#.
Sepulangnya Johnny dan juga kedua anak laki-lakinya ke rumah, mereka tidak menemukan keberadaan Ran.
Maraka mencari ke kamar, lalu ia mendapatkan secarik kertas yang dengan noda darah.
Johnny membaca surat tersebut, seketika rahangnya mengeras.
“Anak bodoh,” umpatnya.
“Kemana anak sialan itu.”
Hazel yang tadi terdiam, tiba-tiba saja matanya tersulut emosi mendengar ucapan yang keluar dari sang ayah.
“Lantas ayah apa?” tanya Hazel tiba-tiba.
Maraka dan juga Johnny serentak menatap ke arah Hazel.
“Maksud kamu?” tanya Johnny kebingungan.
“Lantas ayah apa kalo Ran anak sialan dan bodoh!” Hazel berteriak dengan sangat kencang.
“Yang di sini bodoh dan sialan itu ayah, ayah tau itu?” sarkas Hazel membuat mata Johnny membulat sempurna.
“Hazel!” Maraka berusaha menegur Hazel namun Hazel tidak menghiraukannya.
“Sebenci apa ayah ke Ran? Dosa dan kesalahan apa yang sudah Ran lakukan di umurnya yang bahkan belum menginjak tujuh belas tahun, apa yang sudah dia perbuat sehingga ayah membencinya?”
“Hazel!”
Hazel melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di depan sang ayah, ia tidak takut dengan tatapan sang ayah yang penuh amarah sekarang.
“Apa yah? Kasih tau ke kita, kalo memang gadis kecil itu berbuat dosa yang tak termaafkan, kita juga punya alasan untuk membenci dia.”
“Kamu gatau apa-apa.” Suara Johnny pelan namun tegas.
“Maka dari itu kasih tau!” bentak Hazel tanpa takut.
“Sekarang mau cari Ran? Gak usah, biarin aja dia mati di tengah jalan—”
“Hazelzayn!” teriak Maraka yang diacuhkan oleh Hazel.
“Ngapain dia tetap bertahan tapi setiap hari dipukul oleh ayahnya sendiri, dibuang oleh ayahnya sendiri. Sekarang ayah udah leluasa hanya memberi makan kita berdua, memberi uang banyak untuk kita berdua, tanpa kita harus menyimpan rasa bersalah terhadap Ran.”
“Itu kan yang ayah mau?”
Hening, tak ada jawaban dari Johnny.
“Lantas, apakah ayah pantas disebut sebagai ayah?”
Plak
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Hazel.
Hazel tersenyum sinis kepada sang ayah yang kini menatapnya dengan penuh emosi.
“Good job ayah, ini yang harus ayah lakukan dari dulu—”
“Adil, kalo ayah mukul Ran, pukul kita juga, kalo ayah beli makanan enak untuk kita—”
“BELI MAKANAN ENAK UNTUK RAN JUGA!” emosi Hazel memuncak sempurna, matanya memerah menatap Johnny yang tak kalah emosi.
Nafas Hazel tidak beraturan, melihat hal tersebut dengan cepat Maraka menarik Hazel menjauh dari hadapan sang ayah. Namun tenaga Hazel tak kalah kuat dari sang abang.
“Mau tau sesuatu ayah?” Hazel lagi-lagi bersuara, ia tidak takut dengan Johnny yang penuh emosi sekarang.
“Ran itu anak perempuan terakhir, yang akan menjadi harapan terakhir untuk ayah.”
Hazel menepis tubuh Maraka agar dirinya dapat maju mendekati Johnny.
“Saat ayah menikmati masa tua ayah, Ran yang akan mengurus ayah, harusnya dia yang ayah manja!”
“Lalu kemana kami yah? Hazel— bang Raka.” Hazel menunjuk Maraka yang ada di belakangnya.
“Nanti kita akan hidup dengan keluarga kita sendiri yah, kita bisa kapan aja ninggalin ayah, atau bahkan durhaka ke ayah.”
“Zay—”
“Apa? Ayah gak terima?” potong Hazel ketika Johnny hendak berbicara.
“Ran itu tulus yah, dia akan sayang ke ayah sampai kapanpun.” Suara Hazel bergetar, kini ia menangis dihadapan sang ayah.
“Kenapa yah? Kenapa ayah benci sama Ran?”
“Karena dia mirip dengan ibu kalian, yang meninggalkan kalian saat Ran lahir!”
“Mirip bukan berarti sama yah!”
Maraka menarik tubuh Hazel menjauh dari Johnny, ia menenangkan Hazel dan mendudukkan Hazel di sofa.
“Biar gue lanjut,” ucapnya.
Maraka menghela nafasnya, mengumpulkan keberanian.
“Itu alasan ayah memukul Ran dari usia Ran dua tahun sampai sekarang? Karena Ran mirip dengan ibu? Apa yang udah ibu lakukan yah?” tanya Maraka baik-baik.
“Ibu kalian tidak menginginkan anak perempuan, dia berselingkuh dengan masa lalunya dari ayah, lalu ibu kalian mencampakkan ayah dengan alasan ayah miskin dan juga terlilit hutang dimana-mana,” jawab Johnny mengungkapkan kebenarannya.
Tangis Hazel semakin menjadi mendengar kenyataan Ran sudah menderita dari kecil.
“Udah yah, lupain dendam masa lalu ayah ke ibu, sekarang kita hidup berempat, ayah, Raka, Hazel dan Ran. Kita bisa hidup lebih bahagia yah,” ucap Maraka.
Kini emosi Johnny sedikit mereda. Ia mengangguk lalu berkata, “Iya, Cari Ran, ayah menyesal.”
Hazel berdiri dengan cepat, lalu ia melangkahkan kakinya hendak keluar.
“Lo mau kemana Hazel?” tanya Maraka kebingungan.
“Cari Ran.”
“Kemana?”
“Ke taman depan rumah pak rt, pasti dia gak jauh dari sini.” Hazel berlari dengan cepat menuju tempat yang ia duga Ran berada di sana.
“Ayah tenangin diri ayah dulu ya, biar Raka sama Hazel yang cari Ran.”
Johnny lagi-lagi mengangguk. “Makasih,” jawab Johnny pelan.
Setelah Maraka pergi, Johnny terduduk lemah di lantai rumahnya, ia menangis di sana, menyesali apa yang telah ia lakukan selama ini.
Maraka menghentikan langkah kakinya, ia tidak tau harus mencari Ran kemana.
Namun tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
Maraka berlari dengan kuat menuju rumah Fito, satu-satunya teman yang Ran punya.
“Fito!” teriak Maraka dari luar rumah Fito.
Pintu rumah Fito terbuka, mendapatkan Fito keluar dari rumahnya.
“Lo tau Ran kemana?”
“Maksudnya bang?”
“Ran kabur dari rumah!”
Fito terkejut bukan main, ia terdiam seribu bahasa.
“Lo gak tau, atau dia ada ngechat lo?”
Fito menggeleng dengan kuat. “Gak ada pesan masuk bang, dari tadi aku gak pegang Handphone karena gak ada notifikasi yang masuk,” jawab Fito.
Tanpa bertanya lagi, Maraka meninggalkan Fito seorang diri di sana.
Fito dengan segera masuk ke rumahnya, ia mengambil handphone miliknya yang ada di meja ruang tengah.
Sama sekali tidak ada pesan masuk dari Ran, lalu ia membuka twitter.
Fito kembali di buat terkejut dengan tweet Ran, ia menyesal kenapa sedari tadi dirinya tidak membuka twitter.
Jam menunjukkan pukul dua belas malam, hari telah berganti. Fito mendapatkan notifikasi dari twitter Ran, Ran baru saja membuat satu tweet baru.
“Cake.”