Panglimakun

“Thank you for buying the flowers,” ucap Embun ke pelanggan yang baru saja membeli bunga di tokonya.

“My pleasure miss, Your child is so cute,” puji orang tersebut seraya melihat Galaxy yang sedang berlari-lari melihat bunga yang ada di toko Embun.

Tiga tahun sudah mereka lewati, kini usia Galaxy sudah hampir menginjak 4 tahun.

Seperti anak kecil pada umumnya, Galaxy sangat suka berlarian di toko bunga Embun, dan ajaibnya kehadiran Galaxy menjadi penarik perhatian bagi pelanggan di sana.

“Thank you sir,” jawab Embun seraya tersenyum.

“Excuse me, for you,” ucap Galaxy seraya menyerahkan setangkai bunga matahari untuk pelanggan yang tadi memuji dirinya.

Pelanggan tersebut terkejut dan juga merasa gemas dengan Galaxy.

“For me? Thank you! What your name?” Tanyanya.

Galaxy mengangguk dan tersenyum. “Galaxy,” jawab Galaxy dengan suara imutnya.

“Good name, uncle must go, thank you Galaxy! Good bye,” pamit orang tersebut lalu keluar dari toko bunga Embun.

Embun menghampiri Galaxy, dan jongkok di hadapan Galaxy.

“Udah siang, abang mau makan apa nih?” Tanya Embun seraya memeluk tubuh Galaxy.

Galaxy terlihat berpikir. “Bunda, abang boleh minta chicken? Fried chicken,” tanyanya meminta izin.

Embun mengangguk. “Of course! Abang boleh makan fried chicken. Tapi abang tau gak tadi abang ngelakuin kesalahan?

Galaxy menggeleng. “No, bunda.”

“Ayo coba dipikirin lagi?”

“Ah iya, Galaxy lupa say sorry,” jawabnya dengan nada kecil.

Embun tersenyum lalu mengecup pipi Galaxy.

“Seharusnya Abang say apa?”

“Sorry, i have flowers for you, but bunda I said excuse me before I gave the flowers,” jawab Galaxy.

Embun mengangguk menyetujui jawaban Galaxy.

“Yes honey, bunda tau. Seharusnya setelah permisi abang harusnya say sorry dulu dong? Biar pelanggannya gak kaget,” ucap Embun menjelaskan yang seharusnya.

Galaxy mengangguk paham, ia mengecup pipi sang bunda. “Sorry bunda, abang lupa,” katanya seraya menepuk dahi.

“It's okay, don't forget the magic word, apa aja?”

“Maaf, tolong and terima kasih!” Seru Galaxy bersemangat.

“Good boy! Bunda bakalan beli banyak fried chicken buat anak bunda yang pinter!”

“Yeayyy fried chicken!”

Kringg

Bunyi lonceng yang menandakan seseorang baru saja masuk ke toko bunga.

“Om papa disini,” seru Sandy yang baru saja masuk ke dalam toko bunga.

Galaxy dan juga Embun segera menoleh ke arah pintu masuk. Galaxy dengan segera berlari ke arah Sandy yang sudah jongkok dan juga merentangkan tangannya.

“Welcome om papa!” Seru Galaxy dan segera menerjang masuk ke pelukan Sandy.

“Halo abang, udah makan siang hm?” Tanya Sandy.

Galaxy menggeleng. “Om papa, boleh gak abang makan fried chicken?” Tanya Galaxy meminta izin ke Sandy.

Sandy menatap Embun sekilas, lalu ia berbisik ke Galaxy, “udah minta izin bunda?”

Galaxy mengangguk, dan kembali berbisik ke Sandy, “sudah om papa,” jawabnya dengan polos.

Sandy tertawa pelan sebelum menggendong Galaxy. “Aku udah beli makanan, ada fried chicken nya juga ini,” ucap Sandy seraya menyerahkan kantong plastik yang ada di tangannya.

Embun meraih kantong plastik tersebut. “Kok gak bilang dulu?”

“Ya gapapa, biar anak om papa seneng.”

“Thank you om papa,” ucap Galaxy lalu mengecup pipi Sandy.

“Sama-sama abang.”


“Abang, boleh minta tolong ambilkan botol minum yang tadi kita bawa dari apartemen?” Pinta Embun ke Galaxy yang sedang memakan ayam gorengnya.

Galaxy mengangguk dengan semangat. “Dengan senang hati bunda, sebentar ya,” jawabnya segera beranjak menjalani perintah Embun.

“Jadi gimana Embun?” Tanya Sandy.

“Gimana apanya kak?”

“Jadi kita pulang ke Indonesia?” Tanya Sandy lagi seraya menatap Embun.

Embun terlihat terdiam, ia telah memikirkan ini dari lama, sebenarnya ia sangat ingin menyekolahkan Galaxy di Indonesia, agar Galaxy mempunyai banyak teman, terutama disekitar rumahnya nanti.

“Kafe kakak yang disini?”

“Gapapa, ada temen aku yang jaga.”

Namun ada satu hal lagi yang Embun pikirkan, yaitu keberadaan Galaxy. Bagaimanapun jika suatu saat ia bertemu dengan Jonathan?

“Kenapa bisa sakit sih!” Gerutu Embun.

Sandy benar-benar pingsan, kini ia berada di sofa ruang tengah apartemen Embun.

Embun sedang bersiap-siap menggunakan masker dan juga sarung tangan, ia tidak mau tertular demam dari Sandy, kalo sampe dia tertular maka Galaxy juga pasti akan tertular.

“Kak bangun kak,” ucap Embun seraya menggoyangkan tubuh Sandy.

Di kamar suara tangisan Galaxy terdengar semakin keras, tidak biasanya Galaxy menangis sekencang itu.

“Abang bentar ya, jangan nangis sayang,” teriak Embun dari luar.

Namun karena khawatir Embun segera menuju ke kamar dan benar saja Galaxy lebih histeris daripada sebelum-sebelumnya.

Embun segera menggendong bayi kecilnya itu. “Kenapa sayang sssssttt, bobo yaa anak ganteng jangan nangis.” Embun menenangkan Galaxy seraya menimang-nimang tubuh Galaxy.

Ajaibnya bayi itu terdiam setelah satu jam dalam gendongan Embun, untung saja jadi Embun bisa mengurus Sandy sekarang.

Embun menidurkan Galaxy di baby box barunya, hadiah dari Ruby.

“Abang tidur ya, bunda kasih obat om papa dulu oke? Jangan nangis nanti bunda gemes sama Abang,” monolog Embun seraya tersenyum melihat Galaxy yang sudah tertidur pulas.

Embun kembali ke ruang tengah, ia mendapati Sandy yang sudah sadar dan duduk bersandar di sofa.

“Siapa suruh nunggu di luar? Udah tau dingin,” sindir Embun lalu ia melangkahkan kakinya menuju dapur.

Sandy terkekeh, ia merasa pusing namun pandangannya tidak teralihkan dari Embun.

Embun memanaskan bubur yang sudah ia masak tadi, setelah itu ia membawakannya untuk Sandy. Jangan lupa bahwa Embun masih menggunakan masker dan juga sarung tangan.

“Aku cuman pingsan karena kedinginan, bukan kena virus mematikan,” sindir Sandy dengan suara parau.

Embun tidak menghiraukan sindiran Sandy ia meletakkan bubur tersebut di atas meja dan duduk di sofa namun jauh dari Sandy.

“Makan,” Suruh Embun.

“Suapin.”

“Gak mau ya, nanti kalo nular ke Embun gimana? Kakak itu demam!” Tolak Embun dengan tegas.

Sandy mengangguk lalu ia meraih mangkuk bubur tersebut. Ia menyuapkan sesendok bubur itu mulutnya.

“Enak,” ucapnya.

“Gak usah banyak omong kak, makan aja!”

Sandy terdiam menciut, ia kembali memakan bubur yang disediakan oleh Embun.

Setelah selesai, tidak ada obrolan di antara mereka.

“Ekhem.” Sandy berdehem agar menarik perhatian Embun, namun salah Embun tidak tertarik sama sekali.

“Maaf,” ucap Sandy.

Embun menghela nafas. “Yang lalu biar berlalu kak, udah larut, kakak tidur di sofa ya? Penghangat ruangan udah Embun hidupin ada selimut juga. Embun mau tidur, dari tadi Galaxy rewel,” balas Embun lalu hendak beranjak dari sana.

“Masih marah?” Tanya Sandy berhasil membuat Embun terdiam di tempat.

Embun membalikan badannya dan tersenyum ke arah Sandy.

“Sama sekali enggak, Embun gak mau egois, sekarang Embun fokus ke Galaxy aja kak, Embun gak akan cemburu atau marah kalo kakak deket sama cewek lain, itu hak kakak,” jawab Embun dengan tenang. “Selamat malam kak, tidur nyenyak semoga besok udah sehat ya,” sambungnya lalu segera masuk ke kamar dan tidak lupa untuk mengunci pintu.

Sandy menunduk, ia senyum-senyum sendiri.

“Cemburu? Berarti Embun cemburu?”

Di kamar Embun merasa lega, setidaknya ia harus memperbaiki hubungannya dengan Sandy, dan melupakan tentang perasaan. Dirinya harus fokus ke Galaxy dan juga ke dirinya sendiri.


“Jo makan.” Sedari tadi Bella memohon agar Jonathan makan, namun diabaikan oleh Jonathan.

Sekarang Jonathan terbaring di rumah sakit, setelah ditemukan pingsan di ruangan kerjanya.

“Pulang Bella,” suruh Jonathan yang akhirnya berbicara.

Bella menggelengkan kepalanya.

“Aku masak sendiri loh buburnya, kamu makan ya? Aku suapin.”

Karena capek mendengar ocehan Bella, akhirnya Jonathan memakan satu suap bubur dari sendok yang ada di tangan Bella.

Jonathan merasakan hal yang aneh, ia segera meraih tisu dan memuntahkan bubur yang ada di mulutnya.

“Kamu mau bunuh saya? rasanya asin bukan main Bella!” Protes Jonathan dengan ekspresi jijik.

Bella tersentak kaget, ia menyendok bubur tersebut ke mulutnya, dan benar saja rasanya sangat asin.

Jonathan memencet bel yang ada di sebelahnya. “Kamu pulang, saya mau istirahat.”

Bella menggeleng. “Gak! Aku gak mau, aku mau jaga kamu, aku beli aja buburnya,” tolak Bella dengan tegas.

Seorang suster memasuki ruang inap Jonathan. “Ada yang bisa saya bantu pak?” Tanya suster tersebut.

“Tolong bawa dia keluar, saya mau istirahat. Dan nanti tolong siapkan saya sarapan,” perintah Jonathan seraya membaringkan badannya.

“Jo! Aku gak mau!”

“Mari Bu, ikut saya. Kondisi pak Jonathan masih belum sepenuhnya pulih, jadi butuh istirahat yang cukup.”

Bella menepis tangan suster tersebut. “Sok tau lo, gue bisa sendiri gak usah pegang-pegang!”

Bella dan suster itu keluar dari ruangan Jonathan, Jonathan yang tadinya pura-pura tidur kini kembali bangun.

Ia meraih handphonenya, dan melihat foto Embun yang masih ia jadikan sebagai lock screen dan juga home screen.

“Seandainya aku masih sama kamu Embun. Tapi nyatanya kamu duluan ngelupain aku, suatu saat kita bisa kembali lagi?”

Aku memandang betapa indahnya Seoul seorang diri. Di tanganku ada sebuah gembok, aku ingin memasangkannya di Namsan tower ini.

Namun aku seperti sedang menunggu seseorang, padahal tidak ada siapa-siapa yang kenal aku di Korea.

Aku memejamkan mata, menghirup udara segar di Seoul.

“Akhirnya ketemu.” Suara berat tiba-tiba saja masuk ke gendang telinga ku.

Apa orang tersebut sedang berbicara dengan ku? Soalnya dia berbicara dengan bahasa Indonesia.

“Karina,” panggil orang itu.

Dengan segera aku membalikkan tubuh, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat orang yang ada di depanku kini.

“E-eden?”

Benar, orang yang memanggil ku tadi adalah Candra atau Adicandra Eden, sahabat kecil yang menghilang sejak 10 tahun yang lalu.

Eden mendekat ke arahku, namun aku malah mundur karena takut.

“Aku bukan hantu,” ucapnya.

Aku tertawa tipis mendengar hal tersebut, ia semakin mendekat dan menggenggam tangan ku.

“Kalo dilihat sama fans kamu gimana?” Tanya ku panik.

Bukannya menjawab ia malah tersenyum. “Ya gapapa, jadi aku gak susah klarifikasi lagi,” jawabnya dengan mudah.

Mendengar jawaban dari Eden, aku semakin percaya bahwa Eden yang lembut lebih berbahaya daripada Eden kecil yang cuek.

“Kamu bawa gemboknya?”

Aku tersentak kaget. “Bawa,” jawab ku.

Dia mengangguk, lalu menarik tangan ku menuju tempat dimana biasanya para pasangan memasang gembok tersebut.

“Kayaknya aku harus lebih sering nunggu bintang jatuh,” ujar dia membuat aku bingung.

Bentar? Jangan bilang pada saat bintang jatuh 10 tahun yang lalu, Eden memohon harapan yang sama?

“Tsundare,” sindir ku.

Eden tertawa, ia meraih tangan ku dan memasangkan gembok itu secara bersamaan.

“Memories, Moment, Happiness 5.293 kilometer,” kata dia setelah kita memasang gembok.

“Maksud kamu?” Tanyaku seraya menatap matanya.

Dia menghela nafas, lalu memegang kedua bahu ku, kini kita saling menatap satu sama lain.

“Memori masa kecil kita, dan juga moment masa kecil kita, begitu juga dengan kebahagiaan masa kecil kita yang sempat hilang beberapa tahun, kini kembali memecahkan 5.293 kilometer,” jawabnya dengan senyuman lembut yang berhasil membuat ku tersipu malu.

Eden menarik tubuhku ke pelukannya, membuat aku tersentak kaget.

“Terima kasih sudah bertahan.”

Aku mengangguk dan memeluk Eden. “Terima kasih karena telah kembali.”

Aku mendongakkan kepala menatap Eden. Kita bertatapan sangat lama, sebelum Eden mendaratkan bibirnya tepat di bibirku.

Nasya sedang berada di ruang tunggu, menunggu gilirannya yang nampil dan membawa hasil terbaik.

Malvin terlah dikebumikan, Malvin dikebumikan di Jepang tepat di makan ibunya.

Nasya ditemani oleh Zarra, Hezekiah, Danial dan juga keluarganya yang baru sampai kemarin.

“Nasya siap-siap!” Suruh salah satu panitia.

Nasya menghela nafas panjang, Nasya berdiri di depan kaca yang memantulkan dirinya menggunakan dress putih panjang.

“Nasya You can do it!” Sorak ketiga sahabatnya.

Nasya tersenyum, ia keluar dari ruang tunggu, di ikuti oleh mereka bertiga yang segera pergi ke bangku penonton.

“Nasya pasti bisa!”


Nasya berjalan ke panggung dengan anggunnya. Lalu ia duduk, dan bersiap memainkan piano yang ada di depannya.

Nasya merasa gugup, tangannya gemeteran. Namun tiba-tiba Nasya melihat sosok Malvin di samping dirinya dan tersenyum ke arahnya.

Dengan percaya diri Nasya memulai semuanya, alunan piano klasik memenuhi aula lomba.

Nasya mengerahkan semuanya, seperti yang diminta oleh Malvin sebelum dia istirahat.

Semua orang takjub dengan apa yang Nasya bawakan, permainan dan juga emosinya.

Sampai Nasya sampai pada akhir lagu, ia membuka matanya. Dan mendengar sorak riuh dan juga tepuk tangan dari penonton.

Semua penonton bahkan juri berdiri bertepuk tangan.

Nasya tersenyum lega, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia masih melihat Malvin di sebelahnya.

Nasya tersenyum, dan juga bayangan Malvin juga tersenyum untuk dirinya.

“Terima kasih.”

Bayangan Malvin menghilang, Nasya tersadar, ia menunduk dan meneteskan air mata.

Nasya berdiri dan membungkuk ke arah juri dan penonton.

Lagi-lagi ia melihat Malvin disana, sebelum akhirnya Nasya terjatuh lemah.

Malvin akan selalu berada di samping Nasya, karena Malvin tidak pergi, dia hanya beristirahat.


Nasya dibawa oleh ayahnya ke sebuah Villa mewah di Jepang. Dia tidak sendiri, Hezekiah, Danial, dan juga Zarra juga ikut menemani Nasya.

“Ini hadiah buat Nasya?” Tanya Nasya.

“Iya sayang,” jawab Ayah.

“Dari siapa?”

“Malvin.”

Nasya tersenyum, ia merasa sangat senang sekarang.


Mereka berempat memasuki villa tersebut, berpencar ke segala arah.

Nasya memasuki sebuah kamar yang telah diberi nama di pintunya.

Ketika Nasya membuka pintu kamar tersebut betapa terkejutnya Nasya melihat isi kamar tersebut.

Kamar itu berisi boneka pinguin dari kecil hingga besar. Dan juga beberapa Pororo drink.

Fokus Nasya tertuju pada sebuah surat dan juga sebuah CD.

Nasya memutar CD tersebut, ia duduk di kasur yang dipenuhi oleh boneka pinguin.

Layar di depan Nasya menampilkan video Malvin yang sedang bernyanyi. Nasya tersenyum dan mendengarkan seksama suara Malvin.

Ia membuka surat yang ada di tangannya.

Halo anak kecil

Suka sama hadiahnya? Tapi lebih suka aku kan?

Pacar aku hebat banget kemarin, aku udah tau pasti pacar aku sehebat itu

Maaf ya aku bohong, maaf aku menghilang terus-menerus

Aku udah berjuang untuk sembuh, dan kembali untuk hidup bahagia sama kamu

Tapi takdir berkata lain, kata dokter aku gak bisa sembuh

Eh eh, jangan nangis. Nanti Pororo drink nya aku ambil semua loh

Selalu jadi Nasya yang aku kenal ya? Cantik, ramah, ceria

Aku gak akan nulis kata selamat tinggal Nasya, karena aku gak pernah pergi

Aku hanya beristirahat, maaf ya? Aku capek soalnya

Tapi aku selalu ada di sisi kamu, tenang aja sayang.

Surat ini aku tulis sebelum kamu tau kondisi aku, jadi gatau deh aku udah bilang ini apa belum

Kamu tau arti panglima? Panglima itu pemimpin, takdir aku menjadi pemimpin club dan juga rumah tangga kita nanti

Nanti?

Tunggu di kehidupan selanjutnya ya?

Kamu mau nunggu aku kan?

Aku sayang kamu, cantiknya Malvin

Air mata Nasya mengalir deras dan membasahi surat yang tengah ia baca.

“Iya kak Nasya mau nunggu,” ucap Nasya.

Malvin benar-benar seorang pemimpin, bahkan ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya, hanya saja ia harus beristirahat lebih cepat

Nasya sedang berada di ruang tunggu, menunggu gilirannya yang nampil dan membawa hasil terbaik.

Malvin terlah dikebumikan, Malvin dikebumikan di Jepang tepat di makan ibunya.

Nasya ditemani oleh Zarra, Hezekiah, Danial dan juga keluarganya yang baru sampai kemarin.

“Nasya siap-siap!” Suruh salah satu panitia.

Nasya menghela nafas panjang, Nasya berdiri di depan kaca yang memantulkan dirinya menggunakan dress putih panjang.

“Nasya You can do it!” Sorak ketiga sahabatnya.

Nasya tersenyum, ia keluar dari ruang tunggu, di ikuti oleh mereka bertiga yang segera pergi ke bangku penonton.

“Nasya pasti bisa!”


Nasya berjalan ke panggung dengan anggunnya. Lalu ia duduk, dan bersiap memainkan piano yang ada di depannya.

Nasya merasa gugup, tangannya gemeteran. Namun tiba-tiba Nasya melihat sosok Malvin di samping dirinya dan tersenyum ke arahnya.

Dengan percaya diri Nasya memulai semuanya, alunan piano klasik memenuhi aula lomba.

Nasya mengerahkan semuanya, seperti yang diminta oleh Malvin sebelum dia istirahat.

Semua orang takjub dengan apa yang Nasya bawakan, permainan dan juga emosinya.

Sampai Nasya sampai pada akhir lagu, ia membuka matanya. Dan mendengar sorak riuh dan juga tepuk tangan dari penonton.

Semua penonton bahkan juri berdiri bertepuk tangan.

Nasya tersenyum lega, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia masih melihat Malvin di sebelahnya.

Nasya tersenyum, dan juga bayangan Malvin juga tersenyum untuk dirinya.

“Terima kasih.”

Bayangan Malvin menghilang, Nasya tersadar, ia menunduk dan meneteskan air mata.

Nasya berdiri dan membungkuk ke arah juri dan penonton.

Lagi-lagi ia melihat Malvin disana, sebelum akhirnya Nasya terjatuh lemah.

Malvin akan selalu berada di samping Nasya, karena Malvin tidak pergi, dia hanya beristirahat.


Nasya dibawa oleh ayahnya ke sebuah Villa mewah di Jepang. Dia tidak sendiri, Hezekiah, Danial, dan juga Zarra juga ikut menemani Nasya.

“Ini hadiah buat Nasya?” Tanya Nasya.

“Iya sayang,” jawab Ayah.

“Dari siapa?”

“Malvin.”

Nasya tersenyum, ia merasa sangat senang sekarang.


Mereka berempat memasuki villa tersebut, berpencar ke segala arah.

Nasya memasuki sebuah kamar yang telah diberi nama di pintunya.

Ketika Nasya membuka pintu kamar tersebut betapa terkejutnya Nasya melihat isi kamar tersebut.

Kamar itu berisi boneka pinguin dari kecil hingga besar. Dan juga beberapa Pororo drink.

Fokus Nasya tertuju pada sebuah surat dan juga sebuah CD.

Nasya memutar CD tersebut, ia duduk di kasur yang dipenuhi oleh boneka pinguin.

Layar di depan Nasya menampilkan video Malvin yang sedang bernyanyi. Nasya tersenyum dan mendengarkan seksama suara Malvin.

Ia membuka surat yang ada di tangannya.

Halo anak kecil

Suka sama hadiahnya? Tapi lebih suka aku kan?

Pacar aku hebat banget kemarin, aku udah tau pasti pacar aku sehebat itu

Maaf ya aku bohong, maaf aku menghilang terus-menerus

Aku udah berjuang untuk sembuh, dan kembali untuk hidup bahagia sama kamu

Tapi takdir berkata lain, kata dokter aku gak bisa sembuh

Eh eh, jangan nangis. Nanti Pororo drink nya aku ambil semua loh

Selalu jadi Nasya yang aku kenal ya? Cantik, ramah, ceria

Aku gak akan nulis kata selamat tinggal Nasya, karena aku gak pernah pergi

Aku hanya beristirahat, maaf ya? Aku capek soalnya

Tapi aku selalu ada di sisi kamu, tenang aja sayang.

Surat ini aku tulis sebelum kamu tau kondisi aku, jadi gatau deh aku udah bilang ini apa belum

Kamu tau arti panglima? Panglima itu pemimpin, takdir aku menjadi pemimpin club dan juga rumah tangga kita nanti

Nanti?

Tunggu di kehidupan selanjutnya ya?

Kamu mau nunggu aku kan?

Aku sayang kamu, cantiknya Malvin

Air mata Nasya mengalir deras dan membasahi surat yang tengah ia baca.

“Iya kak Nasya mau nunggu,” ucap Nasya.

Malvin benar-benar seorang pemimpin, bahkan ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya, hanya saja ia harus beristirahat lebih cepat

Nasya sedang berada di ruang tunggu, menunggu gilirannya yang nampil dan membawa hasil terbaik.

Malvin terlah dikebumikan, Malvin dikebumikan di Jepang tepat di makan ibunya.

Nasya ditemani oleh Zarra, Hezekiah, Danial dan juga keluarganya yang baru sampai kemarin.

“Nasya siap-siap!” Suruh salah satu panitia.

Nasya menghela nafas panjang, Nasya berdiri di depan kaca yang memantulkan dirinya menggunakan dress putih panjang.

“Nasya You can do it!” Sorak ketiga sahabatnya.

Nasya tersenyum, ia keluar dari ruang tunggu, di ikuti oleh mereka bertiga yang segera pergi ke bangku penonton.

“Nasya pasti bisa!”


Nasya berjalan ke panggung dengan anggunnya. Lalu ia duduk, dan bersiap memainkan piano yang ada di depannya.

Nasya merasa gugup, tangannya gemeteran. Namun tiba-tiba Nasya melihat sosok Malvin di samping dirinya dan tersenyum ke arahnya.

Dengan percaya diri Nasya memulai semuanya, alunan piano klasik memenuhi aula lomba.

Nasya mengerahkan semuanya, seperti yang diminta oleh Malvin sebelum dia istirahat.

Semua orang takjub dengan apa yang Nasya bawakan, permainan dan juga emosinya.

Sampai Nasya sampai pada akhir lagu, ia membuka matanya. Dan mendengar sorak riuh dan juga tepuk tangan dari penonton.

Semua penonton bahkan juri berdiri bertepuk tangan.

Nasya tersenyum lega, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia masih melihat Malvin di sebelahnya.

Nasya tersenyum, dan juga bayangan Malvin juga tersenyum untuk dirinya.

“Terima kasih.”

Bayangan Malvin menghilang, Nasya tersadar, ia menunduk dan meneteskan air mata.

Nasya berdiri dan membungkuk ke arah juri dan penonton.

Lagi-lagi ia melihat Malvin disana, sebelum akhirnya Nasya terjatuh lemah.

Malvin akan selalu berada di samping Nasya, karena Malvin tidak pergi, dia hanya beristirahat.


Nasya dibawa oleh ayahnya ke sebuah Villa mewah di Jepang. Dia tidak sendiri, Hezekiah, Danial, dan juga Zarra juga ikut menemani Nasya.

“Ini hadiah buat Nasya?” Tanya Nasya.

“Iya sayang,” jawab Ayah.

“Dari siapa?”

“Malvin.”

Nasya tersenyum, ia merasa sangat senang sekarang.


Mereka berempat memasuki villa tersebut, berpencar ke segala arah.

Nasya memasuki sebuah kamar yang telah diberi nama di pintunya.

Ketika Nasya membuka pintu kamar tersebut betapa terkejutnya Nasya melihat isi kamar tersebut.

Kamar itu berisi boneka pinguin dari kecil hingga besar. Dan juga beberapa Pororo drink.

Fokus Nasya tertuju pada sebuah surat dan juga sebuah CD.

Nasya memutar CD tersebut, ia duduk di kasur yang dipenuhi oleh boneka pinguin.

Layar di depan Nasya menampilkan video Malvin yang sedang bernyanyi. Nasya tersenyum dan mendengarkan seksama suara Malvin.

Ia membuka surat yang ada di tangannya.

Halo anak kecil

Suka sama hadiahnya? Tapi lebih suka aku kan?

Setelah perjalan panjang dari Indonesia ke Jepang. Nasya, Danial, dan juga Malvin dan juga beberapa orang-orang sekolah yang hendak menemani Nasya mengikuti lomba keesokan hari, kini tiba di Jepang.

Alih-alih ke Hotel, Nasya minta izin untuk pergi dengan Danial dan Zarra sebentar, sesuai permintaan Hezekiah.

Nasya sedikit terkejut, karena yang menjemput mereka adalah ayahnya sendiri.

Selama di perjalanan tidak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut mereka.

Nasya merasa keheranan, kenapa ayahnya memberhentikan mobil di sebuah rumah sakit.

“Kok ke rumah sakit yah? Ayah sakit?” Tanya Nasya sebelum turun dari mobil.

Ayah Nasya menatap mata anaknya sebentar. “Kamu percaya ayah?”

Nasya mengerutkan keningnya kebingungan. “Percaya apa Ayah?” Tanyanya lagi.

Ayah tidak menjawab, mereka semua turun dari mobil. Nasya mengikuti kemanapun ayahnya pergi, diikuti oleh Danial dan juga Zarra.

Mereka berhenti tepat di depan sebuah ruangan VVIP. Nasya terdiam, sontak ia berjalan mundur ketika membaca nama yang ada di pintu tersebut.

“Gak mungkin,” ucap Nasya tidak percaya.

Zarra tidak bisa menahan air matanya, namun ia tetap berusaha untuk menenangkan Nasya.

“Ayo ca,” ujar Zarra seraya menggenggam tangan Nasya.

Ayah Nasya membukakan pintu ruangan tersebut. Di sana sudah ada papa Malvin, Hezekiah, dan Malvin yang tertidur lemah dengan bermacam-macam alat mengelilingi dirinya.

Tubuh Nasya melihat pemandangan itu. Ia tidak percaya, ia berharap bahwa ini adalah mimpi.

“Ca .... ” Panggil Malvin dengan pelan.

Dengan langkah yang pelan, Nasya menghampiri Malvin, ia duduk di kursi yang ada di sebelah kiri Malvin.

“Nasya disini kak,” jawabnya pelan.

Nasya dapat melihat Malvin tersenyum di balik masker oksigen yang ia kenakan.

“Cantiknya Malvin apa kabar?” Tanya Malvin dengan susah payah.

Nasya berusaha keras untuk tidak menjatuhkan air matanya, ia tersenyum ke Malvin.

“Baik, sangat baik,” jawab Nasya berbohong, tentu saja keadaannya kini sedang tidak baik-baik saja.

Malvin lagi-lagi tersenyum, ia mengangguk pelan.

“Pacarnya Malvin besok lomba ya?” Tanya Malvin lagi.

Ia benar-benar bersusah payah agar bisa berbicara.

Lagi-lagi Nasya mengangguk. “Iya, pacar kak Malvin besok lomba,” jawabnya.

Hati Nasya terasa sangat sakit, ia terkejut ketika Malvin masih memanggil dirinya dengan sebutan pacar.

Malvin menggerakkan tangan kirinya pelan, ia meletakkan tangannya di pipi kanan Nasya.

“Hebat pacarnya Malvin,” puji Malvin dengan senyum yang tak pernah luntur.

Nasya tidak tau harus menjawab apa, hatinya terasa sakit. Ia sangat ingin berteriak dan nangis sekencang mungkin saat ini.

“Aku juga pengen hebat kayak cantiknya aku.”

Nasya memegang tangan Malvin yang masih mengusap pipinya.

“Kak Malvin hebat! Besok kakak duduk di sebelah Nasya ya? Kita lomba sama-sama,” pinta Nasya.

Malvin mengangguk lemah.

“Cantik, besok tampilkan seakan-akan aku juga ikut dalam lomba itu ya?”

Nasya mengangguk. “Pasti kak!”

“Tadi capek?”

Nasya menggeleng. “Gak, sama sekali enggak. Kak Malvin capek ya?” Tanyanya.

Malvin mengangguk, tangannya masih mengusap lembut pipi Nasya.

“Aku pengen istirahat,” jawabnya.

“Istirahat kak,” sahut Nasya.

Nasya meletakkan kembali tangan Malvin di kasur, namun ia letakkan di atas tangannya.

Malvin mengalihkan pandangannya, menatap setiap orang yang ada di ruangan tersebut.

Ia menatap Hezekiah, Danial, Zarra, Papanya, dan juga Ayah Nasya secara bergantian.

“Aku izin istirahat ya?” Izinnya ke mereka semua.

Mereka semua mengangguk.

“Istirahat Vin,” jawab Danial.

“Dan, Ze, gue titip anak Riddin ya?” Lirihnya pelan.

Mereka berdua mengangguk. “Sampe lo udah selesai istirahat Vin,” ujar Danial dengan suara bergetar karena menahan tangis.

Tatapan Malvin beralih ke Zarra. “Zar,” panggilnya.

“I-iya kak?”

“Titip anak kecil cantik gue ya?”

Zarra mengangguk, namun ia tidak bisa menahan tangisnya.

“Iy-a kak,” jawab Zarra.

“Kenapa kakak nitip aku ke Zarra? Harusnya kakak yang jaga aku kan?” Protes Nasya.

Malvin kembali menatap Nasya.

“Cantik, kamu tau gak aku dipanggil apa di sekolah?” Tanya Malvin dengan suara yang terputus-putus karena lemah.

“Panglima,” jawab Nasya dengan suara parau.

Malvin mengangguk, ia memejamkan matanya sejenak.

“Itu takdir aku sayang,” ucapnya. “Panglima yang memimpin di club aku, dan juga pemimpin rumah tangga kita nanti,” tambahnya.

“Kalo gitu nikahin Nasya kak, Nasya mau nikah sama kak Malvin!”

“Ayah, boleh kan Nasya nikah sama kak Malvin?” Tanya Nasya ke ayahnya.

Ayah tersenyum lembut. “Boleh sayang,” jawab Ayah.

“Om, Nasya boleh nikah sama kak Malvin?” Kini Nasya bertanya ke Papa Malvin.

Papa Malvin mengangguk. “Sangat boleh.”

“Ayo kak nikah!”

Malvin tersenyum ia mengangguk. “Aku istirahat dulu ya?”

Nasya menggeleng dengan kuat. “Nasya punya banyak Pororo drink!” Ujar Nasya.

Malvin terkekeh pelan mendengarnya. “Aku boleh minta?” Tanya Malvin bercanda.

Nasya mengangguk dengan serius. “Nasya kasih dua puluh!”

“Kalo gitu aku minta seratus.”

“Nasya kasih semuanya gratis.”

Senyum Malvin semakin mengembang, air matanya mengalir membasahi pipinya.

Ia merasa sakit di segala sisi, menahan perihnya harus melihat gadis yang ia cintai. Dan menahan sakitnya penyakit ganas yang bersarang di tubuhnya.

“Nasya mau cium kak Malvin,” pinta Nasya tanpa peduli siapa yang ada di ruangan tersebut.

Malvin mengangguk memberi izin.

Nasya bangkit dari duduknya, ia mengecup kening Malvin lalu menatap mata Malvin.

“Sekarang kak Malvin udah boleh istirahat, tapi sebentar ya?”

Malvin mengangguk. “Iya cantik,” jawabnya.

Nasya mengusap air mata Malvin.

“Selamat beristirahat Panglima Malvin, istirahat sebentar agar semuanya membaik. Nasya sayang sama kak Malvin sekarang dan selamanya.”

Malvin tersenyum mendengar hal tersebut, ia hendak menjawab pernyataan Nasya, namun bibirnya terasa berat, matanya juga.

Perlahan Malvin menutup matanya, bersamaan dengan itu monitor yang ada di sebelah Malvin menunjukan garis lurus, menandakan kini Malvin telah beristirahat dengan tenang.

Tangis Zarra pecah, namun dengan cepat Danial memeluknya. Begitupun dengan Danial sendiri, ia tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Hezekiah yang sedari tadi menahan dirinya agar tidak jatuh, kini ia benar-benar jatuh terduduk lemah.

Nasya masih memaksakan agar ia tetap tersenyum, walaupun air matanya tidak bisa tertahan.

“Kak Malvin hanya istirahat sebentar,” ucapnya meyakinkan diri.

Ayah Nasya menarik Nasya ke pelukannya.

“Ikhlasin Malvin ya nak,” ucap papa Malvin memohon.

Tangis Nasya pecah, kini ia tidak bisa menahannya lagi.

“Bangunin Nasya dari mimpi ini ayah!” Teriak Nasya.

Nasya berharap bahwa ini adalah mimpi, namun ini semua adalah kenyataannya.

Malvin telah tidur berisitirahat seperti yang ia bilang. Tidur tenang, meredakan semua rasa sakitnya.

Namun ia beristirahat untuk selamanya.

“Gejala yang akan kamu rasakan, akan semakin bertambah Embun, seperti yang pernah saya bilang.”

Kini Embun dan juga Dokter Keenan sedang membicarakan semuanya tentang kesehatan Embun.

Embun mengangguk. “Embun masih kuat dengan obat-obat itu dok,” ucap Embun meyakinkan dokter Keenan.

“Besok kita pemeriksaan, ke rumah sakit yang kebetulan ada kenalan saya di sana,” ujar dokter Keenan.

“Harus dok?”

Dokter Keenan mendecak kesal. “Jangan main-main dengan penyakit kamu Embun!” Peringat dokter Keenan yang sedikit kebawa emosi karena Embun yang keras kepala.

“Bahkan kanker nya belum memasuki stadium empat,” lirih Embun pelan agar tidak didengar oleh dokter Keenan.

“Tapi bisa saja kanker itu membuat kamu krekk,” ucap dokter Keenan seraya memperagakan orang meninggal, dengan tangan yang ia gunakan sebagai pisau, lalu menunjukkan mimik wajah yang lucu. “Meninggal,” lanjutnya.

Embun tertawa melihat tingkah konyol dokter Keenan.

“Dengar Embun, perawatan dan juga operasi mungkin tidak bisa membuat kamu sembuh total, setidaknya bisa memperlambat dan mengontrol pertumbuhan sel kanker,” ucap dokter Keenan berusaha membujuk Embun.

“Oh !” Seru Embun. “Itu temen Embun, kalo gitu Embun permisi ya dok, sampai jumpa besok!” Embun pamit dan segera meninggalkan dokter Keenan yang lagi-lagi bertingkah konyol, karena setres menghadapi sikap Embun.

“Krekk.”

Setelah mengantar Ocha pulang, Sandy baru tersadar bahwa dari tadi ia tidak menyalakan handphonenya.

Dengan segera Sandy mengecek setiap chat yang masuk, mata Sandy terbelalak melihat room chat dirinya dengan Embun. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya menuju apartemen Embun.

Ceklek

Tanpa izin ataupun permisi, Sandy masuk kedalam apartemen Embun, dan mendapatkan Embun yang sedang mencuci piring.

Embun menoleh ke arah Sandy sekilas lalu ia kembali fokus mencuci piring.

Sandy menekuk kaki kiri, lalu kaki kananya, ia berlutut dihadapan Embun.

“Maaf,” lirih Sandy.

Tidak ada respon dari Embun, bahkan Embun tidak menoleh.

“Aku minta maaf,” ulang Sandy.

Selesai mencuci piring Embun menyusun semuanya di rak pengering.

“Udah larut malam kak,” ucap Embun seraya melihat ke jam dinding. “Pulang aja, Embun juga mau tidur, bentar lagi Galaxy rewel soalnya tadi tidurnya cepet,” lanjut Embun.

Sandy merasa heran, kenapa Embun masih bersikap lembut kepada dirinya, padahal jelas saja ia telah memperlakukan Embun dengan buruk tadi.

“Kamu gak marah?” Tanya Sandy berhasil membuat Embun menghentikan semua aktivitas nya.

Embun melepaskan sarung tangan karet yang ia gunakan untuk mencuci piring tadi, ia melempar kasar ke wastafel.

Embun duduk di lantai dan bersandar di meja dapurnya.

“Marah?” Embun tersenyum tipis. “Emang Embun punya hak?”

Sandy terdiam sejenak lalu ia berkata, “soal ak-”

“Aku bukan siapa-siapa kakak,” potong Embun.

Embun menatap kosong ke arah lantai apartemen. “Embun hanya parasit di kehidupan kak Sandy, seseorang yang bergantung pada orang lain,” lirihnya.

“Kamu gak-”

“Apakah parasit seperti Embun punya hak?” Tanya Embun seraya menatap Sandy sebentar.

Embun kembali memalingkan pandangannya. “Dari awal Embun cerai sama Jona, kak Sandy yang bantu Embun. Nemenin Embun sampai Embun lahiran, mengeluarkan banyak biaya untuk seorang parasit seperti aku.”

Rahang Sandy mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Embun.

“Emb-”

“Tentu aja gak punya hak, gak tau diri namanya.” Embun mengeluarkan semuanya tanpa berpikir panjang.

Embun tersenyum tipis, lalu ia menatap mata Sandy.

“Embun gak masalah kak Sandy berhubungan dengan siapa pun itu, itu hak kakak. Kalo emang suatu saat kakak harus fokus ke kehidupan kakak sendiri, dan harus melepaskan kita, lakukan itu.”

“Embun aku gak akan ngelakuin itu,” tolak Sandy dengan tegas.

Embun mengangguk. “Iya gak akan, seharusnya parasit lah yang harus sadar diri,” sahut Embun lalu bangkit dari duduknya.

“Pulang aja ya kak, jangan lupa tutup pintunya, selamat malam,” Finish Embun lalu meninggalkan Sandy yang masih berlutut dan menundukkan penuh penyesalan.

Embun memasuki kamarnya dengan cepat ia mengunci kamarnya.

Kaki Embun seketika melemah, dadanya terasa sesak, dan air matanya mengalir bebas membasahi pipinya.

“Iya Embun marah! Embun cemburu!” Jerit Embun.

Tangis Embun semakin menjadi-jadi. “Siapa yang gak marah kalo gini?”

Memang Embun belum sepenuhnya melupakan Jonathan, dan ia tidak akan melupakan Jonathan. Namun sekarang ia telah menemukan sosok pria yang baik, yang memperlakukan Embun layaknya ratu.

Dalam lubuk hati yang paling dalam, Embun memang masih menginginkan Jonathan kembali, namun kembali untuk Galaxy bukan untuk dirinya.

“Jona, Galaxy ada di sini. Bayi kamu, bayi laki-laki yang selalu kamu idam-idamkan setiap malam,” monolog Embun dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.

Embun menatap Galaxy yang tertidur nyenyak di kasurnya, dadanya terasa sangat sakit.

“Kehadiran Galaxy, akan menjadi hidup bagi Jonathan,“lirihnya.

Embun meringkuk badannya, memeluk kedua kakinya. Ia menangis sejadi-jadinya.

Embun berusaha menahan pusing dan mual yang ia rasakan. Ia masih menunggu balasan dari Sandy, namun sudah hampir 30 menit tidak ada jawaban dari Sandy.

“Abang bentar ya, kamu jangan nangis ya.”

Dengan cepat Embun berlari ke kamar mandi. Sesampainya disana ia terduduk lemas di depan kloset, memuntahkan semua isi perutnya.

Hoekk

Embun benar-benar memuntahkan semua isi perutnya tanpa sisa, tubuhnya terasa bergetar dengan hebat.

Setelah dirasa tidak ada yang harus ia muntahkan lagi, Embun berusaha bangun, namun sialnya kakinya tidak sanggup, kaki Embun melemah.

Ia terjatuh untung saja tertahan oleh dinding kamar mandi. Embun masih berusaha untuk bangun, namun tidak bisa tubuhnya bergetar dan kakinya terasa lemah.

“Arghhhh.” Embun berteriak, di luar sana Embun mendengar suara tangis Galaxy.

Embun masih berusaha, namun tidak bisa, ia tau pasti ini gejala dari penyakit yang bersarang di tubuhnya.

Embun menyeret tubuhnya mendekati meja wastafel yang tidak jauh darinya.

Walaupun rasa sakit yang luar biasa menguasai tubuhnya ia berusaha meraih obat yang ada di meja wastafel tersebut.

“Argghh, a-abang se-sebentar,” ringis Embun sebisa mungkin ia meraih obatnya.

Suara tangis Galaxy semakin keras, untung saja Embun berhasil meraih obatnya.

Segera ia menelan obat tersebut tanpa ada air. Dirasa mulai bisa mengendalikan dirinya, Embun berusaha berdiri dan meminum air dari keran wastafel.

Untung saja rasa sakitnya cepat berlalu, Embun segera keluar dan segera menggendong Galaxy.

“Maaf nak, maafin bunda.”


“Aku udah cerai sama Rio,” ucap Ocha.

Sandy benar-benar menghampiri Ocha di restoran kemarin.

“Kamu tau kan kita putus karena aku dijodohin sama Rio,” sambung Ocha.

Sandy hanya diam.

“Sekarang aku udah gak ada hubungan lagi sama dia, orang tua aku juga udah kasih kebebasan buat aku,” kata Ocha menjelaskan semuanya.

“Ayo balikan San, aku masih sayang sama kamu,” ungkap Ocha membuat Sandy tersentak dan menatap mata Ocha.

Tatapan yang tidak bisa diartikan.