masih sangat kecil, saya bisa melihat sosok saya di dia. Tidak manja dan juga senang membantu. Saya yakin dia bisa menjadi sosok Abang yang baik untuk kedua adiknya.

Sayangnya, dialah yang menjadi saksi pertama di setiap pertengkaran saya dengan Karina. Begitu menyedihkan namun saya tidak bisa memperbaikinya lagi. Setiap kali saya tanya—apa dia mendengar pertengkaran saya dengan Karina— dia akan selalu pergi dari hadapan saya.

Dialah yang sering bantu saya ketimbang Ibunya untuk mengurus adik-adiknya, padahal usia dia juga masih butuh bantuan dari kedua orang tua. Saya sangat-sangat menyesal ini terjadi kepadanya. Dan saya berharap ketika dia dewasa nanti, saya dapat memberi kebahagiaan lebih kepadanya.


🌙

Hazelzayn Putra Aditya, anak kedua saya. Wataknya begitu berbeda dengan Maraka. Hazel cenderung pendiam daripada Maraka. Di balik diamnya, dia tahu semuanya sama seperti Maraka. Mereka berdua tentu mendengar setiap kali saya bertengkar dengan Ibunya.

Jika Maraka akan selalu ceria di waktu tertentu, maka Hazel tidak sama sekali dia memilih untuk diam kapan pun itu. Pernah sekali saya temani dia tidur, sama seperti saya temani Maraka tidur kalau saya sempat, ternyata dia menolak saya begitu saja.

Padahal saya sangat ingin menghabiskan waktu dengannya. Ternyata tidak dengan dia. Karena itu saya tidak terlalu mengenalnya.

Padahal dia adalah anak saya. Bahkan saat sakit pun dia hanya memilih diam, saat saya tahu dia sudah begitu parah keadaannya. Di balik diamnya dia, ternyata dia sangat memperhatikan sang adik, sang adik yang berbeda dua tahun darinya.

Sang adik yang memiliki nasib lebih malang dari kedua anak saya.

Dia selalu pasang badan kecilnya itu untuk melindungi adik kecilnya kala saya sudah kelewatan. Saya tidak banyak berharap, saya hanya ingin lebih dekat dengannya.


🌙

Randika Putri Aditya, satu-satunya Putri yang memiliki nama belakang saya. Dia cinta ketiga saya—setelah Ibu dan istri saya.

Rasanya saya seperti jatuh cinta lagi ketika dia lahir ke dunia ini. Bahkan saya sudah berpikir tidak siap jika dia harus menghadapi gelap dan jahatnya dunia ketika dia dewasa nanti.

Namun kenyataannya rasa cinta itu tidak bertahan lama. Semua berubah ketika Karin mengkhianati saya. Rasa cinta menjadi benci.

Terlebih saat saya menatap mata yang begitu mirip dengan Karin. Rasanya saya ingin marah—padahal dia hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Dia selalu mencari perhatian saya, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi, tapi sama sekali saya tidak bisa menghadapinya.

Setiap kali saya berhadapan dengan dia, saya akan memarahinya bahkan sampai melukainya.

Saya tidak tahu apa yang telah terjadi pada saya, padahal saya tidak melakukan itu kepada Maraka dan Hazel.

Randika Putri Aditya, putri kecil yang selalu menerima luka dan kekerasan dari saya.


Jika kalian bertanya berapa kali saya jatuh cinta, maka saya dengan lantang akan menjawab hanya dua kali, kepada Karin dan Ran anak perempuan saya.

Tapi cinta itu berubah menjadi benci seiring waktu berjalan. Dan, inilah cerita saya, cerita tentang benci, luka, dan kegagalan.

Hal terindah yang pernah saya pilih dalam kehidupan saya adalah menikahi seorang perempuan yang begitu saya cintai. Namanya Karina Rania, perempuan yang sangat cantik dan memiliki kepribadian yang membuat saya takjub. Semasa pacaran dia tidak mengeluh dengan saya yang penuh dengan kesederhanaan, saya kira dia menerima saya apa adanya, terlebih keadaan orang tua saya yang benar-benar biasa saja.

Namun ternyata saya salah—semua terungkap setelah menikah—setelah menikah saya jadi tahu sikap asli dia. Dia tidak sesempurna yang terlihat di mata saya dulu. Dia selalu saja mengeluh tentang pekerjaan saya. Pekerjaan saya yang bisa berubah setiap Minggu atau bahkan setiap harinya—karena saya memang belum menemukan pekerjaan tetap.

Tapi, demi dia dan demi anak saya yang dia kandung, saya berusaha sebisa mungkin. Apapun yang bisa saya lakukan maka saya lakukan, demi membawa pulang kebutuhan mereka.

Benar kata orang-orang menikah bukan hanya tentang hidup bersama dengan kebahagiaan bersama orang yang dicintai. Banyak sekali rintangan yang harus saya laku, sampai saya sendiri terpengaruh. Emosi saya sering tidak bisa terkendali, tapi setidaknya saya masih bisa sadar, dan sebisa mungkin saya tidak menyakiti keluarga kecil saya. Hal itu saya pertahankan sampai anak kedua saya lahir, umur mereka hanya terpaut satu tahun, jadi begitu sulit untuk saya mencari uang untuk mereka. Tapi, kembali lagi, saya tidak pernah menyerah apapun ceritanya.

Perempuan yang lemah lembut, perempuan yang penuh cinta, perempuan yang membuat saya takjub seketika sirna begitu saja. Setiap hari yang saya dapatkan hanya cacian dan bentakan. Saat saya pulang ke rumah untuk mendapatkan ketenangan, ada saja masalah yang harus saya hadapi.

Sampai dua tahun kemudian anak ketiga saya lahir, dia adalah anak perempuan—satu-satunya anak perempuan di keluarga kecil saya. Saya sangat bahagia saat melihat matanya, begitu mirip dengan Ibunya. Entah mengapa saya langsung jatuh cinta dengan Anak itu. Rasanya saya harus benar-benar siap menjaga dia.

Ternyata saya salah, karena pengkhianatan perempuan yang saya cintai itu membuat saya benci kepada Anak perempuan itu—terlebih saat menatap matanya. Iya, Karina Rania berkhianat, dia pergi dan menjalin hubungan dengan pria lain di luar sana. Sudah bertahun-tahun dia mengkhianati saya, namun terungkap setelah anak perempuan saya berusia tiga tahun. Dia mengaku sendiri, dengan alasan dia muak dan malu dengan saya yang begitu banyak hutang—padahal saya lakukan itu demi untuk mereka. Saya bisa apa? Saya kehilangan dia dan harus mengurus tiga anak dengan status ‘Ayah’ dan mulai saat itu juga saya gagal menjadi seorang Ayah


🌙

Maraka Putra Aditya anak pertama saya, saya panggil dia dengan panggilan ‘Abang’. Entah mengapa saya begitu suka dengan panggilan itu. Sedikit informasi saja, saya selalu menamakan putra atau putri di setiap nama tengah anak saya, saya mau orang-orang tahu kalau mereka adalah putra atau putri Aditya—anak saya. Banyak kesalahan yang saya lakukan karena saat dia lahir itu adalah pengalaman pertama saya menjadi seorang Ayah. Tapi, dengan semua tanggung jawab saya, saya sedikit demi sedikit belajar memperbaiki kesalahan saya.

Sampai akhirnya sekarang dia sudah berusia tujuh tahun, sudah menduduki bangku sekolah dasar. Di umurnya yang masih sangat kecil, saya bisa melihat sosok saya di dia. Tidak manja dan juga senang membantu. Saya yakin dia bisa menjadi sosok Abang yang baik untuk kedua adiknya.

Sayangnya, dialah yang menjadi saksi pertama di setiap pertengkaran saya dengan Karina. Begitu menyedihkan namun saya tidak bisa memperbaikinya lagi. Setiap kali saya tanya—apa dia mendengar pertengkaran saya dengan Karina— dia akan selalu pergi dari hadapan saya.

Dialah yang sering bantu saya ketimbang Ibunya untuk mengurus adik-adiknya, padahal usia dia juga masih butuh bantuan dari kedua orang tua. Saya sangat-sangat menyesal ini terjadi kepadanya. Dan saya berharap ketika dia dewasa nanti, saya dapat memberi kebahagiaan lebih kepadanya.


🌙 Lalu ini adalah Hazelzayn Putra Aditya, anak kedua saya. Wataknya begitu berbeda dengan Maraka. Hazel cenderung pendiam daripada Maraka. Di balik diamnya, dia tahu semuanya sama seperti Maraka. Mereka berdua tentu mendengar setiap kali saya bertengkar dengan Ibunya.

Jika Maraka akan selalu ceria di waktu tertentu, maka Hazel tidak sama sekali dia memilih untuk diam kapan pun itu. Pernah sekali saya temani dia tidur, sama seperti saya temani Maraka tidur kalau saya sempat ternyata dia menolak saya begitu saja.

Padahal saya sangat ingin menghabiskan waktu dengannya. Ternyata tidak dengan dia. Karena itu saya tidak terlalu mengenalnya.

Padahal dia adalah anak saya. Bahkan saat sakit pun dia hanya memilih diam, saat saya tahu dia sudah begitu parah keadaannya. Di balik diamnya dia, ternyata dia sangat memperhatikan sang adik, sang adik yang berbeda dua tahun darinya.

Sang adik yang memiliki nasib lebih malang dari kedua anak saya.

Dia selalu pasang badan kecilnya itu untuk melindungi adik kecilnya kala saya sudah kelewatan. Saya tidak banyak berharap, saya hanya ingin lebih dekat dengannya.


🌙

Randika Putri Aditya, satu-satunya Putri yang memiliki nama belakang saya. Dia cinta ketiga saya—setelah Ibu dan istri saya.

Rasanya saya seperti jatuh cinta lagi ketika dia lahir ke dunia ini. Bahkan saya sudah berpikir tidak siap jika dia harus menghadapi gelap dan jahatnya dunia ketika dia dewasa nanti.

Namun kenyataannya rasa cinta itu tidak bertahan lama. Semua berubah ketika Karin mengkhianati saya. Rasa cinta menjadi benci.

Terlebih saat saya menatap mata yang begitu mirip dengan Karin. Rasanya saya ingin marah—padahal dia hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Dia selalu mencari perhatian saya, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi, tapi sama sekali saya tidak bisa menghadapinya.

Setiap kali saya berhadapan dengan dia, saya akan memarahinya bahkan sampai melukainya.

Saya tidak tahu apa yang telah terjadi pada saya, padahal saya tidak melakukan itu kepada Maraka dan Hazel.

Randika Putri Aditya, putri kecil yang selalu menerima luka dan kekerasan dari saya.


“Hari ini saya kehilangan semuanya, dan hari ini juga hari di mana saya gagal menjadi seorang Ayah.”

Jika kalian bertanya berapa kali saya jatuh cinta, maka saya dengan lantang akan menjawab hanya dua kali, kepada Karin dan Ran anak perempuan saya.

Tapi cinta itu berubah menjadi benci seiring waktu berjalan.

Tok tok tok!

Terdengar suara ketukan pintu kamarku, biar kutebak pasti itu Ayah. Seharusnya Ayah tidak harus ke kamarku, aku juga tidak marah kepada Ayah, hanya saja aku sedikit kecewa.

“Ayah masuk, ya,” kata Ayah dari luar.

Pintu kamarku pun terbuka memperlihatkan Ayah dengan dua plastik keresek di tangannya. Ayah masuk ke kamarku dengan senyum mengembang di bibirnya.

“Ayah ngapain?” Tanyaku, lalu membantu Ayah mengambil meja kecil milikku dan dia letakkan di atas tempat tidur kecil ku.

“Ayo makan sama Ayah, tadi Ayah beli jajanan Korea gitu, Ayah mau makan sama kamu,” jawab Ayah.

Aku mengernyit keheranan, tidak biasanya Ayah membeli makanan seperti itu dan hanya mengajakku saja, biasanya juga satu rombongan diajak yang akhirnya aku hanya tersisa amapasnya saja.

“Tumben, Yah?”

“Gak mau, nih?” Katanya sambil tersenyum menatapku.

Aku segera menggeleng dan mengambil posisi di hadapan Ayah. Iya aja aku melewatkan kesempatan ini. Baru saja Ayah membuka ikatan plastik itu, air liur ku rasanya ingin keluar, sangat menggiurkan.

“Makannya pakai sumpit tapi, Ayah lupa ambil sendok, nggak apa-apa?” Ayah menatapku.

Aku mengangguk, walaupun ragu bisa, tapi harus yakin!

“Ini beneran nggak ngajak adek-adek sama yang lain, Yah?” Tanyaku memastikan, karena porsi makanan yang begitu banyak juga.

Ayah lagi-lagi hanya tersenyum sambil melahap suapan pertamanya.

“Iya, cuman Ayah sama Anak Ayah saja.”

Aku tertawa kecil kemudian juga melahap suapan pertamaku. Anak ayah katanya, yang lain pun begitu padahal.

Aku penasaran kenapa Ayah tiba-tiba saja ingin makan berdua dengan ku tanpa ada yang lain, kalau karena merasa bersalah sepertinya bukan, lagian ngapain juga Ayah merasa bersalah, kan?

Tapi inilah Ayah, sosok yang benar-benar tidak memperdulikan siapapun yang penting anak-anaknya tersenyum, walaupun bukan anaknya sendiri.

Tidak peduli kalau aku juga terkadang jahil kepada Ayah, tapi dia selalu saja berusaha agar senyuman aku tidak pernah luntur.

Aku menyadari sekarang Ayah sedang mengamatiku dengan tatapan lembutnya, karena aku sedang menikmati makanan itu jadi aku sedikit tidak peduli dan membiarkan Ayah terus memandangku.

“Ayah selalu bilang, kalau kamu butuh apa-apa langsung minta ke Ayah, Azel.”

Aku berjalan seperti biasa menyusuri lorong sekolah. Karena hari ini sedikit telat jadi sudah banyak murid lainnya di sini. aku sedikit merasa aneh karena kini semua mata tertuju padaku. Sebenarnya ini bukan hari pertama, tapi entah mengapa aneh saja.

Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dari mereka, dan bersikap seperti biasa saja. Tapi lama kelamaan bisikan-bisikan kecil membuat aku risih.

Bisikan-bisikan yang benar-benar membuatku hampir marah. 'Tampangnya begitu amat.' 'gak ada serius-seriusnya.' 'kata gue, nama Adhitama bakalan rusak di dia, ha ha ha.' 'mana dari panti asuhan yang gak terkenal lagi.' Seperti itu lah seperdengarku.

Saat satu murid lelaki menyebut nama panti asuhan ku, aku dengan refleks menghentikan langkahku yang membuat mereka berhenti berbisik-bisik.

Aku hendak berbicara namun tertahan karena ada satu tangan merangkul pundak ku tiba-tiba. Itu tangan Yan.

“Udah gak usah diladenin,” kata Yan.

Aku pun berusaha untuk mengendalikan diriku sebisa mungkin. Ku hembuskan napas panjang kemudian mengangguk dan kembali melangkah.

“Kalo lo ladenin yang ada mereka kesenenangan,” tambah Gisel yang tiba-tiba ada di sebelahku entah dari mana dia datang.

“Iya.” Aku menanggapi dengan singkat, karena aku sudah sangat malas untuk bersuara sekarang.

“Anak-anak yang berasal dari keluarga biasa saja memang dirundung di sini, Zel. Apalagi anak adopsi atau anak panti asuhan,” ujar Yan yang sedikit membuatku terkejut.

Aku jadi berpikir apa yang menjadi alasan mereka merindung anak-anak seperti kami.

“Seharusnya juga anak panti asuhan kayak kami gak sekolah di sini, Zel,” sahut Gisel.

Aku memandang mereka satu persatu. Aku tidak setuju dengan mereka, kenapa harus tidak boleh, sekolah ini tempat umum yang siapa saja bisa sekolah dan menuntut ilmu di sini, kan.

“Semua orang berhak sekolah di sini, Yan, Sel.”

Mereka tidak menyahuti ucapanku, mereka hanya senyum saja sampai kita tiba di depan pintu kelas kita. Aku semakin penasaran dengan Yan dan Gisel. Penasaran tentang semua hal, dan juga aku bisa bertanya semua hal kepada mereka. Tentang Adhitama dan juga sekolah ini tentu saja.