Panglimakun

Ini tentang anak pertama


Maraka Putra Aditya, anak pertama dari Johnny Aditya.

Anak pertama yang selalu menjadi harapan dan tumpuan, kepercayaan seorang ayah.

Anak pertama yang selalu salah di mata adik-adiknya.

Anak pertama yang harus menjadi tempat mengadu, tanpa tau harus dengan siapa dirinya hendak mengadu juga.

Anak pertama yang bahunya harus kuat, walaupun sering dikatakan seperti bos di rumah.

Tidak jarang Maraka menangis saat malam datang, menangis karena tidak tau harus berbuat apa. Dan menangis karena merasa gagal.

Anak pertama yang sedang duduk di bangku sekolah menengah atas, kelas terakhir.

Sebentar lagi Maraka harus memilih, melanjutkan pendidikan untuk meraih cita-citanya menjadi seorang pengusaha sukses, atau bekerja demi membantu ekonomi keluarga.

Maraka sering mendapatkan pertanyaan dari sahabat-sahabatnya.

“Lo kemana aja sih?”

“Lo udah jarang ada waktu sama kita.”

“Lo berduaan mulu sama cewek lo.”

“Lupa sama sahabat sendiri?”

Namun pada kenyataannya, Maraka sedang sibuk mencari bantuan agar bisa mendapatkan beasiswa.

Aurel, gadis manis nan baik, yang dengan setia membantu dan menemani Maraka mencari tau tentang beasiswa yang bisa ia ikutin.

Jika orang lain pacaran dengan jalan-jalan ke mall, atau berduaan mengelilingi kota berduaan. Maraka hanya menghabiskan waktu untuk menceritakan tentang keluarganya kepada sang pacar.

Ia selalu mengeluh tentang sang ayah yang selalu kasar terhadap sang adik, Maraka tidak mengerti tentang wanita, maka dari itu ia selalu meminta bantuan kepada Aurel untuk membantu sang adik.

Maraka, anak pertama yang seharusnya sedang menikmati masa remajanya, namun masa remajanya ia habiskan untuk belajar, menangis, dan juga tekanan.

Maraka melangkahkan kakinya menuju meja belajar yang terdapat bingkai foto kecil, bingkai foto yang seharusnya terdapat keluarga lengkap, namun hanya ada dirinya, Hazel dan juga sang ayah.

“Maafin abang, Ran. Tunggu abang sebentar lagi ya, abang akan membawa kamu menemukan zona nyaman untuk kamu.”

#.


Malam sunyi yang hanya dihiasi suara jangkrik dan juga suara serangga-serangga lainnya.

Seluruh isi barak, dimana para tukang atau kuli bangunan, tengah terlelap, beristirahat setelah mengeluarkan semua tenaganya dari pagi hingga sore hari.

Namun ada satu orang yang belum tertidur, yaitu Johnny. Johnny sedari tadi tidak bisa terlelap walaupun dirinya sudah memaksa agar matanya terpejam.

Tubuhnya lelah, namun hawa dingin dan juga nyamuk yang membuat tubuhnya gatal, membuat dirinya tidak bisa tertidur.

Kebetulan Johnny kedapatan tempat tidur di ujung. Tempat tidur seadanya, papan panjang yang terlentang di atas kayu, semua pekerja tidur disana menjadi satu.

Johnny bangun dari tidurnya, dan membuka isi tas miliknya. Ia tidak sengaja melihat sesuatu yang asing bagi dirinya.

Satu sapu tangan, perasaan Johnny sama sekali tidak membawa sapu tangan tersebut. Johnny kebingungan, bersamaan dengan itu satu notifikasi masuk ke handphonenya.

Setelah membaca pesan tersebut, Johnny melihat sapu tangan tersebut kembali, dan benar saja, ada nama Ran di ujung sapu tangan tersebut.

Rasa bersalah terus menghantam Johnny, ia tidak tau harus berbuat apa, merasa ingin menangis namun air mata pun enggan turun memenuhi rasa penyesalannya.

Ujung bibir Johnny terangkat, menggambarkan sebuah senyum yang tidak pernah ia tampakkan kepada sang pemilik sapu tangan ini.

“Terima kasih.”

Saya manusia paling bodoh, yang pernah ada.


Terik matahari menandakan hari sudah siang, dan sudah waktunya para pekerja menikmati waktu istirahatnya.

Begitu juga dengan Johnny, sesampainya dia di luar kota, ia langsung mendatangi proyek pembangunan dimana ia akan bekerja. Bukan, bukan sebagai mandor, tapi sebagai kuli bangunan.

Gaji yang ditawarkan membuat Johnny nekat meninggalkan ketiga anaknya di rumah. Menjadi seorang supir tidak bisa mencukupi semua kebutuhan dirinya dan ketiga anaknya, apalagi seluruh tabungannya telah ia pakai untuk melunasi semua hutangnya.

Kini Johnny sedang duduk di pinggir bangunan proyek di tempat ia bekerja, menikmati waktu istirahatnya.

Sebelum itu ia sudah makan siang, kini ia sedang menikmati sisa waktu istirahatnya.

Johnny mengecek handphonenya hendak menanyakan kabar anak-anaknya, namun ia terkejut mendapatkan pesan dari orang yang pernah ada di hidupnya.

Pesan dari Karin, mantan istrinya. Begitu sakit hati Johnny membaca pesan dari mantan istri.

Ia memilih untuk tidak membalas, ia membuka room chat grup dirinya dan ketiga anaknya.

Ia meminta maaf, karena dirinya yang hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Entah kenapa perasaan bersalah Johnny begitu besar.

Ia menangis dalam diam, tidak ingin teman-temannya tau.

Tidak sesuai dengan dugaannya, balasan dari ketiga anaknya membuat dirinya merasa tenang. Apalagi balasan dari Ran.

Johnny menatap tangannya, tangan yang sering memukul anak bungsunya, namun anak bungsunya tidak pernah menyimpan dendam terhadap dirinya.

“Saya manusia paling bodoh, yang pernah ada,” lirih Johnny merasa bersalah dengan apa yang pernah ia lakukan selama ini.

“Saya sudah berusaha, tapi saya tetap benci dengan anak itu.”

Ran akan jadi kaki buat Fito, selama Fito membutuhkan Ran.


“Bunda,” panggil Ran ketika sampai ke rumah Fito.

“Nak Ran, tolongin bunda ya,” mohon bunda.

“Emang kenapa bunda?” tanya Ran khawatir.

“Fito udah hampir dua minggu gak keluar kamar nak, bunda khawatir.”

Ran terdiam kaget, kenapa Fito melakukan hal itu?

“Kenapa bunda?”

“Beberapa hari yang lalu, bunda aja Fito jalan-jalan ke mall, dia jumpa sama mantan pacarnya dulu, dan Fito kembali down nak,” jawab bunda sambil menangis.

Ran lagi-lagi dibuat terkejut, ia terdiam membungkam mulutnya dengan kedua tangan.

“Bantu bunda ya nak, ini ada kunci cadangan kamar Fito, bantu bunda ya?”

“Kenapa Ran, bunda?”

Bunda tertegun. “Karena bunda gak berani nak, bunda trauma, bunda takut,” lirih bunda.

Tanpa berpikir panjang Ran mengambil kunci cadangan kamar Fito, lalu ia melangkahkan kakinya menuju kamar Fito.

Awalnya Ran tidak berani, namun ia khawatir dengan keadaan Fito, walaupun Ran tidak mengingat apapun moment dirinya dengan Fito, dirinya selalu menulis di buku apa yang pernah ia lakukan dengan Fito.

Ran teringat bahwa Fito mempunyai luka bekas self harm, mendengar kata down Ran menjadi semakin khawatir.

Dengan tangan yang bergetar Ran perlahan membuka pintu kamar Fito.

Ceklek

Pintu kamar Fito terbuka, perlahan Ran melangkah masuk, ia melihat Fito yang sedang terduduk di kursi rodanya menghadap ke luar jendela kamarnya.

Ran tidak lupa menutup kembali pintu kamar Fito, perlahan ia menghampiri Fito.

“Fito marah sama Ran?” tanya Ran memberanikan diri.

Tidak ada jawaban dari Fito, ia masih terdiam. Tatapan Fito kosong ke depan.

Ran dapat melihat darah mengalir dari lengan kiri Fito. Ran yakin, Fito baru saja menyakiti dirinya sendiri.

“Kenapa Fito?”

“Karena kamu mirip dengan dia.” suara Fito membuat Ran terkejut, suara Fito tidak ramah seperti biasanya.

Ran tersenyum kecut, ia kembali melangkahkan kakinya mendekat.

“It's okay kalo Fito benci Ran, tapi jangan benci diri Fito sendiri.”

“Aku gak pantas hidup.”

Ran membelalakkan matanya kaget.

“Kata siapa Fito?”

“Aku lumpuh, aku gak sempurna, gak ada satupun yang mau berteman sama aku.” Suara Fito meninggi.

Ran tertegun ketakutan. “Ran— Ran yang akan menjadi teman Fito,” ucap Ran.

Kini Ran berdiri tepat di depan Fito, ia tidak peduli jika Fito akan marah kepada dirinya sekarang.

“Ran akan jadi kaki buat Fito, selama Fito membutuhkan Ran, mirip bukan berarti sama Fito,” ucapnya dengan mata menatap Fito.

Fito kembali menatap mata Ran, mata Fito merah dan sayu, Ran yakin Fito belum tidur sama sekali.

Melihat kondisi Fito, Ran dengan cepat mencari keberadaan kotak p3k, setelah mendapatkannya ia langsung jongkok di samping kiri Fito.

“Ran pernah bilang, jangan pernah benci diri Fito sendiri, karena itu tugas orang lain— kalo Fito gak sayang diri Fito sendiri, bagaimana dengan orang lain?”

“Tapi aku benci diri aku sendiri—”

Tangan Ran bergerak membersihkan bekas goresan pisau di tangan Fito.

Untungnya Fito tidak melawan saat Ran mengobati bekas self harm dirinya tersebut.

Setelah mengobati luka Fito, Ran kembali berdiri di hadapan Fito.

“Apa dengan ngelukai diri sendiri, semuanya akan berakhir?”

“Bagaimanapun dengan kamu? Bukannya kamu ngelakuin hal yang sama?”

Ran tersenyum dan mengangguk, benar apa yang dikatakan Fito.

“Itu dulu, sekarang Ran mau berjuang sama Fito.”

Fito menatap mata Ran, tatapan yang sangat tulus. Berbeda dengan seseorang yang dulu pernah ada di hadapan dirinya juga.

“Fito tau? Ran selalu ngelukai diri sendiri saat ayah Ran melukai Ran, terus apa yang Ran dapatkan? Ran jadi mengidap sindrom Dory, dan itu membantu Ran untuk tidak mengingat hal buruk yang Ran dapatkan.”

“Lalu bagaimana dengan Fito? Fito lumpuh, dan orang-orang jahat di sekitar Fito menjauh, coba Fito bayangin, sekarang orang itu masih ada di sisi Fito, dan berkhianat kepada Fito. Fito bayangin, Fito masih bisa jalan, dan sepanjang jalanan Fito akan mendapatkan caci dan maki dari orang-orang.”

Fito terdiam, ia berusaha mencerna perkataan yang keluar dari mulut Ran.

“Ran akan jadi kaki buat Fito, kemanapun Fito akan melangkah.”

“Lo gak malu?”

Ran menggeleng kuat. “Untuk apa Ran malu?”

“Punya temen gak bisa jalan.”

Senyum Ran memudar, ia menghela nafas panjang.

“Untuk apa Ran malu, sedangkan Ran juga seorang pengecut?”

#.

Suatu saat, Ran yang akan berjuang keras untuk ayah.


Kini ketiga anak Aditya sudah berkumpul di ruang tengah rumah mereka. Mereka bertiga duduk tepat di depan Johnny.

Ran duduk di tengah, tepat di depan sang ayah, walaupun perasaan takut yang sangat besar, Ran berusaha untuk tenang. Namun ia tetap menunduk agar tidak terjadi kontak mata dengan ayahnya.

“Ayah mau pamit kerja,” ucap Johnny membuka topik pembicaraan.

“Kan udah biasa, kenapa harus dikumpulin gini?” tanya Hazel.

Johnny menatap mata Hazelz lalu ia tersenyum. “Ayah akan kerja di luar kota, mungkin bisa sampai satu bulan tanpa pulang ke rumah,” jawab Johnny tenang.

Kali pertama bagi Ran mendengar suara ayahnya yang begitu lembut, ia merasa senang walaupun Johnny bukan berbicara kepadanya.

“Kenapa harus keluar kota yah?” kini Maraka yang bertanya.

“Sudah tidak ada harapan di sini, jadi supir saja, ayah tidak bisa memenuhi kebutuhan kalian.”

Ran hanya memilih untuk diam, perlahan ia mengangkat kepalanya, tepat di saat Johnny menatap dirinya, hal tersebut membuat Ran menunduk kembali.

Johnny meletakkan satu card atm di meja, tepat di depan Maraka.

“Ayah percaya sama kamu, memang uang di dalamnya tidak seberapa, tapi pastikan kamu dan adik kamu makan, makanan yang layak, dan di sana sudah ada duit untuk SPP kalian untuk bulan ini,” ucap Johnny seraya menatap mata Maraka.

“Ayah akan terus kirim kalian uang, kalo memang ayah harus lama di luar kota.”

Maraka mengangguk paham. “Iya ayah.”

Lalu Johnny meletakkan dua amplop coklat berisikan uang, di depan Hazel dan juga Ran.

“Pastikan cukup untuk satu bulan uang jajan kalian, cuman itu yang ayah punya,” ucapnya lagi.

Ran mengangguk walaupun masih menunduk. “Terima kasih ayah,” lirihnya pelan.

Hazel dengan cepat meraih amplop coklat tersebut, ia melihat berapa uang yang ada di dalam sana.

“Cuman dua juta yah? Satu bulan?” ucap Hazel seperti tidak terima.

Johnny menghela nafas kasar. “Ayah cuman punya itu Zayn, kalo nanti ayah punya duit, ayah akan kirim melalui abang kamu,” jawabnya.

“Yaudah, udah kan?” tanya Hazel lagi.

Johnny mengangguk. “Sudah, Maraka jaga adik kamu selama ayah gak di rumah. Ayah berangkat sekarang.” Johnny bangkit dari duduknya.

“Iya yah, ayah berangkat sekarang?”

“Iya, barang-barang ayah udah di luar.”


Setelah Johnny pergi, kini tinggal Maraka, Hazel dan Ran di rumah itu. Namun suasana rumah tidak ramah seperti biasanya.

“Lo gak seharusnya ngomong gitu sama ayah tadi,” ucap Maraka ke Hazel.

“Bukan urusan lo,” balas Hazel sinis, lalu meninggalkan Maraka dan Ran berdua di ruang tamu.

“Abang jangan berantem, mungkin bang Hazel butuh duit lebih banyak kan, nanti kalo abang Hazel butuh duit nanti punya Ran kan ada,” kata Ran menenangkan Maraka.

Maraka tersenyum ke Ran, mengusap pelan rambut sang adik.

“Memang uang Ran ada berapa dikasih ayah?” tanya Maraka.

Ran mengeluarkan uang yang ada di amplop coklat yang diberikan oleh sang ayah tadi.

“Dua ratus ribu,” jawab Ran dengan senyum mengembang.

“Ini lebih dari cukup untuk Ran, Ran gak jajan di sekolah, Ran juga gak pake ongkos, jadi awet deh selama sebulan,” sambungnya.

Hati Maraka seperti tersayat dengan pisau, sakit melihat senyum yang Ran.

“Pinter adeknya, abang,” puji Maraka.


Di kamar, Hazel mengeluarkan sebuah celengan besar dari lemarinya. Ia memasukkan uang yang diberikan ayahnya tadi sebesar satu juta.

Di depan celengan tersebut ada tulisan, yang bertulis tabungan untuk Ran.

“Tanggung jawab, tapi gak adil buat apa yah,” monolog Hazel.

Ia tau uang yang diberikan ayahnya untuk Ran berbeda jauh dengan jumlah yang ia terima, maka dari itu Hazel sering menyisihkan duitnya untuk Ran, tentu saja tanpa sepengetahuan siapapun.


Di lain sisi, Ran tengah duduk di kursi, dan meletakkan dagunya di atas meja belajar miliknya.

“Ayah di sana nanti baik-baik aja kan?”

“Kalo ayah sakit, nanti siapa yang obati.”

“Ayah, Ran janji! Suatu saat, Ran yang akan berjuang untuk ayah!”

#.

Ayah sudah berusaha, Maraka.


“Raka,” panggil Aurel lembut.

“Coba dulu ya, coba kamu omongin baik-baik ke ayah,” lanjutnya.

“Aku capek Rel, setiap hari dengerin ayah marah, setiap hari harus ngelihat senyum palsu Ran,” balas Maraka.

Aurel mengangguk paham. “Aku tau kamu bisa, kita gak ada yang tau apa alasan ayah benci Ran kan?”

“Siapa tau pas kamu tanya, jalan keluarnya ketemu, kamu satu-satunya harapan bagi Ran, Raka. Kamu punya tanggung jawab besar terhadap Ran.”

Maraka menunduk, sedari tadi ia mengeluarkan keluh kesahnya kepada Aurel, benar kata Aurel, ia harus menanyakan langsung kepada ayah.


“Ada apa Raka?” tanya Johnny kepada Maraka.

Sepulangnya Maraka dari rumah Aurel, tanpa berpikir panjang Maraka langsung mengajak Johnny untuk ngobrol empat mata di kamar Johnny.

Maraka menarik nafas dalam-dalam mengumpulkan keberanian.

“Kenapa ayah benci Ran?” tanya Maraka to the point.

Raut wajah Johnny berubah menjadi datar.

“Ayah capek, kamu istirahat sana,” ucap Johnny tegas sebagai jawaban.

“Raka butuh alasan untuk mengambil tanggung jawab atas Ran suatu saat nanti,” ucap Maraka dengan suara bergetar.

Johnny menatap mata Maraka yang sudah berkaca-kaca, ia sedikit tidak percaya dengan ucapan Maraka barusan.

“Maksud kamu?”

“Suatu saat, ketika Maraka sudah sukses, Maraka akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Ran, dan melepas Ran dari ayah, Maraka butuh alasan yang kuat—”

“Agar Raka punya alasan kuat di pengadilan nantinya,” lanjutnya.

“Kamu tau apa tentang hukum Maraka? Kamu ngawur?”

“Maraka capek yah, Maraka gak pernah fokus, bahkan Maraka gak bisa tidur setiap malam, ayah selalu berteriak dan memukul Ran.” Suara Maraka kian meninggi.

“Abang mana yang kuat melihat adiknya di benci oleh ayahnya sendiri yah?”

“Ayah gak benci Ran—”

“Lalu kenapa ayah selalu menjadikan Ran layaknya binatang, bukan seorang manusia, atau anak,” potong Maraka.

Maraka tak dapat menahan air matanya.

“Ayah sudah berusaha, Maraka,” lirih Johnny pelan.

“Mata Ran, sangat mirip dengan mata ibu kalian,” ucapnya lagi.

Maraka terdiam berusaha memahami maksud Johnny.

“Bertahun-tahun ayah berusaha melupakan kejadian dulu, tapi mata Ran selalu buat ayah membenci dirinya.”

“Kenapa yah? Ada apa dengan masa lalu?”

“Kamu terlalu muda untuk mengetahui—”

“Maraka sudah cukup dewasa yah!”

Johnny memejamkan matanya, berusaha untuk tidak emosi.

“Keluar,” tegas Johnny.

“Keluar!”

Tidak ingin membuat sang ayah semakin marah, Maraka memilih untuk keluar, meninggalkan Johnny sendirian di kamarnya.

Ketika Maraka keluar dari kamar, ia melihat Ran yang berdiri tidak jauh dari kamar sang ayah.

“Ran,” panggil Maraka lembut.

Ran tersenyum ke arah Maraka. “Ran mau kasih teh hangat buat ayah, soalnya udah malam ayah baru pulang, takutnya ayah masuk angin.”

Jangan mau jadi seperti aku, aku gak sempurna.


“Jadi gitu, paham?” tanya Fito ke Ran yang sedari tadi menyimak Fito menjelaskan rumus-rumus matematika kepadanya.

Dengan polosnya Ran menjawab dengan gelengan.

“Ahhh, gak paham.” Ran mendengus kesal.

Fito mendecak kesal. “Dari tadi dengerin aku jelasin gak hm?”

Ran mengangguk polos. “Denger kok, tapi Ran tetap gak paham,” jawabnya berhasil membuat Fito gemas.

Fito memejamkan matanya, ia merasa kesal. Karena ini bukan menit pertama ia menjelaskan semuanya kepada Ran, namun sudah hampir tiga jam, dan jawaban Ran masih sama.

“Tapi Fito gak usah khawatir, Ran pasti bisa jawab semuanya.”

“Gimana?”

“Waduh anak-anak pinter lagi belajar nih,” ucap bunda menghampiri Ran dan juga Fito yang berada di ruang tamu.

“Ini bunda bawain susu, terus ada buah sama kue biar semangat belajarnya,” sambung bunda.

“Kalo Ran minum susu buatan bunda Alya pasti Ran bisa jawabnya, iyakan bunda?”

Bunda tersenyum lalu mengangguk. “Pasti dong! Ran gitu, anak pinter, yaudah lanjut ya.”

Ran merasa senang karena jawaban dari bunda, dan juga Ran merasa senang seakan-akan dirinya mendapatkan kasih sayang dari sosok ibu, kasih sayang yang tidak pernah Ran dapatkan.

Fito menatap ke arah Ran, ia merasa heran padahal baru saja Ran ceria, namun tiba-tiba Ran menjadi pendiam lagi.

“Hei.” Fito menjentikkan jarinya di depan wajah Ran.

Ran dibuat kaget karena Fito.

“Kenapa, capek?” tanya Fito memastikan.

Ran menggeleng. “Bukan, Ran gak capek,” jawab Ran pelan.

“Terus?”

“Ran senang— karena Ran mengucapkan satu kata yang tidak pernah Ran ucapkan selama hidup Ran.”

Fito mengerutkan keningnya kebingungan. Kata apa yang dimaksud Ran.

“Bunda, Ran gak pernah ucap kata itu,” sambung Ran.

Fito mengangguk paham, lalu tangannya tergerak mengusap lembut kepala Ran.

“Yaudah, ini mau lanjut pr nya?”

Ran menoleh menatap Fito.

“Ran pengen jadi seperti Fito,” ucapnya tiba-tiba.

“Kenapa?” tanya Fito kebingungan.

“Fito punya bunda yang sayang banget sama Fito, Fito pintar, sedangkan Ran bodoh, dan Ran gak punya bunda, ayah gak pernah ada waktu untuk Ran.”

Ran jujur tentang perasaannya sekarang. Jujur, pada saat pertama bunda menyuruh agar Ran memanggilnya dengan panggilan bunda, Ran sangat senang.

Karena dirinya tidak pernah mengucapkan kata itu, bahkan dirinya tidak pernah tau dimana ibunya berada.

Fito terdiam sejenak, sebelum ia menjawab, “Jangan mau jadi seperti aku, karena aku tidak sempurna.”

“Manusia gak ada yang sempurna Fito.”

“Jangan mau Ran— aku benci diri aku sendiri.”

Ran terdiam, keheningan menghampiri mereka.

“Jangan benci diri kamu sendiri Fito, karena itu tugas orang lain. Tugas kamu mencintai diri kamu sendiri, seperti apapun keadaan kamu,” ucap Ran memecahkan keheningan.

Ran tersenyum lembut ke arah Fito, tidak seharusnya Ran menciptakan suasana seperti ini.

“Ayok lanjut belajar!”

Fito semangat ya!


“Kamu nunggu siapa Fito?” tanya bunda ke Fito yang seperti sedang menunggu seseorang di ruang tamu.

Fito tersenyum. “Ada deh bun,” jawabnya.

Bunda tertawa kecil. “Ya sudah, kalo gitu bunda keluar sebentar ya?”

“Iya bunda hati-hati ya.”


Tok tok

Ran mengetuk pintu rumah Fito, seperti apa yang ia bilang sebelumnya, setelah ayahnya pergi maka Ran akan datang ke rumah Fito.

“Masuk aja Ran,” ucap Fito dari dalam rumah.

Ran melangkahkan kakinya masuk ke ruang tamu rumah Fito.

“Bunda Fito mana?” tanya Ran seraya melihat ke sekitar rumah.

“Keluar sebentar,” jawab Fito.

“Owhhh.”

“Oh iya.” Ucap Ran teringat sesuatu. Ia merogoh saku celana pendek yang ia kenakan.

“Ini,” ucapnya seraya mendekati Fito.

“Apa?”

“Plaster.”

Fito mengerutkan keningnya kebingungan. “Untuk apa?”

“Untuk tangan Fito, Ran udah tulis kemarin di buku, jadi Ran ingat.”

Fito mengangkat tangannya, perasaan tangannya tidak ada luka, untuk apa plaster tersebut.

“Kita sama,” ucap Ran.

Ia menunjukkan lengan sebelah kirinya. Ada beberapa goresan yang membekas di sana. Fito melihat ke lengannya sendiri, benar kata Ran, mereka sama.

“Plaster ini memang enggak bisa menyembuhkan, tapi bisa menutup luka,” ucap Ran lembut.

Fito terdiam, ia berpikir sejenak, sebesar apa masalah yang Ran hadapi selama ini.

“Ran bakalan nunjukin sesuatu, agar Fito enggak sedih lagi!”

Ran telah menyiapkan semuanya, kemarin ketika ia melihat bekas goresan di lengan Fito, dengan segera Ran menuliskan rencananya di buku.

Rencananya adalah membuat Fito tidak merasa sedih lagi. Entah apa yang membuat Ran berpikir seperti itu.

“Nunjukin apa?” tanya Fito penasaran.

Bukannya menjawab, Ran tersenyum jahil, lalu ia mengeluarkan handphonenya dan menghidupkan irama lagu dari handphone miliknya.

“Ran akan membawakan lagu yang berjudul into the new world!” Seru Ran bersemangat.

“Whoooooo ayo tepuk tangan!”

Fito tertawa melihat tingkah random Ran sekarang.

Ran berdiri tegak menunggu saatnya ia bernyanyi.

Ran tersenyum ke arah Fito, lalu ia mulai bernyanyi.

“Jeonhae jugo shipeo seulpeun shigani.” Ran menggerakkan tubuhnya mengikuti irama, layaknya penyanyi beneran.

“Da heuteojin hueya deullijiman.”

Tidak hanya bernyanyi, Ran juga menari sesuai dengan tempo lagu.

Fito tidak berhenti mengembangkan senyumnya, dan pandangan matanya tidak lepas dari Ran.

“Nuneul gamgo neukkyeo bwa umjigineun maeum Neoreul hyanghan nae nunbicheul.”

Fito tertawa karena suara fals Ran, dan juga Ran yang hampir jatuh, namun dirinya masih semangat bernyanyi dan menari.

“Teukbyeolhan gijeogeul gidariji ma Nunapeseon uriye geochin gireun Al su eomneun miraewa byeok bakkuji ana Pogihal su eopseo.” Ran melemparkan senyum lebar ke arah Fito yang tidak berhenti menertawainya.

Fito tertawa bukan karena suara fals Ran, tapi karena ekspresi yang Ran tunjukan saat bernyanyi.

“Byeonchi aneul sarangeuro jikyeojwo Sangcheo ibeun nae maeumkkaji Shiseon sogeseo mareun piryo eopseo Meomchwojyeo beorin I shigan.”

“Ayo semuanya nyanyi!” Sorak Ran bersemangat.

“Saranghae neol I neukkim idaero Geuryeo watdeon haemae ime kkeut I sesang sogeseo banbokdweneun Seulpeum ijen annyeong.”

Rahang Fito sakit karena tidak berhenti tersenyum dan tertawa, ia hanya membantu Ran dengan tepuk tangan.

“Sumaneun al su eomneun gil soge Hwimihan bicheul nan jjochaga Eonjekkajirado hamkke haneun geoya Dashi mannan naye segye.”

Ran baru saja selesai menyanyikan bagian reff dari lagu tersebut. Sekarang ia sedang menari gaya bebas, hingga dirinya hampir terjatuh.


“Huahh capek!” keluh Ran saat dirinya selesai bernyanyi dan juga menari.

Fito mengusap ujung matanya yang berair karena tidak berhenti tertawa.

“Emang kamu tau arti lagunya?” tanya Fito kepada Ran yang kini duduk di depannya.

Ran menggeleng. “Tapi Ran tau maknanya,” jawab Ran.

“Apa?”

“menuju dunia yang baru—” Ran terdiam sejenak.

“Dunia yang lebih baik dan lebih indah,” sambungnya.

Fito dapat melihat mata Ran berkaca-kaca.

“Fito semangat ya!” Seru nya menyemangati Fito.

“Makasih, kamu juga ya?” balas Fito lembut.

Ran tidak menjawab, ia memilih untuk menundukkan kepalanya.

“Kalo Ran gak bisa merasakan kebahagiaan, Ran harus memastikan orang lain bahagia.”

Ran juga gatau Ran ini siapa


Ran sedari tadi hanya memutar-mutar pena yang ada di tangannya. Sekarang Ran sedang berusaha untuk menghilangkan rasa bosannya.

Ran mendengar suara berisik dari luar, dengan cepat dirinya keluar dari kamar. Ternyata ayah baru saja pulang. Senyum Ran mengembang ketika melihat Johnny membawa pulang banyak makanan.

Namun Ran tidak berani untuk mendekat, tidak seperti biasanya. Ia menunggu Johnny masuk ke kamar terlebih dahulu.

Beberapa menit kemudian Ran melihat Johnny masuk ke kamarnya, Ran melangkauhkan kakinya menuju ruang tengah dimana kedua abangnya berada di sana.

“Abang, Ran boleh minta roti itu enggak?” pinta Ran dengan senyum mengembang.

“Siapa lo?” sahut Maraka.

Senyum Ran yang tadi mengembang kini memudar.

“Yaudah,” lirih Ran, ia membalikkan tubuhnya hendak kembali ke kamarnya lagi.

“Bercanda, gak usah baper,” ucap Maraka.

Ran tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak.

“Ran juga gatau Ran siapa,” balas Ran dengan nada bicara yang tidak ramah.

Hal tersebut membuat Maraka dan juga Hazel keheranan.

“Dih sombong bener lo dek, kenapa lo?”

Ran kembali membalikkan badannya menghadap Maraka dan juga Hazel.

“Makan aja sama kalian, memang seharusnya bukan untuk Ran kan, Ran memang gak berhak mendapatkan itu!” Ran melangkahkan kakinya kembali menuju kamar.

“Lah kenapa tuh anak,” heran Maraka.

Hazel tertawa pelan. “Lo yang kenapa?”

Maraka menatap Hazel. “Apa?”

“Gue tau lo bercanda, tapi lihat kondisi dong.”

“Gue cuman mau bercanda sama Ran! Gue salah?”

“Lo salah, mental Ran gak sesehat kita, bisa aja dia trauma dengan hal-hal seperti ini, apalagi bersangkutan dengan makanan!”

Maraka terdiam, dan termenung. Benar kata Hazel, tidak seharusnya ia bercanda seperti itu kepada Ran.

“Gue muak tau gak, kalo sempet ada ayah tadi di sini, habis Ran, bukan lo.” Hazel meninggalkan Maraka sendirian yang masih terdiam di sana.


Di kamar Ran meringkuk tubuhnya, dan menjadikan dinding sebagai sandaran.

“Ran ini siapa? Ran gak tau,” monolognya.

Buggh

*Buggh**

Suara kepala yang terbentur dengan dinding. Lagi-lagi Ran melakukan hal itu, melukai dirinya sendiri.

“Ran siapa? Ran kenapa?”

Buggh

Sakit? Tidak, sama sekali tidak sakit bagi Ran.

“Ayo Ran lupain, Ran jangan gini ya, Ran gak boleh kasar!”

tw // Suicide , self harm , blood


“FITO!” Bunda berteriak dengan sangat kuat, ketika melihat Fito yang sudah terbaring lemah.

Dengan kondisi tangan yang penuh dengan goresan pisau dan berlumuran darah.

Dengan segera bunda berusaha memangku kepala Fito. Fito masih sadar, namun lemah akibat darah yang tidak berhenti keluar.

Fito baru saja mencoba untuk bunuh diri. Hari ini udah seminggu semenjak kecelakaan dirinya dengan sang ayah, yang membuat Fito lumpuh.

Kecelakaan besar itu terjadi karena Fito yang berusaha mengejar sang ayah yang berusaha lari dari kejaran polisi, karena tertangkap menjadi pengedar narboka selama lima tahun berturut-turut.

Begitu banyak masalah yang Fito hadapi, pacarnya yang meninggalkan dirinya saat mengetahui kondisi dirinya yang sekarang lumpuh. Dan juga ejekan dari warga setempat karena menjadi anak dari seorang bandar sekaligus pengedar narkoba.

Fito membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit berwarna putih, dan juga bau obat dimana-mana.

Dirinya menoleh dan mendapatkan sang bunda yang sedang menangis di sampingnya.

“Bun,” panggil Fito lemah.

“Fito?”

“Dokter, dokt—”

“Bun, Fito mau ngomong,” potong Fito kepada sang bunda yang sedang memanggil dokter.

“Apa nak?”

“Kenapa bunda tolong Fito? Fito udah gak sanggup bun, biarin Fito pergi,” lirihnya.

Bunda menggeleng kuat. “Jangan, jangan tinggalin bunda nak.” Bunda kembali menangis.

“Fito udah gak kuat bun!”

“Kasih bunda waktu ya? Kasih bunda waktu untuk buat kamu bahagia, dan keluar dari semua penderitaan ini, kita berjuang sama-sama ya nak?” Ucap bunda meyakinkan Fito.

Fito terdiam sejenak. “Fito akan menghitungnya ya bun?”

“Sampai sepuluh.”

Bunda terdiam, tidak tau untuk menjawab apa.

“Angka sepuluh yang akan bertambah cepat atau lambat. Jika sudah sampai sepuluh dan Fito masih merasakan hal yang sama—” Fito menoleh menatap sang bunda, dan tersenyum.

“Biarkan Fito memilih antara hidup—”

“Atau mati.”