.
Ayah, kalo ayah marah, marah ke Ran aja jangan ke abang-abang Ran.
“Bilangnya belajar padahal mau berduaan sama cewe,” sindir Hazel ketika Maraka berjalan melewati dirinya yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
“Maksud lo?” tanya Maraka tidak terima.
Hazel tertawa mengejek. “Enak ya jadi lo, mau ngelakuin apapun bebas gak perlu izin, tinggal bohong aja perintah lo terlaksana.” Hazel berdiri hendak melangkahkan kakinya ke kamar.
Grep
Maraka menarik kerah baju Hazel dan mendorong Hazel sehingga tubuh Hazel terjatuh ke sofa.
“Lo kurang ajar ya?” amarah Maraka menggebu-gebu.
“Ajarin dong bang, sekalian ajarin caranya bohong biar gue bisa kayak lo,” jawab Hazel membuat Maraka tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Bugh
Maraka melayangkan satu tonjokan ke muka Hazel, membuat sudut bibir Hazel terluka dan mengeluarkan darah.
“Lo tau apa sih? Harusnya gue yang bilang enak ya jadi lo. Lo tau apa? Kerjaan lo cuman main, main dan main lo pernah mikir tentang keluarga kita?” bentak Maraka.
Hazel mengeluarkan smirk di bibirnya, ia berusaha melawan Maraka namun sayangnya tenaga Maraka lebih kuat.
“Sadar diri lo babi, gue masih mending main, lo? Cuman habisin duit ayah buat cewe gak jelas kayak Aurel.”
Bugh
Satu lagi tonjokan berhasil mendarat di wajah Hazel.
“Jaga mulut lo, lo kira gue selama ini ngapain? Gue berusaha keras supaya gue dapet beasiswa dan gue berpendidikan tinggi agar bisa ngebahagian Ran!” teriak Maraka tidak terima atas tuduhan sang adik.
“Lantas gue apa bang? Bahkan gue gak mau lagi sekolah, supaya gue bisa kerja dan buat Ran bahagia. Tapi gak gini bang, lo egois,” balas Hazel dengan suara yang sedikit melemah.
“Egois?” heran Maraka.
“Lo egois bang, setiap kali ada apa-apa lo selalu mengatasnamakan Ran.”
“Lo gak nyambung!”
Maraka melepaskan cengkraman tangannya yang ada pada kerah Hazel tadinya.
Dug
Sebuah pisau terlempar di atas meja. Johnny lah yang melempar pisau tersebut, sedari tadi ia menyaksikan perdebatan kedua anaknya tersebut.
“Bunuh-bunuhan sekalian,” ucapnya tegas. “Kurang pake tangan kan! Pake pisau, bunuh satu sama lain.”
Maraka dan Hazel terdiam, mereka menunduk tidak berani menatap mata Johnny.
“Kenapa diem?”
Johnny menghela nafas kasar. “Sehari saja kalian tenang, sehari saja kalian gak buat ayah marah!” Johnny berteriak dengan sangat kuat.
Maraka yang tadinya dipenuhi emosi kini terdiam membisu, ia bahkan tidak berani menatap mata sang ayah. Begitupun dengan Hazel, ia merasa bersalah karena telah memulai.
“A-ayah.” suara kecil Ran menarik perhatian Maraka dan juga Hazel.
Maraka dan juga Hazel saling melemparkan tatapan satu sama lain, tatapan takut karena Ran berada di sana juga.
“Ayah jangan marah sama abang, ayah kalo mau marah, marah ke Ran aja,” ucap Ran pelan.
Ran memang menyaksikan pertengkaran Maraka dan juga Hazel dari awal, bahkan sampai ayahnya datang membawakan pisau untuk kedua abangnya.
Rahang Johnny mengeras, ia mengepalkan kedua tangannya.
“Ini? Ini alasan kalian berantem hah?” Johnny menarik tangan kanan Ran sangat kuat.
“Awh,” ringis Ran pelan.
Ran sama sekali tidak melawan, ia siap menerima apapun konsekuensinya.
“Yah, enggak yah,” Maraka membuka suara agar Johnny tidak berbuat macam-macam kepada Ran.
Namun sayangnya hal tersebut membuat Johnny kini mencengkram kuat pipi Ran.
“Kamu emang biang masalah,” ucap Johnny seraya menatap mata Ran dengan tatapan mematikan.
Plak
Johnny menampar Ran dengan sangat keras, sehingga Ran tersungkur ke lantai. Ran merasakan sakit yang amat sangat pada pipinya, dan juga kepalanya, bahkan kini hidungnya mengeluarkan darah.
Namun ia tidak marah kepada sang ayah, lebih baik dirinya yang menjadi sasaran bagi sang ayah meluapkan emosi daripada kepada kedua abangnya.
Ran dapat mendengar suara helaan nafas kasar dari Johnny, perlahan ia melihat kaki Johnny yang menjauh dari mereka.
Ran merasa lega, setidaknya kedua abangnya tidak kenapa-kenapa.
“Ran!” teriak Hazel dan juga Maraka bersamaan.
“Ran, kamu jangan gini lagi,” ucap Maraka seraya mengangkat tubuh Ran ke pangkuannya.
“Abang jangan berantem lagi, kalo ayah marah nanti abang dipukul, kalo ayah mukulnya sakit abang,” lirih Ran pelan. “Abang gak boleh kena, biar Ran aja,” lanjutnya dengan lembut.
Untuk yang pertama kali Hazel menjatuhkan air matanya di depan abang dan adiknya. Ia tidak bisa menahan tangisnya melihat kondisi Ran sekarang.
Hazel menyesali perbuatannya tadi.
“Abang gak apa-apa kan?” tanya Ran pelan, tubuhnya perlahan melemah karena tamparan yang diberikan Johnny cukup keras.
Maraka mengangguk. “Abang anter ke kamar ya?”
Ran menggeleng dengan kuat, ia berusaha berdiri walaupun tubuhnya terasa lemah.
“Abang mau belajar kan? Abang Raka semangat belajarnya,” ucapnya seraya menatap mata Maraka.
Ran menoleh ke arah Hazel. “Abang Hazel mau main game kan? Sekarang gak ada lagi yang marahin abang Hazel, bang Raka jangan marahin bang Hazel ya?”
Maraka mengangguk. “Iya,” jawab Maraka.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Ran melangkahkan kakinya menuju kamar, ia berusaha agar tidak terjatuh, karena tubuhnya benar-benar terasa lemah sekarang.
Sesampainya di kamar, Ran tersungkur.
Hoek
Tiba-tiba saja Ran mual, ia memuntahkan isi perutnya di sana. Kepalanya terasa pusing, dan juga dadanya terasa sesak.
“Ran kenapa, Ran kenapa begini.”