Panglimakun

Ayah, kalo ayah marah, marah ke Ran aja jangan ke abang-abang Ran.


“Bilangnya belajar padahal mau berduaan sama cewe,” sindir Hazel ketika Maraka berjalan melewati dirinya yang sedang duduk di sofa ruang tengah.

“Maksud lo?” tanya Maraka tidak terima.

Hazel tertawa mengejek. “Enak ya jadi lo, mau ngelakuin apapun bebas gak perlu izin, tinggal bohong aja perintah lo terlaksana.” Hazel berdiri hendak melangkahkan kakinya ke kamar.

Grep

Maraka menarik kerah baju Hazel dan mendorong Hazel sehingga tubuh Hazel terjatuh ke sofa.

“Lo kurang ajar ya?” amarah Maraka menggebu-gebu.

“Ajarin dong bang, sekalian ajarin caranya bohong biar gue bisa kayak lo,” jawab Hazel membuat Maraka tidak bisa lagi menahan amarahnya.

Bugh

Maraka melayangkan satu tonjokan ke muka Hazel, membuat sudut bibir Hazel terluka dan mengeluarkan darah.

“Lo tau apa sih? Harusnya gue yang bilang enak ya jadi lo. Lo tau apa? Kerjaan lo cuman main, main dan main lo pernah mikir tentang keluarga kita?” bentak Maraka.

Hazel mengeluarkan smirk di bibirnya, ia berusaha melawan Maraka namun sayangnya tenaga Maraka lebih kuat.

“Sadar diri lo babi, gue masih mending main, lo? Cuman habisin duit ayah buat cewe gak jelas kayak Aurel.”

Bugh

Satu lagi tonjokan berhasil mendarat di wajah Hazel.

“Jaga mulut lo, lo kira gue selama ini ngapain? Gue berusaha keras supaya gue dapet beasiswa dan gue berpendidikan tinggi agar bisa ngebahagian Ran!” teriak Maraka tidak terima atas tuduhan sang adik.

“Lantas gue apa bang? Bahkan gue gak mau lagi sekolah, supaya gue bisa kerja dan buat Ran bahagia. Tapi gak gini bang, lo egois,” balas Hazel dengan suara yang sedikit melemah.

“Egois?” heran Maraka.

“Lo egois bang, setiap kali ada apa-apa lo selalu mengatasnamakan Ran.”

“Lo gak nyambung!”

Maraka melepaskan cengkraman tangannya yang ada pada kerah Hazel tadinya.

Dug

Sebuah pisau terlempar di atas meja. Johnny lah yang melempar pisau tersebut, sedari tadi ia menyaksikan perdebatan kedua anaknya tersebut.

“Bunuh-bunuhan sekalian,” ucapnya tegas. “Kurang pake tangan kan! Pake pisau, bunuh satu sama lain.”

Maraka dan Hazel terdiam, mereka menunduk tidak berani menatap mata Johnny.

“Kenapa diem?”

Johnny menghela nafas kasar. “Sehari saja kalian tenang, sehari saja kalian gak buat ayah marah!” Johnny berteriak dengan sangat kuat.

Maraka yang tadinya dipenuhi emosi kini terdiam membisu, ia bahkan tidak berani menatap mata sang ayah. Begitupun dengan Hazel, ia merasa bersalah karena telah memulai.

“A-ayah.” suara kecil Ran menarik perhatian Maraka dan juga Hazel.

Maraka dan juga Hazel saling melemparkan tatapan satu sama lain, tatapan takut karena Ran berada di sana juga.

“Ayah jangan marah sama abang, ayah kalo mau marah, marah ke Ran aja,” ucap Ran pelan.

Ran memang menyaksikan pertengkaran Maraka dan juga Hazel dari awal, bahkan sampai ayahnya datang membawakan pisau untuk kedua abangnya.

Rahang Johnny mengeras, ia mengepalkan kedua tangannya.

“Ini? Ini alasan kalian berantem hah?” Johnny menarik tangan kanan Ran sangat kuat.

“Awh,” ringis Ran pelan.

Ran sama sekali tidak melawan, ia siap menerima apapun konsekuensinya.

“Yah, enggak yah,” Maraka membuka suara agar Johnny tidak berbuat macam-macam kepada Ran.

Namun sayangnya hal tersebut membuat Johnny kini mencengkram kuat pipi Ran.

“Kamu emang biang masalah,” ucap Johnny seraya menatap mata Ran dengan tatapan mematikan.

Plak

Johnny menampar Ran dengan sangat keras, sehingga Ran tersungkur ke lantai. Ran merasakan sakit yang amat sangat pada pipinya, dan juga kepalanya, bahkan kini hidungnya mengeluarkan darah.

Namun ia tidak marah kepada sang ayah, lebih baik dirinya yang menjadi sasaran bagi sang ayah meluapkan emosi daripada kepada kedua abangnya.

Ran dapat mendengar suara helaan nafas kasar dari Johnny, perlahan ia melihat kaki Johnny yang menjauh dari mereka.

Ran merasa lega, setidaknya kedua abangnya tidak kenapa-kenapa.

“Ran!” teriak Hazel dan juga Maraka bersamaan.

“Ran, kamu jangan gini lagi,” ucap Maraka seraya mengangkat tubuh Ran ke pangkuannya.

“Abang jangan berantem lagi, kalo ayah marah nanti abang dipukul, kalo ayah mukulnya sakit abang,” lirih Ran pelan. “Abang gak boleh kena, biar Ran aja,” lanjutnya dengan lembut.

Untuk yang pertama kali Hazel menjatuhkan air matanya di depan abang dan adiknya. Ia tidak bisa menahan tangisnya melihat kondisi Ran sekarang.

Hazel menyesali perbuatannya tadi.

“Abang gak apa-apa kan?” tanya Ran pelan, tubuhnya perlahan melemah karena tamparan yang diberikan Johnny cukup keras.

Maraka mengangguk. “Abang anter ke kamar ya?”

Ran menggeleng dengan kuat, ia berusaha berdiri walaupun tubuhnya terasa lemah.

“Abang mau belajar kan? Abang Raka semangat belajarnya,” ucapnya seraya menatap mata Maraka.

Ran menoleh ke arah Hazel. “Abang Hazel mau main game kan? Sekarang gak ada lagi yang marahin abang Hazel, bang Raka jangan marahin bang Hazel ya?”

Maraka mengangguk. “Iya,” jawab Maraka.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Ran melangkahkan kakinya menuju kamar, ia berusaha agar tidak terjatuh, karena tubuhnya benar-benar terasa lemah sekarang.

Sesampainya di kamar, Ran tersungkur.

Hoek

Tiba-tiba saja Ran mual, ia memuntahkan isi perutnya di sana. Kepalanya terasa pusing, dan juga dadanya terasa sesak.

“Ran kenapa, Ran kenapa begini.”

Jangan sakitin Ayah Ran!


“Hari ini mpls nya cuman perkenalan organisasi, terus nangis-nangis.” Ran bermonolog sepanjang perjalanan ke rumah.

Tiba-tiba Ran menghentikan langkahnya. “Tadi mpls nya ngapain ya?” tanya Ran keheranan.

“Ahh nanti aja deh, Ran pusing mau nonton vlive San,” jawabnya.

Ran terus berjalan menuju rumahnya, sambil bernyanyi kecil agar tidak merasa bosan.

Tidak terasa Ran akhirnya sampai di depan rumah, namun ada yang aneh ia melihat banyak motor dan juga satu mobil pick up di depan rumahnya.

Samar-samar Ran mendengar suara teriakan dari dalam rumahnya, dengan cepat Ran berlari ke arah suara.

“Jangan, akan saya bayar secepatnya.” Suara Johnny memohon kepada seseorang.

Ran bergetar ketakutan, ia memilih untuk bersembunyi di samping rumah dan mendengarkan semuanya.

“Sudah berbulan-bulan! Setiap kali kita tagih lo bilang bayar, bayar. Nyatanya mana bajingan!”

Ran menutup mulutnya dengan tangan, ia mendengar seseorang berteriak kepada ayahnya.

“Saya belum ada duit, tapi saya mohon beri saya sedikit waktu lagi.”

“Ayah kenapa?” batin Ran.

Ia kebingungan, mengapa ayahnya memohon seperti itu kepada orang asing.

“Halah! Banyak bacot lo.”

Brakk

Ran tersentak kaget, ia segera berlari dan melihat ayahnya terjatuh di dekat meja yang ada di ruang rumah.

“Jangan sakitin ayah Ran!” Ran berteriak lalu berlari menghampiri Johnny.

Ternyata bukan satu orang di dalam rumah Ran, melainkan ada enam orang berbadan besar dan bertato.

“Ayah, gak apa-apa?” Ran duduk dan membantu Johnny untuk bangun.

“Motor lo, gue bawa jadi hutang lo lunas!”

Pria berbadan besar itu merebut paksa kunci motor yang ada di genggaman Johnny.

“Jangan, saya janji akan membayarnya.”

Kunci motor Johnny berhasil dirampas oleh pria tersebut. Dengan cepat Johnny ingin merebutnya kembali, namun sayangnya tubuh Johnny ditarik oleh dua pria berbadan besar lainnya, membuat Johnny lagi-lagi terjatuh tepat di samping Ran.

“Ayah, jangan ayah, nanti ayah kenap—” Ran berusaha menahan Johnny agar tidak merebut kunci motor itu kembali, namun ucapannya terpotong.

Plak

Johnny menampar pipi kiri Ran dengan sangat keras, membuat hidung Ran mengeluarkan darah.

“Diam kamu!” pekik Johnny ke Ran.

Ran terdiam, pipinya terasa sangat panas. Ran kebingungan, kenapa Johnny menampar dirinya, padahal Ran hanya ingin melindungi sang ayah, tidak lebih.

Ran membiarkan Johnny terus berusaha merebut kembali kunci motornya dari pria tersebut.

“Lo dibilangin ngelunjak ya!”

Bugh

Satu tonjokan berhasil melayang di pipi Johnny. Johnny terus menerus di hajar oleh pria berbadan besar yang mengambil kunci motornya.

Tidak ingin melihat ayahnya babak belur, Ran segera berlari menghampiri mereka.

“Stop!” teriak Ran. “Jangan sakitin ayah Ran!”

Pria tersebut melepas cengkramannya, lalu menjatuhkan tubuh Johnny yang lemah.

“Urusan kita selesai, lain kali jangan ngutang kalo gak mampu,” finishnya lalu beranjak dari sana dengan membawa motor milik Johnny.

“A-ayah gak apa-apa?” tanya Ran seraya memegang tangan Johnny.

Dengan cepat Johnny menepis tangan Ran. Johnny berdiri lalu ia meninggalkan Ran sendirian di teras rumah.

“Pipi ayah luka, ayah pasti sakit,” lirih Ran pelan. Ia merasa kasihan kepada ayahnya tanpa memperdulikan hidungnya yang terus mengeluarkan darah.

Fotonya buat Ran lihat kalo Ran mau ngobrol sama ayah, karena ayah gak pernah mau ngobrol sama Ran.


“Kamu foto saya?” tanya Johnny yang menyadari bahwa Ran sedang memfoto dirinya.

“M-maaf ayah,” lirih Ran pelan.

“Panggil abang-abang kamu buat sarapan,” suruh Johnny.

Ran menghela nafas lega mendengar ayah tidak memarahinya.

Ran dengan segera berlari untuk memanggil kedua abangnya untuk sarapan.

Tok tok

“Bang Raka dipanggil ayah buat sarapan,” panggil Ran seraya mengetuk pintu.

“Iya Ran bentar,” sahut Maraka.

Maraka membukakan pintu kamarnya. “Wih udah siap aja nih adeknya abang, padahal masih pagi banget,” ucap Maraka ke Ran.

Ran tersenyum mendengar hal itu. “Iya dong bang!”

“Abang tau gak, tadi Ran sempet foto ayah, tapi ketahuan, tapi anehnya ayah enggak marah loh,” bisik Ran pelan agar tidak terdengar oleh Johnny.

Maraka tertawa kecil lalu mengusap lembut kepala Ran. “Memang buat apa fotonya?”

“Fotonya buat Ran lihat kalo Ran mau ngobrol sama ayah, karena ayah gak pernah mau ngobrol sama Ran,” jawab Ran tenang dengan senyum yang tak luntur.

Berbeda dengan Ran, justru Maraka yang tadinya tersenyum kini melunturkan senyumannya mendengar jawaban dari Ran.

Ia merasa kasihan dan juga merasa bersalah.

“Abang gih ke dapur, Ran mau ke kamar bang Hazel dulu,” ucap Ran membuat Maraka tersadar.

“Iya Ran,” jawabnya.

Ran melangkahkan kakinya menuju kamar Hazel yang berada di sebelah kamar Maraka.

Dari tadi Ran tidak melunturkan senyumannya, ia merasa sangat senang pagi ini karena Johnny bersikap sedikit baik kepada dirinya.

Tok tok

“Do you wanna build a snowman.” Ran mengetuk pintu kamar Hazel seraya bernyanyi.

Hazel keluar dari kamarnya, sama seperti Maraka, Hazel juga sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

“Bang ditunggu ayah tuh di dapur, kita sarapan bareng-bareng,” seru Ran bersemangat.

“Hm.”

“Ha ha ha, abang kayak Nisa Sabyan.”

Bukannya menjawab, Hazel melangkahkan kakinya melewati Ran. Tidak mau ambil pusing, Ran mengikuti Hazel dari belakang dengan langkah yang gembira.

Kini mereka semua sudah berkumpul di meja makan, tidak berhenti-henti Ran berseru ketika memandang makanan yang ada di atas meja.

Ini bukan yang pertama kali Johnny masak untuk anak-anaknya, namun moment ini sangat jarang terjadi. Bahkan bisa dihitung dengan jari.

“Tunggu apa lagi, cepat di makan,” perintah Johnny.

“Selamat makan ayah.” Ucap ketiga anaknya dengan serentak.

Tidak ada satupun suara yang keluar dari mulut mereka, hanya ada suara sendok yang bersentuhan dengan piring.

Selesai makan satu persatu dari mereka meninggalkan dapur, di mulai dari Johnny lalu Maraka. Kini tinggal Hazel dan juga Ran di sana.

“Nih,” kata Hazel seraya meletakkan sesuatu di atas meja.

Coklat! Coklat yang harus dibawa Ran hari ini.

“Cuman bisa beli yang kecil, gue harus hemat. Gak apa-apa kan?”

Ran mengangguk dengan sangat kuat. “Gak apa-apa banget abang! Terima kasih banyak ya!” ucapnya dengan semangat.

“Hm.” Hazel melangkah pergi meninggalkan Ran sendirian di dapur.

Ran tersenyum dengan sangat lebar memandang coklat yang diberikan Hazel tadi.

“Setidaknya Ran punya pegangan biar gak dimarahin kakak osis nanti!”

Ayah itu sayang sama Ran, hanya waktunya saja belum tepat.


Tok tok

“Ran.” Maraka mengetuk pintu kamar Ran, ia sangat khawatir dengan keadaan sang adik sekarang.

“Ran ini bang Raka, buka Ran.”

Ran mendengar suara Maraka dari luar, namun ia tidak ingin membukakannya, Ran masih sangat takut.

“J-jangan, jangan pukul Ran.” Lagi-lagi Ran memohon walaupun tidak ada siapa-siapa di depannya.

Ran mengangkat pelan kepalanya, lagi-lagi ia berhalusinasi melihat sang ayah yang sedang marah besar kepada dirinya.

“Jangan!” Ran memekik dengan sangat keras dengan kedua tangan yang masih berada di telinganya.

Tubuh Ran bergetar hebat, ia kembali menenggelamkan wajahnya di antara kedua kakinya.

“Jangan, jangan pukul Ran,” gumam Ran.

Tok tok tok

“Ran kamu kenapa?” tanya Maraka dari luar sedikit berteriak.

“Ran buka pintunya.”

Karena tidak ada jawaban dari Ran, Maraka mencari kunci cadangan kamar Ran yang ada di laci meja ruang tengah.

“Untung saja ada,” monolog Maraka ketika menemukan kunci cadangan tersebut.

Dengan cepat Maraka melangkahkan kakinya menuju kamar Ran.

Ceklek

Maraka berhasil membuka pintu kamar Ran. Ketika ia berhasil masuk, begitu terkejutnya diri Maraka melihat kondisi Ran sekarang.

“Ran sayang ini abang,” ucap Maraka seraya menghampiri Ran.

Ran menangkup kedua pipi Ran, mengangkat kepala Ran agar menatap ke arah dirinya.

“Ran!” sentak Maraka ketika melihat kondisi wajah Ran yang sangat-sangat mengenaskan.

Mata sembap dan juga darah yang berasal dari hidung Ran memenuhi wajahnya.

Dengan segera Maraka mengambil tisu yang ada di meja belajar Ran, perlahan Maraka membersihkan darah yang terus mengalir dari hidung Ran.

“Jangan pukul Ran,” lirih Ran seraya menatap mata Maraka dengan mata sayu.

Selesai membersihkan darah pada wajah dan hidung Ran, Maraka mengusap pelan wajah sang adik.

Maraka menggeleng. “Gak ada yang mukul Ran,” sahut Maraka lembut.

“A-ayah,” ucap Ran.

Maraka menarik tubuh Ran kedalam pelukannya, ia memeluk erat tubuh Ran yang bergetar hebat.

“Ayah jangan pukul Ran.”

“Ayah jangan benci Ran.”

“Ayah gak sayang sama Ran.”

Setiap kalimat yang keluar dari mulut Ran membuat hati Maraka hancur, ia tidak dapat menahan air matanya.

“Sssstt, ini abang bukan ayah,” ucap Maraka seraya mengusap pelan punggung Ran agar Ran sedikit tenang.

“Ran takut.”

Maraka menarik nafas lalu menghembuskannya dengan kasar, lalu ia berkata, “Ayah itu sayang sama Ran, hanya waktunya saja belum tepat.”

Tangis Ran sedikit mereda setelah mendengar kalimat bahwa ayah sayang kepada Ran.

Ran mengangkat kepalanya menatap mata Maraka.

“Ayah sayang Ran?”

Maraka mengangguk. “Sayang,” jawabnya pelan.

“Ran mau nunggu sebentar lagi?” tanya Maraka.

Ran mengangguk. “Ran akan menunggu, Ran akan menjadi anak yang baik selama itu.”

Maraka tersenyum walaupun hatinya sangat sakit mendengar jawaban dari Ran. Ia kembali membawa Ran ke pelukannya, memeluk Ran dengan sangat erat, membiarkan Ran meluapkan emosinya di dalam pelukannya.

Tw // self harm , blood

Ayah, maafin Ran.

Dengan penuh keberanian Ran menghampiri Hazel yang sedang berada di ruang tengah.

“Abang,” panggil Ran dengan lembut.

“Apa?” sahut Hazel dingin.

Ran meneguk air liurnya, seketika nyalinya menciut.

“Ran boleh minjem duit gak?”

Tadinya Hazel sedang fokus ke handphonenya kini ia menatap Ran.

“Buat apa?” tanya Hazel tegas.

“B-buat beli coklat, disuruh kakak OSIS,” jawab Ran pelan.

“Gak ada duit, lo bohong aja ke OSIS besok,” balas Hazel lalu ia berdiri hendak masuk ke kamarnya.

“Bohong gimana bang?”

Langkah Hazel terhenti. “Pikir sendiri sudah besar,” jawab Hazel tanpa menoleh ke Ran.


Setelah berpikir beberapa jam, kini Ran sedang berjalan-jalan mencari duit tentu saja.

Bukan, bukan duit orang yang jatuh ke jalan, namun ia bertanya-tanya ke warung yang bersedia memakai jasanya.

“Permisi bu.” Ran memasuki satu warung makan kecil yang ada di pinggir jalan.

“Iya ada apa?” tanya ibu sang pemilik warung.

“Saya boleh bantu cuci piringnya bu?”

Pemilik warung tersebut tidak langsung menjawab, ia seperti paham dengan tujuan Ran datang ke warungnya.

Ibu pemilik warung tersebut melihat sekilas ke arah tumpukan piring kotornya sebelum ia menjawab, “Yasudah, boleh.”

Senyum Ran mengembang. “Terima kasih banyak bu!”

Dengan senang hati Ran mencuci piring di warung tersebut dengan hati-hati, walaupun ia tau uang yang akan ia dapatkan nanti pasti sedikit.

Setelah semuanya selesai, Ran menghampiri ibu pemilik warung yang sedang membereskan sisa-sisa makanan.

“Bu, sudah selesai,” kata Ran.

“Oh sudah ya, ini buat kamu cukup kan?” Ibu pemilik warung tersebut menyerahkan uang lima ribu selembar kepada Ran.

Ran tersenyum lalu mengangguk. “Lebih dari cukup bu, terima kasih banyak,” jawab Ran berbohong.

“Yasudah kamu boleh pulang, ah iya besok jangan datang lagi ya?”

“Kenapa Bu?”

“Bukannya saya tidak mau membantu kamu, tapi warung saya lagi sepi.”

“Ahhh maaf ya bu, maaf banget.”

Ibu pemilik warung tersebut mengangguk. “Untuk hari ini tidak apa-apa, jadi saya tidak terlalu capek, terima kasih ya.”

Ran tersenyum lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari warung tersebut. Ran terkejut mendapatkan hari sudah gelap, dengan cepat ia melihat jam yang ada di handphonenya.

“Hah udah jam tujuh!” Pekik Ran terkejut.

Wajar saja, cukup lama ia berkeliling sampai menemukan warung yang memberinya kesempatan untuk memakai jasa cuci piring Ran.

Dengan cepat Ran memasukkan handphonenya kembali ke saku celana yang ia kenakan, lalu ia berlari pulang ke rumah, sudah dipastikan ia akan dimarahin oleh ayahnya nanti.


“Darimana saja kamu?”

Suara berat milik Johnny terdengar keras di telinga Ran. Benar dugaan Ran, Johnny akan sangat marah kepada Ran.

“Maaf ayah,” lirih Ran.

Tangan Johnny dengan kuat mencengkram kedua pipi Ran, membuat Ran kesakitan.

“Darimana saja kamu anak kurang ajar!” teriak Johnny.

Ran memejamkan matanya kesakitan, ia berusaha melepaskan cengkraman tangan ayahnya.

“S-sakit ayah,” lirih Ran.

Bukannya melepas, Johnny semakin kuat mencengkram pipi Ran.

“Jawab!” bentak Johnny dengan suara yang sangat keras.

Ran menangis, ia merasakan sakit di pipi dan juga di dadanya, ia juga takut akan mendapatkan yang lebih.

“M-maaf ay—”

Tangan Johnny siap mendarat di pipi Ran, namun untung saja Maraka datang menahan tangan Johnny yang hendak menampar Ran.

Maraka membantu Ran agar tangan Johnny terlepas dari pipinya.

“Udah ayah, udah,” ucap Maraka berusaha menenangkan Johnny.

Maraka dapat melihat amarah yang terpancar dari mata Johnny, tekanan yang Johnny dapatkan dari luar, membuatnya melampiaskan kepada Ran.

“Ran masuk Ran,” suruh Maraka ke Ran.

Dengan cepat Ran berlari memasuki kamarnya, tidak lupa untuk mengunci pintu kamarnya.

Ran menjatuhkan tubuhnya di lantai, dengan tembok yang ia jadikan sandaran.

Ran menangis sesenggukan, ia merasakan ketakutan yang amat besar.

Ran membenturkan kepalanya dengan keras di tembok kamarnya, bukan hanya sekali namun berkali-kali membuat darah mengalir dari hidungnya.

“Maafin Ran ayah,” lirihnya merasa bersalah.

Ran kembali membenturkan kepalanya, tanpa memperdulikan darah yang keluar dari hidungnya.

“Jangan, jangan sakitin Ran.” Ran meringkuk tubuhnya menutup kedua telinganya menggunakan kedua tangannya.

Tubuh Ran bergetar dengan sangat kuat.

“Jangan, Ran minta maaf, maaf ayah. Jangan pukul Ran,” teriak Ran, ketakutannya membuat Ran berhalusinasi hal itu sering Ran alami setiap Johnny memukul dan berteriak di hadapannya.

#.

Mpls hari pertama selesai, kini Ran sudah kembali lagi ke sekolah, semua murid sudah diperbolehkan pulang.

Namun Ran belum ingin pulang, matanya tertuju pada jajanan yang ada di pinggir sekolah, seperti siomay, batagor, cilok dan berbagai macam jajanan lainnya.

Ini seperti surga bagi Ran, namun ia kembali mengingat uang jajan yang ayahnya berikan hanya sepuluh ribu.

“Gak apa-apa ya Ran, lagian Ran bawa bekel,” lirihnya.

Ran hendak melangkahkan kakinya menuju ke rumah, namun tiba-tiba ada seseorang memanggil dirinya.

“Nak,” panggil seorang nenek yang sudah tua.

Nenek tersebut terlihat sangat lusuh, dan ada sebuah karung yang berisikan botol air mineral bekas di dalamnya.

“Nak saya boleh minta duit, atau makanan nak? Saya belum makan dari semalem,” pinta nenek tersebut.

Hal itu membuat Ran merasa kasihan kepada sang nenek, ia segera merogoh saku bajunya. Benar saja, ia hanya mempunyai duit sepuluh ribu.

Ran sedikit ragu untuk memberi duit tersebut, namun dirinya juga kasihan kepada sang nenek.

“Ini nek.” Ran menyerahkan uang sepuluh ribu miliknya. “Saya cuman punya segitu, semoga cukup ya nek, ah ini juga.” Ran mengeluarkan bekal yang belum ia makan lalu ia menyerahkan kepada nenek tersebut.

“Bekelnya nenek makan aja, uangnya nenek simpan untuk nanti.”

“Nak, makasih banyak ya. Nenek terima kasih banyak sama kamu nak,” ucap nenek itu.

Ran dapat melihat nenek tersebut menangis. Ran tersenyum ke nenek tersebut.

“Jangan nangis ya nek, saya ikhlas kok, nenek jangan sampai telat makan ya.”

“Sekali lagi terima kasih ya nak.”

Setelah itu nenek tersebut pergi dari hadapan Ran, Ran sedikit sedih, sedih karena nenek itu belum makan dari semalem dan juga sedih kini dirinya sudah tidak memegang duit sepeserpun

Lima belas menit berlalu, kini jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas, dan bel tanda masuk pun berbunyi, membuat semua murid sekolah berhamburan masuk ke dalam gedung sekolah.

Namun tidak dengan murid angkatan baru, mereka semua akan berkumpul di lapangan, termasuk juga Ran.

Kini Ran dan juga murid baru berbaris di lapangan sekolah, namun ada satu hal yang menarik perhatian Ran, yaitu semua orang tua masih menunggu anak-anak mereka di sana.

Ran menunduk, ia sebisa mungkin menahan untuk tidak menangis.

“Selamat pagi semua!” Suara kakak osis yang akan membuka acara mpls tahun ini.

“Wahhh dedek dedeknya gemes banget ya ndre!”

“Bener banget Za, jadi keinget pas pertama kita masuk sekolah .”

“Bener banget Ndre, masih polos-polos semua.”

Setelah pembukaan dari kakak osis, kini kepala sekolah yang akan memberikan kata sambutan dan melakukan proses pemotongan pita.

Ternyata mplsnya tidak dilakukan di sekolah, namun di aula yang berada tidak jauh dari sekolah, semua murid baru di haruskan untuk ke sana. Ada yang berjalan kaki, dan ada yang diantar oleh orang tuanya.

Tentu saja Ran harus berjalan menuju ke sana, memang siapa yang akan mengantarkan dirinya.

“Ran belum dapet temen,” lirihnya pelan.


“Loh pak Johnny?”

Johnny dengan cepat menoleh ke sumber suara.

“Bu Ema,” sahut Johnny.

“Bapak ada apa ke sekolah? Maraka Hazel gak kenapa-kenapa kan pak?” tanya bu Ema.

Sedari tadi memang Johnny berada di sekolah, bukan untuk keperluan Maraka ataupun Hazel.

“Bukan bu, saya kemari mau lihat anak saya yang paling kecil, baru masuk ke sekolah ini,” jawab Johnny.

Tanpa sepengetahuan Ran, Johnny berada di sana untuk melihat Ran, bahkan sesekali Johnny mendapati Ran yang hanya menunduk tanpa senyum yang biasanya ia lihat di diri Ran.

“Loh saya baru tau bapak punya anak lagi.”

Johnny tersenyum. “Iya bu, saya punya tiga anak, dua cowok dan satu cewek.”

Bu Ema mengangguk paham. “Baiklah pak, kalau begitu saya mohon izin, mau ngajar soalnya.”

“Bu,” panggil Johnny.

“Iya pak?”

Johnny mengeluarkan ponselnya lalu menunjukan foto Ran kepada bu Ema.

“Ini anak saya, namanya Randika putri Aditya, saya minta tolong ya bu, tolong jaga anak saya,” ucap Johnny memohon.

“Dengan senang hati pak, saya yakin Ran tidak akan aneh-aneh sama seperti Maraka dan juga Hazel, anak bapak semuanya baik-baik seperti bapak sendiri, kalau begitu saya permisi ya pak.”

Bu Ema melangkahkan kakinya menjauh dari Johnny.

Johnny mengingat kembali kalimat terakhir dari bu Ema, nyatanya ia jauh dari kata baik untuk menjadi seorang ayah.

Ayah, Ran akan selalu sayang sama Ayah.

Malam berganti pagi, suara rintik hujan yang kian memudar, membuat Johnny terbangun dari tidurnya.

Johnny belum sepenuhnya sadar, ia duduk terlebih dahulu di atas kasurnya sebelum keluar dari kamar, untuk memulai aktivitas di pagi hari.

Setelah di rasa tubuhnya sudah siap, Johnny menyibak selimut yang tadi ia kenakan agar tubuhnya tetap hangat dari dinginnya malam.

Johnny melangkahkan kakinya ke luar kamar, ia mendengar suara berisik dari dapur rumahnya. Sungguh rumahnya tidak terlalu besar, sehingga suara berisik dari satu ruangan ke ruangan lain gampang di dengar.

Perlahan Johnny melangkahkan kakinya ke dapur, ia melihat Ran, putri satu-satunya yang sedang bergulat dengan bahan masakan. Tidak mau mengganggu Johnny kembali melangkahkan kakinya, kini tujuannya adalah ke teras rumah.

Sesampainya di teras rumah, Johnny dapat melihat sepatu yang telah disusun rapi di depan pintu, iya yakin pasti ini perbuatan Ran.

Johnny melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima lewat dua belas.

“Sepagi itu dirinya menyiapkan ini semua,” lirih Johnn pelan.

Mata Johnny tertuju pada satu sepatu berwarna putih yang ukurannya sangat kecil, ia yakin itu milik Ran.

Johnny mendengus lalu berkata, “Seandainya kamu tidak berbuat seperti dahulu Karin, maka saya tidak akan benci dengan anak perempuan kita.”

Johnny kembali mengingat kenangan buruknya bersama sang istri dulu, kenangan yang sangat buruk dan menjadi alasan Johnny membenci Ran sampai sekarang.


Ran tersenyum dengan sangat lebar, ketika ia melihat nasi goreng buatannya kini telah tersaji rapi di meja makan.

Ia hendak memanggil ayah dan kedua abangnya, namun ketika dirinya keluar dari dapur ia melihat kedua abangnya tengah berpamitan ke ayah, dan ia juga melihat ayah yang memberi uang seratus ribu untuk mereka masing-masing.

Ran memundurkan kakinya, ia kembali duduk di depan meja makan.

“Ran jangan cemburu Ran,” ucapnya sambil menepuk-nepuk kedua pipinya agar tersadar.

Ran mendengar suara derap kaki, dan benar saja ia melihat Johnny di pintu dapur. Hal tersebut membuat senyum Ran mengembang.

Johnny mendekat ke arah Ran, ia meletakkan selembar uang sepuluh ribu di atas meja makan.

“Saya cuman punya uang segitu, dicukupi untuk jajan, jangan boros. Kalau bisa sisain untuk besok,” ucapnya lalu kembali memasukkan dompetnya ke dalam saku.

Ran tersenyum sambil menatap Johnny. “Ayah mau makan dul—”

“Saya sudah telat, kamu makan sendiri saja,” potong Johnny lalu ia pergi meninggalkan Ran sendirian di sana.

Raut wajah Ran kembali menunjukkan rasa kecewanya, namun mau gimana lagi, mungkin belum saatnya ayah baik kepada dirinya.

Ran mendengus kesal. “Sepuluh ribu juga cukup kok, yang penting Ran ada uang jajan, terima kasih ayah.”

“Ayah, Ran akan selalu sayang sama ayah,” monolognya lalu menyuapkan sesendok nasi goreng yang ia masak tadi ke dalam mulutnya.


Setelah di rasa semuanya telah siap, Ran mengunci pintu rumahnya dan tidak lupa kuncinya ia taruh di dalam tas sekolahnya.

Di tangan Ran sudah ada persiapan mpls yang harus ia bawa, yaitu toga dan juga selempang wisuda yang terbuat dari kertas karton berwarna pink.

Di selempang wisuda tersebut tertulis nama lengkap Ran dan juga kelas, lalu di toga tertulis cita-cita Ran yaitu menjadi seorang dokter.

Lalu Ran melangkahkan kakinya menuju sekolah, benar, Ran ke sekolah dengan berjalan kaki, karena jarak rumahnya menuju sekolah tidak terlalu jauh.

Sesampainya di gerbang sekolah, Ran berhenti sejenak, ia melihat gerbang sekolah yang di penuhi oleh orang tua siswa yang sedang mengantar anaknya. Lagi-lagi Ran merasa iri, namun mau bagaimana lagi ayah tidak akan pernah ada di samping Ran.

#.

Ayah, jangan bentak Ran, Ran takut.

Brakk...

Suara dobrakan pintu kamar, membuat Ran yang sedang makan tersentak kaget. Ran segera menoleh ke arah pintu, ia mendapatkan Maraka di depan pintu dengan raut wajah marah.

Dengan segera Ran berdiri dari tempat duduk, ia melangkahkan kakinya mendekat Maraka.

“K-kenapa bang?” tanya Ran gugup.

“Puas lo?” Pekik Maraka.

Ran kebingungan, ia tidak tau kenapa tiba-tiba Maraka marah kepada dirinya.

“Puas lo buat gue putus sama Aurel? Lo maunya apa sih?”

Ran menunduk menangis, ia merasa bersalah kepada Maraka.

“M-maaf,” lirih Ran.

“Lo kira dengan maaf gue bisa balikan sama aurel!” bentak Maraka membuat Ran lagi-lagi tersentak kaget.

“Ada apa ini?” tanya Johnny yang baru saja masuk ke kamar Ran. “Kamu buat masalah apa lagi Ran?”

“Ra—”

“Sekali saja kamu gak berulah bisa Ran? Cukup kamu buat ayah pusing karena kamu, jangan abang kamu juga!”

Ran tidak tau harus berbuat apa sekarang, ia hanya menunduk dan menangis.

“Kalo kamu diterima orang lain di luar sudah ayah usir kamu dari dulu!” teriak Johnny.

Teriakan Johnny benar-benar membuat tangisan Ran semakin menjadi-jadi.

“Ay—”

“Ngejawab lagi kamu! Kalo orang tua ngomong ngejawab!” potong Johnny ketika Ran hendak berbicara.

“Maraka kamu sana istirahat, besok sekolah,” perintah Johnny ke Maraka.

Tanpa menjawab Maraka dengan segera keluar dari kamar Ran. Namun ada yang beda, yang tadinya dirinya marah kepada Ran kini ia merasa kasihan, sudah seharusnya ia tidak marah ke Ran.

“Ran adek lo,” ucap Hazel tiba-tiba.

Maraka menatap ke arah Hazel yang berdiri di samping kamar Ran, mendengar semua yang terjadi sedari tadi.

“Setidaknya kalo lo gak sayang sama dia, jangan buat dia semakin dibenci sama ayah,” sambungnya.

“Maksud lo?” tanya Maraka kebingungan.

“Lo bukan anak kecil yang bodoh bang, kita memang gak tau kenapa ayah bisa sebenci itu sama Ran, tapi setidaknya jangan karena kita Ran semakin dibenci sama Ayah,” jawabnya tenang.

“Lo tau kenapa selama ini gue diem dan gak banyak omong sama Ran? Karena gue yakin kalo gue emosi ke dia, bakalan begini jadinya. Lo tau kan bang, apapun yang dilakukan Ran akan salah di mata ayah, kasihan Ran bang,” lanjutnya lalu berjalan meninggalkan Maraka yang masih terdiam di sana.

Ran masih menunduk menangis, ia takut untuk mengangkat kepalanya dan menatap mata sang ayah.

“Kalo orang tua ngomong tuh angkat kepala kamu, jangan diam saja!”

Ran sangat ingin mengangkat kepalanya, namun ia juga sangat takut. Ran sangat ingin menjawab namun ia tau semua akan sia-sia.

“Sudahlah, saya tidak habis pikir sama kamu!”

Johnny meninggalkan Ran sendiri di kamar. Setelah tidak ada siapapun di kamarnya Ran mendudukkan dirinya di lantai, memeluk erat kedua kakinya.

“Ran jangan gitu lagi ya, kan semuanya jadi benci sama Ran, Ran jangan nyusahin orang lagi ya,” lirih Ran dengan suara bergetar.

Ran terus menangis dalam diam dengan kedua kaki yang ia peluk terus menerus, ia merasakan takut yang amat sangat, bahkan tubuhnya bergetar bukan main.

Ayah, kenapa selalu Ran yang tidak kedapatan?

Ran keluar dari kamar dan ia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dan benar saja di sana sudah ada ayah dan juga kedua abangnya.

Mata Ran seketika berbinar ketika melihat bawaan sang ayah sangat banyak.

“Wahh ayah banyak banget bawaannya,” seru Ran seraya mendekati mereka.

“Ini sepatu baru buat Maraka dan Hazel, kalo gak muat kasih tau ayah biar ayah tukarkan,” ucap Johnny.

“Makasih ayah.” Maraka meraih sepatu tersebut dan segera mencobanya.

Begitupun dengan Hazel ia juga mencoba sepatu baru yang diberikan oleh sang ayah.

Ran hanya melihat dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya, ia merasa senang menunggu gilirannya.

Namun Ran merasa aneh, kenapa ayah belum memberi sepatu untuknya?

“Ayah, sepatu untuk Ran mana?” tanya Ran tidak sabaran.

Tanpa menoleh ke arah Ran Johnny menjawab, “Sepatu lama kamu masih bagus, pake itu dulu. Gimana bang bagus kan?”

Ran sebisa mungkin untuk tidak melunturkan senyumannya.

“Oh iya sepatu Ran masih bagus,” lirih Ran kecil.

Ran terus melihat ke arah kedua abangnya, ia merasa sangat iri, tapi mau gimana lagi sepatu lama miliknya masih layak pakai.

“Makasih yah,” ucap Maraka dan Hazel bersamaan.

“Sama-sama.” Johnny tersenyum ke arah Maraka dan Hazel.

Ran lagi-lagi merasa iri, ayah tidak pernah memberikan senyum itu kepada dirinya.

Namun Ran berusaha mengalihkan pandangannya, ia melihat hal lain di depan Johnny.

“Ayah itu apa?” tanya Ran seraya menunjuk ke arah plastik yang ada di depan Johnny.

Johnny meraih plastik tersebut. “Ini tadi ayah gak sempet masak, jadi ayah beliin McD buat abang,” jawabnya seraya menyerahkan plastik berisikan paper bag McD di dalamnya.

Seperti biasa jika Johnny membelikan makanan mewah untuk Maraka dan juga Hazel ia akan membungkusnya lagi dengan plastik agar tidak ketahuan Ran.

Ran merasa senang karena Johnny membawa pulang makanan kesukaannya.

Namun lagi dan lagi ia tidak mendapatkan apa-apa.

“Untuk Ran gak ada yah?”

“Uang ayah gak cukup, kamu udah makan kan? Kalo belum masak telur aja sana.”

Hati Ran sangat sakit namun sebisa mungkin ia menahan untuk tidak menangis.

“Ohhh, gak apa-apa yah tadi Ran udah makan kok,” jawab Ran.

“Yasudah ayah mau istirahat dulu.” Johnny melangkahkan kakinya meninggalkan ketiga anaknya di ruang tengah.

Ran terus menatap kedua abangnya, tatapan iri dan cemburu. Namun Ran tidak punya hak untuk marah.

“Yaudah gue mau ke kamar,” ucap Hazel lalu bangun dari duduknya dan pergi melangkahkan kakinya menuju kamar.

“Nih.” Maraka menyerahkan es krim yang Johnny belikan untuk dirinya.

“Gak apa-apa untuk abang aja, itu kan punya abang,” tolak Ran.

Bukan tidak mau, hanya saja jika ayah tau Ran mengambil punya abangnya maka Ran akan dimarahin.

“Ambil, gue lagi batuk gak bisa makan es krim,” paksa Maraka.

Senyum Ran semakin melebar mendengar hal itu, dengan cepat ia mengambil es krim milik Maraka.

“Terima kasih abang! Ran masuk ke kamar dulu ya byee!” Seru Ran bersemangat.


Saat sudah di kamar Ran duduk di depan meja belajarnya, memakan es krim yang diberikan oleh Maraka tadi.

“Enak!” Ucapnya.

Namun tiba-tiba tangannya berhenti, air matanya lolos membasahi pipinya.

“Gak apa-apa Ran, uang ayah gak cukup buat beli untuk Ran,” lirih Ran sesegukan.

Ia kembali mengingat tentang sepatunya. “Ayah, sepatu Ran masih bagus karena Ran jaga itu dengan baik.”

Ran menunduk, air matanya semakin deras mengalir.

“Tapi sepatu Ran sudah sempit ayah, itu sepatu dari kelas dua SMP,” ucapnya pelan.

“Kenapa selalu Ran yang tidak kedapatan yah?” lirihnya merasa tidak adil.

Ran memukul-mukul dadanya yang terasa sakit.

“Ayo Ran semangat, ayah sayang kok sama Ran.”