Panglimakun

Dinginnya angin malam bukan hambatan bagi Juinara Kalandra, atau singkatnya Nara, untuk tetap keluar dari rumah.

Hari ini seperti biasa ia memilih untuk keluar dari rumah karena alasan yang sama. Ya, karena rumah yang tidak nyaman. Padahal tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Kedua orang tuanya yang kini entah kemana, serta abangnya yang kini sedang sibuk bekerja.

Nara terus melangkahkan kakinya, hingga tanpa ia sadari kini ia sudah sampai di pinggir sebuah sungai yang tidak jauh dari rumahnya.

Tidak ramai orang berlalu lalang di sana, hanya ada beberapa kendaraan saja. Namun, netra Nara tertuju pada seseorang yang tidak jauh dari hadapannya. Karena Nara adalah gadis yang penasaran, tanpa ragu dia melangkah mendekat.

Nara mengerutkan keningnya saat melihat siapa orang itu. Kalau tidak salah dia Julio, ah Nara ragu apa dia Julian? Yang pastinya dia adalah salah satu dari murid kembar di sekolahnya.

“Kalo lo mau nyebur kemungkinan lo mati delapan puluh persen, dan dua puluh persennya lo selamat tapi sial,” ucap Nara tanpa ragu saat dia sudah berdiri di samping orang itu.

“Lo Alaska Julio, 'kan?” tanya Nara menerka-nerka, Nara hanya menerka dari cara dia berpakaian dan juga ekspresi wajah yang ditunjukan.

Karena Julio tidak pernah tersenyum dan Julian lebih ramah.

“Lagian sebesar apapun masalah lo, jangan pernah berhenti atau mengakhiri semuanya,” kata Nara menasihati Julio. Karena dirinya sendiri memegang teguh pada kalimat itu.

Nara membalikkan tubuhnya hingga kini dia bersandar pada pagar pembatas sungai, dan tubuhnya menghadap ke jalanan.

“Gelap di bawah sana, gak takut?” tanya Nara tidak lupa dia menatap Julio, walaupun Julio tidak membalas tatapannya.

“Jangan geer, ya, gue nyamperin lo karena gue kenal lo, sih.”

“Takut?”

Nara membelalakkan matanya saat Julio menanggapi pertanyaan ia sebelumnya dengan kata takut.

“Ya ... Takut ...”

Julio tidak menanggapinya lagi, hingga membuat Nata kebingungan. Namun, Julio sedikit mengangkat bibirnya hingga membentuk seringai.

Julio kembali menundukkan kepalanya hingga ia kembali melihat gelapnya air yang menggenang di bawah sana.

Hingga hembusan napas kasar Nara menyadarinya.

“Well, apapun yang lagi lo hadapi, tetep jalani, walaupun sakit seakan-akan lo lagi jalan di atas matahari panas.”

Kalimat terakhir yang Nara ucapkan sebelum dia pergi meninggalkan Julio yang masih mematung di sana.

Dinginnya angin malam bukan hambatan bagi Juinara Kalandra, atau singkatnya Nara, untuk tetap keluar dari rumah.

Hari ini seperti biasa ia memilih untuk keluar dari rumah karena alasan yang sama. Ya, karena rumah yang tidak nyaman. Padahal tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Kedua orang tuanya yang kini entah kemana, serta abangnya yang kini sedang sibuk bekerja.

Nara terus melangkahkan kakinya, hingga tanpa ia sadari kini ia sudah sampai di pinggir sebuah sungai yang tidak jauh dari rumahnya.

Tidak ramai orang berlalu lalang di sana, hanya ada beberapa kendaraan saja. Namun, netra Nara tertuju pada seseorang yang tidak jauh dari hadapannya. Karena Nara adalah gadis yang penasaran, tanpa ragu dia melangkah mendekat.

Nara mengerutkan keningnya saat melihat siapa orang itu. Kalau tidak salah dia Julio, ah Nara ragu apa dia Julian? Yang pastinya dia adalah salah satu dari murid kembar di sekolahnya.

“Kalo lo mau nyebur kemungkinan lo mati delapan puluh persen, dan dua puluh persennya lo selamat tapi sial,” ucap Nara tanpa ragu saat dia sudah berdiri di samping orang itu.

“Lo Alaska Julio, 'kan?” tanya Nara menerka-nerka, Nara hanya menerka dari cara dia berpakaian dan juga ekspresi wajah yang ditunjukan.

Karena Julio tidak pernah tersenyum dan Julian lebih ramah.

“Lagian sebesar apapun masalah lo, jangan pernah berhenti atau mengakhiri semuanya,” kata Nara menasihati Julio. Karena dirinya sendiri memegang teguh pada kalimat itu.

Nara membalikkan tubuhnya hingga kini dia bersandar pada pagar pembatas sungai, dan tubuhnya menghadap ke jalanan.

“Gelap di bawah sana, gak takut?” tanya Nara tidak lupa dia menatap Julio, walaupun Julio tidak membalas tatapannya.

“Jangan geer, ya, gue nyamperin lo karena gue kenal lo, sih.”

“Takut?”

Nara membelalakkan matanya saat Julio menanggapi pertanyaan ia sebelumnya dengan kata takut.

“Ya ... Takut ...”

Julio tidak menanggapinya lagi, hingga membuat Nata kebingungan. Namun, Julio sedikit mengangkat bibirnya hingga membentuk seringai.

Julio kembali menundukkan kepalanya hingga ia kembali melihat gelapnya air yang menggenang di bawah sana.

Hingga hembusan napas kasar Nara menyadarinya.

“Well, apapun yang lagi lo hadapi, tetep jalani, walaupun sakit seakan-akan lo lagi jalan di atas matahari panas.”

Kalimat terakhir yang Nara ucapkan sebelum dia pergi meninggalkan Julio yang masih mematung di sana.

Prolog

If I turn back time, I just want to hug you.

tw // self harm , blood


Dera Juankala, anak sulung serta Abang satu-satunya bagi Juinara Kalandra, kini dia baru saja tiba di rumah orang tuanya kembali—setelah beberapa tahun memutuskan untuk tinggal di rumahnya sendiri.

Dera yang baru saja menikmati kesuksesan karirnya, kini harus kembali lagi ke rumah yang terus dia hindari itu, hanya demi Nara, adik satu-satunya yang selama ini dia abaikan secara tidak sengaja.

Wajah Dera begitu panik ketika dia sampai di depan rumahnya itu. Rumah itu tampak sepi dan berantakan. Banyak pecahan vas bunga yang berserakan di lantai.

“Nara,” panggil Dera sedikit berteriak, Dera berharap Nara menyambutnya seperti yang Nara lakukan ketika Dera pulang dari sekolah dulu.

Namun sayangnya Nara tidak melakukan itu sekarang, bahkan gadis kecil itu tidak menyahuti panggilan dari Dera.

Dera menaruh kecemasan di benaknya, apalagi setelah pesan terakhir yang dikirimkan oleh Nara.

Tangan Dera tertahan saat dia ingin membuka kenop pintu kamar Nara, dia seakan belum siap untuk melihat apa yang sedang terjadi. Namun, sedikit berharap semuanya baik-baik saja.

“Nara ... Abang pulang, kamu mau ikut Abang, 'kan? Abang udah pulang, Nara,” kata Dera ketika pintu kamar Nara terbuka.

Tidak ada siapapun di dalam sana, hati Dera seketika terasa sakit, dan dia semakin takut. Kamar Nara begitu berantakan, tidak seperti biasanya, Dera tahu Nara bukan anak yang berantakan.

Kaki Dera melangkah menuju kasur Nara yang sudah berantakan, dia duduk di sana. Dera melihat beberapa tumpukan novel yang sudah tersobek di atas sana.

Saat Dera sedang melihat kesekeliling, indera pendengaran Dera menangkap suara yang berasal dari kamar mandi. Segera Dera bangkit dan menuju ke sana.

Tanpa ragu Dera membuka pintu kamar mandi itu, saat dia mendengar suara gemercik air mengalir dari dalamnya.

“Nara!” Pekik Dera begitu kuat sambil melangkah ke dalam.

Bagaimana tidak, baru saja Dera melihat Nara yang sedang terduduk dengan tatapan kosong di bawah shower yang terus mengalirkan air membasahi tubuh gadis itu. Air yang mengalir dari shower berwarna jernih berubah menjadi merah ketika mengenai tangan Nara.

Di samping Nara juga tergeletak laptop dan juga beberapa sobekan kertas yang sudah basah.

“Nara ...,” panggil Dera lirih ketika dia kini sudah duduk di samping Nara—tidak lupa dia mematikan shower sebelumnya.

“Abang di sini.”

Nara tidak menjawab tatapannya masih kosong, namun Dera bisa melihat air mata mengalir dari mata gadis kecil di sampingnya.

Tidak peduli dengan tubuh Nara yang sudah basah, Dera menarik tubuh Nara ke dalam pelukannya, memeluk tubuh itu dengan begitu erat, pelukan yang seharusnya dia berikan sejak dulu.

“Kata mereka Nara gagal, Nara harusnya mati aja,” ucap Nara tanpa menoleh ke Dera seakan-akan dia sedang berbicara sendiri.

“Mereka siapa? Mereka bukan siapa-siapa kamu, Nara. Jangan didengar, ya. Nara sama sekali nggak gagal,” balas Dera menenangkan sang adik, walau dia tahu itu tidak akan berhasil.

“Papa sama Mama yang bilang begitu, Abang. Nara gagal, Nara enggak berguna, mereka menyesal.”

Nara menoleh hingga kini netra dirinya dengan Dera saling bertemu. Dera yang ditatap terdiam saat mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Nara.

“Menyesal karena punya anak seperti Nara.”

“Ada Papa di sini, Nak.”

tw // mention of bullying , self harm , darah , cutter


Saat itu dia masih menduduki kelas tiga sekolah menengah pertama. Dia, namanya Sanna Varrellia Khaisan, atau lebih dikenal dengan gadis murah senyum.

Dia sering dipanggil dengan panggilan San oleh semua orang, biar pendek saja. Bukan tanpa alasan San dikenal dengan gadis murah senyum, sebabnya satu komplek perumahan dia tahu kalau San adalah gadis murah senyum.

Setiap pagi atau setiap San keluar rumah dia akan selalu menyapa dengan senyuman ramahnya.

Namun, senyum itu hilang seketika, direnggut oleh kejamnya dunia kepada gadis tidak bersalah itu.

Malam itu gadis itu pulang seperti biasa ke rumahnya, setelah satu harian belajar di luar. San pulang dengan penampilan yang tidak biasanya, tidak ada senyum yang terukir, seragam sekolah yang sedikit berantakan.

Llilia—Mama San—merasa heran ketika gadisnya itu melaluinya begitu saja. Biasanya San akan menghampiri Llilia dan menceritakan semua kegiatannya hari ini, namun malam itu tidak ada. San terus melalui Llilia dengan tatapan kosongnya.

Llilia merasa heran pun segera menghubungi suaminya—Jeffery Khaisan— yang masih bekerja. Untung saja Jeffrey saat itu sedang dalam perjalanan pulang, jadi Llilia tidak begitu khawatir.

Llilia terus berusaha memanggil dan mengetuk pintu kamar San, namun tidak ada jawaban. Sampai akhirnya Jeffrey pun sampai di rumah, dengan cepat dia mendobrak pintu kamar San.

Jeffrey khawatir karena beberapa hari yang lalu San cerita kepadanya kalau dia hampir menjadi korban bullying. Saat mendapatkan laporan kalau San pulang dengan keadaan berantakan, Jeffrey semakin khawatir.

Pintu kamar San berhasil didobrak oleh Jeffrey, namun Jeffrey dan Llilia tidak menemukan San di dalamnya. Llilia melangkah menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar San.

Setibanya Llilia di depan pintu kamar mandi, kakinya membeku seketika.

“Mas!” teriak Llilia dengan begitu keras hingga menarik perhatian Jeffrey yang segera menghampirinya.

Tak kalah terkejutnya dengan sang istri, Jeffrey segera berlari ke dalam kamar mandi ketika mendapatkan San yang kini terduduk di bawah shower dengan air yang terus mengalir membasahi tubuh gadis kecil itu. Yang membuat mereka terkejut tidak hanya itu, tapi juga air yang mengalir di lantai kamar mandi berwarna merah, berasal dari darah yang mengalir dari lengan San, bercampur dengan air.

Jeffrey segera melepaskan jas yang dia kenakan, kemudian dia kenakan ke tubuh San, dan memapahnya segera keluar dari sana menuju tempat tidur.

“Ambil baju ganti, Ma,” titah Jeffrey yang segera dipatuhi oleh Llilia.

Jeffrey kembali fokus kepada San yang kini ada di pelukannya. San masih sama, masih dengan tatapan kosongnya.

“Kenapa? San kenapa? Ada yang jahatin kamu, Nak? Siapa?” Jeffrey memancing San dengan pertanyaan.

Namun percuma karena San tetap diam, hanya ada air mata yang mengalir dari matanya. Air mata itu membuat Jeffrey dan Llilia begitu sakit melihatnya.

Jeffrey kembali memeluk erat tubuh San, berusaha memberikan kehangatan dan juga keamanan untuk anaknya itu.

“Nggak apa-apa, ada Papa di sini, Nak.”

“Ada Papa.”

Seperti rencananya tadi, sebelum ke rumah sakit, Milla diantarkan terlebih dahulu ke tpu dimana Mamanya dimakamkan. Sepanjang perjalanan tidak banyak obrolan antara Milla dan Robert. Karena Robert sendiri bukan tipe orang yang suka ngoceh, dan Milla juga sedikit malas kalau ngoceh kalau tidak ditanggapi. Berbeda kalau ada Wisnu di sana, pasti suasananya akan lebih ramai.

Sesampainya di pemakaman, Milla menyuruh Robert untuk menunggu di mobil saja, karena Milla ingin waktu sendirian. Robert sebenarnya tidak mau, tapi demi menghargai permintaan Milla, dia menuruti Milla namun tidak menunggu di mobil melainkan menunggu tidak jauh dari Milla berada.

“Ma ... Milla datang lagi,” sapa Milla sembari jongkok di samping makam Mamanya.

“Suami Mama sama istrinya sakit karena keracunan. Jadi, terpaksa Milla jaga, 'kan?” ujar Milla melaporkan semua hal seperti biasanya.

“Mau gimana pun Milla tumbuh besar sama mereka. Ya, walaupun gak sebahagia sama Mama.” Milla tersenyum kecil.

“Bahkan jauh dari kata bahagia,” sambungnya.

Kembali mengingat saat dia masih umur enam belas tahun, Milla harus kehilangan Mamanya—satu-satunya orang tua kandung yang dia punya. Sulit bagi Milla untuk bertahan, apalagi Mamanya meninggal akibat bunuh diri. Banyak hal yang Milla lalui hingga dirinya tumbuh sampai sekarang.

“Milla gak pernah berhenti dibully dulu, Ma. Bahkan setelah Mama meninggal dan sampai sekarang,” ucap Milla lirih. Menyakitkan baginya kalau harus mengingat masa lalu.

“Tapi sekarang Milla udah terbiasa kok, Ma. Karena Mama suruh Milla ikhlas jalanin semuanya.”

Milla tersenyum walaupun hatinya begitu menyakitkan harus berbicara sendiri seperti ini.

“Milla sempat kepikiran gimana, ya, hidup Milla tanpa Mama? Kira-kira Milla jadi apa?” Milla menjeda ucapannya sejenak untuk mengambil napas yang mulai tidak beraturan.

“Milla bisa, Ma. Sekarang Milla jadi model terkenal, banyak yang sayang Milla, tapi masih banyak yang benci Mila. Tapi Milla harus terus ikhlas, kan, Ma?”

Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini menetes seketika. Sedikit demi sedikit semakin deras. Milla menangis karena merasa bangga dan juga tidak percaya dengan apa yang telah dia lalui sampai sekarang.

“Milla bisa saja benci ...,” kata Milla mulai terisak. “Tapi, kata Mama Milla harus ikhlas.”

Milla menenggelamkan wajahnya di antara kedua kaki yang kini dia peluk dengan kedua tangannya. Menumpahkan semuanya sendirian di sana.

Setelah di rasa tenang, Milla pun kembali menegakkan kepalanya untuk menatap makan Mamanya lagi.

“Terakhir, Ma, maaf.”

Kata Maaf itu tidak lupa dia ucapkan setiap kali dirinya mengunjungi makam sang Mama. Entah apa maksud dari kata maaf itu, tidak ada yang tahu kecuali Milla, bahkan Robert pun—yang kini sudah berdiri di belakang Milla—juga tidak tahu.

“Mama pasti bangga sama, lo,” ucap Robert sembari berjongkok di samping Milla, tangannya dia gunakan untuk mengusap kepala dan rambut Milla agar Milla tenang.

Milla menoleh hingga netra mereka saling bertemu. Milla mengangguk sambil tersenyum kecil, yang dibalas senyuman juga oleh Robert.

Kemudian Milla merogoh tas kecil miliknya dan mengeluarkan sebuah gantungan berbentuk paus kecil.

“Mama kasih ini ke gue terakhir kalinya, bahkan saat keadaan Mama gak baik-baik saja Mama masih nyiapin sesuatu buat gue, Rob.” Milla menatap gantungan paus itu yang ada di telapak tangannya.

Gantungan itu menjadi saksi bisu semua luka yang pernah terjadi. Setiap kali Milla menatapnya maka Milla seakan kembali ke masa menyakitkan itu.

“Mama lo masih ngejaga lo sampai sekarang dari itu. Tunjukin kalau lo memang bener-bener bisa ikhlas kayak yang Mama lo mau.”

Milla mengangguk lalu dia mengusap air matanya perlahan dengan tangannya. Gantungan paus itu kini dia gantung di tas kecil yang dia pakai.

“Milla selalu ikhlas, Ma.”


“Gue tinggal nggak apa-apa, 'kan?' tanya Robert ke Milla yang kini mereka sudah tiba di depan ruangan dimana kedua orang tua tiri Milla dirawat.

Milla mengangguk. “Santai bos!”

Robert tertawa kecil, padahal tadi Milla menangis tersedu-sedu, kini dia kembali riang begitu saja.

“Bawa yang gue kasih ke lo?”,

Milla kebingungan sejenak, sampai dia teringat apa yang dimaksud oleh Robert.

Dengan cepat Milla merogoh tas kecil yang dia pakai, mengeluarkan sebuah electric lighter dan juga pisau lipat yang berukuran kecil.

“Tusuk, bakar!”

“Bukan tusuk bakar, tapi gunain buat jaga-jaga.”

“Dih, kalo gue berhadapan langsung sama pembunuh, ya, gue bunuh lah dia.”

“Lo mau jadi pembunuh juga?”

Milla seketika terdiam. Benar juga, tapi aneh juga, dia diberi senjata tajam namun tidak boleh digunakan. Milla mau membantah tapi itu Robert, jadi yasudahlah.

“Ya ya. Yaudah sana, tolong tangkap pembunuhnya, ya, detektif Robert!”


Krek

Suara itu berasal dari dapur. Seorang pria bernama Jovas sedang memotong sayur-sayuran di dapurnya.

Dia terlihat begitu pandai menggunakan pisau, melihat potongan-potongan sayur yang begitu rapi. Bahkan ayam-ayam yang akan dia sajikan untuk pembeli pun terpotong dengan rapih.

“Haduh ... Pembunuhan pembunuhan lagi! Dia manusia atau bukan, sih, tidak berperikemanusiaan sekali! Buat orang-orang takut saja.”

Jovas menghentikan gerakan memotongnya saat mendengar ocehan dari Bu Namy—asisten yang bekerja di warung ayamnya.

Jovas menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum tipis dan melanjutkan kembali memotong sayur-sayuran yang ada di hadapannya, mengabaikan ocehan Bu Namy yang tiada hentinya.

Brak!

Jovas terkesiap saat sebuah ember besar diletakkan di sampingnya tiba-tiba.

“Pokoknya kamu harus hati-hati, ya, Jovas. Ibu gak mau kamu berhadapan sama manusia psikotes apa itu psikotek, lupa Ibu apa kata anak Ibu kemarin.”

Jujur Jovas tidak bisa menahan tawanya membuat dia harus mengeluarkan tawa kecil.

“Psychopath, Bu,” koreksi Jovas.

Jovas melepaskan sarung tangan yang dia kenakan kemudian mengambil alih mengangkat ember besar yang berisikan ayam-ayam di dalamnya.

“Ya, itu! Maklumlah ibu sudah tua,” kata Bu Namy sembari mengambil alih memotong sayur-sayuran yang tadinya menjadi pekerjaan Jovas.

Jovas menggelengkan kepalanya lagi. “Memang kenapa, Bu?”

Tak!

“Kamu gak tahu!” tanya Bu Namy dengan suara sedikit lantang, bahkan dengan suara ketukan pisau yang begitu keras.

Mendengarnya membuat Jovas terkejut tentu saja.

“Jovas belum check berita, Bu.”

“Padahal kamu tuh anak muda harusnya lebih tahu, anak saya saja tahu beritanya dari twitter apa itu namanya, itu lah.”

Jovas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Belakangan ini memang Jovas jarang sekali menonton berita dan juga membuka sosial media.

“Saya cuman follow BMKG, Bu,” jawab Jovas dengan suara kecil. Jovas sedikit malu mengucapkan itu, padahal pengikutnya di sosial media sudah banyak.

“Ya, itulah. Sepertinya beritanya masih ada, coba Ibu hidupnya televisi dulu.”

Bu Namy menyalakan televisi yang disediakan di dapur. Dan benar saja, ternyata berita pembunuhan itu masih disiarkan di sana.

Pembunuhan yang terjadi sekitar lima hari yang lalu ternyata. Jovas mengingat apa yang dia lakukan lima hari yang lalu, sambil mengerutkan keningnya. Kalau tidak salah dia sedang membunuh ayam-ayam yang akan jadi persediaan. Lebih tepatnya mengambil persediaan ayam.

Raut wajah Jovas berubah yang tadinya keningnya mengerut kini dia menunjukkan raut wajah datar, ketika mendengar headline news itu menyebutkan kalau berita diduga pembunuhan itu ada sangkut pautnya dengan berita pembunuhan yang sama tahun lalu.

Entah apa yang ada dipikiran Jovas hingga dia menatap berita itu dengan begitu serius, sampai panggilan dari pelanggan memecahkan keseriusannya dan kembali beraktivitas seperti semula. Namun, dengan bayang-bayang berita pembunuhan itu yang masih ada di kepalanya.

Seperti rencananya tadi, sebelum ke rumah sakit, Milla diantarkan terlebih dahulu ke tpu dimana Mamanya dimakamkan. Sepanjang perjalanan tidak banyak obrolan antara Milla dan Robert. Karena Robert sendiri bukan tipe orang yang suka ngoceh, dan Milla juga sedikit malas kalau ngoceh kalau tidak ditanggapi. Berbeda kalau ada Wisnu di sana, pasti suasananya akan lebih ramai.

Sesampainya di pemakaman, Milla menyuruh Robert untuk menunggu di mobil saja, karena Milla ingin waktu sendirian. Robert sebenarnya tidak mau, tapi demi menghargai permintaan Milla, dia menuruti Milla namun tidak menunggu di mobil melainkan menunggu tidak jauh dari Milla berada.

“Ma ... Milla datang lagi,” sapa Milla sembari jongkok di samping makam Mamanya.

“Suami Mama sama istrinya sakit karena keracunan. Jadi, terpaksa Milla jaga, 'kan?” ujar Milla melaporkan semua hal seperti biasanya.

“Mau gimana pun Milla tumbuh besar sama mereka. Ya, walaupun gak sebahagia sama Mama.” Milla tersenyum kecil.

“Bahkan jauh dari kata bahagia,” sambungnya.

Kembali mengingat saat dia masih umur enam belas tahun, Milla harus kehilangan Mamanya—satu-satunya orang tua kandung yang dia punya. Sulit bagi Milla untuk bertahan, apalagi Mamanya meninggal akibat bunuh diri. Banyak hal yang Milla lalui hingga dirinya tumbuh sampai sekarang.

“Milla gak pernah berhenti dibully dulu, Ma. Bahkan setelah Mama meninggal dan sampai sekarang,” ucap Milla lirih. Menyakitkan baginya kalau harus mengingat masa lalu.

“Tapi sekarang Milla udah terbiasa kok, Ma. Karena Mama suruh Milla ikhlas jalanin semuanya.”

Milla tersenyum walaupun hatinya begitu menyakitkan harus berbicara sendiri seperti ini.

“Milla sempat kepikiran gimana, ya, hidup Milla tanpa Mama? Kira-kira Milla jadi apa?” Milla menjeda ucapannya sejenak untuk mengambil napas yang mulai tidak beraturan.

“Milla bisa, Ma. Sekarang Milla jadi model terkenal, banyak yang sayang Milla, tapi masih banyak yang benci Mila. Tapi Milla harus terus ikhlas, kan, Ma?”

Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini menetes seketika. Sedikit demi sedikit semakin deras. Milla menangis karena merasa bangga dan juga tidak percaya dengan apa yang telah dia lalui sampai sekarang.

“Milla bisa saja benci ...,” kata Milla mulai terisak. “Tapi, kata Mama Milla harus ikhlas.”

Milla menenggelamkan wajahnya di antara kedua kaki yang kini dia peluk dengan kedua tangannya. Menumpahkan semuanya sendirian di sana.

Setelah di rasa tenang, Milla pun kembali menegakkan kepalanya untuk menatap makan Mamanya lagi.

“Terakhir, Ma, maaf.”

Kata Maaf itu tidak lupa dia ucapkan setiap kali dirinya mengunjungi makam sang Mama. Entah apa maksud dari kata maaf itu, tidak ada yang tahu kecuali Milla, bahkan Robert pun—yang kini sudah berdiri di belakang Milla—juga tidak tahu.

“Mama pasti bangga sama, lo,” ucap Robert sembari berjongkok di samping Milla, tangannya dia gunakan untuk mengusap kepala dan rambut Milla agar Milla tenang.

Milla menoleh hingga netra mereka saling bertemu. Milla mengangguk sambil tersenyum kecil, yang dibalas senyuman juga oleh Robert.

Kemudian Milla merogoh tas kecil miliknya dan mengeluarkan sebuah gantungan berbentuk paus kecil.

“Mama kasih ini ke gue terakhir kalinya, bahkan saat keadaan Mama gak baik-baik saja Mama masih nyiapin sesuatu buat gue, Rob.” Milla menatap gantungan paus itu yang ada di telapak tangannya.

Gantungan itu menjadi saksi bisu semua luka yang pernah terjadi. Setiap kali Milla menatapnya maka Milla seakan kembali ke masa menyakitkan itu.

“Mama lo masih ngejaga lo sampai sekarang dari itu. Tunjukin kalau lo memang bener-bener bisa ikhlas kayak yang Mama lo mau.”

Milla mengangguk lalu dia mengusap air matanya perlahan dengan tangannya. Gantungan paus itu kini dia gantung di tas kecil yang dia pakai.

“Milla selalu ikhlas, Ma.”


“Gue tinggal nggak apa-apa, 'kan?' tanya Robert ke Milla yang kini mereka sudah tiba di depan ruangan dimana kedua orang tua tiri Milla dirawat.

Milla mengangguk. “Santai bos!”

Robert tertawa kecil, padahal tadi Milla menangis tersedu-sedu, kini dia kembali riang begitu saja.

“Bawa yang gue kasih ke lo?”,

Milla kebingungan sejenak, sampai dia teringat apa yang dimaksud oleh Robert.

Dengan cepat Milla merogoh tas kecil yang dia pakai, mengeluarkan sebuah electric lighter dan juga pisau lipat yang berukuran kecil.

“Tusuk, bakar!”

“Bukan tusuk bakar, tapi gunain buat jaga-jaga.”

“Dih, kalo gue berhadapan langsung sama pembunuh, ya, gue bunuh lah dia.”

“Lo mau jadi pembunuh juga?”

Milla seketika terdiam. Benar juga, tapi aneh juga, dia diberi senjata tajam namun tidak boleh digunakan. Milla mau membantah tapi itu Robert, jadi yasudahlah.

“Ya ya. Yaudah sana, tolong tangkap pembunuhnya, ya, detektif Robert!”


Krek

Suara itu berasal dari dapur. Seorang pria bernama Jovas sedang memotong sayur-sayuran di dapurnya.

Dia terlihat begitu pandai menggunakan pisau, melihat potongan-potongan sayur yang begitu rapi. Bahkan ayam-ayam yang akan dia sajikan untuk pembeli pun terpotong dengan rapih.

“Haduh ... Pembunuhan pembunuhan lagi! Dia manusia atau bukan, sih, tidak berperikemanusiaan sekali! Buat orang-orang takut saja.”

Jovas menghentikan gerakan memotongnya saat mendengar ocehan dari Bu Namy—asisten yang bekerja di warung ayamnya.

Jovas menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum tipis dan melanjutkan kembali memotong sayur-sayuran yang ada di hadapannya, mengabaikan ocehan Bu Namy yang tiada hentinya.

Brak!

Jovas terkesiap saat sebuah ember besar diletakkan di sampingnya tiba-tiba.

“Pokoknya kamu harus hati-hati, ya, Jovas. Ibu gak mau kamu berhadapan sama manusia psikotes apa itu psikotek, lupa Ibu apa kata anak Ibu kemarin.”

Jujur Jovas tidak bisa menahan tawanya membuat dia harus mengeluarkan tawa kecil.

“Psychopath, Bu,” koreksi Jovas.

Jovas melepaskan sarung tangan yang dia kenakan kemudian mengambil alih mengangkat ember besar yang berisikan ayam-ayam di dalamnya.

“Ya, itu! Maklumlah ibu sudah tua,” kata Bu Namy sembari mengambil alih memotong sayur-sayuran yang tadinya menjadi pekerjaan Jovas.

Jovas menggelengkan kepalanya lagi. “Memang kenapa, Bu?”

Tak!

“Kamu gak tahu!” tanya Bu Namy dengan suara sedikit lantang, bahkan dengan suara ketukan pisau yang begitu keras.

Mendengarnya membuat Jovas terkejut tentu saja.

“Jovas belum check berita, Bu.”

“Padahal kamu tuh anak muda harusnya lebih tahu, anak saya saja tahu beritanya dari twitter apa itu namanya, itu lah.”

Jovas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Belakangan ini memang Jovas jarang sekali menonton berita dan juga membuka sosial media.

“Saya cuman follow BMKG, Bu,” jawab Jovas dengan suara kecil. Jovas sedikit malu mengucapkan itu, padahal pengikutnya di sosial media sudah banyak.

“Ya, itulah. Sepertinya beritanya masih ada, coba Ibu hidupnya televisi dulu.”

Bu Namy menyalakan televisi yang disediakan di dapur. Dan benar saja, ternyata berita pembunuhan itu masih disiarkan di sana.

Pembunuhan yang terjadi sekitar lima hari yang lalu ternyata. Jovas mengingat apa yang dia lakukan lima hari yang lalu, sambil mengerutkan keningnya. Kalau tidak salah dia sedang membunuh ayam-ayam yang akan jadi persediaan. Lebih tepatnya mengambil persediaan ayam.

Raut wajah Jovas berubah yang tadinya keningnya mengerut kini dia menunjukkan raut wajah datar, ketika mendengar headline news itu menyebutkan kalau berita diduga pembunuhan itu ada sangkut pautnya dengan berita pembunuhan yang sama tahun lalu.

Entah apa yang ada dipikiran Jovas hingga dia menatap berita itu dengan begitu serius, sampai panggilan dari pelanggan memecahkan keseriusannya dan kembali beraktivitas seperti semula. Namun, dengan bayang-bayang berita pembunuhan itu yang masih ada di kepalanya.

“Korbannya udah dibawa buat diotopsi.” Wisnu menyambut Robert yang baru saja tiba di TKP.

Sebuah rumah yang hanya ditempati oleh seorang wanita saja tiba-tiba menjadi TKP setelah seorang tetangga merasa aneh.

Menurut laporan wanita itu adalah seorang pekerja keras, dia biasanya akan berangkat pagi di waktu yang sama, dan pulang malam tidak lupa mengambil amplop surat di depan rumahnya.

Lima hari yang lalu dia melihat wanita itu seperti biasa, pulang malam dan tidak lupa membawa masuk surat yang sudah tergeletak di depan rumahnya. Anehnya dia tidak pernah melihat wanita itu lagi setelahnya dan surat-surat yang berdatangan tidak ada yang mengambil. Seakan-akan menandakan kalau wanita itu tidak keluar atau bahkan belum pulang.

Tetangganya itu melapor karena takut dengan berita pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini, apalagi dia adalah seorang wanita. Dan ternyata setelah pihak kepolisian masuk ke rumah wanita itu, wanita itu sudah terendam di dalam bathub tidak sadarkan diri.

“Ada jejak?” tanya Robert dengan mata yang kini dia gunakan untuk melihat ke sudut-sudut TKP.

Wisnu menggeleng kakinya mengikuti langkah Robert yang tengah menyusuri TKP.

“Kayaknya bunuh diri,” kata Wisnu menduga.

Robert menghentikan langkahnya kemudian membalikkan tubuhnya hingga dia dapat menatap Wisnu.

“Cctv?”

Wisnu menggeleng lagi. “Cctv rusak sejak satu Minggu yang lalu, dan waktu terakhir dia terlihat di daerah sini sama sekali gak ada kendaraan.”

Robert menghela napas panjang. Posisi TKP yang terlalu masuk ke dalam lorong gang, hingga susah untuk petugas kepolisian mengumpulkan bukti. Namun mereka tentu tidak akan berhenti, bukan.

“Bake sama yang lainnya udah nyebar buat nanya-nanya ke sekitar.”

Robert mengangguk kemudian dia kembali menyusuri setiap sudut TKP. Matanya begitu tajam, tidak mau meninggalkan satu titik sudut pun.

Tiba-tiba mata Robert menangkap sesuatu yang begitu mencurigakan, segera dia melangkah ke sana. Tidak jauh dari bathub dimana korban ditemukan, Robert melihat abu rokok. Melihat itu Robert merasa tidak asing.

“Wis, coba ke sini,” panggilnya.

Tanpa menunggu lama Wisnu pun menghampiri Robert, dia juga ikut berjongkok di samping Robert.

“Inget kasus terduga pembunuhan tiga bulan yang lalu?” tanya Robert.

Wisnu terdiam sejenak sebelum dia mengangguk, kemudian terkesiap ketika mengingatnya.

Robert mengambil sedikit abu rokok itu menggunakan jari telunjuk yang telah dibaluti oleh sarung tangan.

“Kayaknya ini bukan bunuh diri, Wis.”

“Sepi amat rumahnya,” kata Yan membuka topik pembicaraan.

Sekarang aku dengan Yan dan Gisel sudah sampai di rumah. Aku bawa mereka ke ruang tamu, awalnya aku ingin sekali mengajak mereka ke kamar, ya, kerja kelompok di kamar.

“Lo gak takut, Zel?” tanya Yan.

Aku menggeleng. “Gue sering pulang malam, jadi gak banyak aktifitas di rumah.” Lagian aku di rumah cuman tidur selebihnya aku menghabiskan waktu di tempat les.

“Lagian apa yang harus ditakutin, dasar cupu lo, Yan,” cicit Gisel dengan nada bercanda.

Aku tertawa mendengarnya, begitu juga dengan Gisel. Yan yang jadi topik ejekan merasa kesal, namun tidak membalas ejekan Gisel.

Kemudian kami memulai kegiatan utama kami. Ya, mengerjakan tugas kelompok tentu saja.

Biasanya dulu kalau tugas kelompok seperti ini aku satu kelompok sama Rainan, Jovan sama Navan, jadi aku cuman diam dan menerima hasilnya. Kalau sekarang aku harus ikut serta dari awal.

Untungnya Yan dan Gisel banyak membantu, jadi tidak terlalu susah.

“Enakan di sini atau di panti, Zel?” tanya Yan tiba-tiba.

Aku yang sedang fokus pun terkejut mendengar pertanyaan Yan. Kalau boleh jujur aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Di sini, sih,” jawabku berbohong. Karena setelah dijalanin tidak seenak angan-angan ku.

Yan mengangguk, terus dia kembali bertanya, “Lo gak kangen sama panti, Zel?”

“Kangen lah pasti.”

“Karena udah jauh, ya.”

Aku mengangguk membenarkan.

“Sebenarnya bukan karena udah jauh,” kata Gisel, menarik perhatianku dan Yan.

“Gue pernah dibilang sama seseorang. Semakin kita tumbuh, semakin rindu.”

Aku sedikit geli sama pemilihan katanya, tapi ada benarnya juga. Semakin bertumbuh dan bertambahnya usia, merindukan masa-masa lalu begitu sering terjadi.

“Kata-katanya sedikit alay, tapi ada benarnya juga,” balasku.

Yan dan Gisel sontak tertawa.

“Gak heran, sih, yang bilang begitu orangnya memang alay, terus aneh,” ujar Gisel.

Mendengarnya saja aku sudah bisa menggambarkan sosok orang itu, mungkin aneh seperti Rainan.

“Tapi sekarang dia udah gak sama kita lagi,” kata Gisel terdengar lirih, dia menatap Yan yang terlihat sedih dengan perkataan Gisel.

Aku mengernyit tidak paham. “Maksudnya?”

“Dia diadopsi sama keluarga kaya raya, sekarang menghilang, gak ada kabar, kita juga gak tahu dia masih hidup atau enggak,” jawab Gisel.

Entah mengapa tiba-tiba aku menjadi takut. Seseorang itu sama seperti Rainan, Jovan dan Navan. Menghilang begitu saja.

Terhitung sudah hampir dua bulan setelah Johnny resmi bercerai dengan Karin. Rumah benar-benar hancur, bukan hancur karena berantakan barang-barang, tapi hancur karena Johnny yang kini seakan kehilangan arah.

hari ini Hazel tepat hari dimana Hazel akan menginjak usia lima tahun, tentu bagi anak kecil ulang tahun itu adalah hari yang mereka tunggu-tunggu. Namun, tidak bagi Hazel, dia sama sekali tidak tertarik dengan perayaan ulang tahun.

Namun bagi Johnny ini adalah hari yang tepat untuk dia semakin dekat dengan Hazel. Bahkan disaat seperti ini pun, dia tetap akan merayakan ulang tahun Hazel, walaupun dengan perayaan sederhana.

Johnny pulang dengan sebuah kue ulang tahun berukuran sedang di tangannya. Setelah dia turun dari motornya, dia berpas-pasan dengan art yang dipekerjakan oleh Jay untuk menjaga dan mengurus anak-anak Johnny, selagi Johnny kerja.

Biasa akan ada Ran yang menunggu di depan pintu, namun setelah kepergian Karin, Ran tidak lagi menunggu pulangnya Johnny. Dan Johnny pun tidak memperrdulikan hal itu.

“Hazel,” panggil Johnny kala melihat Hazel akan beranjak dari ruang tamu. “Jangan pergi dulu, ayah bawa kue buat kamu.”

Hazel pun mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana, awalnya Hazel berniat untuk ke kamar.

Johnny melangkahkan kakinya, dan duduk di samping Hazel. Tidak lupa Johnny memberikan senyumnya kepada Hazel, tidak peduli seberapa susahnya dia untuk memberikan senyum itu.

Tidak lupa Johnny membuka kotak kue yang dia bawa pulang. Sama seperti ulang tahun sebelumnya, Hazel tidak pernah menunjukkan ekspresi lebih kala Johnny menyiapkan ini semua untuknya.

Setelah membukakan kotak kue itu, Johnny menolehkan pandangannya menghadap Hazel. “Kamu suka?”

Hazel hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara sebagai jawaban.

“Selamat ulang tahun anak Ayah, maafin Ayah masih belum bisa beliin kamu hadiah, ya.”

“Hazel tidak minta, Ayah. Terima kasih,” kata Hazel, sedikit menyayat hati Johnny.

Johnny tidak menanggapinya lagi, dia sendiri bingung bagaimana caranya agar dia dekat dengan Hazel, terlebih setelah keadaan seperti ini. Hazel tidak banyak bicara seperti Maraka apalagi Ran, sebab itu Johnny takut kalau nanti hubungannya dengan Hazel tidak baik-baik saja kedepannya.


Di sisi lain Maraka sedang menemani Ran di kamar mereka, sebisa mungkin Maraka mengalihkan fokus Ran agar tetap bermain di kamar dengannya. Karena Mara tahu hari ini adalah hari ulang tahun Hazel, Mara tidak mau terjadi apa-apa kalau Ran nantinya ikut serta di luar.

Setelah melihat Johnny memukul Ran, Maraka jadi khawatir dengan Ran, namun, dia sama sekali tidak tahu harus berbuat apa terhadap Ran.

“Abang,” panggil Ran.

“Ya?”

“Benci itu apa?” tanya Ran sambil mengingat kembali kalimat yang pernah Johnny katakan padanya. Gadis itu masih saja mengingat kalimat itu, karena dia sama sekali tidak memahaminya. Dan sekarang dia mempunyai keberanian untu bertanya.

Maraka yang ditanya sedikit bingung menjawab seperti apa. Di saat dia sendiri juga belum begitu menguasai banyak kosa kata.

“Hm ... Benci itu sayang?”

“Jadi Ayah sayang sama Ran?”

Mara mengangguk dengan yakin. “Tentu!”

“Ran juga sayang sama Ayah! Terima kasih Ayah karena sudah sayang sama Ran!” Ran tersenyum dengan begitu lebar dan begitu polos, dia sama sekali tidak tahu apa yang baru saja dia ucapkan dan dia dengar.

Ran belum tahu apa makna kata 'sayang' sebenarnya, namun mendengar itu begitu membuatnya senang entah kenapa. Padahal dia tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa tahun ke depan, apakah dia akan tetap sayang kepada Johnny, apa malah sebaliknya.

Lalu bagaimana dengan Johnny, apa dia berhasil mengalahkan rasa bencinya, atau semakin besar Ran, semakin besar juga rasa benci itu.

Tidak ada yang tahu sekarang, hanya waktu yang akan menjawab secara perlahan.

“Mama pergi, Ayah. Ayah jangan pergi, ya.”


“Sakit?” Maraka tidak bosan bertanya kepada Ran yang kini sedang duduk di pangkuan Jay.

Ran lagi-lagi menggeleng dengan polosnya. “Uncle Jay udah obatin, Ran enggak sakit, Abang.”

Mereka kembali diam, sama seperti Hazel yang sedari tadi diam di samping Maraka. Mereka kini duduk di ruang tamu, menunggu Johnny yang enggan keluar dari kamar.

Jay tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja, terlebih keadaannya sedang seperti ini.

“Ran mau kemana?” Jay bertanya kala Ran turun dari pangkuannya.

“Mau ke Ayah,” jawab Ran singkat, kemudian dia berlari menuju kamar Johnny.

Jay tidak bisa menahan gadis kecil itu, setidaknya dia masih bisa memantaunya dari dekat, kalau Johnny nekat dia bisa bergerak cepat.

Ran berusaha dengan keras meraih kenop pintu yang begitu tinggi. Usahanya tidak sia-sia karena dia pun berhasil membuka pintu kamar Johnny.

Kaki kecilnya itu melangkah, matanya yang cantik mencari dimana keberadaan Johnny.

Mata itu menangkap keberadaan Johnny yang kini sedang tertidur di atas kasurnya. Johnny tidur dengan posisi terlentang dengan tangan kiri yang dia letakkan di atas matanya.

Ran melangkah dan berusaha naik ke kasur Johnny. Setelah berhasil, dia pun duduk di samping tubuh Johnny.

Ran melihat air mata mengalir dari sela-sela mata Johnny yang tertutup dengan tangannya.

Polosnya tangan kecil itu mengusap pelan menghapus air mata yang terus mengalir.

“Ayah ... Ran tadi jatuh, Ran tadi lihat Mama,” kata Ran mengadu atas apa yang dia lihat tadi siang.

“Mama pergi, Ayah. Ayah jangan pergi, ya?” katanya dengan begitu tulus.

Ucapan itu membuat Johnny sadar, dia pun menyingkirkan tangan yang menutupi matanya. Terlihat mata Johnny yang memerah dan membengkak.

Johnny menatap Ran yang ada di sebelahnya. Tangan Ran masih terus mengusap air mata Johnny yang masih mengalir tanpa bisa dihentikan.

Johnny bingung tidak tahu harus bagaimana. Dia begitu jatuh cinta dengan mata yang sedang dia tatap. Mata itu mengingatkan Johnny kembali ke masa-masa indah dirinya dengan Karin. Dan juga mengingatkan Johnny akan Karin yang kini mengkhianatinya.

Cinta itu berubah jadi benci. Tapi, apakah dia sanggup membenci gadis kecilnya ini? Gadis kecil yang memiliki mata yang begitu mirip dengan wanita yang membuatnya seperti ini.

“Saya gak sanggup kalau nanti saya benci sama kamu.”

Ran menghentikan tangannya yang tadi mengusap pipi Johnny. Ran terdiam polos, seakan-akan sedang berpikir dengan keras.

“Benci itu apa, Ayah?”