.
Sandy mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, ia sedang menunggu kedatangan Jonathan di tempat yang telah ia beritahukan sebelumnya kepada Jonathan. Tempat tersebut adalah sebuah restoran tertutup, tak lama Sandy menunggu akhirnya Jonathan tiba.
“Sorry lama,” ucap Jonathan seraya duduk di hadapan Sandy.
Sandy mengangguk pelan. “Bukan permasalahan yang besar,” balasnya santai.
Tiba-tiba saja keadaan menjadi hening, tidak ada percakapan yang keluar dari mulut mereka. “Kamu gak ngajak saya jumpa di sini, hanya untuk dia?” tanya Jonathan merasa heran. Sandy tertawa tipis, lalu ia menatap mata Jonathan, tatapan yang dulu sangat tajam, kini berubah menjadi tatapan ramah. “Well, gue ngajak lo ke sini karena gue kangen sama lo,” jawab Sandy, tentu saja hanya sebuah candaan. Namun tetap saja bagi Jonathan akan dianggap serius, melihat raut wajahnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi sangat-sangat serius. Sontak Sandy tertawa keras melihat Jonathan. “Gue bercanda,” jelasnya, membuat Jonathan bernapas lega. “Saya gak lagi ngomong sama hantu kan?” “Menurut lo, apa ada restoran yang bakalan nyewain tempatnnya untuk hantu?” “Jadi apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Jonathan mulai penasaran. Sandy menganguk, ia meminum terlebih dahulu sebelum ia menjelaskan semuanya kepada Jonathan.
Flashback On Setelah meninggalkan Yudhis dan juga Theo, Sandy tak langsung pergi dari sana. Ia melangkahkan kakinya menuju ruangan kerjanya. Namun langkahnya terhenti karena panggilan seorang karyawan kafe miliknya. “Kak Sandy boleh minta waktunya sebentar?” ucap karyawan tersebut. “Oh ya, ada apa?” tanya Sandy sedikit keheranan. Karyawan tersebut tidak langsung berbicara, ia terdiam sejenak seraya menatap kea rah Yudhis dan juga Theo berada. Melihat hal tersebut membuat Sandy ikut menatap kea rah yang sama. “Ada apa Nadira?” tanya Sandy lagi. Karyawan yang bernama Nadira tersebut tersontak kaget. “Eum, boleh gak kak kita ngobrolnya di ruangan kakak?” Sandy mengangguk walaupun sedikit keheranan dengan Nadira. “Boleh, ayo,” ajaknya. Sandy melangkahkan kakinya kembali menuju ruangan kerjanya, diikuti oleh Nadira dari belakang. Sesampainya mereka di ruangan kerja Sandy, Sandy mempersilahkan Nadira untuk duduk di kursi di hadapannya. “Ada apa Nadira?” tanya Sandy. “Soal gaji?” Nadira menggeleng kuat. “Bukan kak, ini.” Nadira meletakkan handphonenya di atas meja kerja Sandy. Sandy menyatukan alisnya kebingungan. “Lalu?” “Maaf kalo saya lancang, tadi waktu saya lagi bersih-bersih meja, saya tidak sengaja mendengar percakapan dua pria yang kak Sandy ajak ngobrol tadi, karena saya tau salah satu dari mereka dekat dengan kak Sandy, saya memutuskan untuk merekam perbincangan mereka,” jawab Nadira sedikit ketakutan. Walaupun menaruh sedikit kecurigaan terhadap Nadira, Sandy tetap mengambil handphone milik Naira tadi, dan memutar rekaman pembicaraan Yudhis dengan Theo. Awal mendengar percakapan tersebut Sandy tidak merasa ada yang aneh, sampai ia mendengar suatu hal yang membuat dirinya terdiam. “Lo beneran mau ikutin permintaan orang tua Jonathan?” Suara Theo bertanya ke Yudhis. “Menurut lo, gue berani nolak.” Jawab Yudhis. “Tapi ini gila Yud, nyawa seseorang, nyawa Sandy sahabat lo dan gue.” “Gue gak punya pilihan lagi Theo. Yang kayak gue bilang tadi, kalo Embun sama Sandy, Jonathan bakalan balik ke Bella, dan Galaxy akan selamanya di tangan Sandy.” “Tapi gue gak segitu jahatnya sampe harus ngelukain sahabat gue, apalagi sampe buat dia meninggal.” “Gak sampe meninggal Theo, lo cuman pastiin dia kecelakaan terus kritis sampe hubungan Embun sama Jonathan kembali membaik.” “Kalo gue ketangkep gimana?” “Gue sama orang tua Jonathan yang bakalan mastiin lo baik-baik aja.” Sandy terdiam, ia mengembalikan handphone milik Nadira. Ia berusaha berpikir jernih. “Kak, kakak gak apa-apa? Apa kak Sandy hari ini ada rencana untuk pergi jauh?” tanya Nadira. Sandy tersadar dari lamunannya, ia menatap kea rah Nadira lalu tersenyum. “Kamu boleh pergi Nadira, terima kasih atas informasinya ya Nadira.” Sandy mempersilahkan agar Nadira kembali bekerja. Nadira bangkit dari duduknya, ia melangkahkan kakinya hendak keluar dari ruangan Sandy, namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan kembali membalikkan badannya. “Kak.” “Iya Nadira, ada lagi yang mau kamu sampaikan?” Nadira tidak langsung menjawab, ia diam sejenak. “Perasaan Nadira masih sama kayak yang dulu,” ungkapnya. Sandy tersenyum ke Nadira. “Saya hargai perasaan kamu Nadira, boleh saya minta waktu saya? Kamu boleh kembali bekerja, kalau kamu terlalu lama di ruangan saya, akan muncul obrolan yang tidak seharusnya di antara karyawan-karyawan yang lain, saya takut mereka akan mengasingkan kamu lagi seperti dulu.” Tanpa berpikir panjang Nadira dengan cepat meninggalkan Sandy sendiri di ruangannya. Sandy terus berpikir, apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya dan juga Embun. “Seharusnya aku tidak membawa kamu kembali ke Indonesia Embun,” monolog Sandy penuh penyesalan.
Flashback Off “Udah denger semuanya?” Sandy memperdengarkan rekaman pembicaraan antara Theo dan juga Yudhis yang ia dapatkan dari karyawannya. Jonathan terdiam seribu bahasa, ia sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. “Yang egois akan tetap egois sampai akhir Jo,” ucap Sandy. Jonathan menatap mata Sandy seakan-akan meminta penjelasan lebih. “Orang tua lo akan terus egois sampai akhir, dan akan terus memakai topeng demi mendaapatkan kepuasan,” jelas Sandy terus terang. “Kemana kamu selama ini?” “Gue selalu ada di sisi kalian Jo, bahkan gue hadir pada saat Embun di makamkan,” jawab Sandy. “kenapa?” Sandy tersenyum, lalu ia kembali menjelaskan apa yang terjadi kepada dirinya. “Malam itu gue beneran dikejer oleh Theo, gue berusaha untuk membawa mobil gue ke jalanan yang sepi, dan ya benar aja, dia buat mobil gue tergelincir dan mengalami kecelakaan parah.” Perasan Sandy sedikit campur aduk ketika mengingat kembali kejadian tersebut. “Kenapa kamu ngelakuin iu semua?” tanya Jonathan heran, jika saja Sandy tidak membawa dirinya ke jalanan sepi, dan kecelakaan itu terjadi di jalanan ramai maka pelakunya akan mudah diketahui. “Karena Theo sahabat gue,” jawabnya tenang. Jonathan tidak habis pikir dengan cara berpikir Sandy, ia masih terdiam tidak percaya. “Gue juga gak bakalan nyangka gue bakalan kritis Jo, setelah Embun pulang gue sadar dan gue diperiksa sama dokter, pikiran gue sama sekali belum jernih. Tapi waktu dokter meriksa keadaan gue, alih-alih nyuruh dokter untuk menjelaskan bahwa gue udah baik-baik saja, gue minta untuk memalsukan kematian gue,” jelasnya panjang lebar. Sandy terdiam sejenak sebelum menyambung penjelassannya. “Itu alasannya kenapa jasad gue tidak diperlihatkan, bukan karena permintaan terakhir gue seperti yang dokter bilang ke kalian, tapi karena gue gak pernah mati.” “Kenapa?” lirih Jonathan. “Karen ague bakalan beri kesempatan untuk Embun kembali ke pelukan lo, dan gue akan jaga Galaxy dari jauh Jo, lo jangan takut, gue gak akan ngambil Galaxy dari lo.” Jonathan terdiam, ia tidak tau harus berkata apa kepada Sandy, selain mengucapkan, “Terima kasih, saya berhutang nyawa kepada kamu Sandy.”