Panglimakun

Sandy mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, ia sedang menunggu kedatangan Jonathan di tempat yang telah ia beritahukan sebelumnya kepada Jonathan. Tempat tersebut adalah sebuah restoran tertutup, tak lama Sandy menunggu akhirnya Jonathan tiba.

“Sorry lama,” ucap Jonathan seraya duduk di hadapan Sandy.

Sandy mengangguk pelan. “Bukan permasalahan yang besar,” balasnya santai.

Tiba-tiba saja keadaan menjadi hening, tidak ada percakapan yang keluar dari mulut mereka. “Kamu gak ngajak saya jumpa di sini, hanya untuk dia?” tanya Jonathan merasa heran. Sandy tertawa tipis, lalu ia menatap mata Jonathan, tatapan yang dulu sangat tajam, kini berubah menjadi tatapan ramah. “Well, gue ngajak lo ke sini karena gue kangen sama lo,” jawab Sandy, tentu saja hanya sebuah candaan. Namun tetap saja bagi Jonathan akan dianggap serius, melihat raut wajahnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi sangat-sangat serius. Sontak Sandy tertawa keras melihat Jonathan. “Gue bercanda,” jelasnya, membuat Jonathan bernapas lega. “Saya gak lagi ngomong sama hantu kan?” “Menurut lo, apa ada restoran yang bakalan nyewain tempatnnya untuk hantu?” “Jadi apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Jonathan mulai penasaran. Sandy menganguk, ia meminum terlebih dahulu sebelum ia menjelaskan semuanya kepada Jonathan.

Flashback On Setelah meninggalkan Yudhis dan juga Theo, Sandy tak langsung pergi dari sana. Ia melangkahkan kakinya menuju ruangan kerjanya. Namun langkahnya terhenti karena panggilan seorang karyawan kafe miliknya. “Kak Sandy boleh minta waktunya sebentar?” ucap karyawan tersebut. “Oh ya, ada apa?” tanya Sandy sedikit keheranan. Karyawan tersebut tidak langsung berbicara, ia terdiam sejenak seraya menatap kea rah Yudhis dan juga Theo berada. Melihat hal tersebut membuat Sandy ikut menatap kea rah yang sama. “Ada apa Nadira?” tanya Sandy lagi. Karyawan yang bernama Nadira tersebut tersontak kaget. “Eum, boleh gak kak kita ngobrolnya di ruangan kakak?” Sandy mengangguk walaupun sedikit keheranan dengan Nadira. “Boleh, ayo,” ajaknya. Sandy melangkahkan kakinya kembali menuju ruangan kerjanya, diikuti oleh Nadira dari belakang. Sesampainya mereka di ruangan kerja Sandy, Sandy mempersilahkan Nadira untuk duduk di kursi di hadapannya. “Ada apa Nadira?” tanya Sandy. “Soal gaji?” Nadira menggeleng kuat. “Bukan kak, ini.” Nadira meletakkan handphonenya di atas meja kerja Sandy. Sandy menyatukan alisnya kebingungan. “Lalu?” “Maaf kalo saya lancang, tadi waktu saya lagi bersih-bersih meja, saya tidak sengaja mendengar percakapan dua pria yang kak Sandy ajak ngobrol tadi, karena saya tau salah satu dari mereka dekat dengan kak Sandy, saya memutuskan untuk merekam perbincangan mereka,” jawab Nadira sedikit ketakutan. Walaupun menaruh sedikit kecurigaan terhadap Nadira, Sandy tetap mengambil handphone milik Naira tadi, dan memutar rekaman pembicaraan Yudhis dengan Theo. Awal mendengar percakapan tersebut Sandy tidak merasa ada yang aneh, sampai ia mendengar suatu hal yang membuat dirinya terdiam. “Lo beneran mau ikutin permintaan orang tua Jonathan?” Suara Theo bertanya ke Yudhis. “Menurut lo, gue berani nolak.” Jawab Yudhis. “Tapi ini gila Yud, nyawa seseorang, nyawa Sandy sahabat lo dan gue.” “Gue gak punya pilihan lagi Theo. Yang kayak gue bilang tadi, kalo Embun sama Sandy, Jonathan bakalan balik ke Bella, dan Galaxy akan selamanya di tangan Sandy.” “Tapi gue gak segitu jahatnya sampe harus ngelukain sahabat gue, apalagi sampe buat dia meninggal.” “Gak sampe meninggal Theo, lo cuman pastiin dia kecelakaan terus kritis sampe hubungan Embun sama Jonathan kembali membaik.” “Kalo gue ketangkep gimana?” “Gue sama orang tua Jonathan yang bakalan mastiin lo baik-baik aja.” Sandy terdiam, ia mengembalikan handphone milik Nadira. Ia berusaha berpikir jernih. “Kak, kakak gak apa-apa? Apa kak Sandy hari ini ada rencana untuk pergi jauh?” tanya Nadira. Sandy tersadar dari lamunannya, ia menatap kea rah Nadira lalu tersenyum. “Kamu boleh pergi Nadira, terima kasih atas informasinya ya Nadira.” Sandy mempersilahkan agar Nadira kembali bekerja. Nadira bangkit dari duduknya, ia melangkahkan kakinya hendak keluar dari ruangan Sandy, namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan kembali membalikkan badannya. “Kak.” “Iya Nadira, ada lagi yang mau kamu sampaikan?” Nadira tidak langsung menjawab, ia diam sejenak. “Perasaan Nadira masih sama kayak yang dulu,” ungkapnya. Sandy tersenyum ke Nadira. “Saya hargai perasaan kamu Nadira, boleh saya minta waktu saya? Kamu boleh kembali bekerja, kalau kamu terlalu lama di ruangan saya, akan muncul obrolan yang tidak seharusnya di antara karyawan-karyawan yang lain, saya takut mereka akan mengasingkan kamu lagi seperti dulu.” Tanpa berpikir panjang Nadira dengan cepat meninggalkan Sandy sendiri di ruangannya. Sandy terus berpikir, apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya dan juga Embun. “Seharusnya aku tidak membawa kamu kembali ke Indonesia Embun,” monolog Sandy penuh penyesalan.

Flashback Off “Udah denger semuanya?” Sandy memperdengarkan rekaman pembicaraan antara Theo dan juga Yudhis yang ia dapatkan dari karyawannya. Jonathan terdiam seribu bahasa, ia sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. “Yang egois akan tetap egois sampai akhir Jo,” ucap Sandy. Jonathan menatap mata Sandy seakan-akan meminta penjelasan lebih. “Orang tua lo akan terus egois sampai akhir, dan akan terus memakai topeng demi mendaapatkan kepuasan,” jelas Sandy terus terang. “Kemana kamu selama ini?” “Gue selalu ada di sisi kalian Jo, bahkan gue hadir pada saat Embun di makamkan,” jawab Sandy. “kenapa?” Sandy tersenyum, lalu ia kembali menjelaskan apa yang terjadi kepada dirinya. “Malam itu gue beneran dikejer oleh Theo, gue berusaha untuk membawa mobil gue ke jalanan yang sepi, dan ya benar aja, dia buat mobil gue tergelincir dan mengalami kecelakaan parah.” Perasan Sandy sedikit campur aduk ketika mengingat kembali kejadian tersebut. “Kenapa kamu ngelakuin iu semua?” tanya Jonathan heran, jika saja Sandy tidak membawa dirinya ke jalanan sepi, dan kecelakaan itu terjadi di jalanan ramai maka pelakunya akan mudah diketahui. “Karena Theo sahabat gue,” jawabnya tenang. Jonathan tidak habis pikir dengan cara berpikir Sandy, ia masih terdiam tidak percaya. “Gue juga gak bakalan nyangka gue bakalan kritis Jo, setelah Embun pulang gue sadar dan gue diperiksa sama dokter, pikiran gue sama sekali belum jernih. Tapi waktu dokter meriksa keadaan gue, alih-alih nyuruh dokter untuk menjelaskan bahwa gue udah baik-baik saja, gue minta untuk memalsukan kematian gue,” jelasnya panjang lebar. Sandy terdiam sejenak sebelum menyambung penjelassannya. “Itu alasannya kenapa jasad gue tidak diperlihatkan, bukan karena permintaan terakhir gue seperti yang dokter bilang ke kalian, tapi karena gue gak pernah mati.” “Kenapa?” lirih Jonathan. “Karen ague bakalan beri kesempatan untuk Embun kembali ke pelukan lo, dan gue akan jaga Galaxy dari jauh Jo, lo jangan takut, gue gak akan ngambil Galaxy dari lo.” Jonathan terdiam, ia tidak tau harus berkata apa kepada Sandy, selain mengucapkan, “Terima kasih, saya berhutang nyawa kepada kamu Sandy.”

Sandy mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, ia sedang menunggu kedatangan Jonathan di tempat yang telah ia beritahukan sebelumnya kepada Jonathan. Tempat tersebut adalah sebuah restoran tertutup, tak lama Sandy menunggu akhirnya Jonathan tiba.

“Sorry lama,” ucap Jonathan seraya duduk di hadapan Sandy.

Sandy mengangguk pelan. “Bukan permasalahan yang besar,” balasnya santai.

Tiba-tiba saja keadaan menjadi hening, tidak ada percakapan yang keluar dari mulut mereka. “Kamu gak ngajak saya jumpa di sini, hanya untuk dia?” tanya Jonathan merasa heran. Sandy tertawa tipis, lalu ia menatap mata Jonathan, tatapan yang dulu sangat tajam, kini berubah menjadi tatapan ramah. “Well, gue ngajak lo ke sini karena gue kangen sama lo,” jawab Sandy, tentu saja hanya sebuah candaan. Namun tetap saja bagi Jonathan akan dianggap serius, melihat raut wajahnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi sangat-sangat serius. Sontak Sandy tertawa keras melihat Jonathan. “Gue bercanda,” jelasnya, membuat Jonathan bernapas lega. “Saya gak lagi ngomong sama hantu kan?” “Menurut lo, apa ada restoran yang bakalan nyewain tempatnnya untuk hantu?” “Jadi apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Jonathan mulai penasaran. Sandy menganguk, ia meminum terlebih dahulu sebelum ia menjelaskan semuanya kepada Jonathan.

Flashback On Setelah meninggalkan Yudhis dan juga Theo, Sandy tak langsung pergi dari sana. Ia melangkahkan kakinya menuju ruangan kerjanya. Namun langkahnya terhenti karena panggilan seorang karyawan kafe miliknya. “Kak Sandy boleh minta waktunya sebentar?” ucap karyawan tersebut. “Oh ya, ada apa?” tanya Sandy sedikit keheranan. Karyawan tersebut tidak langsung berbicara, ia terdiam sejenak seraya menatap kea rah Yudhis dan juga Theo berada. Melihat hal tersebut membuat Sandy ikut menatap kea rah yang sama. “Ada apa Nadira?” tanya Sandy lagi. Karyawan yang bernama Nadira tersebut tersontak kaget. “Eum, boleh gak kak kita ngobrolnya di ruangan kakak?” Sandy mengangguk walaupun sedikit keheranan dengan Nadira. “Boleh, ayo,” ajaknya. Sandy melangkahkan kakinya kembali menuju ruangan kerjanya, diikuti oleh Nadira dari belakang. Sesampainya mereka di ruangan kerja Sandy, Sandy mempersilahkan Nadira untuk duduk di kursi di hadapannya. “Ada apa Nadira?” tanya Sandy. “Soal gaji?” Nadira menggeleng kuat. “Bukan kak, ini.” Nadira meletakkan handphonenya di atas meja kerja Sandy. Sandy menyatukan alisnya kebingungan. “Lalu?” “Maaf kalo saya lancang, tadi waktu saya lagi bersih-bersih meja, saya tidak sengaja mendengar percakapan dua pria yang kak Sandy ajak ngobrol tadi, karena saya tau salah satu dari mereka dekat dengan kak Sandy, saya memutuskan untuk merekam perbincangan mereka,” jawab Nadira sedikit ketakutan. Walaupun menaruh sedikit kecurigaan terhadap Nadira, Sandy tetap mengambil handphone milik Naira tadi, dan memutar rekaman pembicaraan Yudhis dengan Theo. Awal mendengar percakapan tersebut Sandy tidak merasa ada yang aneh, sampai ia mendengar suatu hal yang membuat dirinya terdiam. “Lo beneran mau ikutin permintaan orang tua Jonathan?” Suara Theo bertanya ke Yudhis. “Menurut lo, gue berani nolak.” Jawab Yudhis. “Tapi ini gila Yud, nyawa seseorang, nyawa Sandy sahabat lo dan gue.” “Gue gak punya pilihan lagi Theo. Yang kayak gue bilang tadi, kalo Embun sama Sandy, Jonathan bakalan balik ke Bella, dan Galaxy akan selamanya di tangan Sandy.” “Tapi gue gak segitu jahatnya sampe harus ngelukain sahabat gue, apalagi sampe buat dia meninggal.” “Gak sampe meninggal Theo, lo cuman pastiin dia kecelakaan terus kritis sampe hubungan Embun sama Jonathan kembali membaik.” “Kalo gue ketangkep gimana?” “Gue sama orang tua Jonathan yang bakalan mastiin lo baik-baik aja.” Sandy terdiam, ia mengembalikan handphone milik Nadira. Ia berusaha berpikir jernih. “Kak, kakak gak apa-apa? Apa kak Sandy hari ini ada rencana untuk pergi jauh?” tanya Nadira. Sandy tersadar dari lamunannya, ia menatap kea rah Nadira lalu tersenyum. “Kamu boleh pergi Nadira, terima kasih atas informasinya ya Nadira.” Sandy mempersilahkan agar Nadira kembali bekerja. Nadira bangkit dari duduknya, ia melangkahkan kakinya hendak keluar dari ruangan Sandy, namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan kembali membalikkan badannya. “Kak.” “Iya Nadira, ada lagi yang mau kamu sampaikan?” Nadira tidak langsung menjawab, ia diam sejenak. “Perasaan Nadira masih sama kayak yang dulu,” ungkapnya. Sandy tersenyum ke Nadira. “Saya hargai perasaan kamu Nadira, boleh saya minta waktu saya? Kamu boleh kembali bekerja, kalau kamu terlalu lama di ruangan saya, akan muncul obrolan yang tidak seharusnya di antara karyawan-karyawan yang lain, saya takut mereka akan mengasingkan kamu lagi seperti dulu.” Tanpa berpikir panjang Nadira dengan cepat meninggalkan Sandy sendiri di ruangannya. Sandy terus berpikir, apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya dan juga Embun. “Seharusnya aku tidak membawa kamu kembali ke Indonesia Embun,” monolog Sandy penuh penyesalan.

Flashback Off “Udah denger semuanya?” Sandy memperdengarkan rekaman pembicaraan antara Theo dan juga Yudhis yang ia dapatkan dari karyawannya. Jonathan terdiam seribu bahasa, ia sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. “Yang egois akan tetap egois sampai akhir Jo,” ucap Sandy. Jonathan menatap mata Sandy seakan-akan meminta penjelasan lebih. “Orang tua lo akan terus egois sampai akhir, dan akan terus memakai topeng demi mendaapatkan kepuasan,” jelas Sandy terus terang. “Kemana kamu selama ini?” “Gue selalu ada di sisi kalian Jo, bahkan gue hadir pada saat Embun di makamkan,” jawab Sandy. “kenapa?” Sandy tersenyum, lalu ia kembali menjelaskan apa yang terjadi kepada dirinya. “Malam itu gue beneran dikejer oleh Theo, gue berusaha untuk membawa mobil gue ke jalanan yang sepi, dan ya benar aja, dia buat mobil gue tergelincir dan mengalami kecelakaan parah.” Perasan Sandy sedikit campur aduk ketika mengingat kembali kejadian tersebut. “Kenapa kamu ngelakuin iu semua?” tanya Jonathan heran, jika saja Sandy tidak membawa dirinya ke jalanan sepi, dan kecelakaan itu terjadi di jalanan ramai maka pelakunya akan mudah diketahui. “Karena Theo sahabat gue,” jawabnya tenang. Jonathan tidak habis pikir dengan cara berpikir Sandy, ia masih terdiam tidak percaya. “Gue juga gak bakalan nyangka gue bakalan kritis Jo, setelah Embun pulang gue sadar dan gue diperiksa sama dokter, pikiran gue sama sekali belum jernih. Tapi waktu dokter meriksa keadaan gue, alih-alih nyuruh dokter untuk menjelaskan bahwa gue udah baik-baik saja, gue minta untuk memalsukan kematian gue,” jelasnya panjang lebar. Sandy terdiam sejenak sebelum menyambung penjelassannya. “Itu alasannya kenapa jasad gue tidak diperlihatkan, bukan karena permintaan terakhir gue seperti yang dokter bilang ke kalian, tapi karena gue gak pernah mati.” “Kenapa?” lirih Jonathan. “Karen ague bakalan beri kesempatan untuk Embun kembali ke pelukan lo, dan gue akan jaga Galaxy dari jauh Jo, lo jangan takut, gue gak akan ngambil Galaxy dari lo.” Jonathan terdiam, ia tidak tau harus berkata apa kepada Sandy, selain mengucapkan, “Terima kasih, saya berhutang nyawa kepada kamu Sandy.”

“Halo Embun, aku datang,” kata Sandy.

Sandy Arkananta, pria yang pernah hadir di kehidupan Embun, dan bertahan cukup lama.

Pria yang dari awal selalu ada di samping Embun, namun harus menghilang di saat-saat terakhir Embun.

Dia tidak kembali, lebih tepatnya dia tidak pernah pergi.

“I'm here, kamu udah gak sakit di sana?” Sandy mengusap batu nisan Embun.

“Maaf,” lirihnya. “Maaf karena aku gak ada di saat kamu berjuang di akhir,” sambung Sandy.

Ia meletakkan bunga matahari di atas makam Embun, bunga matahari yang ia belikan tadi.

“Tapi aku seneng lihat kamu tersenyum dengan lebar sampai akhir Embun.”

Sandy memang tidak ada di samping Embun. Namun ia selalu mengikuti Embun dari jauh. Bahkan disaat Embun dan Galaxy liburan dengan Jonathan, Sandy terus mengikuti Embun.


Flashback

Dari jauh Sandy melihat Yudhis yang sedang berkunjung ke penginapan Embun dan juga Sandy.

Samar-samar ia mendengar bahwa Embun tidak mengingat siapa Yudhis.

“Sudah sampai ke tahap itu ya Embun?” monolognya.

Ia melihat Embun yang berjalan ke arah dimana dirinya bersembunyi, dengan cepat Sandy menyembunyikan dirinya di balik pohon.

Untung saja Embun tidak melihat dirinya di sana. Embun berjalan melewati Sandy, ia terus berjalan tanpa melihat kiri, kanan dan belakang, bahkan dirinya tidak menyadari bahwa Sandy tengah mengikutinya sekarang.

Sandy terus mengikuti Embun, walaupun jarak di antara mereka sedikit jauh.

I miss you,” lirih Sandy namun tiba-tiba ia tersentak karena langkah Embun terhenti.

Apa Embun menyadari bahwa ada orang yang mengikutinya?

Dengan cepat Sandy mundur, untung saja ada pohon besar yang bisa Sandy jadikan tempat persembunyian.

Tidak lama Sandy bersembunyi ia melihat Yudhis mengikuti Embun.

Sandy tersenyum tipis. “Bagaimana kalau mereka tau Yud?”

Lalu Sandy meninggalkan Embun dan juga Yudhis berdua, karena ia tidak ingin mendengar percakapan Embun dengan Yudhis.


“Maaf karena aku gak bisa tepati janji aku, untuk berjuang sama kamu,” ucapnya dengan tangan yang masih mengusap batu nisan milik Embun.

“Kamu masih ingat kata aku Embun? Mencintaimu adalah hal terindah yang pernah aku rasakan, namun memiliki mu seutuhnya hanya menjadi mimpi indah yang akan ku ulang di setiap tidurku.” Air mata Sandy berhasil lolos, pertahanannya runtuh.

“Aku akan mengulang terus mimpi itu sampai aku tua nanti, tanpa ada seorangpun yang bisa menggantikan posisi kamu Embun,” katanya.

Sandy menangis tersedu-sedu, melupakan semua rasa bersalahnya kepada Embun.

“Aku akan menjaga Galaxy untuk kamu Embun.”

“Jaga kita dari sana ya, istirahat yang tenang wanita ku.”

Sandy mengusap air matanya, lalu ia berdiri dari sana, menatap sejenak makam Embun sebelum ia benar-benar meninggalkan Embun yang sedang berisitirahat selamanya.

Setelah perdebatan besar dengan mamanya Ara memilih untuk keluar agar dirinya merasa tenang.

Berakhirlah Ara di sini. Di sebuah taman yang ramai pengunjung, membuat Ara sedikit tenang karena tawa dari mereka.

Sebenarnya tujuan Ara tidak hanya ingin menenangkan diri, nanamun dirinya hendak membawa laptop yang tadi dirusak oleh mamanya ke service laptop. Namun Ara mengurungkan niatnya setelah melihat sisa uang yang ada di tabungannya.

“Hufft enak ya jadi mereka,” monolog Ara ketika melihat satu keluarga lengkap yang sedang bercanda ria.

Ara menundukkan kepalanya, mengingat kembali betapa menyedihkannya hidup yang ia jalanin.

Ara masih menunduk sampai tiba-tiba.

“Abian!” sentak Ara karena tiba-tiba saja Abian yang ia kenal tidur di atas pahanya.

Karena mendengar Ara berteriak dengan cepat Abian menutup mulut Ara dengan jari telunjuknya.

“Sssstt,” bisik Abian.

Abian memang mengenakan masker dan juga kaca mata hitam, tapi bagi Ara sangat mudah untuk mengenal sosok Abian.

“Kenapa?” tanya Ara dengan suara kecil.

Abian mengambil handphone yang ada di sakunya, lalu ia mengetik sesuatu di note handphone miliknya.

“Gue dikejer sama manager, soalnya habis beli barang gak penting, jadi sebentar aja gue tidur disini kayak pacar lo.” Ara membaca tulisan yang ada di handphone Abian.

Ara membulatkan matanya. “Kan besok Abian ada konser?” tanya Ara.

Abian terdiam sejenak, lalu ia bangkit dari paha Ara, dan duduk di sebelah Ara.

“Nah itu masalahnya, gue gak boleh setres karena besok gue konser, jadi gapapa kan ya gue disini?”

Ara mengangguk. “Selamanya juga gapapa Abian,” batin Ara.

“Ya gapapa, Ara gak punya hak ngelarang.”

“Untung aja ada lo disini, jadi gue gak dikerumuni orang-orang,” ucap Abian.

“Emang Abian kenal Ara?”

“Ya gak terlalu kenal, lo yang bekalnya gue makan kemarin kan, dan lo yang selalu di bully di sekolah, jadi gue sedikit inget,” jawab Abian. “Lagian gak penting amat kenal sama lo,” lanjutnya.

Deg

Satu kalimat yang berhasil membuat hati Ara sakit. Namun ada benarnya, Ara bukan level untuk di kenal sama Abian.

“Lo sendiri aja?”

“Ya iya, Ara gak punya temen.”

Abian mengangguk paham.

“Lo menarik,” ungkap Abian.

Deg

Lagi-lagi Abian membuat jantung Ara berdetak lebih cepat.

“Apasih,” elak Ara.

“Dari sekian ribu siswi di sekolah, cuman lo yang gak tertarik sama gue, jadi lo menarik,” tambah Abian.

Salah Abian, dari seribu siswi yang ada di sekolah Ara adalah orang pertama yang akan selalu jatuh cinta kepada dirinya.

“Ya gitu,” sahut Ara singkat.

Abian mengambil paper bag yang ada di sebelahnya. Lalu ia menyerahkan paper bag tersebut ke Ara.

Ara kebingungan, ketika ia melihat isi paper bag yang diarahkan Abian.

“Abian ini laptop yang kamu bilang barang gak penting?” tanya Ara tidak percaya.

Abian hanya menjawab dengan cengengesan. “Ya menurut gue gak penting, buat lo aja dah,” jawab Abian dengan santai.

“Apaan, gak gak. Nih Ara gak butuh.” Ara menyerahkan kembali laptop tersebut ke Abian, namun tetap ditolak oleh Abian.

“Lo mau lihat gue bonyok? Terus gue dihujat satu negara?”

Ara terdiam, memang sampai segitunya?

“Simpen aja dulu, kalo emang lo butuh ya pake aja.”

“Yaudah Ara simpen, nanti kalo Abian butuh bilang Ara ya?”

Abian mengangguk. “Kalo gue masih inget sama lo.”

FLASHBACK ON

Sandy melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafe miliknya.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat dua orang yang ia kenali berada di kafenya.

“Wow hai,” sapa Sandy.

Kedua orang tersebut sedikit kaget karena kehadiran Sandy.

“Yudhis, Theo gue gak tau lo berdua saling kenal?” tanya Sandy.

Kedua orang tersebut adalah Theo dan juga Yudhis, dua orang yang sangat Sandy kenal.

Sandy dapat melihat Yudhis menatap Theo dengan tatapan aneh.

“Haha itu tadi bro baru kenal kita mah, satu frekuensi jadi langsung akrab, iya kan Theo?” jawab Yudhis seraya menaikkan satu alisnya.

“Iya San, kagak usah cemburu lo mah wkwkw gue juga baru kenal sama Yudhis,” sahut Theo.

Sandy mengangguk, ia mengiyakan perkataan Yudhis dan juga Theo, walaupun Sandy merasa aneh dengan gelagat keduanya.

“Lo bukannya mau jalan sama Embun ya?” tanya Yudhis.

Sandy lagi-lagi mengangguk. “Iya ini mau mampir bentar ke cafe, yaudah lanjut aja,” jawab Sandy mempersilahkan Yudhis dan juga Theo melanjutkan perbincangannya.

“Yo bro, semangat ya ngelamar Embun,” kata Yudhis dengan nada sedikit mengejek, namun Sandy tetap menanggapinya dengan santai.

Theo membulatkan matanya menatap Yudhis, sedikit kaget ketika mendengar bahwa Sandy akan melamar Embun.

Setelah Sandy tidak ada lagi di sana, kini Yudhis dan juga Theo saling melemparkan tatapan yang sulit untuk di artikan.

“Ayah!” teriak Galaxy memanggil Jonathan yang masih sibuk mengambil perlengkapan untuk mereka bakar-bakar.

“Iya abang sebentar,” sahut Jonathan dari dalam villa.

Setelah beberapa menit Jonathan keluar dengan beberapa perlengkapan di tangannya.

“Sabar ya jagoan ayah,” kata Jonathan setelah meletakkan perlengkapan yang ia ambil tadi.

“Ayah itu api nya udah siap, ayo masukin satenya ayah,” desak Galaxy.

“Cium dulu,” pinta Jonathan seraya menunjuk pipinya.

Tanpa protes Galaxy segera mencium kedua pipi Jonathan secara bergantian.

Jonathan tersenyum penuh kemenangan, lalu ia meletakkan daging yang telah ditusuk di lidi menjadi sate, ke alat yang telah siap.

“Abang kenapa teriak-teriak sih?” tanya Embun yang baru saja kembali dari toilet.

“Ayah lama bunda,” omel Galaxy.

“Ayah gak lama loh,” protes Jonathan tidak terima.

“Ayah lama!”

Embun membiarkan anak dan ayah itu beradu argument, namun sayangnya Jonathan memilih untuk diam.

“Yaudah ayah kan udah bakar satenya? Abang laper ya?” goda Embun.

“Iya!” jawab Galaxy tegas membuat Jonathan dan juga Embun tertawa.

“Iya jagoan ayah sabar ya.”

“Sini sini jagoannya bunda, kita makan snack dulu sini,” ucap Embun menarik Galaxy ke pangkuannya.

Tidak heran jika Galaxy sangat dekat dengan Jonathan, walaupun dari awal bukan Jonathan yang pertama kali Galaxy kenal, namun ikatan batin diantara mereka lah yang membuat mereka seperti ini.

Mengingat kembali saat Embun sedikit menjelaskan tentang ayah kepada Galaxy, respon dari Galaxy benar-benar membuat Embun terdiam.

Galaxy tidak marah, Embun masih mengingat jelas satu kalimat yang keluar dari mulut Galaxy setelah Embun menjelaskan tentang ayah kepada Galaxy.

“Kapan Gala bisa ketemu ayah Jo lagi bunda?”

Satu kalimat yang benar-benar berpengaruh ke Embun.


Setelah semuanya siap, kini keluarga kecil ini sedang menikmati sate yang telah di bakar oleh Jonathan tadi, terlebih lagi Galaxy dirinya telah menghabiskan sepuluh tusuk sate dalam waktu singkat.

“Ayah terima kasih atas makanan nya, bunda terima kasih juga atas makanan nya,” ucap Galaxy.

Ia berdiri lalu mengecup pipi Embun dan juga Jonathan secara bergantian.

“Galaxy sayang ayah dan bunda,” ungkapnya membuat Embun dan juga Jonathan tersenyum.

“Selamanya,” sambung Galaxy membuat kedua orang tuanya tersentuh atas tingkah manisnya tersebut.

Embun tidak berhenti tersenyum menyaksikan keasikan Jonathan dan juga Galaxy. Ia benar-benar merasa bahagia sekarang.

“Bunda!!!” seru Galaxy memanggil Embun.

Dengan cepat Embun menghampiri Galaxy yang sedang berlari ke arahnya.

“Iya anak bunda kenapa?” tanya Embun ke Galaxy saat Galaxy telah sampai di pelukannya.

I love you,” ucap Galaxy seraya mengecup pipi Embun secara bergantian.

Embun merasa bingung, ada apa Galaxy tiba-tiba bilang i love you kepada dirinya. Embun mengangkat kepalanya menatap Jonathan, Jonathan hanya tersenyum.

Pandangan Embun kembali ke Galaxy. “I love you too abang,” balas Embun seraya mengecup pipi Galaxy.

Embun memeluk erat tubuh Galaxy, menyalurkan semua rasa sayangnya kepada anak satu-satunya itu.

“Ayah,” panggil Galaxy ke Jonathan. “Sini,” ajak Galaxy agar jongkok di sebelah Embun.

Jonathan dengan segera mengikuti arahan sang anak.

Say i love you ke bunda,” suruh Galaxy membuat Embun dan juga Jonathan terkejut.

Jonathan tersenyum. “I love you bunda,” ucap Jonathan seraya menatap mata Embun.

Embun dapat melihat ketulusan yang sama dari sorot mata Jonathan, tatapan yang sangat ia ia sukai.

I love you too ayah,” balas Embun, tidak sengaja Embun meneteskan air matanya.

“Ayah, kiss bunda.” Galaxy memegang kening nya sendiri memberi kode agar Jonathan mencium kening Embun.

Walaupun gugup perlahan Jonathan mendekatkan wajahnya ke Embun. “Maaf,” ucap Jonathan agar Embun tidak tersinggung.

Embun membalasnya dengan senyuman dan anggukan. “Gapapa Jo.”

Beberapa detik kemudian Jonathan mendaratkan bibirnya tepat di kening Embun. Embun memejamkan matanya, walaupun beberapa hari ini ia sering menerima kecupan kecil dari Jonathan, namun kali ini rasanya berbeda.

Hangat, dan juga nyaman. Rasa yang dulu pernah ada, kini kembali lagi.

Ciuman Jonathan sedikit lama, lalu ia menjauhkan wajahnya dan menatap mata Embun.

“Cieee ayah bunda, Gala mau main dulu deh,” kata Galaxy mengejek Embun dan juga Jonathan.

Embun dan juga Jonathan tertawa melihat tingkah random Galaxy.

“Kenapa sih anak kamu Jo?” tanya Embun.

Jonathan berdiri lalu ia mengulurkan tangannya menarik Embun.

“Anak kamu juga,” jawabnya seraya menarik tangan Embun kembali ke tempat di mana Embun berteduh dari panasnya sinar matahari di pantai.

“Kayaknya Gala udah terkontaminasi sama kamu deh Jo,” ucap Embun.

Jonathan menoleh menatap Embun. “Kan aku ayahnya,” balas Jonathan sedikit sombong.

Embun tertawa mendengar hal tersebut. Keduanya kembali fokus menatap Galaxy yang sedang bermain dengan pasir pantai. Sampai Embun memberanikan diri untuk memberitahukan sesuatu ke Jonathan.

“Jo,” panggil Embun.

Jonathan menolehkan pandangannya lagi. “Iya Embun?”

“Sebentar lagi ingatan aku bakalan terganggu,” ucap Embun dengan suara kecil.

Jonathan mengangguk paham. “Aku udah tau semuanya dari dokter Keenan.”

Memang benar, setelah penyakit Embun terungkap, Jonathan sangat sering mendatangi dokter Jonathan walaupun bukan saat dirinya mengantarkan Embun untuk check up. Jonathan hanya ingin mengetahui lebih banyak tentang kondisi Embun.

“Bantu aku ya Jo?”

Jonathan memegang kedua tangan Embun. “Sampai akhir, aku akan bantu kamu, bertahan ya?”

Embun memejamkan matanya, beriringan dengan itu air mata Embun jatuh membasahi pipinya.

“Aku terlambat ya Jo?”

“Hm?”

“Aku pengen sembuh.” Tangis Embun pecah.

Jonathan menarik Embun ke dekapannya, membuat Embun menangis sejadi-jadinya di dekapan Jonathan.

Tangan Jonathan mengusap lembut rambut Embun, agar Embun merasa tenang.

“Kamu bisa sembuh Embun, gak ada kata terlambat,” ucapnya menenangkan Embun.

“Kalo aku mat—”

“Hsssttt,” potong Jonathan tidak ingin mendengar lebih lanjut ucapan ngawur Embun.

“Wanita yang ada di pelukan aku sekarang adalah wanita hebat yang pernah ada di dalam hidup aku, apapun yang akan terjadi kedepannya yang penting kamu bahagia ya?”

Embun mengangguk, ia membalas pelukan Jonathan.

“Kamu ingat apa kata aku dulu?”

“Definisi bahagia itu banyak—' Embun menggantungkan ucapannya.

“Bersama belum tentu bahagia, tidak bersama belum tentu tidak bahagia, itu kata aku waktu hubungan kita hampir putus di tengah jalan, tapi apa kata takdir? Aku bahagia disaat ada dan tidak adanya kamu,” kata Jonathan melengkapi ucapan Embun.

“Itu karena apa? Karena cinta aku yang tidak pernah luntur untuk kamu Embun. Sekarang kita bahagia dulu ya?” Jonathan menangkup pipi Embun, mengusap air mata Embun yang kian berhenti.

“Jangan berpikir negatif dulu, gak ada kata terlambat.”

Embun kembali menenggelamkan wajahnya di dada Jonathan, meluapkan semua emosinya.

“Aku cuman mau kamu bahagia Embun, setelah semua penderitaan yang kamu alami,” ucap Jonathan lalu ia mencium pucuk kepala Embun.

Tw // kekerasan dalam keluarga

Boleh di tinggalkan jika kalian ketrigger


Brakk

Ara tersentak kaget karena suara pintu yang dibuka paksa. Ternyata itu ulah mamanya. Mama Ara menatap Ara dengan tatapan yang dipenuhi amarah.

Dengan cepat Ara menutup laptop yang ia gunakan tadi, lalu Ara dengan segera turun dari kasurnya.

Plak

Satu tamparan mendarat tepat si pipi kiri Ara, dengan refleks Ara memegang pipi kirinya.

“Ma?”

“Anak kurang ajar ya kamu, anak gak berguna!” bentak mama Ara.

Tangan mama Ara terus menerus memekul punggung Ara. Ara sama sekali tidak melawan, ia hanya diam dan memejamkan matanya, menerima semua pukulan keras dari sang mama.

Grepp

“Arghh sakit ma!” teriak Ara karena rambutnya ditarik kuat oleh mama.

“Berani kamu lawan mama hah!”

Lagi-lagi tangan mama Ara memukul tubuh Ara. Ara berusaha keras menghindar namun ia tidak bisa, karena tangan mamanya yang masih terus menarik rambutnya.

“Ma kalo mama ada masalah di luar, jangan lampiasin ke Ara ma!”

“Ara capek!” emosi Ara benar-benar meluap, nafasnya tidak beraturan.

Mama Ara menghentikan kegiatannya, ia menatap Ara dengan tatapan tajam.

“M-maaf ma—” lirih Ara merasa bersalah.

“Kamu itu pembawa sial! Mama nyesel lahirin kamu! Semuanya gara-gara kamu anak pembawa sial!” Mama berteriak dengan kuat menghina Ara.

Air mata Ara mengalir deras, hatinya terasa sangat amat sakit mendengar hinaan dari mamanya sendiri.

“Ma— kalo Ara bisa milih, Ara gak mau lahir dari rahim mama!” Ara terisak, sebenarnya berat bagi Ara untuk melawan sang mama, namun ia tidak bisa berdiam diri lagi.

Mama Ara benar-benar marah, kini ia beralih ke kasur Ara.

Brakk

Mama Ara melempar laptop Ara, membuat laptop Ara kini hancur berantakan.

Laptop lama yang terus Ara jaga agar dirinya masih bisa belajar, kini hancur dibuat oleh mamanya sendiri.

“Anak kurang ajar!” teriak mama Ara semakin menjadi-jadi.

“Iya ma hancurin aja, setelah mama hancurin hidup Ara, sekarang hancurin kebahagiaan Ara ma,” lirih Ara.

Namun nihil, mama Ara sama sekali tidak mendengarkannya, ia semakin membabi buta merusak semua barang-barang Ara.

Ara terduduk lemah, ia menangis sejadi-jadinya. “Ara capek ma.”

Tw // bullying


“Heh Ara!” Panggil salah satu anak di kelas Ara dengan suara tinggi.

Anak tersebut tidak hanya memanggil Ara dengan suara tinggi namun juga dengan tangan yang menghentak meja, membuat Ara tersentak kaget.

“Ya?” jawab Ara.

Anak itu menyerahkan secarik kertas. “Tuh, punya anak kelas yang mau nitip ke kantin, jangan sampe ada yang kelupaan kayak kemarin, ingat?”

Ini bukan pertama kali bagi Ara, dirinya bukan hanya dijadikan sebagai bahan bully namun juga sebagai pembantu di kelasnya.

Ara sangat ingin melawan, tapi dia tidak punya siapa-siapa terlebih ia selalu mengingat pesan dari papa nya.

“Jangan dilawan kamu bisa membuat nama papa buruk—papa.”

Ara mengambil kertas tersebut tanpa ada perlawanan, ia segera bangkit dari kursinya. Namun ketika ia hendak melangkahkan kakinya, anak yang tadi membentak Ara menjegal kaki Ara, membuat Ara tersungkur di lantai.

Seluruh isi kelas tertawa melihat hal tersebut.

“Upsiee sengaja,” ledek anak yang menjegal kaki Ara.

Ara hanya tersenyum tipis lalu ia kembali berdiri dan segera pergi menuju kantin, sebelum bel masuk berbunyi.

Semua pasang mata tertuju ke Ara, tidak asing bagi Ara karena hal ini sering terjadi. Bahkan sesekali ia dijadikan target bullying oleh kelas lain.

Sesampainya di kantin Ara tidak langsung membeli titipan anak-anak kelasnya. Ia berhenti sejenak mengumpulkan keberanian, karena keadaan di kantin sangat amat ramai.

“Oii cantik,” panggil seorang murid cowo yang sangat di kenal oleh Ara.

Dia adalah Damar, seorang murid cowo yang sangat amat nakal, Ara sangat takut kepada Damar, namun ia tidak bisa menghindar.

Damar merangkul bahu Ara. “Udah kelas tiga masih jadi babu lo?” tanya Damar dengan nada mengejek.

Karena suara Damar yang keras, membuat seisi kantin menertawakan Ara.

“L-lepas,” lirih Ara merasa risih dengan Damar.

“Hah apa? Gue gak denger nih,” ledek Damar dengar seringai di bibirnya.

Ara sedikit menggerakkan badannya agar bisa terlepas dari Damar, namun tenaga Damar lebih besar dari Ara, sampai seketika.

Grepp

Satu tangan menarik tangan Damar yang sedang merangkul paksa Ara.

Ara terkejut melihat orang tersebut. Dia Abian, artis dan juga orang yang sangat disegani di sekolah ini.

“Berani jangan sama cewe dong bro,” kata Abian dengan nada mengintimidasi.

Kini suasana kantin menjadi hening, semua pasang mata tertuju kepada mereka.

“Wow wow wow ada bang jago nih disini.” Lagi-lagi Damar mengejek.

Teman-teman Damar ikut menertawakan Abian.

“Lo berani sama gue?” ancam Abian.

Damar tertawa tipis, seringai di bibirnya belum pudar. “Gue?”

“Ya takutlah hahaha, siapa yang berani sama lo, maaf ya bang jago. Kita pamit,” kata Damar lalu ia segera pergi dari sana.

Namun sebelum pergi Damar sempat menyentuh dagu Ara, dan berhasil mendapatkan tatapan mematikan dari Abian.

“M-makasih,” ucap Ara ke Abian tanpa menatap mata Abian.

“Lo mau jajan? Biar gue temenin,” balas Abian.

“Aku mau beli ini,” ujar Ara seraya memperlihatkan secarik kertas titipan teman-temannya. “Titipan dari temen-temen kelas.”

Abian mengambil kertas tersebut, ia melihat sejenak lalu ia serahkan ke Hendra.

“Jo, Hend beliin terus anter ke kelas dia, pake dulu duit kalian nanti gue ganti tiga kali lipat,” suruh Abian membuat gue ternganga kaget.

Hendra dan Jovian mengangguk. “Siap bos!” Seru mereka berbarengan.

Ara memberanikan diri menatap Abian. “Gak usah Bian, Ara bisa sendiri,” ucap Ara.

Abian tersenyum ketika Ara menatap dirinya. Ia menggenggam tangan Ara dan menariknya keluar dari Kantin.

Ara dapat mendengar suara sorakan dan juga keluhan dari cewek-cewek yang ada di sana.

Genggaman Abian sangat kuat, Ara tidak bisa menolaknya.

“Abian, tangan Ara sakit,” keluh Ara.

Dengan cepat Abian melepaskan genggaman tangannya.

“Oh maaf.”

“Lo udah makan?” tanya Abian.

Ara menggelengkan kecil. “Belum,” jawabnya seraya menunduk.

“Mau jajan dulu ke kantin?” tawar Abian.

Lagi-lagi Ara menggelengkan kepalanya. “Ara bawa bekal.”

“Yaudah ayok gue temenin makan,” ucap Abian tangannya hendak menarik tangan Ara lagi, namun segera ditahan oleh Ara.

“Gak usah Abian,” tolak Ara.

Abian menjawab dengan senyuman, ia tidak mendengar penolakan Ara.

Setelah mengambil bekal milik Ara, kini Abian membawa Ara ke taman sekolah.

Ara mendapatkan banyak tatapan tidak suka ketika ia berada di kelas tadi, namun tidak ada yang berani menyentuh Ara karena keberadaan Abian.

“Dimakan kenapa dilihatin aja?” tanya Abian karena Ara tidak membuka bekalnya.

“Malu,” jawab Ara pelan.

Abian menyatukan alisnya kebingungan. “Kenapa harus malu?”

Ara terdiam, ia malu karena bekalnya hanya nasi dan juga telur mata sapi yang ia taburi sedikit kecap manis.

Abian merebut bekal Ara, lalu tanpa izin ia membuka tutup bekal Ara.

Ara menatap Abian, muka Ara memerah karena malu.

“Malu Abian, aku cuman makan nasi sama telur.”

Abian menghela nafas, ia tidak percaya dengan jalan pikiran Ara.

“Kenapa harus malu? makan telur sama nasi doang.”

Abian memakan sesuap nasi dan juga telur milik Ara. Ia mengangguk keenakan.

“Enak, kenapa harus malu?”

Ara menatap Abian tidak percaya. “Kok dimakan?” protes Ara.

Bukannya berhenti Abian masih terus memakan bekal tersebut.

“Lo malu kan? Yaudah gue makan,” sahutnya dengan tenang.

“Terus Ara makan apa?”

Abian mengeluarkan sebuah roti kecil dari saku celananya, ia menyerahkan roti tersebut untuk Ara.

Ara mengambil roti tersebut, lalu ia melihat Abian terus memakan bekal miliknya.

“Tuh makan roti biar gak malu,” ucap Abian dengan mulut yang terisi penuh.

Ara terdiam sejenak ia benar-benar kebingungan.

Beberapa menit kemudian Ara mendapatkan bekal makanannya kosong, habis dimakan Abian.

Abian mengacungkan jempol. “Mantap,” ucapnya dengan senyum lebar.


“Hoek Hoek,” Abian memuntahkan semua isi perutnya dibantu oleh Hendra dan juga Jovian.

“Lagian ente udah tau alergi telur, bisa-bisanya makan telur, astagfirullah,” omel Hendra dengan tangan yang masih mengusap punggung Abian.

“Uks uks,” lirih Abian, dirinya hampir kehilangan kesadaran karena pusing yang sangat amat menyakitkan.

Karena alergi yang Abian miliki, kini ia harus terbaring lemah di kasur UKS. Untung saja tidak ada gejala yang parah, jadi dia hanya perlu beristirahat sejenak.

Dari luar seseorang membuka pintu ruang UKS, diam-diam ia menghampiri Abian.

Orang tersebut adalah Ara, ia baru ingat bahwa Abian mempunyai alergi terhadap telur, maka dari itu ia sudah menduga bahwa Abian akan terbaring lemah di UKS.

Ara meletakkan sebuah susu kotak di samping Abian, lalu tangannya merogoh saku baju yang ia kenakan. Ara mengambil sebuah plaster dan juga pena.

Perlahan Ara menuliskan kata sorry di plaster tersebut, lalu ia tempelkan di punggung telapak tangan sebelah kiri Abian.

Setelah itu Ara segera keluar dari ruangan UKS, agar tidak menggangu Abian, dan juga tidak ketahuan oleh guru yang sedang menjaga.

Abian tidak sepenuhnya tertidur ia hanya merasa pusing dan lemah, maka dari itu ia menyadari kehadiran Ara.

Setelah Ara keluar, Abian membukakan matanya dan melihat tangan yang sudah ada plaster bertuliskan sorry.

Abian tersenyum melihat plaster tersebut, sebelum berkata, “it's okay.”

Tw // bullying


“Heh Ara!” Panggil salah satu anak di kelas Ara dengan suara tinggi.

Anak tersebut tidak hanya memanggil Ara dengan suara tinggi namun juga dengan tangan yang menghentak meja, membuat Ara tersentak kaget.

“Ya?” jawab Ara.

Anak itu menyerahkan secarik kertas. “Tuh, punya anak kelas yang mau nitip ke kantin, jangan sampe ada yang kelupaan kayak kemarin, ingat?”

Ini bukan pertama kali bagi Ara, dirinya bukan hanya dijadikan sebagai bahan bully namun juga sebagai pembantu di kelasnya.

Ara sangat ingin melawan, tapi dia tidak punya siapa-siapa terlebih ia selalu mengingat pesan dari papa nya.

“Jangan dilawan kamu bisa membuat nama papa buruk—papa.”

Ara mengambil kertas tersebut tanpa ada perlawanan, ia segera bangkit dari kursinya. Namun ketika ia hendak melangkahkan kakinya, anak yang tadi membentak Ara menjegal kaki Ara, membuat Ara tersungkur di lantai.

Seluruh isi kelas tertawa melihat hal tersebut.

“Upsiee sengaja,” ledek anak yang menjegal kaki Ara.

Ara hanya tersenyum tipis lalu ia kembali berdiri dan segera pergi menuju kantin, sebelum bel masuk berbunyi.

Semua pasang mata tertuju ke Ara, tidak asing bagi Ara karena hal ini sering terjadi. Bahkan sesekali ia dijadikan target bullying oleh kelas lain.

Sesampainya di kantin Ara tidak langsung membeli titipan anak-anak kelasnya. Ia berhenti sejenak mengumpulkan keberanian, karena keadaan di kantin sangat amat ramai.

“Oii cantik,” panggil seorang murid cowo yang sangat di kenal oleh Ara.

Dia adalah Damar, seorang murid cowo yang sangat amat nakal, Ara sangat takut kepada Damar, namun ia tidak bisa menghindar.

Damar merangkul bahu Ara. “Udah kelas tiga masih jadi babu lo?” tanya Damar dengan nada mengejek.

Karena suara Damar yang keras, membuat seisi kantin menertawakan Ara.

“L-lepas,” lirih Ara merasa risih dengan Damar.

“Hah apa? Gue gak denger nih,” ledek Damar dengar seringai di bibirnya.

Ara sedikit menggerakkan badannya agar bisa terlepas dari Damar, namun tenaga Damar lebih besar dari Ara, sampai seketika.

Grepp

Satu tangan menarik tangan Damar yang sedang merangkul paksa Ara.

Ara terkejut melihat orang tersebut. Dia Abian, artis dan juga orang yang sangat disegani di sekolah ini.

“Berani jangan sama cewe dong bro,” kata Abian dengan nada mengintimidasi.

Kini suasana kantin menjadi hening, semua pasang mata tertuju kepada mereka.

“Wow wow wow ada bang jago nih disini.” Lagi-lagi Damar mengejek.

Teman-teman Damar ikut menertawakan Abian.

“Lo berani sama gue?” ancam Abian.

Damar tertawa tipis, seringai di bibirnya belum pudar. “Gue?”

“Ya takutlah hahaha, siapa yang berani sama lo, maaf ya bang jago. Kita pamit,” kata Damar lalu ia segera pergi dari sana.

Namun sebelum pergi Damar sempat menyentuh dagu Ara, dan berhasil mendapatkan tatapan mematikan dari Abian.

“M-makasih,” ucap Ara ke Abian tanpa menatap mata Abian.

“Lo mau jajan? Biar gue temenin,” balas Abian.

“Aku mau beli ini,” ujar Ara seraya memperlihatkan secarik kertas titipan teman-temannya. “Titipan dari temen-temen kelas.”

Abian mengambil kertas tersebut, ia melihat sejenak lalu ia serahkan ke Hendra.

“Jo, Hend beliin terus anter ke kelas dia, pake dulu duit kalian nanti gue ganti tiga kali lipat,” suruh Abian membuat gue ternganga kaget.

Hendra dan Jovian mengangguk. “Siap bos!” Seru mereka berbarengan.

Ara memberanikan diri menatap Abian. “Gak usah Bian, Ara bisa sendiri,” ucap Ara.

Abian tersenyum ketika Ara menatap dirinya. Ia menggenggam tangan Ara dan menariknya keluar dari Kantin.

Ara dapat mendengar suara sorakan dan juga keluhan dari cewek-cewek yang ada di sana.

Genggaman Abian sangat kuat, Ara tidak bisa menolaknya.

“Abian, tangan Ara sakit,” keluh Ara.

Dengan cepat Abian melepaskan genggaman tangannya.

“Oh maaf.”

“Lo udah makan?” tanya Abian.

Ara menggelengkan kecil. “Belum,” jawabnya seraya menunduk.

“Mau jajan dulu ke kantin?” tawar Abian.

Lagi-lagi Ara menggelengkan kepalanya. “Ara bawa bekal.”

“Yaudah ayok gue temenin makan,” ucap Abian tangannya hendak menarik tangan Ara lagi, namun segera ditahan oleh Ara.

“Gak usah Abian,” tolak Ara.

Abian menjawab dengan senyuman, ia tidak mendengar penolakan Ara.

Setelah mengambil bekal milik Ara, kini Abian membawa Ara ke taman sekolah.

Ara mendapatkan banyak tatapan tidak suka ketika ia berada di kelas tadi, namun tidak ada yang berani menyentuh Ara karena keberadaan Abian.

“Dimakan kenapa dilihatin aja?” tanya Abian karena Ara tidak membuka bekalnya.

“Malu,” jawab Ara pelan.

Abian menyatukan alisnya kebingungan. “Kenapa harus malu?”

Ara terdiam, ia malu karena bekalnya hanya nasi dan juga telur mata sapi yang ia taburi sedikit kecap manis.

Abian merebut bekal Ara, lalu tanpa izin ia membuka tutup bekal Ara.

Ara menatap Abian, muka Ara memerah karena malu.

“Malu Abian, aku cuman makan nasi sama telur.”

Abian menghela nafas, ia tidak percaya dengan jalan pikiran Ara.

“Kenapa harus malu? makan telur sama nasi doang.”

Abian memakan sesuap nasi dan juga telur milik Ara. Ia mengangguk keenakan.

“Enak, kenapa harus malu?”

Ara menatap Abian tidak percaya. “Kok dimakan?” protes Ara.

Bukannya berhenti Abian masih terus memakan bekal tersebut.

“Lo malu kan? Yaudah gue makan,” sahutnya dengan tenang.

“Terus Ara makan apa?”

Abian mengeluarkan sebuah roti kecil dari saku celananya, ia menyerahkan roti tersebut untuk Ara.

Ara mengambil roti tersebut, lalu ia melihat Abian terus memakan bekal miliknya.

“Tuh makan roti biar gak malu,” ucap Abian dengan mulut yang terisi penuh.

Ara terdiam sejenak ia benar-benar kebingungan.

Beberapa menit kemudian Ara mendapatkan bekal makanannya kosong, habis dimakan Abian.

Abian mengacungkan jempol. “Mantap,” ucapnya dengan senyum lebar.


“Hoek Hoek,” Abian memuntahkan semua isi perutnya dibantu oleh Hendra dan juga Jovian.

“Lagian ente udah tau alergi telur, bisa-bisanya makan telur, astagfirullah,” omel Hendra dengan tangan yang masih mengusap punggung Abian.

“Uks uks,” lirih Abian, dirinya hampir kehilangan kesadaran karena pusing yang sangat amat menyakitkan.

Karena alergi yang Abian miliki, kini ia harus terbaring lemah di kasur UKS. Untung saja tidak ada gejala yang parah, jadi dia hanya perlu beristirahat sejenak.

Dari luar seseorang membuka pintu ruang UKS, diam-diam ia menghampiri Abian.

Orang tersebut adalah Ara, ia baru ingat bahwa Abian mempunyai alergi terhadap telur, maka dari itu ia sudah menduga bahwa Abian akan terbaring lemah di UKS.

Ara meletakkan sebuah susu kotak di samping Abian, lalu tangannya merogoh saku baju yang ia kenakan. Ara mengambil sebuah plaster dan juga pena.

Perlahan Ara menuliskan kata sorry di plaster tersebut, lalu ia tempelkan di punggung telapak tangan sebelah kiri Abian.

Setelah itu Ara segera keluar dari ruangan UKS, agar tidak menggangu Abian, dan juga tidak ketahuan oleh guru yang sedang menjaga.

Abian tidak sepenuhnya tertidur ia hanya merasa pusing dan lemah, maka dari itu ia menyadari kehadiran Ara.

Setelah Ara keluar, Abian membukakan matanya dan melihat tangan yang sudah ada plaster bertuliskan sorry.

Abian tersenyum melihat plaster tersebut, sebelum berkata, “it's okay.”