Panglimakun

#.

Sepulangnya Johnny dan juga kedua anak laki-lakinya ke rumah, mereka tidak menemukan keberadaan Ran.

Maraka mencari ke kamar, lalu ia mendapatkan secarik kertas yang dengan noda darah.

Johnny membaca surat tersebut, seketika rahangnya mengeras.

“Anak bodoh,” umpatnya.

“Kemana anak sialan itu.”

Hazel yang tadi terdiam, tiba-tiba saja matanya tersulut emosi mendengar ucapan yang keluar dari sang ayah.

“Lantas ayah apa?” tanya Hazel tiba-tiba.

Maraka dan juga Johnny serentak menatap ke arah Hazel.

“Maksud kamu?” tanya Johnny kebingungan.

“Lantas ayah apa kalo Ran anak sialan dan bodoh!” Hazel berteriak dengan sangat kencang.

“Yang di sini bodoh dan sialan itu ayah, ayah tau itu?” sarkas Hazel membuat mata Johnny membulat sempurna.

“Hazel!” Maraka berusaha menegur Hazel namun Hazel tidak menghiraukannya.

“Sebenci apa ayah ke Ran? Dosa dan kesalahan apa yang sudah Ran lakukan di umurnya yang bahkan belum menginjak tujuh belas tahun, apa yang sudah dia perbuat sehingga ayah membencinya?”

“Hazel!”

Hazel melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di depan sang ayah, ia tidak takut dengan tatapan sang ayah yang penuh amarah sekarang.

“Apa yah? Kasih tau ke kita, kalo memang gadis kecil itu berbuat dosa yang tak termaafkan, kita juga punya alasan untuk membenci dia.”

“Kamu gatau apa-apa.” Suara Johnny pelan namun tegas.

“Maka dari itu kasih tau!” bentak Hazel tanpa takut.

“Sekarang mau cari Ran? Gak usah, biarin aja dia mati di tengah jalan—”

“Hazelzayn!” teriak Maraka yang diacuhkan oleh Hazel.

“Ngapain dia tetap bertahan tapi setiap hari dipukul oleh ayahnya sendiri, dibuang oleh ayahnya sendiri. Sekarang ayah udah leluasa hanya memberi makan kita berdua, memberi uang banyak untuk kita berdua, tanpa kita harus menyimpan rasa bersalah terhadap Ran.”

“Itu kan yang ayah mau?”

Hening, tak ada jawaban dari Johnny.

“Lantas, apakah ayah pantas disebut sebagai ayah?”

Plak

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Hazel.

Hazel tersenyum sinis kepada sang ayah yang kini menatapnya dengan penuh emosi.

“Good job ayah, ini yang harus ayah lakukan dari dulu—”

“Adil, kalo ayah mukul Ran, pukul kita juga, kalo ayah beli makanan enak untuk kita—”

“BELI MAKANAN ENAK UNTUK RAN JUGA!” emosi Hazel memuncak sempurna, matanya memerah menatap Johnny yang tak kalah emosi.

Nafas Hazel tidak beraturan, melihat hal tersebut dengan cepat Maraka menarik Hazel menjauh dari hadapan sang ayah. Namun tenaga Hazel tak kalah kuat dari sang abang.

“Mau tau sesuatu ayah?” Hazel lagi-lagi bersuara, ia tidak takut dengan Johnny yang penuh emosi sekarang.

“Ran itu anak perempuan terakhir, yang akan menjadi harapan terakhir untuk ayah.”

Hazel menepis tubuh Maraka agar dirinya dapat maju mendekati Johnny.

“Saat ayah menikmati masa tua ayah, Ran yang akan mengurus ayah, harusnya dia yang ayah manja!”

“Lalu kemana kami yah? Hazel— bang Raka.” Hazel menunjuk Maraka yang ada di belakangnya.

“Nanti kita akan hidup dengan keluarga kita sendiri yah, kita bisa kapan aja ninggalin ayah, atau bahkan durhaka ke ayah.”

“Zay—”

“Apa? Ayah gak terima?” potong Hazel ketika Johnny hendak berbicara.

“Ran itu tulus yah, dia akan sayang ke ayah sampai kapanpun.” Suara Hazel bergetar, kini ia menangis dihadapan sang ayah.

“Kenapa yah? Kenapa ayah benci sama Ran?”

“Karena dia mirip dengan ibu kalian, yang meninggalkan kalian saat Ran lahir!”

“Mirip bukan berarti sama yah!”

Maraka menarik tubuh Hazel menjauh dari Johnny, ia menenangkan Hazel dan mendudukkan Hazel di sofa.

“Biar gue lanjut,” ucapnya.

Maraka menghela nafasnya, mengumpulkan keberanian.

“Itu alasan ayah memukul Ran dari usia Ran dua tahun sampai sekarang? Karena Ran mirip dengan ibu? Apa yang udah ibu lakukan yah?” tanya Maraka baik-baik.

“Ibu kalian tidak menginginkan anak perempuan, dia berselingkuh dengan masa lalunya dari ayah, lalu ibu kalian mencampakkan ayah dengan alasan ayah miskin dan juga terlilit hutang dimana-mana,” jawab Johnny mengungkapkan kebenarannya.

Tangis Hazel semakin menjadi mendengar kenyataan Ran sudah menderita dari kecil.

“Udah yah, lupain dendam masa lalu ayah ke ibu, sekarang kita hidup berempat, ayah, Raka, Hazel dan Ran. Kita bisa hidup lebih bahagia yah,” ucap Maraka.

Kini emosi Johnny sedikit mereda. Ia mengangguk lalu berkata, “Iya, Cari Ran, ayah menyesal.”

Hazel berdiri dengan cepat, lalu ia melangkahkan kakinya hendak keluar.

“Lo mau kemana Hazel?” tanya Maraka kebingungan.

“Cari Ran.”

“Kemana?”

“Ke taman depan rumah pak rt, pasti dia gak jauh dari sini.” Hazel berlari dengan cepat menuju tempat yang ia duga Ran berada di sana.

“Ayah tenangin diri ayah dulu ya, biar Raka sama Hazel yang cari Ran.”

Johnny lagi-lagi mengangguk. “Makasih,” jawab Johnny pelan.

Setelah Maraka pergi, Johnny terduduk lemah di lantai rumahnya, ia menangis di sana, menyesali apa yang telah ia lakukan selama ini.


Maraka menghentikan langkah kakinya, ia tidak tau harus mencari Ran kemana.

Namun tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.

Maraka berlari dengan kuat menuju rumah Fito, satu-satunya teman yang Ran punya.

“Fito!” teriak Maraka dari luar rumah Fito.

Pintu rumah Fito terbuka, mendapatkan Fito keluar dari rumahnya.

“Lo tau Ran kemana?”

“Maksudnya bang?”

“Ran kabur dari rumah!”

Fito terkejut bukan main, ia terdiam seribu bahasa.

“Lo gak tau, atau dia ada ngechat lo?”

Fito menggeleng dengan kuat. “Gak ada pesan masuk bang, dari tadi aku gak pegang Handphone karena gak ada notifikasi yang masuk,” jawab Fito.

Tanpa bertanya lagi, Maraka meninggalkan Fito seorang diri di sana.

Fito dengan segera masuk ke rumahnya, ia mengambil handphone miliknya yang ada di meja ruang tengah.

Sama sekali tidak ada pesan masuk dari Ran, lalu ia membuka twitter.

Fito kembali di buat terkejut dengan tweet Ran, ia menyesal kenapa sedari tadi dirinya tidak membuka twitter.

Jam menunjukkan pukul dua belas malam, hari telah berganti. Fito mendapatkan notifikasi dari twitter Ran, Ran baru saja membuat satu tweet baru.

“Cake.”

#.

Sudah lebih dari satu jam Ran menunggu, namun sang ayah tak kunjung datang, bahkan pesan Ran saja tidak dibalas.

Wali kelas Ran tidak bisa menunggu lagi, dan raport Ran tidak bisa diambil, kalau bukan orang tua atau wali yang ambil.

Ran melangkahkan kakinya pelan-pelan menuruni anak tangga. Kini Ran sampai di lantai satu sekolah, sekolah sudah lumayan sepi.

Ran ingin menangis, banyak hal yang akan menjadi alasan Ran ingin menangis.

Hari ini Ran melihat sendiri kedua abangnya dipanggil ke depan karena mendapatkan juara umum satu di angkatannya, Ran melihat ayah tersenyum kepada kedua abangnya.

Hanya Ran yang tidak dapat, Ran malu, Ran gagal membuat ayah bangga.

“Ran bodoh sih,” lirih Ran pelan.

Ia melangkahkan kakinya keluar dari gerbang sekolah, namun Ran tidak berbelok ke arah jalan menuju rumahnya.

“Ran!” Panggil seseorang dari belakang Ran, dengan cepat Ran membalikkan tubuhnya.

Itu Fito dan bunda, Ran terkejut karena kehadiran mereka berdua.

“Kok bunda sama Fito datang ke sini?” tanya Ran kebingungan.

“Raport kamu udah diambil Ran?” tanya bunda.

Ran menggeleng pelan, lalu ia kembali menunduk.

“Yaudah ayo, bunda yang ambil.”

Ran terkejut, ia mengangkat kembali kepalanya. “Beneran bunda?”

“Iya Ran, bunda yang ambil ya.”

Senyum Ran mengembang. “Terima kasih bunda! Terima kasih Fito!”

Kini ketiganya berjalan kembali memasuki gerbang sekolah Ran. Ran mengambil alih, membantu mendorong kursi roda milik Fito.

“Bunda ruang gurunya ada di lantai empat, Fito nya gimana?”

“Yaudah, Fito tunggu di sini sebentar gak apa-apa kan nak?” tanya bunda ke Fito.

Fito tersenyum lalu mengangguk. “Gak apa-apa bunda, gih sana Ran,” jawab Fito tenang.

Ran dan bunda meninggalkan Fito sendirian di koridor sekolah lantai dasar.

Fito tidak keberatan sama sekali, karena dirinya lah yang meminta bunda untuk datang ke sekolah Ran. Karena setelah melihat tweet-an Ran, Fito merasa kasihan terhadap gadis malang tersebut.


“Kalo boleh tau ibu siapanya Ran?” tanya bu Prima, wali kelas Ran.

“Saya bundanya Ran,” jawab bunda sedikit membuat Ran terkejut.

“Oh begitu, kalo begitu ini raportnya Ran, Alhamdulillah Ran dapat ranking sepuluh dari tiga puluh siswa, dan nilai-nilai Ran bagus-bagus semua, selamat ya Ran, ditingkatkan lagi,” kata bu Prima dengan senyum mengembang menatap Ran.

Ran terdiam tidak percaya, dirinya benar-benar tidak percaya mendapatkan angka itu dengan kondisinya seperti ini.

“Anak bunda pinter banget, selamat ya Ran, dengerin kata ibu nya ditingkatkan lagi.” Kini bunda yang memberi selamat kepada Ran yang masih terdiam mematung di sana.

“Satu lagi Ran, kamu terlalu diam di kelas, walaupun kamu rajin dan pintar, tapi usahakan kamu bersosialisasi dengan teman-teman kelas ya, dan lebih aktif sama guru-guru.”

Ran menghela nafasnya, tersenyum tipis mendengar ucapan bu Prima.

Ran sangat ingin bersosialisasi, dan Ran sangat ingin menjadi murid yang aktif, namun keadaannya sangat-sangat tidak memungkinkan.

Bahkan Ran kesulitan untuk mengingat nama-nama guru dan seluruh teman-temannya.

“Iya bu, Ran usahakan.”

“Yasudah kalo begitu, terima kasih banyak ya bu Prima, mohon bantuannya ke depan untuk Ran,” ucap bunda.

“Baik bu, dengan senang hati.”


Sudah tiga puluh menit Fito menunggu di bawah, ia melihat tiga orang yang sangat ia kenal, melewati nya.

Orang tersebut adalah Johnny dan juga kedua anak anak lelakinya. Ia kebingungan, jika ayah Ran masih ada di sini, lantas mengapa tidak sekalian mengambil raport punya Ran.

Pandangan Fito tidak lepas dari mereka, sampai mereka keluar dari gerbang sekolah.

“Fito!”

Suara teriakan Ran membuat Fito mengalihkan pandangannya.

“Udah? Cepet banget.”

“Fito Ran dapet ranking sepuluh!” seru Ran dengan sangat bersemangat.

“Wah beneran? Hebat, jeleknya Fito hebat!” Balas Fito tak kalah semangat.

“Nilainya Ran juga bagus-bagus loh To, gak ada yang di bawah 70, rata-ratanya aja 89,” ucap bunda bangga terhadap pencapaian Ran.

“Kan aku bilang apa, kamu bisa!”

“Tapi Fito.”

“Kenapa?”

“Hasil yang Ran dapatin pasti buat ayah malu.”

#.

Selamat malam ayah.


Tok tok tok

Mendengar suara ketukan pintu kamar, Ran dengan segera beranjak dari kasurnya membuka pintu kamarnya.

Ia terkejut karena melihat tubuh tinggi sang ayah di depan pintunya, jantung Ran berdetak lebih kencang.

“Ini.” Johnny menyodorkan sapu tangan milik Ran, yang sempat Ran selipkan dulu.

“Lain kali jangan kasih barang-barang kamu ke saya.”

Ran mengambil sapu tangan tersebut, ia tersenyum walaupun tidak menatap mata Johnny, karena ia takut Johnny akan membenci dirinya lebih dalam lagi.

Ran selalu mengingat hal itu, lebih tepatnya ia berusaha terus mengingat bahwa sang ayah sangat membenci matanya.

“Iya ayah, maaf.”

Tanpa menjawab, Johnny langsung membalikkan tubuhnya hendak pergi dari hadapan Ran.

“Ayah,” panggil Ran tiba-tiba.

“Apa?” tanya Johnny tanpa membalikkan tubuhnya.

“Selamat malam ayah,” ucap Ran.

Ran senang, Ran berhasil mengucapkan satu kalimat itu kepada ayahnya.

Johnny tidak menjawab ucapan Ran, ia melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Ran tidak melunturkan senyumannya, ia menatap sapu tangan tersebut.

“Wangi ayah, kamu di sana berguna kan sapu tangan? Terima kasih sapu tangan!”

Ran kembali menutup pintu kamarnya, lalu ia menyimpan sapu tangan tadi di lemarinya.

“Ran gak akan pake, karena itu untuk ayah.”


“Saya gak bisa,” monolog Johnny sesampainya di kamar.

Ia terduduk di kasur miliknya, menopang dagunya menggunakan kedua tangannya.

“Dia sangat mirip dengan kamu Karin, saya berusaha agar tidak membenci dia, tapi kenapa saya gak bisa?

#.

Fito lindungi Ran terus ya.


Ran melangkahkan kakinya pulang ke rumah, selama perjalanan ia menunduk. Walaupun matahari tidak terik, karena jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Ran pulang lebih awal, karena jadwal ujian sudah selesai. Ran khawatir akan hasilnya.

Ran belajar, walaupun dirinya tidak mengingat apapun, kondisi Ran perlahan memburuk, namun dokter akan membantu Ran sembuh jika dirinya mau ikut terapi, walaupun short term tidak ada obat untuk menyembuhkannya, namun beberapa perawatan medis dapat meredakan gejalanya.

Namun pada saat Ran dibawa Aurel ke rumah sakit, lagi-lagi Ran menolak, Ran yakin akan sembuh jika dirinya menjaga pola makan dan tidur, dan juga makan makanan sehat.

Karena dari itu dokter menyusulkan beberapa hal yang harus dilakukan oleh Ran, untuk membantu daya ingatnya.

“Ran tadi ujian apa, Ran gak tau, Ran lupa,” lirihnya pelan.

Memang Ran tidak dapat mengingat apapun, namun pada saat ujian, ia akan menjawab dengan logikanya.


Disisi lain, Fito sedang menunggu kepulangan Ran, di depan rumahnya.

Kegiatan ini dilakukan oleh Fito setiap harinya, ia akan menjadi orang pertama yang melihat wajah masam Ran saat pulang sekolah.

Sorot mata Fito terfokus pada seseorang, siapa lagi kalau bukan Ran. Benar dugaannya, lagi-lagi Ran berjalan menunduk dengan muka masamnya.

“Gimana Ran?” tanya Fito ketika Ran sudah berada di depannya.

“Lega?”

Ran menggeleng kuat, ia berdiri tepat di hadapan Fito.

“Ran takut,” jawab Ran pelan.

“Kenapa takut?”

“Ran takut jadi yang terbodoh di kelas.”

Fito memberi senyum setulus mungkin kepada Ran, Fito tau ini bukan kesalahan Ran seratus persen.

Air mata Ran terjatuh, ia sangat ingin berteriak dan menyerah saat ini juga.

Ran memejamkan matanya, membuat bulir air matanya terjatuh untuk kesekian kalinya.

“Ran bisa jadi dokter gak ya Fito?” tanya Ran tidak bersemangat.

“Pasti, pasti kamu bisa,” jawab Fito dengan sangat antusias.

“Tapi Ran bodoh,” balasnya lagi.

“Aku yang akan ajarin kamu, sampai kamu pintar.” Fito berusaha agar Ran kembali bersemangat.

“Kalo Ran dipukul lagi sama ayah?”

“Ran lari.”

“Kalo ayah semakin marah sama Ran?”

“Sembunyi di belakang aku.”

Ran mengangkat kepalanya, dan menatap mata Fito.

“Fito lindungi Ran terus ya?”

“Pasti.”

Kedua sahabat itu saling tersenyum satu sama lain. Dua remaja yang menyimpan lukanya masing-masing, kini sedang berusaha untuk bangkit dan menyembuhkan lukanya satu sama lain.

#.

Kita berjuang sama-sama ya.


“Udahan nangisnya,” ucap Fito.

Hanya itu yang keluar dari mulut Fito sedari tadi. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun Ran masih berada di rumah Fito.

Bukan untuk yang pertama kalinya, apalagi ayah Ran tidak ada di rumah sekarang.

Hari ini, hari terakhir Ran belajar sama Fito, karena esok dirinya akan menghadapi ujian semester satu.

Suara tangis Ran tidak berhenti memenuhi ruang tamu rumah Fito.

“Kalo Ran remedial gimana,” lirih Ran sesegukan.

“Aku yakin kamu bisa.”

“Ran takut, Ran ngecewain ayah Fito, Ran takut dipukul ayah lagi.”

Fito menghela nafas panjang, memang sulit untuk membantu Ran, dengan kondisi Ran yang mengidap sindrom short term memory loss.

Namun belakangan ini Ran sudah terawat, mulai dari makanan sehat yang diberikan bunda Fito, ataupun yang dibawakan oleh Aurel.

Aurel juga sering membawa Ran ke rumah sakit untuk menjalankan beberapa pemeriksaan, agar kondisi Ran tidak semakin parah.

“Ran gak bisa ingat Fito, Ran bodoh, Ran harus terapi biar Ran sembuh, tapi Ran miskin!” Emosi Ran meluap untuk yang pertama kalinya di depan Fito.

“Ran,” panggil Fito lembut.

Ran menoleh menghadap Fito, menatap mata Fito yang sedang menatapnya juga.

“Apa?” jawab Ran pelan.

“Nanti apapun hasilnya, itu hasil perjuangan kamu. Kalo ayah kamu marah, dan mukul kamu lagi. Kamu lari, sembunyi.”

Hanya itu yang Fito bisa lakukan untuk membantu Ran, sudah seharusnya Ran melawan, dan menghindari ayahnya.

“Tapi nanti ayah semakin marah Fito,” ucap Ran khawatir.

Fito menggeleng. “Ayah kamu mukul karena emosi, jadi kamu lari dan sembunyi setelah itu pasti emosi ayah kamu mereda, kamu gak akan dipukul lagi.”

“Gitu ya Fito?”

“Iya, dicatat di bukunya “

Ran dengan segera mencatat apa yang dikatakan Fito barusan.

Fito menatap Ran dengan sangat lekat, ia merasa bersyukur Tuhan mempertemukan dengan gadis kecil yang memiliki luka namun tidak lemah.

“Ran.” “Kita berjuang sama-sama ya.”

#.

Kebahagiaan


Kalo ditanya apa yang buat Ran bisa bertahan sampai sekarang. Jawabannya cukup simpel, kebahagiaan.,

Ran bukan tidak bahagia selama ini, hanya saja rasa sakit yang terima menutupi rasa bahagia tersebut.

Namun kini perlahan mulai membaik, Ran harus bertahan sampai kebahagiaan itu kembali kepada dirinya.

“Kamu kenapa diem aja?” tanya Fito memecahkan keheningan.

Ran memang sedang mendorong kursi roda milik Fito, namun dengan tatapan kosong.

Ran tersadar dari lamunannya. “Maaf Fito, lagian Fito diem juga sih,” jawab Ran mengelak.

“Kita mau kemana emang?” tanya Fito lagi.

“Ke taman, bentar lagi juga sampe.”

Fito mengangguk sebagai jawaban.

Ran terus mendorong kursi roda milik Fito dengan hati-hati, sampai mereka tiba di taman yang Ran maksud.

Taman yang cukup sepi, namun tidak jarang ada yang datang hanya untuk menenangkan diri di sana, salah satunya Ran.

Taman itu tidak jauh dari rumah Ran dan juga Fito, makanya mereka memilih untuk jalan kaki.

“Ini tamannya!” seru Ran bersemangat.

“Lebih tepatnya lapangan kosong,” balas Fito seraya memandang setiap sudut dari taman yang seperti lapangan kosong tersebut.

Ran tertawa mendengar hal tersebut. Ran melangkahkan kakinya ke samping Fito, dan mendudukkan dirinya di rumput taman.

“Kenapa duduk di bawah?” tanya Fito seraya memperhatikan gerak-gerik Ran.

“Ya mau dimana lagi? Di pangkuan Fito?” jawab Ran ngasal.

Fito menggeleng. “Kamu berat.”

Ran menatap sinis Fito, Fito hanya tertawa kecil.

“Kenapa kamu ngajak aku ke sini?”

“Ya karena Ran gak ada tujuan lain?”

Mereka saling melempar tatapan, dan hening. Sampai Ran tertawa diikuti oleh Fito juga.

“Ran bercanda, Ran sering ke sini kalo Ran lagi sedih,” jawabnya serius.

“Gak takut diculik?”

Ran menggeleng, tangannya menunjuk ke sebuah rumah di depan mereka, tidak jauh dari taman tersebut.

“Itu rumah pak rt, ngapain takut?”

Fito mengangguk paham, ia sedikit tertawa. Fito sedikit tidak paham dengan tingkah unik Ran.

Tiba-tiba saja Fito teringat sesuatu, dirinya hendak menanyakan hal ini kepada Ran dari awal perjumpaan mereka.

“Ran,” panggil Fito lembut, Fito menunduk agar bisa menatap Ran.

Ran menoleh ke arah Fito, menatap mata Fito. “Iya Fito?” sahut Ran.

“Aku boleh nanya sesuatu?”

Ran mengangguk. “Boleh banget.”

“Maaf, aku gak pernah lihat bunda kamu, bunda kamu kemana?”

Ran terdiam, tidak ada jawaban sama sekali.

Ran menolehkan pandangannya ke depan, menatap kosong ke depan.

Ran baru teringat akan hal itu, bunda atau ibu, ia tidak pernah mengucapkan kata itu seumur hidupnya.

Bahkan di ingatan yang masih bisa ia ingat, tidak ada sosok ibu di sana.

Ran tidak pernah melihat foto ibunya, jangankan foto sang ibu, foto dirinya sendiri saat kecil saja tidak ada.

Ran merogoh saku baju kodok yang ia kenakan, ia mengambil buku kecil yang sudah sedikit lusuh, buku kecil yang berisikan semua memori-memori yang masih ia ingat.

“Ran gak tau bunda Ran kemana, tapi Ran pernah dengar, kalo bunda Ran udah gak ada,” jawab Ran pelan seraya membaca bukunya.

“Gak ada?” tanya Fito kebingungan.

Ran mengangguk. “Udah meninggal mungkin?” jawabnya ragu-ragu.

Ran tersenyum tipis. “Banyak hal yang Ran gak tau Fito, mungkin karena Ran masih kecil,” ucapnya tenang.

Fito terdiam, ia sangat penasaran dengan Ran, apa yang telah ia alami selama ini, dan sebesar apa luka yang ia terima. Dan—

“Apa yang membuat kamu bisa sekuat ini Ran?”

“Kebahagiaan—” Ran menggantung ucapannya.

“Kebahagiaan yang akan Ran rasakan kelak.”

#.

Kebahagiaan


Kall ditanya apa yang buat Ran bisa bertahan sampai sekarang. Jawabannya cukup simpel, kebahagiaan.,

Ran bukan tidak bahagia selama ini, hanya saja rasa sakit yang terima menutupi rasa bahagia tersebut.

Namun kini perlahan mulai membaik, Ran harus bertahan sampai kebahagiaan itu kembali kepada dirinya.

“Kamu kenapa diem aja?” tanya Fito memecahkan keheningan.

Ran memang sedang mendorong kursi roda milik Fito, namun dengan tatapan kosong.

Ran tersadar dari lamunannya. “Maaf Fito, lagian Fito diem juga sih,” jawab Ran mengelak.

“Kita mau kemana emang?” tanya Fito lagi.

“Ke taman, bentar lagi juga sampe.”

Fito mengangguk sebagai jawaban.

Ran terus mendorong kursi roda milik Fito dengan hati-hati, sampai mereka tiba di taman yang Ran maksud.

Taman yang cukup sepi, namun tidak jarang ada yang datang hanya untuk menenangkan diri di sana, salah satunya Ran.

Taman itu tidak jauh dari rumah Ran dan juga Fito, makanya mereka memilih untuk jalan kaki.

“Ini tamannya!” seru Ran bersemangat.

“Lebih tepatnya lapangan kosong,” balas Fito seraya memandang setiap sudut dari taman yang seperti lapangan kosong tersebut.

Ran tertawa mendengar hal tersebut. Ran melangkahkan kakinya ke samping Fito, dan mendudukkan dirinya di rumput taman.

“Kenapa duduk di bawah?” tanya Fito seraya memperhatikan gerak-gerik Ran.

“Ya mau dimana lagi? Di pangkuan Fito?” jawab Ran ngasal.

Fito menggeleng. “Kamu berat.”

Ran menatap sinis Fito, Fito hanya tertawa kecil.

“Kenapa kamu ngajak aku ke sini?”

“Ya karena Ran gak ada tujuan lain?”

Mereka saling melempar tatapan, dan hening. Sampai Ran tertawa diikuti oleh Fito juga.

“Ran bercanda, Ran sering ke sini kalo Ran lagi sedih,” jawabnya serius.

“Gak takut diculik?”

Ran menggeleng, tangannya menunjuk ke sebuah rumah di depan mereka, tidak jauh dari taman tersebut.

“Itu rumah pak rt, ngapain takut?”

Fito mengangguk paham, ia sedikit tertawa. Fito sedikit tidak paham dengan tingkah unik Ran.

Tiba-tiba saja Fito teringat sesuatu, dirinya hendak menanyakan hal ini kepada Ran dari awal perjumpaan mereka.

“Ran,” panggil Fito lembut, Fito menunduk agar bisa menatap Ran.

Ran menoleh ke arah Fito, menatap mata Fito. “Iya Fito?” sahut Ran.

“Aku boleh nanya sesuatu?”

Ran mengangguk. “Boleh banget.”

“Maaf, aku gak pernah lihat bunda kamu, bunda kamu kemana?”

Ran terdiam, tidak ada jawaban sama sekali.

Ran menolehkan pandangannya ke depan, menatap kosong ke depan.

Ran baru teringat akan hal itu, bunda atau ibu, ia tidak pernah mengucapkan kata itu seumur hidupnya.

Bahkan di ingatan yang masih bisa ia ingat, tidak ada sosok ibu di sana.

Ran tidak pernah melihat foto ibunya, jangankan foto sang ibu, foto dirinya sendiri saat kecil saja tidak ada.

Ran merogoh saku baju kodok yang ia kenakan, ia mengambil buku kecil yang sudah sedikit lusuh, buku kecil yang berisikan semua memori-memori yang masih ia ingat.

“Ran gak tau bunda Ran kemana, tapi Ran pernah dengar, kalo bunda Ran udah gak ada,” jawab Ran pelan seraya membaca bukunya.

“Gak ada?” tanya Fito kebingungan.

Ran mengangguk. “Udah meninggal mungkin?” jawabnya ragu-ragu.

Ran tersenyum tipis. “Banyak hal yang Ran gak tau Fito, mungkin karena Ran masih kecil,” ucapnya tenang.

Fito terdiam, ia sangat penasaran dengan Ran, apa yang telah ia alami selama ini, dan sebesar apa luka yang ia terima. Dan—

“Apa yang membuat kamu bisa sekuat ini Ran?”

“Kebahagiaan—” Ran menggantung ucapannya.

“Kebahagiaan yang akan Ran rasakan kelak.”

#.

Ini tentang anak terakhir.


Randika putri Aditya, anak terakhir dan putri satu-satunya dari Johnny Aditya.

Anak terakhir, dan putri satu-satunya yang seharusnya menjadi seorang putri yang disayang dan dimanja, namun dirinya hanya mendapatkan luka dari awal.

Anak terakhir yang tidak pernah menangis mengeluh kepada sang ayah.

Anak terakhir yang selalu tersenyum walaupun fisiknya selalu terkena pukulan keras dari orang yang sangat ia sayang.

Menangis? Tentu saja, hanya itu yang bisa anak terakhir ini lakukan. Menangis dan menyakiti dirinya sendiri.

Saat Ran dipukul maka ia akan memukul atau bahkan menyayat tangannya, dan bergumam.

“Lebih baik rasa sakit ini disebabkan oleh Ran sendiri, jadi Ran gak akan benci ayah.”

Ran, anak terakhir yang tidak pernah didengar pendapatnya.

Anak terakhir yang tidak pernah melihat senyum sang ayah untuk dirinya.

Namun Ran adalah anak terakhir yang sangat ceria, sumber kebahagiaan bagi kedua abang-abangnya tanpa sepengetahuan Ran.

Anak terakhir yang ramah namun pemalu.

Anak terakhir yang selalu merasakan sakit, namun tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama.

Anak terakhir yang kini kesehatan mentalnya tidak baik-baik saja, namun tidak ada satupun orang yang tau. Maksudnya keluarga, tidak ada satupun keluarganya yang tau tentang kondisi anak terakhir ini.

Aurel, pacar sang abang hanya dia yang tau kondisi Ran.

Anak terakhir yang mungkin masa depannya tidak akan berjalan dengan mulus, karena sindrom yang ia derita, namun ia akan menjadi harapan terakhir bagi keluarga.

Ran tersenyum, ia sedang duduk di atas kasurnya. Kasur yang dipenuhi buku-buku kecil yang ia jadikan catatan, agar ia bisa mengingat kembali apa yang telah ia lakukan selama ini.

Namun ada satu benda yang menarik perhatian, celengan ayam yang sudah sangat berat. Celengan tersebut tertempel satu kertas yang bertuliskan, untuk beli motor baru buat ayah

“Kalo nanti ayah udah ada motor baru, ayah gak usah keluar kota lagi. Jadi Ran gak khawatir lagi sama ayah.”

“Ayah, berjuang sebentar lagi ya, sebelum Ran yang berjuang untuk ayah.”

Ini tentang anak tengah.


Hazelzayn Putra Aditya, putra kedua Johnny Aditya.

Anak kedua yang sering dibilang sangat disayang, atau dimanjakan. Itu semua benar adanya.

“Zayn, kamu kalo butuh apa-apa bilang ayah ya.”

“Zayn, kamu anak yang paling ayah sayang.”

“Zayn, ayah selalu bangga sama kamu.”

Apakah anak kedua itu bangga, dan merasa senang?

Jawabannya tidak sama sekali.

Ia benci akan hal itu. Ia benci mempunyai ayah yang pilih kasih dan juga tidak bertanggung jawab dengan penuh.

Anak kedua yang menyimpan segudang rahasia tentang dirinya. Sulit ditebak apa maksud dirinya.

Si tengah yang harus memahami kedua sisi, memahami abang dan juga adik. Tidak mudah bagi Hazel.

Namun ada yang berbeda dengan Hazel sebagai anak kedua dan si tengah.

Ia tidak pernah dibandingkan dengan siapapun, ia tidak pernah jadi penengah antara abang dan adik, karena dirinya lah yang sering adu mulut dengan sang abang.

Si tengah yang harus mencontoh anak pertama? Itu tidak berlaku bagi Hazel, ia selalu dituntut menjadi diri sendiri, namun pada kenyataannya dia telah kehilangan jati dirinya.

Hazel yang sedang berusaha menjadi panutan bagi sang adik.

Anak kedua yang paling kuat di luar, tidak pernah menangis, dan hanya diam jika kondisi rumah sedang panas.

Namun dalam diamnya tersebut menyimpan banyak luka, yang membuat dirinya kehilangan jati diri.

Hazel tengah duduk menatap kertas putih yang ada di tangannya. Kertas putih yang bertuliskan rincian biaya kuliah fakultas kedokteran.

“Semoga uang abang cukup untuk kamu nanti ya Ran.”

Ini tentang anak pertama


Maraka Putra Aditya, anak pertama dari Johnny Aditya.

Anak pertama yang selalu menjadi harapan dan tumpuan, kepercayaan seorang ayah.

Anak pertama yang selalu salah di mata adik-adiknya.

Anak pertama yang harus menjadi tempat mengadu, tanpa tau harus dengan siapa dirinya hendak mengadu juga.

Anak pertama yang bahunya harus kuat, walaupun sering dikatakan seperti bos di rumah.

Tidak jarang Maraka menangis saat malam datang, menangis karena tidak tau harus berbuat apa. Dan menangis karena merasa gagal.

Anak pertama yang sedang duduk di bangku sekolah menengah atas, kelas terakhir.

Sebentar lagi Maraka harus memilih, melanjutkan pendidikan untuk meraih cita-citanya menjadi seorang pengusaha sukses, atau bekerja demi membantu ekonomi keluarga.

Maraka sering mendapatkan pertanyaan dari sahabat-sahabatnya.

“Lo kemana aja sih?”

“Lo udah jarang ada waktu sama kita.”

“Lo berduaan mulu sama cewek lo.”

“Lupa sama sahabat sendiri?”

Namun pada kenyataannya, Maraka sedang sibuk mencari bantuan agar bisa mendapatkan beasiswa.

Aurel, gadis manis nan baik, yang dengan setia membantu dan menemani Maraka mencari tau tentang beasiswa yang bisa ia ikutin.

Jika orang lain pacaran dengan jalan-jalan ke mall, atau berduaan mengelilingi kota berduaan. Maraka hanya menghabiskan waktu untuk menceritakan tentang keluarganya kepada sang pacar.

Ia selalu mengeluh tentang sang ayah yang selalu kasar terhadap sang adik, Maraka tidak mengerti tentang wanita, maka dari itu ia selalu meminta bantuan kepada Aurel untuk membantu sang adik.

Maraka, anak pertama yang seharusnya sedang menikmati masa remajanya, namun masa remajanya ia habiskan untuk belajar, menangis, dan juga berjuang agar kesehatan mentalnya baik-baik saja.

Maraka melangkahkan kakinya menuju meja belajar yang terdapat bingkai foto kecil, bingkai foto yang seharusnya terdapat keluarga lengkap, namun hanya ada dirinya, Hazel dan juga sang ayah.

“Maafin abang, Ran. Tunggu abang sebentar lagi ya, abang akan membawa kamu menemukan zona nyaman untuk kamu.”