Panglimakun

Sandy tidak bercanda pada saat ia bilang akan ribut dan sibuk disana.

Namun Embun tidak peduli, bahkan sesekali ia membantu Sandy, walaupun sesekali diciduk oleh Sandy dan mendapatkan tatapan tajam dari Sandy.

Prangg

Tidak sengaja Embun menjatuhkan cangkir yang hendak ia taruh di rak khusus.

Dengan cekatan Sandy segera menghampiri Embun.

“Kan udah aku bilang! Diem aja, gak usah bantu!” Bentak Sandy penuh emosi.

Suara keras dari Sandy membuat Galaxy yang ada di gendongan Embun terbangun.

“M-maaf,” lirih Embun lalu segera pergi dari hadapan Sandy.

“Arghh!” Sandy merasa sangat bersalah karena telah membentak Embun, ia sangat lelah dan juga sedikit kewalahan sehingga emosinya cepat terpancing.

“Tolong bersihin ya,” ucap Sandy ke salah satu pekerja yang ada disana, yang kebetulan adalah orang Indonesia.


Kini Embun berada di ruang kerja Sandy, setelah menyusui Galaxy ia hendak menidurkannya namun Galaxy tidak mau.

“Kenapa harus dibentak sih,” monolog Embun.

“Om papa jahat ya Gala,” lanjutnya masih mengomel seraya melihat Galaxy yang asyik tengkurap bermain di lantai dengan mainannya.

Ceklek

Suara pintu terbuka, dan menampakkan seseorang yang akan masuk ke ruangan itu, orang itu adalah Sandy sang pemilik ruangan.

Sandy melangkahkan kakinya dan ikut duduk di samping Embun “Anak papa lagi ngapain sih?” Tanyanya.

Galaxy tersenyum dan tertawa ketika mendengar suara Sandy.

Sandy menatap Embun yang sedang cemberut.

Tiba-tiba saja Sandy tidur di pangkuan Embun, membuat Embun tersentak namun ia tidak berbicara.

“Numpang tidur bentar ya, capek,” ucap Sandy meminta izin.

Embun mengangguk pelan membuat Sandy tertawa. “Maaf, tadi kebawa emosi.”

Lagi-lagi Embun mengangguk tanpa menjawab.

“Diem lagi aku ciu-”

“Tinggal tidur aja rese, selamat tidur om papa,” potong Embun seraya tersenyum, namun sedikit tidak ikhlas.

Sandy tertawa sebelum ia benar-benar tertidur di pangkuan Embun.

“Gak adil banget, masa ganteng banget sih!”

“Mau makan dimana?” Tanya Sandy ke Embun, fokus Sandy masih ke jalan karena ia sedang menyetir.

Embun berpikir sejenak. “Gatau, Embun gatau Paris,” jawabnya dengan polos.

Sandy tertawa lalu mengacak-acak rambut Embun. “Jawabnya lama ya,” sahut Sandy masih mengacak-acak rambut Embun.

“Ihhh kak!” Protes Embun seraya menahan tangan Sandy. “Berantakan!” Omel Embun seraya memanyunkan bibirnya.

Sekilas Sandy menatap Embun sebelum kembali fokus ke jalan, ia menggenggam tangan Embun dengan tangan kanannya, tangan kiri ia gunakan untuk menyetir.

Jangan tangan gimana keadaan Embun, mukanya sudah seperti kepiting rebus sekarang.

“Abang tidur?”

Embun mengalihkan pandangannya, ia mengangkat kain yang menutupi tubuh kecil Galaxy, karena Embun sedang menyusui.

“Eum, tidur.”

Sandy mengangguk dan kembali fokus menyetir.

Mereka diam, tidak ada satupun obrolan ataupun tawa dan canda yang keluar dari mulut mereka.

“Makan siang Abang ada bawa?” Tanya Sandy membuka topik pembicaraan.

Embun mengangguk mantap. “Udah om papa!” Jawab Embun dengan semangat.

“Papa,” protes Sandy.

Embun mengerutkan keningnya.

“Om papa!”

“Papa!”

“Om papa!”

“Papa!”

Embun mendecak kesal. “Om papa!”

“Papa!” Seru Sandy tak mau kalah.

“Om papa!”

“Papa!”

Perdebatan itu terus berlangsung sampai suara tangisan Galaxy membuat mereka panik.

Dengan cepat Embun melepaskan tangannya yang digenggam oleh Sandy.

“Om papa berisik ya nak? Cup cup cup nanti kita pupuw om papa ya, anak ganteng bunda jangan nangis.” Embun berusaha menenangkan Galaxy yang masih menangis.

Sandy menatap Embun tidak terima. “Kok aku?”

Bukannya menjawab Embun melempar tatapan tajam membuat nyali Sandy menciut.


Mereka bertiga singgah di sebuah restoran yang lumayan mahal, awalnya Embun menolak, namun tatapan tajam dan juga kata-kata singkat dari Sandy membuat Embun seketika menjadi penurut.

Selagi menunggu pesanan datang, Embun menyuapi MPASI untuk Galaxy, mengingat usia Galaxy kini sudah cukup.

Sandy meminta untuk bergantian, jadilah Sandy yang menyuapi Galaxy, dan sesekali bercanda dengan bayi kecilnya.

Embun tersenyum melihat hal tersebut, ia sangat bersyukur bertemu dengan Sandy, semua yang telah Sandy lakukan dan berikan untuknya tidak dapat ia bayar walaupun menukarkan dengan nyawanya.

“Ihh happy banget sih anak bunda, kalo sama om papa aja ketawanya kenceng banget,” ucap Embun seraya mengusap pipi gembul Galaxy.

Seakan paham Galaxy menyahut dengan tawa, tangannya juga tidak diam, ia memukul-mukul meja kursi bayi yang ia duduki.

“Moodnya lagi bagus,” sahut Sandy.

Embun mengangguk setuju.

Makanan mereka sampai, Embun sedikit terkejut dengan makanan yang disediakan oleh pelayan di hadapannya.

Yang memesan semua ini adalah Sandy, karena menu yang tertulis menggunakan bahasa Prancis.

“Kak ini banyak banget?”

“Gapapa, biar kamu lebih berisi. Kamu kurusan.”

Embun masih kaget, ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sandy.

“Iyakan anak papa? Bunda kurus banget kan?” Tanya Sandy ke Galaxy, dan anehnya Galaxy menjawab dengan ocehan dan tawa.


“Bella!” Teriak Jonathan memanggil nama Bella.

Setelah mendapat pesan dari Bella bahwa dirinya sedang sakit, Jonathan dengan segera menghampiri Bella di rumahnya.

Jonathan memang tau password rumah Bella, karena Bella yang ngasih tau. Jonathan mencari Bella di semua sudut rumah, namun ia tidak dapat menemukan Bella.

Muka Jonathan terlihat panik, entah apa yang dipikirkan olehnya.

“Bella!” Teriak Jonathan semakin keras.

“Aku gak nyangka kamu datang,” sahut Bella yang terlihat tidak sakit.

Jonathan dengan segera menghampiri Bella, dan membawa tubuh Bella ke pelukannya.

Bella sedikit tersentak, namun ia juga merasa senang di waktu yang bersamaan.

“Kamu kenapa?” Tanya Jonathan dengan suaranya yang bergetar.

“Aku gapapa,” jawab Bella santai.

Jonathan mengerutkan keningnya, apa dia salah membaca pesan?

“Tadi katanya kamu sakit?”

“Harus aku sakit dulu ya baru kamu khawatir?”

Jonathan mendecak kesal, ia melepaskan pelukannya.

“Gak lucu,” sinis Jonathan lalu segera berbalik dan hendak pergi dari sana.

Tiba-tiba saja langkah Jonathan tertahan. Bella memeluk dirinya dari belakang.

“Jo, kasih aku kesempatan Jo,” pinta Bella.

“Lepas.”

Bella semakin mengeratkan pelukannya.

“Aku mohon, buka hati untuk aku Jo.”

Jonathan terdiam ia teringat, lagi-lagi iya masih menganggap bahwa Bella adalah Embun.

Ia mengingat dulu sewaktu ia masih pacaran dengan Embun, Embun mengirimkan pesan bahwa dirinya sakit, dan pada saat Jonathan menghampirinya Jonathan melihat tubuh Embun yang tergelatak lemah.

“Bell-”

“Aku gak akan suruh kamu lupain Embun Jo, tapi aku mau kamu buka hati untuk aku.”

“Kenapa Vin?” Tanya Hezekiah yang kini sudah berada di ruangan dimana Malvin di rawat.

Sudah hampir 1 bulan Malvin menjalankan kemoterapi dan juga pengobatan lainnya, untuk melawan kanker darah yang ia alami.

Keadaan Malvin semakin melemah, bahkan kini tubuhnya sangat pucat, rambut yang sudah rontok efek samping dari kemoterapi.

Malvin tersenyum tipis. “Gak ada alasan yang spesifik sih Ze, miris ya gue?”

Hezekiah tertawa mendengar jawaban Malvin barusan, bukan tawa karena lucu, namun tawa karena merasa gagal.

“Setidaknya lo jujur sama gue, saka Danial!”

“Gue mau jujur, gue gak bisa,” jawab Malvin.

“Lo anggap kita apa sih?” Tanya Hezekiah dengan nada yang mulai meninggi.

Malvin menunduk, memainkan jari-jarinya.

“Keluarga,” jawabnya pelan.

Hezekiah menghela nafas berat.

“Terus kalo keluarga kenapa lo bohong Vin?”

“Karena gue gak mau buat kalian khawatir! Gue capek Ze, di mata orang-orang gue ini superhero, panglima, kuat dan gak pernah lemah! Gue gak mau citra gue hilang karena penyakit ini!” Sahut Malvin dengan nada tinggi.

Hezekiah sedikit tersentak mendengar hal itu, ia menatap mata Malvin yang memerah dan sayu.

“Lo egois,” lirihnya.

Malvin mengangguk setuju. “Iya gue emang egois.”

“Gue pulang balik Jepang-indonesia karena pengobatan dan juga belajar main piano, sebelum mama gue meninggal mama pengen ngelihat gue bisa main piano dan juga ikut perlombaan besar di Jepang,” kata Malvin menjelaskan semuanya. “Memang papa keras nyuruh gue, tapi itu gue yang suruh supaya gue sadar ada hal yang harus gue gapai sebelum gue bener-bener mati,” sambungnya.

Hezekiah tertawa kecil, ia tidak menyangka bahwa sahabatnya kini benar-benar sudah siap menjemput ajalnya.

“Lo bohong ke Nasya?” Tanya Hezekiah.

Malvin mengangkat kepalanya menoleh dan menatap ke arah Malvin.

“Hm?”

“Lo tunangan sama Aleta.”

Malvin menggeleng. “Gue gak bohong, seharusnya gue udah tunangan sama Aleta. Papa punya banyak hutang sama keluarga Aleta, dan perusahaan papa juga sangat bersangkut dengan perusahaan papa Aleta. Papa gak punya cukup duit buat biayai pengobatan gue. Sampe—” ucapan Malvin terpotong, tiba-tiba ia terdiam.

“Sampe?”

“Sampe pas hari dimana gue ketemu ayah Nasya, gue jujur tentang segalanya. Kebodohan gue, penyakit gue, dan kesalahan yang udah gue lakuin ke Nasya,” lanjut Malvin.

Hezekiah tentu saja terkejut mendengar hal tersebut. Terkejut dan kecewa, begitu banyak rahasia yang tidak ia ketahui.

“Perusahaan ayah Nasya sukses, ayah Nasya bilang ke gue bahwa dia akan menjadi investor baru di perusahaan papa, walaupun susah, dan kemungkinan tidak bisa. Tapi pada akhirnya ayah Nasya berhasil.”

Air mata Malvin jatuh membasahi tangannya. Ia merasa sedih dan juga sakit ketika mengingat Nasya.

“Semua biaya rumah sakit juga ditanggung ayah Nasya, setelah apa yang gue lakuin ke Nasya, ayah Nasya dengan baiknya mengulurkan tangannya buat gue.”

Malvin menoleh menatap Hezekiah yang terdiam. “Dia berharap gue sembuh dan bisa hidup bahagia dengan Nasya. Tapi—”

“Tapi?”

“Gue gak bisa Ze,” ungkap Malvin dengan air mata yang semakin deras.

Hezekiah menggeleng tidak setuju.

“Gak!” Sanggahnya.

“Lo bisa, gue yakin lo bisa melawan kanker lo Malvin. Kayak yang Lo bilang, lo itu kuat seorang panglima itu kuat! Jadi pasti lo bisa!”

“Bagaimana kalo gak bisa?”

“Besok Nasya sampe ke Jepang, dia akan lomba 2 hari lagi. Gue mau lo jujur sama dia,” pinta Hezekiah agar hubungan Malvin dan juga Nasya kembali membaik.

Haruskah? Malvin takut, jika ia akan menyakiti hati gadis kecil yang sangat ia cintai.

Malam ini aku benar-benar berniat ingin melihat bintang jatuh. Konon katanya aku bisa memohon saat itu juga.

Sesuai janji, aku ditemani oleh Eden, sahabat yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri.

Kini kita berdua lagi ada di atap rumah ku. Menunggu bintang jatuh tentu saja.

“Emang kata siapa ada bintang jatuh?” Tanya Eden kepadaku.

Aku memalingkan wajahku menghadap Eden. “Kata temen-temen sekelas aku tadi, emang temen sekelas Eden gak bilang?” Tanyaku balik.

Eden menggeleng. “Enggak tuh, kamu percaya?”

Tentu saja aku mengangguk, aku akan menunggu saat itu walaupun sampai larut malam nanti.

Eden terlihat bosan, aku melihat raut wajahnya yang terlihat tidak menikmati saat-saat ini, seperti aku.

“Kalo bosen tuh bilang,” ucapku.

Eden menggeleng kuat. “Enggaklah mana ada aku bosen,” elaknya.

Aku tertawa, padahal sudah jelas raut wajah Eden sangat bosan tadi.

“Emang kenapa sih kalo ada bintang jatuh?”

“Denger ya Eden, nanti kita bisa buat permohonan. Siapa tau terkabulkan!” Seru aku bersemangat.

Tidak sesuai harapanku, tanggapan dari Eden biasa saja, dia tidak bersemangat seperti diriku.

Ahh, benar ! Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu.

“Eden, kata papa di Korea ada tower terkenal gitu, nanti kita bisa pasang gembok pasangan gitu, nanti hubungan kita bakalan lama!” Ucapku bersemangat.

“Cih bocah,” respon Eden.

Refleks aku memukul tangan Eden. “Aww, kenapa sih!” Eden mendesis kesakitan.

“Kalo gak mau tuh ya bilang Eden ngerusak mood Karin! Karin udah gak mau lihat bintang jatuh lagi!” Omel ku seraya bangkit dari duduk, hendak pergi dari sana.

Namun tiba-tiba Eden menarik tanganku, dan membuat aku terduduk kembali.

“Tutup matanya itu bintang jatuh!” Katanya seraya menunjuk ke arah cahaya dari langit.

Benar saja! Itu benar-benar bintang jatuh. Dengan segera aku menutup mata dan mengepalkan tanganku.

Beberapa menit kemudian aku membuka kembali mataku, dan aku melihat Eden yang membuat permohonan juga. Tadi aja mukanya bete.

“Eden buat permohonan apa?” Tanyaku.

Namun Eden tidak menjawab, ia memegang tanganku dan menarik pergi dari sana.

“Ayo tidur! Kata mama gak boleh di luar malam-malam,” ucapnya seraya menarik tanganku.

Aku hanya mengikuti arahan Eden, diam-diam aku tersenyum. Eden lucu kalo lagi malu.


'Bintang kalo emang bener bisa buat permohonan, Eden mohon jangan pisahkan Eden dan Karina, Eden mau suatu saat membawa Eden ke tower yang di bilang Karina tadi, agar kita bisa memasang gembok supaya hubungan Eden dengan Karina bertahan selamanya'Adicandra Eden

'Bintang! Semoga tidak ada yang bisa memisahkan Eden dan Karina, suatu saat Karina pengen banget ke tower yang dibilang papa, Karina pengen pergi kesana berdua sama Eden!Adikirana Verona

“Hai,” sapa Malvin.

Nasya tersentak kaget, dan tersenyum ke Malvin. “Hai kak,” jawabnya.

Malvin melangkah dan duduk di bangku sebelah Nasya. “Kenapa gak ikutan lihat penampilan mereka?” Tanya Malvin.

Sejenak tidak ada jawaban dari Nasya, ia masih menunduk.

“Gapapa,” jawab Nasya singkat.

“Maaf.” Tiba-tiba Malvin mengucapkan kata maaf membuat Nasya mengangkat kepalanya.

“Maaf karena harus berakhir seperti ini, gue bakalan selalu sayang sama lo ca. Sampai kapanpun itu,” ucap Malvin.

Air mata Nasya mengalir deras, ia terisak mendengar ucapan dari Malvin barusan. Nasya memukul-mukul dadanya yang terasa sakit, Malvin hendak menahannya namun tangan Malvin terlebih dahulu ditepis oleh Nasya.

Nasya mengangguk. “Nasya tau, Nasya ikhlas.”

“Gue bakalan tunangan sama Aleta, gue terpaksa.” Satu kalimat yang berhasil membuat Nasya semakin terpukul dan terisak.

Tanpa berpikir panjang, Nasya pergi dari sana. Masih dengan tangisan yang tak kunjung berhenti.

Nasya berhenti di gudang sekolah, tidak ada satupun orang disana.

Nasya menangis menjadi-jadi, meluapkan semua rasa sakitnya. Nasya menangis, namun tangisan itu ia tahan dengan tangannya.

Ia tidak ingin didengar oleh satu orangpun. Nasya menggigit gepalan tangannya agar tangisannya tidak terdengar, namun rasa sakit di dada Nasya semakin menjadi-jadi.

“Nasya!” Seru Naren, ia berlari menghampiri Nasya.

Setelah performance tadi, Naren mencari keberadaan Nasya, bahkan ia percakapan singkat Nasya dengan Malvin. Hingga ia mengikuti kemana Nasya berlari.

Naren memeluk Nasya dengan sangat erat, membiarkan Nasya merasa aman dan nyaman disana.

“Keluarin aja suaranya ca, jangan di tahan,” suruh Naren agar Nasya tidak menahan tangisannya.

Nasya berteriak, ia meluapkan semua rasa sakitnya. Tidak peduli jika orang-orang akan menganggapnya aneh.

“Salah ya kalo Nasya jatuh cinta kak?”

“Salah Nasya nyaman sama kak Malvin? Kenapa Tuhan memisahkan kita!” Jerit Nasya.

Naren hanya diam, ia tidak menjawab apapun.

“Nasya hanya ingin hidup dan jatuh cinta terus bahagia Saman kak Malvin.”

“Ikhlasin ya ca?” Ucap Naren. “Mungkin Tuhan punya rencana lain untuk kamu.”

Memang rencana Tuhan tidak ada yang tau.

Namun kenapa Nasya harus mengalami ini? Nasya sangat benci perpisahan, disaat dia sudah menemukan cinta sejatinya, kenapa Tuhan malah memisahkan dirinya dengan cinta tersebut?

“Jo kok diem aja?” Tegur Bella.

Kini Bella dan juga Jonathan sedang makan di sebuah restoran mewah. Namun dari tadi di mobil sampai sekarang, Jonathan hanya diam tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.

“Jo?”

“Jonathan!” Panggil Bella dengan suara yang sedikit meninggi.

Jonathan tersentak kaget. “Ya Embun?” Jawabnya.

Bella mengerutkan dahinya. “Aku Bella, bukan Embun,” sahut Bella.

Jonathan baru saja tersadar. “Ahh maaf, kenapa bel?”

“Kamu masih aja inget sama cewe gak jelas itu?”

“Maksud kamu?” Tanya Jonathan tidak terima.

“Udahlah Jo, jelas-jelas ada aku yang lebih dari Embun disini!”

Jonathan tertawa mendengar penuturan Bella barusan. “Cewe gak jelas? Terus kamu apa hm?” Jonathan meletakkan alat makannya dengan kasar.

“Saya pulang, kamu pulang sendiri,” ucap Jonathan tegas bangun dari duduknya.

“Jonathan!” Bentak Bella.

“Kamu ngerusak nafsu makan saya, jangan buat saya makin jijik sama kamu,” ucap Jonathan lalu segera pergi dari sana, meninggalkan Bella seorang diri.

Bella merasa kesal, ia mengepalkan tangannya. “Semua gara-gara Embun!”

“Gimana dok? Embun bisa buktiin kan, bahwa Embun bisa bertahan, Embun bakalan buktiin kalo dokter salah diagnosis, itu biasa terjadi kan?” Kata Embun bangga atas perjuangannya selama ini.

Dokter Keenan yang sudah sangat menghadapi keras kepalanya Embun, kini tidak bisa lagi berkata-kata.

“Tapi ada baiknya kamu dirawat untuk gangguan kanker dan radiaksi Embun,” sahut dokter Keenan pasrah.

Embun menggelengkan kepalanya, dan yakin bahwa dirinya baik-baik saja.

“Dengan vitamin dan juga obat dari dokter, Embun bakalan baik-baik saja sampai 5 tahun kedepan,” tolak Embun.

Dokter Keenan menghela nafas, kini ia sungguh sudah pasrah dengan Embun.

“Yang saya lakukan semuanya hanya untuk kebaikan kamu Embun.”

“Embun takut dok, Galaxy masih kecil, Embun masih kuat sampe nanti Galaxy sudah bisa mengenal dunia.” Dari hati kecil Embun, dia tau bahwa apa yang didiagnosa oleh dokter itu benar, dan ia mengalami gejala-gejala yang pernah dibilang oleh dokter, namun ia tetap menahannya. Ia masih ingin merawat Galaxy dengan tangannya sendiri.


Embun keluar dari ruangan dokter Keenan dengan perasaan bahagia, walaupun ia harus berdebat kecil dengan dokter Keenan, lagi-lagi ia menang atas perdebatan itu.

Di perjalanan, tak sengaja Embun melihat seseorang yang ia kenal memasuki ruangan dokter Tristan.

Orang itu adalah Bella, sahabat Jonathan mantan suaminya.

“Apa Bella hamil?” Monolog Embun. “Hamil anaknya Jonathan?” Sambungnya dengan nada kecil, dada Embun tiba-tiba saja merasa sakit tidak seperti biasanya.

“Hufftt ayolah Embun, ikhlasin.”


“Hayoloh abang mau kemana.” Sandy sedang becanda dengan Galaxy.

Layaknya ayah dan anak, Galaxy sama sekali tidak takut dengan Sandy. Malah dirinya lebih banyak tertawa dengan Sandy dibandingkan dengan Embun.

“Sini-sini anak om papa, jangan jauh-jauh,” ucap Sandy seraya meraih Galaxy yang kini sedikit demi sedikit bisa merangkak.

Sandy menggendong bayi kecilnya itu, lalu ia mengangkat Galaxy tinggi-tinggi.

Galaxy tidak takut, malah ia sangat senang. Melihat ekspresi senang Galaxy, Sandy berinisiatif melempar Galaxy ke atas, tentu saja dengan pelan, ia tidak akan menyakiti bayi kecil kesayangannya itu.

“Ihhh kak!” Seru Embun yang baru saja tiba di apartemennya. “Jangan dilempar-lempar!” Bentak Embun yang tadi melihat aksi Sandy.

Bukannya merasa bersalah Sandy malah tertawa bersama dengan Galaxy. “Bunda galak ya nak,” kata Sandy berbicara dengan Galaxy.

Bayi kecil itu seakan-akan mengerti apa yang diucapkan oleh Sandy, ia tertawa dengan keras.

“Ihhh kok malah diketawain bundanya!” Rengek Embun tidak terima.

Embun menghampiri Galaxy dan juga Sandy, ia mengecup pipi gembul Galaxy yang dipenuhi dengan air liurnya.

“Maaf ya bunda pulangnya lama, gemessss banget anak bunda.”

“Aku?” Tanya Sandy.

Fokus Embun yang tadi ke Galaxy kini beralih ke Sandy. “Aku?”

“Cium juga,” pinta Sandy tak mau kalah dengan Galaxy.

“Ihhh gamau, wleeek,” ejek Embun.

“Yaudah aku aja yang cium,” sahut Sandy tiba-tiba mendekati wajah Embun.

Refleks Embun menjauh, dan segera meraih Galaxy yang ada di gendongan Sandy.

“Masih ada abang ih!” Protes Embun.

“Yaudah mau juga.”

“Yaudah sini,” jawab Embun mengalah.

Ia segera berjinjit hendak mengecup pipi kanan Sandy. Namun tiba-tiba saja Sandy mengalihkan pandangannya.

Cup

Yang tadinya sasaran Embun adalah pipi Sandy, kini bibir Embun malah mendarat di bibir Sandy.

Dengan cepat Embun menjauh dari Sandy, merasa kesal karena telah dikerjain.

“Ihh kak!”

Sandy tertawa penuh kemenangan, ia senang bukan karena ciuman itu, namun karena berhasil menggoda Embun dan melihat wajah Embun memerah.

“Udah ah! Nyebelin, Embun mau bobo siang aja sama abang,” kesal Embun seraya melangkahkan kakinya menuju kamar.

Sandy tidak berhenti tertawa melihat tingkah Embun yang sedang malu.

Kini Sandy seorang diri di ruang tengah. Ia tidak pernah masuk ke kamar Embun, walaupun Embun dan dirinya sudah dekat. Kecuali Embun menyuruhnya untuk membantu mengurus Galaxy.

Tiba-tiba saja mata Sandy beralih ke handphonenya yang berbunyi. Sebuah panggilan dari Ocha.

“Abang udah tidur,” kata Embun yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya.

Dengan cepat Sandy mematikan panggilan masuk di handphonenya.

“Sini,” jawab Sandy seraya merentangkan kedua tangannya.

“Loh Ara, sendiri aja?” Tanya Embun yang baru saja keluar dari toilet dan melihat Ara baru saja tiba di apartemennya.

Tentu saja Embun tidak kenapa-kenapa, itu hanya kebohongan Ara dan Hujan agar Sandy pulang.

“Hehehe gak kok kak, nanti juga ada yang dat-”

“Embun!” Teriak seseorang yang baru saja tiba di apartemen Embun, menyelonong masuk tanpa salam.

“Tuhkan dateng,” ucap Ara menyambung ucapannya yang sempat terpotong.

“Kak Sandy?” Embun kaget karena Sandy tiba-tiba saja datang dengan panik.

Grep

Sandy memeluk Embun dengan erat, Embun hanya diam tanpa ada perlawanan. Hujan dan Ara yang melihat tersebut hanya senyum penuh kemenangan.

“Kamu gpp?” Tanya Sandy dengan nada khawatir.

Embun menggeleng, ia menatap mata Sandy yang berkaca-kaca. “Embun kenapa?” Tanya Embun balik.

Sandy terheran, bukannya Embun menjawab malah bertanya balik?

“Kata Hujan kamu kepeleset di kamar mandi,” jawab Sandy tegas.

Pelaku yang namanya baru saja disebut dengan cepat melarikan diri dari sana. Mereka berdua masuk ke kamar Embun, tidak lupa mengunci pintunya.

Namun Embun merasa takut sekarang, ekspresi dan juga nada bicara Sandy seperti sangat marah, tatapan matanya lebih tajam dari biasa.

“Maaf kak,” ucap Embun meminta maaf atas kejahilan adiknya. “Embun gak pernah suruh Hujan, mungkin ini salah Embun juga sehabis Embun chat kakak, Embun jadi cuekin Hujan.”

Sandy menghela nafas lega, walaupun ia sangat marah karena kebohongan Hujan. Namun ia lega karena Embun baik-baik saja.

“Maaf.”

Embun menyeringitkan dahinya, seakan-akan bertanya kenapa kak Sandy minta maaf?

“Maaf, tadi aku bohong,” jujurnya.

“Bohong?”

Sandy mengangguk, ia menunduk merasa bersalah kepada Embun.

“Tadi aku bukan kerja, tapi tadi aku ketemuan sama mantan aku,” lanjutnya mengakui kesalahannya.

Embun terdiam, ia tidak tau untuk menjawab apa. Haruskah dirinya cemburu atau marah?

“Mantan?”

Sandy mengangguk.

Embun tertawa melihat ekspresi Sandy yang terlihat seperti sedang ketakutan.

“Ya gpp kak, aku gak larang kakak ketemu sama siapa. Bebas kak,” tutur Embun dengan tenang.

Sandy merasa heran, kenapa Embun tidak marah terhadap dirinya?

“Gak marah?”

Embun menggeleng.

“Embun gak punya hak, ya walaupun Embun sedikit kecewa karena kakak bohong-”

“Tapi ya itu hak kak Sandy, Embun bisa apa?”

Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Sejujurnya Embun sakit hati karena Sandy berbohong, bukan karena Sandy yang baru saja jumpa dengan mantannya.

“Maaf,” ucap Sandy lagi.


“Tuhkan bener apa kata Ara! Mana beneran mantannya,” sentak Ara ke Hujan.

Mereka berdua sedang menguping obrolan orang dewaa di luar sana.

“Sepertinya kita harus hati-hati captain!” Seru Hujan.

“Benar sekali! Captain akan selalu memantau, pasang mata kita dimana-mana, siapkan peluru!”

Mereka berdua berjabat tangan, dan kembali menyusun rencana agar tidak terjadi apa-apa ke Embun dan juga Sandy.

“Yeayy habis susunya,” seru Embun ketika Galaxy baru saja menghabiskan asi yang sudah ia pompa sebelumnya.

“Pinter anak om papa,” puji Sandy seraya mengusap lembut kepala Galaxy.

Embun tersenyum bahagia melihat Sandy yang sangat menyayangi anaknya.

“Oh ya kak, Embun mau deh nanti Galaxy dipanggil abang, bukan Gala atau Galaxy.”

Sandy menatap mata Embun. “Kenapa gitu?” tanya Sandy.

“Ya kalo sama kita tuh panggilnya abang aja, kalo sama orang yang baru dikenal, baru deh pake nama,” jawab Embun.

Sebenarnya tidak masalah bagi Sandy, apapun keputusan Embun, itu semua hak dirinya terhadap anaknya. Namun disisi lain Sandy merasa senang karena merasa dihargai layaknya ayah dari Galaxy.

Sandy mengangguk setuju. “Boleh, abang tidur lagi hm?”

Embun tertawa ketika melihat Galaxy tertidur di pangkuannya.

“Ah iya, berarti kalo dipanggil abang, harus ada adek dong?” Tanya Sandy.

Pertanyaan dari Sandy membuat Embun malu dan salting. “Kan gak harus kak,” sanggahnya.

Sandy terkekeh, mengacak-acak rambut Embun gemas. “Gemes banget mukanya udah kayak tomat,” goda Sandy.

“Ihhhh apasih kak!” Kesal Embun.

Sandy merasa senang ketika ia berhasil membuat Embun malu atas godaannya. Mungkin itu akan menjadi hobi baru bagi dirinya.

“Habis ini mau kemana lagi Bun?” Tanya Sandy.

Embun tersentak karena mendengar Sandy memanggil dirinya dengan Bun namun Embun berusaha positif mungkin singkatan dari Embun.

“Eumm kemana aja boleh,” jawab Embun.

Sandy mengangguk paham, untung saja Embun tidak menjawab dengan kata terserah, bisa habis dirinya.

“Aku bawa ke pelaminan mau?”

Pertanyaan tersebut berhasil membuat Embun misuh-misuh sampai akhirnya Galaxy terbangun dan menangis, bukannya merasa bersalah Sandy malah tertawa puas karena lagi-lagi berhasil menggoda Embun.

Malam ini adalah malam paling bahagia bagi Jonathan. Setelah hal-hal berat menimpanya, kini ia akan menjemput kebahagiaannya kembali.

Setelah mendapatkan dimana apartemen Embun berada. Tanpa membuang-buang waktu Jonathan segera bergegas kesana.

Namun sebelum itu ia membeli bunga Matahari, bunga yang sangat Embun sukai.

Selama menyetir Jonathan tidak pernah sedetikpun melunturkan senyumnya. Ia benar-benar bahagia. Sesekali ia melihat ke arah bunga matahari yang ada di kursi pengemudi.

Bunga matahari yang mengingatkan masa-masa indah dirinya dahulu bersama Embun.

“Kali ini, saya tidak akan melepaskan kamu lagi Embun,” ucap Jonathan tegas.


Jonathan sedikit lega ketika melihat apartemen yang ditempati oleh Embun termasuk apartemen yang mewah.

Jonathan melangkahkan kakinya, lagi dan lagi ia tidak melunturkan senyumnya. Ia membayangkan betapa bahagianya saat nanti ia kembali membawa Embun ke pelukannya.

Hanya beberapa langkah lagi sampai, jantung Jonathan berdebar begitu cepat, merasakan kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Tiba-tiba langkah Jonathan terhenti, ia melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di depan pintu apartemen Embun.

Seseorang yang tidak pernah ia kira akan berada di sana.

Seseorang itu adalah Sandy, Sandy Arkananta, yang beberapa bulan lalu dikenalkan sebagai adik tirinya.

Langkah Jonathan berat, tanganya yang tadi memegang bunga matahari kesukaan Embun kini melemah, senyum yang sedari tadi mengembang seketika menghilang.

Dengan kedua matanya sendiri, Jonathan melihat Sandy mencium bibir Embun yang baru saja keluar dari apartemennya.

Jonathan tidak melihat perlawanan dari Embun, sampai beberapa saat kemudian Jonathan melihat Embun memeluk Sandy dengan sangat erat.

Air mata Jonathan jatuh bersamaan dengan kedipan matanya. Hatinya terasa sakit.

Hancur.

Semuanya hancur, harapan, ekspetasi dan juga rencana indah yang telah Jonathan bayangkan semuanya kini harus ia kubur dalam-dalam.

Jonathan kembali melihat Embun menggenggam tangan Sandy, dan menarik Sandy masuk ke dalam Apartemennya dengan senyum bahagia di wajah cantik Embun.

Tangan yang dulunya selalu digenggam oleh Jonathan, senyum yang dulu selalu ia lihat ketika ia letih, kini sudah berpindah.

“Saya terlambat?”

Jonathan tersenyum tipis, walaupun hatinya sakit, ia sedikit bahagia ketika melihat Embun sudah bisa tersenyum dengan bebas lagi.

Embun sudah menemukan kebahagiaannya, kini tinggal Jonathan yang harus pergi dari zona nyamannya, dan menemukan kebahagiaannya sendiri.

Jonathan membalikkan badannya, ia melangkah menjauh dari sana. Dengan langkah yang pelan karena kakinya yang bergetar lemah.

“Selamat tinggal Embun,” lirih Jonathan lembut.

Kalimat yang sangat ia benci kini harus keluar dari bibirnya.


Jonathan benar-benar pergi dari sana, ia kembali ke rumahnya.

Walaupun dengan perasaan yang sangat sakit, ia harus merelakan itu semua.

Di depan pintu rumah Jonathan, Bella sudah menunggu dirinya sedari tadi.

Jonathan berhenti tepat di depan Bella, dengan mata yang sembap karena habis menangis, ia menatap mata Bella. Kemudian ia menjatuhkan kepalanya di pundak Bella.

Bella tau sekarang Jonathan sedang tidak baik-baik saja, baru kali ini ia melihat Jonathan menangis.

“Luapin aja semua Jo, i'm here. Aku disini buat kamu, sebagai sahabat,” ucap Bella menenangkan Jonathan.

Jonathan terisak di pelukan Bella, ia benar-benar meluapkan semua emosinya.

“Saya benar-benar harus melepaskan Embun seutuhnya,” lirih Jonathan.

Bella tidak senang mendengar hal tersebut, walaupun Bella sangat terobsesi dengan Jonathan, bukan berarti ia menginginkan Jonathan jatuh seperti ini.

Saat dulu Bella mengatakan bahwa dirinya akan berubah, itu adalah hal yang sungguh-sungguh.

“Masuk yuk?” Ajak Bella. “Aku bakalan dengerin semua keluh kesah kamu Jo,” sambungnya.

Jonathan mengangguk. “Saya gak salah kan Bell?” Tanya Jonathan.

Bella menggeleng. “Enggak, gak ada yang salah disini,” jawabnya dengan lembut lalu mengajak Jonathan untuk masuk ke rumahnya.


“Maaf,” ucap Sandy yang masih memeluk Embun dengan erat.

Embun terkekeh. “Maaf buat yang mana nih? Yang nyosor atau yang mana?” Tanya Embun sedikit menggoda Sandy.

“Dua-duanya.”

Embun mengangguk, dan tersenyum. “Iya kak, udah ih lepas, capek peluk terus,” keluh Embun.

Namun bulannya dilepas, Sandy makin mempererat pelukannya. “Aku gak akan ninggalin kamu, janji,” ucapnya sungguh-sungguh.