Panglimakun

“Ara,” panggil Hujan ke Ara yang sedang melamun di kamarnya.

Hujan menghampiri Ara dan duduk tepat di sebelah Ara.

“Ara makan yuk?” ajak Hujan. “Ara dari pagi Ara belum makan,” sambungnya terus memaksa agar Ara makan.

Ara hanya diam dan melamun.

“Ara—”

“Ara mau mati aja,” potong Ara.

Hujan terbelalak kaget mendengar Ara.

“Gak Ara!” sanggah Hujan dengan tegas. “Ara harus bertahan ya?”

Ara menggelengkan kepalanya. “Ara udah gak kuat Hujan, sekarang Ara hidup untuk siapa? Siapa yang akan menyemangati Ara?” tanya Ara dengan suara meninggi.

Hujan menghela nafasnya, sebelum berkata, “Ara hidup untuk Ara sendiri,” jawab Hujan dengan tenang. Tangan Hujan memegang tangan Ara, lalu ia meletakkan tangan Ara tepat Di dada sebelah kiri Ara. “Diri Ara sendiri yang akan menyemangati Ara,” sambungnya.

Hujan memeluk tubuh Ara yang bergetar karena Ara sedang menangis histeris. “Ada Hujan disini, sebagai sahabat dan juga saudara untuk Ara.”

“Ara gak kuat Hujan, Ara butuh kak Sandy,” lirih Ara dengan suara lemah.

Hujan mengangguk paham, ia mengeratkan pelukannya. “Pelan-pelan kita ikhlasin ya? Ara mau kan? Kita lewati ini sama-sama?”

Ara mengalihkan pandangannya menatap Hujan yang sedang menatapnya juga.

“Ara bisa hujan?” tanyanya ragu.

Hujan mengangguk mantap. “Bisa Ara, Hujan yakin!” jawabnya tegas.

Ara kembali menangis di pelukan Hujan. Benar kata Hujan, bagaimanapun perlahan ia harus mengikhlaskan kepergian sang kakak, dan bangkit, hidup mandiri.

“Udah lama ya kita gak jalan-jalan begini,” kata Embun.

Cherry mengangguk setuju. “Terakhir kali waktu kuliah kalo gak salah,” sahut Cherry.

Kini Cherry dan juga Embun sedang berjalan bertiga dengan Daffa, jalan-jalan menikmati angin malam di Jakarta.

“Kenapa Embun?” tanya Cherry.

Embun menatap Cherry, menyatukan alisnya kebingungan.

“Kenapa? tanya Embun balik, karena tidak paham dengan pertanyaan Cherry.

Cherry menghela nafas panjang. “Kenapa lo sembunyiin ini semua dari kita?” tanya Cherry lagi, namun nada bicaranya mulai meninggi.

“Karena gue gak mau kalian khawatir,” jawab Embun lemah.

“Lo begini malah bikin kita tambah khawatir Embun!” bentak Cherry.

Air mata Cherry berhasil lolos, dengan cepat Embun menyeka air mata itu.

Embun menggenggam tangan Cherry. “Gak ada yang perlu dikhawatirkan Cherry, semua akan pergi ketika sudah waktunya,” balas Embun dengan lembut.

Daffa hanya diam dan terus mengikuti kemanapun Embun dan juga Cherry melangkahkan kakinya, Daffa juga merasakan sedih yang sama seperti Cherry, bagaimanapun ia sudah menganggap Embun seperti adiknya sendiri.

“Malam ini, Embun hanya ingin menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan kalian Cherr, daf,” ucap Embun seraya menatap Cherry dan Daffa secara bergantian.

“Kita senang-senang ya malam ini?”

Cherry dan juga Daffa mengangguk. Dengan cepat Cherry merangkul tangan Embun.

“Ayo kita senang-senang!” Seru Cherry bersemangat.

Mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanannya.

Tidak lama mereka berjalan, langkah Embun sedikit melambat. Ia seperti mencium wangi tubuh yang familiar di antara kerumunan orang-orang disekitarnya.

“Mungkin cuman perasaan Embun,” batin Embun. Lalu ia kembali menyamakan langkahnya dengan Cherry.

Page kesekian

Halo semesta, terima kasih karena hari semuanya membaik.

Hari ini, semua masalah selesai. Embun kembali merasakan hangatnya pelukan Jonathan.

Kak Sandy, gimana disana? Maaf ya, hari ini Embun kembali ke pelukan Jona. Kalo kak Sandy ada, pasti kak Sandy cemburu.

Tapi nanti Embun janji, setelah kita bertemu lagi, Embun cuman mau meluk kak Sandy

Untuk yang terakhir ya kak Sandy, Embun mau pergi dengan damai, biar kita bisa bahagia disana

Embun berharap, kak Sandy yang akan menjaga Galaxy setelah Embun pergi, namun takdir berkata lain.

Semesta, izinkan Embun berisitirahat dengan tenang ya, tanpa dendam dan juga kebencian.

Page kesekian

Halo semesta, terima kasih karena hari semuanya membaik.

“Kamu kurusan Jo,” kata Embun membuka topik pembicaraan.

Jonathan tertawa kecil mendengar perkataan Embun.

“Kamu gak makan ya? Segitunya kehilangan aku?” tanya Embun dengan nada bercanda.

Jonathan menatap mata Embun. “Iya Embun, aku benar-benar kehilangan semangat hidup waktu kamu pergi,” jawab Jonathan serius.

Raut wajah Embun tiba-tiba berubah menjadi serius.

“Ulululu ihh jadi gak enak pipinya di unyel-unyel,” goda Embun tiba-tiba dengan kedua tangan mencubit pipi Jonathan.

“Aduh-aduh,” ringis Jonathan.

“Dih, padahal cuman pelan,” sahut Embun bete.

Jonathan terkekeh melihat raut wajah Embun. “Apa kabar Embun?” tanyanya.

“Gak mau jawab bete!” ketus Embun.

“Baikan?” tanya Jonathan.

Embun membuang mukanya, mengalihkan pandangan agar tidak menatap Jonathan.

“Emang siapa yang marahan!” jawab Embun ketus.

Jonathan merasa senang dapat mendengar kembali candaan Embun, walaupun ia tau Embun memaksakan itu.

“Kamu capek Embun?”

Embun mengalihkan pandangannya, menatap Jonathan.

“Capek banget, tapi Embun gak akan nyerah,” jawab Embun dengan suara yang bergetar seperti sedang menahan tangis.

Jonathan meraih tangan Embun, menggenggam kedua tangan Embun dengan erat.

“Kita berjuang sama-sama ya?”

Deg

Kalimat tersebut mengingatkan Embun kepada Sandy, ia takut dengan kalimat itu.

Air mata Embun berhasil lolos membasahi pipinya.

“No, not again,” jawab Embun lemah.

“Hmm?”

“Jangan pergi Jona,nanti Gala sendirian,” ucap Embun dengan tatapan memohon.

Jonathan menyatukan alisnya kebingungan, lalu ia menggeleng dan berkata, “gak akan Embun, aku gak akan pergi lagi,” jawabnya seraya menarik Embun ke pelukannya, membiarkan Embun menangis sejadi-jadinya disana.

“Bunda,” panggil Galaxy ke Embun yang sedang membuatkan susu untuk Galaxy.

Embun menghentikan kegiatannya sejenak. “Iya abang?” sahut Embun sambil mensejajarkan posisinya dengan Galaxy.

“Kenapa tamunya gak disuruh masuk?” tanya Galaxy.

Embun terdiam sejenak, di luar sudah ada Jonathan dan juga kedua orang tuanya, namun Embun enggan membukakan pintu untuk mereka.

Tidak sengaja Embun menjatuhkan air matanya.

“Bunda,” kata Galaxy seraya mengusap pipi Embun yang basah.

“Om papa pernah bilang sama Gala, setiap orang punya alasan untuk membenci orang lain, tapi bukan berarti dia orang jahat,” ucap Galaxy seraya memeluk Embun. “Gala gatau artinya apa Bunda, bunda jangan takut ya? Mereka bukan orang jahat,” sambungnya.

Embun masih terdiam mendengar semua ucapan Galaxy, ia tersenyum. “Abang mau lindungi bunda?” tanyanya.

Dengan cepat Galaxy mengangguk mantap. “Gala jaga bunda!” jawabnya dengan tegas.


Embun menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan nafasnya perlahan-lahan.

Tangan kanannya ia gunakan untuk meraih kenop pintu apartemen miliknya, namun aneh penglihatannya kabur, tangannya tidak bisa memegang kenop pintu.

Kedua kalinya Embun mengulangi hal yang sama, namun hasilnya masih sama, ia tidak bisa meraih kenop pintu tersebut.

Flashback on

“Embun, kondisi kamu akan semakin parah,” kata dokter Keenan yang kini ada dihadapan Embun.

“Kamu akan merasakan rasa sakit melebihi dari yang sudah-sudah, mulai dari sakit kepala yang ekstrim, muntah-muntah, dan penglihatan kabur,” ucap dokter Keenan memberitahu kondisi Embun sekarang.

Dokter Keenan menghela nafas panjang. “Selain itu, kamu juga akan mengalami masalah dengan saraf motorik dan juga saraf sensorik kamu Embun.”

“Kita lakukan pengobatan ya? Kamu mau kan dirawat di rumah sakit?”

Embun terdiam, lalu ia mengangkat kepalanya, menatap mata dokter Keenan. “Maka dari itu, Embun akan meninggal di rumah sakit kan dok?” tanya Embun dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kita akan usaha-”

“Atau Embun akan di rumah sakit sampai waktunya tiba,” potong Embun.

Flashback off

“Biar Galaxy Bantu bunda,” ucap Galaxy seraya membantu Embun untuk membukakan pintu.

“Abang, Abang mau gak tolongin nenek Nana di bawah? Kayaknya tadi kucing nenek Nana bandel lagi, nanti kalo udah bunda telepon nenek Nana suruh abang pulang,” suruh Embun agar dirinya bisa bebas berbincang dengan Jonathan dan kedua orang tua Jonathan.

Galaxy mengangguk. “Bunda gapapa kan Gala tinggal?”

Embun tersenyum lalu mengangguk. “Gapapa sayang,” jawabnya.

Galaxy pun meninggalkan Embun sendiri dengan Jonathan dan juga kedua orang tua Jonathan.

“Masuk Jo, om, tan,” suruh Embun mempersilahkan mereka untuk masuk ke apartemennya.

Setelah mempersilahkan mereka untuk duduk di sofa ruang tengah, tidak ada satupun obrolan di antara mereka, sampai Mama Una berlutut dihadapan Embun.

“Embun, maafin saya ya, maaf atas kebodohan saya, dan keegoisan saya. Saya menyesal,” ucap Mama Una memohon maaf.

Sebenarnya Embun tidak mau melihat Mama Una berlutut dihadapannya, namun dirinya juga tidak bisa berkata apa-apa sekarang.

“Mama restui kamu untuk kembali ke Jonathan nak.”

Embun tersenyum. “Embun udah maafin Tante dan Om dan juga Jonathan dari jauh-jauh hari, Embun gak pernah membenci kalian sedetik pun,” balas Embun.

“Tapi—” Embun menggantungkan ucapannya.

Ia menatap mama Una, dan papa Arkananta secara bergantian.

“Tolong jangan ambil Galaxy dari Embun ya, suatu saat Embun akan memperkenalkan Galaxy kepada kalian,” mohon Embun dengan mata berkaca-kaca.

Mama Una menggelengkan kepalanya. “Kita gak akan ambil ataupun rebut Galaxy dari kamu Embun, tapi tolong maafin kita ya?”

Embun mengangguk. “Embun maafin tante dan juga om,” jawab Embun, ia menghampiri mama Una yang masih berlutut. “Bangun tante, Embun maafin tante.”

Tante Una menggelengkan kepalanya, ia menggenggam erat kedua tangan Embun. “Apa yang harus kami lakukan nak? Apa yang harus kami lakukan untuk menebus kesalahan kami?” tanya mama Una dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipinya.

Embun menatap papa Arkananta. “Om,” panggil Embun.

“Iya Embun? Apa yang harus om lakukan?” tanya papa Arkananta.

“Ara, damai dengan Ara buat Ara melupakan dendamnya, jaga Ara untuk Embun,” jawab Embun.

Papa Arkananta mengangguk. “Om akan berusaha Embun, walaupun nyawa yang akan om taruhkan, om akan menjaga Ara.”

Embun tersenyum, kini ia merasa sedikit tenang, satu persatu masalahnya selesai.

Embun mengalihkan pandangannya ke Jonathan. “Mau ngomong berdua gak Jo?” tanya Embun dengan senyum mengembang.

“Iya Embun,” jawab Jonathan seraya membalas senyuman Embun.


Pada akhirnya penyesalan mendatangi mereka, yang mengharuskan mereka untuk membuang jauh-jauh ego yang mereka miliki.

Ara duduk dipinggir kasur miliknya sambil memegang sebuah bingkai foto kecil, foto dirinya dan juga Sandy.

Air mata Ara jatuh membasahi bingkai foto tersebut.

“Sekarang Ara sendiri, kak Sandy curang, mau ketemu mama gak ngajak Ara,” kata Ara berbarengan dengan isak tangisnya.

Hujan dan juga Cherry yang baru saja masuk ke kamar Ara, segera menenangkan Ara.

“Ara gak pernah sendiri, ada Hujan yang akan nemenin Ara, sampai Ara tua nanti,” ucap Hujan.

“Kata kak Sandy, kak Sandy bakalan foto bareng Ara waktu Ara wisuda nanti, nanti difotonya ada kak Sandy, kak Embun, sama Hujan, tapi kak Sandy jahat Hujan,” teriak Ara meluapkan semua emosinya.

Dengan susah payah Cherry menahan agar tidak menangis, ia mengusap lembut rambut Ara.

“Ara cantik, Ara anak pinter, nanti foto wisudanya kakak sama kak Daffa yang nemenin ya? Sama kak Embun juga,” ucap Cherry.

Ara terus menangis dan terus menatap bingkai foto yang ada ditangannya.

“Sekarang keluarga Ara siapa? Sekarang Ara sendiri kak! Kak Sandy gak sayang sama Ara!”

Tangis Ara semakin menjadi, tubuhnya bergetar hebat, nafasnya tidak lagi beraturan.

Hujan dan juga Cherry hanya bisa memeluk Ara, agar Ara kembali tenang, dan mengikhlaskan kepergian Sandy.

Setelah beberapa jam akhirnya Ara tertidur, dan kesempatan itu digunakan Cherry untuk pergi menemui Embun di apartemen Embun.


Setelah sampai di apartemen, Embun hanya berdiam diri di kamarnya, menatap kotak merah yang diberikan Ara tadi.

Embun memakai cincin yang seharusnya Sandy pasangkan di jari manis miliknya.

Air mata Embun kembali jatuh beriringan dengan semua memori masa lalu tentang dirinya dan juga Sandy kembali menghantui pikirannya.

“Coba aja Embun cegah semalem, coba aja Embun gak egois. Sekarang Kak Sandy harus meninggalkan Ara sendiri kak,” sesal Embun.

“Apa Embun akan bertahan untuk menjaga Ara? Kenapa kakak pergi kak? Aku mau kak Sandy yang menjaga Galaxy sampai Galaxy besar!”

“Kak Sandy egois,” lirih Embun.

Embun meringkuk badannya di dalam selimut, melupakan semua emosinya.

Embun membukakan matanya yang sembap, ia melihat sosok Sandy dihadapannya.

“Kenapa kak Sandy pergi?” tanya Embun kepada sosok Sandy.

Sandy yang hadir karena halusinasinya.

Sandy tersenyum. “Karena aku akan memiliki mu seutuhnya nanti.”

Embun tertawa miris, lalu ia tersenyum. “Tidur nyenyak kak, selalu mimpikan Embun, dan terus ulang mimpi itu ya, sampai jumpa di kehidupan selanjutnya.” Embun memejamkan matanya sebelum berkata, “Embun ikhlas kak,” sambungnya seraya membuka matanya kembali.

Kini bayangan Sandy hilang dari hadapannya, karena pada kenyataannya Sandy benar-benar pergi meninggalkan semua yang ada di dekatnya.


Selamat tidur Sandy Arkananta, terima kasih karena telah mencintai Embun sampai akhir.”

“Abang,” panggil Yudhis ketika dirinya sudah masuk ke apartemen Embun.

Sedari tadi Galaxy hanya berdiri diam di depan pintu kamar Bundanya.

“Iya om.” Galaxy mengalihkan pandangannya ke Yudhis.

Yudhis berjongkok di depan Galaxy, ia mengusap pelan kepala Galaxy. “Di depan udah ada om Jona, kebetulan tadi om Jona barengan sama om ke sini, Galaxy mau nunggu sama om Jona di depan?”

Galaxy terlihat kebingungan. “Kita mau kemana om?”

Yudhis tersenyum. “Kita ketemu om papa,” jawab Yudhis.

“Ayo om! Gala mau lapor ke om papa, kalo bunda nakal!” sahut Galaxy bersemangat.

Yudhis mengangguk. Galaxy dengan dengan segera menuruti perintah Yudhis.

Setelah Galaxy keluar, Yudhis berdiri di depan pintu kamar Embun. Samar-samar Yudhis dapat mendengar suara Isak tangis Embun, hatinya ikut terasa sakit.

Yudhis membuka kenop pintu kamar Embun, ia mendapatkan Embun yang tengah menangis meringkuk badannya di atas kasur.

“Embun,” panggil Yudhis pelan, namun tidak ada jawaban dari Embun.

Terpaksa Yudhis menghampiri Embun, dan membuka selimut yang menutupi dirinya.

“Embun, yuk Sandy udah nunggu kita,” kata Yudhis membuat tangis Embun semakin menjadi-jadi.

Embun duduk di samping Yudhis, ia menatap Yudhis dengan mata sembapnya.

“B-bohong k-kan kkak?” tanya Embun memastikan.

Yudhis menjawab dengan senyuman.

Embun kembali menangis, ia sangat menyesal.

“Semua gara-gara Embun!” bentak Embun ke dirinya sendiri.

Yudhis menggeleng. “Semua udah takdir Tuhan, udah waktunya Sandy beristirahat,” balas Yudhis.

“Ayok.” Sekali lagi Yudhis mengajak Embun untuk mengantar kepergian Sandy.


Semuanya benar, setelah Embun pulang sehabis menjenguk Sandy, keadaan Sandy kembali drop, dan dinyatakan meninggal pada malam itu juga.

Sekarang Sandy sudah menutup mata selamanya pada sebuah peti yang sudah diturunkan di liang lahat.

Perlahan tubuh Sandy yang sudah terbaring di peti jenazah, ditutupi dengan tanah.

Semua orang yang menghadiri pemakaman Sandy tidak dapat menahan tangisnya, terlebih Embun dan juga Ara.

Namun ada satu orang yang terlihat bingung, yaitu Galaxy. Namun dia hanya diam di pelukan Jonathan.

Dari jauh Papa Arkananta juga menghadiri pemakaman Sandy, ia juga tidak dapat menahan tangisnya, dan rasa bersalah yang amat besar.

Setelah semuanya selesai, satu persatu orang yang menghadiri pemakaman Sandy, mulai pergi dari sana. Meninggalkan keluarga dan juga sahabat terdekat Sandy.

“Embun disini kak, maafin Embun ya, maafin Embun yang egois.” Embun menatap batu nisan yang bertuliskan nama Sandy.

“Terima kasih karena udah bantu Embun untuk bangkit, terima kasih udah selalu ada untuk Embun saat Embun terjatuh, terima kasih udah jaga Embun dan juga Galaxy,” kata Embun dengan suara terputus-putus.

“Terus jaga Embun sama Galaxy dari sana ya kak?” Embun menatap Ara yang ada di sisi lain makam Sandy.

“Embun akan jaga Ara disini, Embun akan pastiin Ara baik-baik aja kak.” Tangis Embun semakin pecah.

Begitupula dengan Ara, namun Hujan terus menenangkan Ara.

Ara menggigit bibir bawahnya menahan tangis dan rasa sakit di dadanya.

“Ara— jangan ditahan, nanti sakit, habis itu nanti jangan nangis lagi. Nanti kak Sandy sedih,” ucap Hujan agar Ara tidak menahan tangisnya.

Ara sangat ingin mengucapkan kalimat selamat tinggal untuk yang terakhir kali ke Sandy, namun dirinya tidak sanggup.

Ara menyerah, ia memeluk Hujan dan menangis sejadi-jadinya di pelukan Hujan.


Mereka semua benar-benar meninggalkan Sandy sendirian di peristirahatan terakhirnya.

Ketika sedang berjalan menuju mobil mereka, Embun yang di bantu oleh Cherry memberhentikan langkahnya karena panggilan dari Ara.

“Kak Embun,” panggil Ara dengan suara seraknya.

Ara mengeluarkan sesuatu dari saku celana yang ia kenakan. Sebuah kotak kecil berwarna merah.

“Ini,” kata Ara seraya menyerahkan kotak tersebut ke Embun. “Waktu kak Sandy ditemukan, itu ada di kantong celana yang kak Sandy kenakan terakhir kali,” sambungnya.

Embun menyatukan alisnya kebingungan, ia membuka kotak kecil berwarna merah tersebut.

Kotak kecil itu berisikan sepasang cincin, di tutup bagian atas kotak tersebut terdapat nama Embun dan juga Sandy.

Dada Embun kembali terasa sangat sakit, ia kembali menangis.

“Hari dimana dia ngajak lo, dia berniat untuk ngelamar lo Embun,” Kata Yudhis tiba-tiba.

Membuat semua yang ada di sana terkejut, begitupun dengan Jonathan.

“Gue kira pas—” Yudhis menggantungkan ucapannya.

“Pas apa kak?” tagih Embun.

Yudhis tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya. Ia takut akan membuat Embun semakin merasa bersalah.

“Kak—”

“Kita pulang aja dulu ya, Galaxy sementara sama gue Jona dan Daffa, Cherry anter Hujan dan Ara ke rumah. Embun setelah kita anter, kita akan kasih kamu waktu,” potong Yudhis.

Galaxy terus berdiri di depan kamar mandi, menunggu Embun keluar dari sana.

Di tangan Galaxy terdapat sebuah sayap mainan, yang ia beli bersama Jonathan tadi, sayap itu akan di hadiahkan Galaxy untuk Embun, sebagai ucapan terima kasih.


Flashback

“Om ayah, Galaxy boleh beli ini?” tanya Galaxy seraya menunjukkan sebuah sayap mainan ukuran orang dewasa.

Jonathan menyatukan alisnya kebingungan. “Untuk apa Gala?”

“Untuk Bunda,” jawab Galaxy semakin membuat Jonathan kebingungan.

“Bunda pernah bilang sama Gala, bunda itu Malaika tanpa sayap, jadi Gala mau beliin sayap ini untuk bunda, supaya bunda bisa jadi Malaikat yang sempurna untuk Galaxy,” kata Galaxy menjelaskan tujuannya minta dibelikan sayap tersebut.

Jonathan tersenyum. Ia bangga terhadap Embun, yang berhasil membesarkan Galaxy menjadi seperti ini.

“Boleh, Gala boleh beli sayap itu,” ucap Jonathan mengizinkan Galaxy.

“Yeayyy!” Galaxy berseru kegirangan.

Setelah membeli beberapa mainan, sesuai janji Jonathan mengajak Galaxy untuk makan eskrim.

Galaxy sibuk dengan eskrim yang ada di hadapannya, tatapan Jonathan tidak lepas dari Galaxy.

“Om ayah kenapa bisa kenal bunda dan Gala?” tanya Galaxy tiba-tiba.

Jonathan terdiam, ia tertegun mendengar pertanyaan Galaxy.

“Oh Gala tau, pasti Gala belum paham alasannya, karena Gala masih anak kecil,” kata Galaxy.

“Kata om papa, ada beberapa jalan kehidupan, yang pertama anak kecil, kedua remaja, ketiga dewasa, dan keempat orang tua. Sekarang Galaxy masih kecil, jadi Galaxy belum paham, iya kan om ayah?”

Jonathan mengangguk, ia mengusap pelan kepala Galaxy.

“Iya Gala, bener kata om papa,” ucapnya.

Jonathan akan berhutang kepada Sandy, sekarang Jonathan semakin tau diri dengan posisinya.


Embun meringkuk badannya memeluk kedua kakinya, setelah mengeluarkan semua isi perutnya, tubuhnya terasa sangat lemah.

Ia masih menangis, menyesali semua yang telah terjadi.

Berkali-kali ia mendengar suara panggilan Galaxy dari luar, namun Embun tidak menjawab panggilan Galaxy.

Sekarang Embun menyesali semuanya, sekarang Embun merasa menjadi orang bodoh.

“Kalo Embun dari dulu ikut pengobatan terus jujur ke kak Sandy, dan nerima kak Sandy, keadaan gak akan seperti ini kan?” monolog Embun seraya memukul dadanya berulang kali.

“Argghh!” Embun berteriak merasakan rasa sakit yang sangat luar biasa di kepalanya.


“Jelasin semuanya ke kita Jonathan,” tagih Papa Arkananta.

Jonathan mengikuti permintaan mama nya untuk datang ke rumah, dan akan menjelaskan apa yang terjadi.

Kini mereka bertiga berkumpul di ruang tengah keluarga Arkananta.

“Tentang apa pa?” tanya Jonathan seakan-akan tidak paham dengan keadaan sekarang.

“Semua yang kamu tau,” jawab papa Arkan.

Jonathan menarik nafas dalam-dalam, sebelum ia menjelaskan semuanya.

Jonathan memberitahukan orang tua nya, bahwa Galaxy itu adalah darah daging dia dan juga Embun. Jonathan juga menjelaskan semua hal yang ia ketahui dari Embun.

Mama Una dan juga Papa Arkananta terdiam seribu bahasa.

“Jangan rebut Galaxy dari Embun, jangan sakiti Embun ma. Jonathan juga tidak akan memaksa Embun, Jonathan akan menjaga mereka berdua dari jauh, dan membiarkan mereka hidup di dunianya sendiri,” ucap Jonathan menyelesaikan penjelasannya.

“Semua sudah terjadi karena keegoisan kita, jangan buat suasana semakin hancur—” Jonathan menggantung ucapannya, ia menatap Mama Una dan papa Arkananta secara bergantian.

“Ma, Pa,” lanjutnya berharap untuk tidak merebut Galaxy dari Embun, dan untuk tidak berbuat macam-macam terhadap Embun.

“Embun, kamu kenapa?” tanya Jonathan berusaha mendekati Embun.

Embun tidak menjawab pertanyaan Jonathan, ia masih terdiam dengan tatapan kosong.

Tanpa izin Jonathan meraih handphone yang ada di tangan Embun, ia membaca pesan yang baru saja di baca Embun.

Pesan tersebut membuat Jonathan terkejut. Lalu ia menatap Embun yang sedang menangis tanpa suara. Jonathan segera menelepon Ara melalui handphone Embun.

“Halo Ara, boleh saya tau dimana Sandy dirawat sekarang?” tanya Jonathan ketika Ara sudah mengangkat telepon darinya.

“I-ini s-siapa?” tanya Ara dengan suara bergetar dari balik telepon.

Tidak ingin membuat suasana semakin hancur, Jonathan berbohong ke Ara. “Saya temen Embun, biar saya antar Embun ke sana,” jawab Jonathan berbohong, ia tau kalau ia jujur bahwa dirinya Jonathan maka Ara tidak akan jujur kepada dirinya, mengingat Ara sangat benci terhadap Jonathan.

“A—ara kirim lewat chat,” kata Ara lalu segera mematikan panggilan tersebut.

Jona segera memasukkan handphone Embun ke saku celana yang ia kenakan, lalu dengan segera ia menepuk pelan pundak Embun.

“Aku anter ke rumah sakit mau?” tanya Jonathan.

Embun tersadar dari lamunannya, ia mengangguk lemah sambil menatap Jonathan dengan mata sembapnya.

Jonathan meraih tangan Embun mengarahkannya ke luar Apartemen dengan berhati-hati agar tidak terkena pecahan gelas. Tidak lupa pula ia menggendong Galaxy, dan segera membawa mereka berdua menuju rumah sakit.


Selama di perjalanan tidak ada satupun dari mereka yang bersuara, sesekali Jonathan melirik Embun dan juga Galaxy.

Embun yang tidak berhenti menangis, dan juga Galaxy yang diam kebingungan dengan keadaan.

Setelah perjalanan yang lumayan lama, akhirnya mereka tiba ke rumah sakit. Setelah mengecek handphone, dan membaca pesan dari Ara, Embun segera berlari menuju ruangan dimana Sandy di rawat, diikuti oleh Jonathan yang sedang menggendong Galaxy.

“Ara!” Panggil Embun sedikit berteriak ketika melihat Ara, dan juga Hujan di depan ruangan VIP.

“Kak Embun.”

“Teh Embun.”

Sahut Ara dan Hujan berbarengan. Mereka berdua sedikit terkejut karena melihat Jonathan disana.

“Kak Sandy kenapa Ara?” tanya Embun tergesa-gesa.

“Kak Sandy udah selesai operasi tadi kak, pas perjalanan pulang setelah nganter kak Embun, kak Sandy kecelakaan, lukanya lumayan—” jawab Ara, namun tergantung.

“Lumayan apa Ara?” Embun sedikit membentak Ara.

“P-parah,” lirih Ara dengan tangisan yang kembali pecah.

Kaki Embun melemah, tubuhnya spontan mundur namun berhasil ditahan oleh Jonathan, Jonathan menyerahkan Galaxy ke Hujan, lalu ia memegang erat kedua lengan Embun.

“Embun gapapa, Sandy pasti baik-baik saja,” ucap Jonathan menenangkan Embun.

Namun Embun mengacuhkan ucapan Jonathan, tangisnya kembali pecah, sampai dokter keluar dari ruangan Sandy dan memberi tau bagaimana kondisi Sandy sekarang.

Dokter mengizinkan salah satu anggota keluarga untuk melihat keadaan Sandy, namun hanya untuk beberapa saat.

Embun menggunakan kesempatan tersebut, perlahan ia membuka kenop pintu ruangan Sandy dirawat.

Mata Embun langsung tertuju pada sebuah kasur, dimana Sandy terbaring dengan beberapa alat bantu agar dirinya bisa bertahan hidup.

Embun melihat kepala Sandy yang terbalut dengan perban, begitu juga dengan tubuh dan juga kaki kiri Sandy.

Air mata Embun semakin deras membasahi pipinya. Hatinya terasa sakit melihat keadaan Sandy sekarang.

Perlahan ia mendekat, dan melihat seberapa mengenaskan keadaan Sandy sekarang.

“Seandainya aku nahan kakak untuk gak pulang dulu, padahal kak Sandy udah minta untuk mampir, tapi malah aku suruh pulang,” sesal Embun.

Ia menunduk menyesali perbuatannya tadi.

“Kak,” lirih Embun.

“Bangun kak,” kata Embun memohon agar Sandy membukakan matanya.

Embun menggigit gepalan tangannya, agar suara tangisnya keluar.

“Bangun kak, kalo memang kakak mau miliki Embun seutuhnya, miliki Embun secara nyata kak, jangan di mimpi.”

Tangis Embun semakin pecah, kakinya melemah membuat Embun terjatuh dan berlutut di samping Sandy.

“Maafin Embun, ayo kak bangun, bantu Embun berjuang kak.”

Namun sayang tidak ada jawaban dari Sandy, ruangan tersebut hanya dipenuhi oleh suara Patient monitor yang terhubung dengan tubuh Sandy, dan juga suara tangis Embun.


Di luar ruangan sudah ada Daffa dan juga Cherry yang baru saja tiba.

Namun satu hal yang menarik perhatian mereka, yaitu Ara yang sedari tadi tidak berhenti memberi tajam kepada Jonathan.

“Pulang, semua gara-gara lo!” teriak Ara membuat sorot mata kini tertuju pada dirinya.

“Pulang Jonathan, lo pembawa sial! Gara-gara lo kak Sandy kecelakaan, semua gara-gara lo kenapa lo kembali!”

“Saya gak pernah pergi,” ucap Jonathan.

Emosi Ara semakin meluap, ia bangun dari duduknya, dan hendak menampar Jonathan, namun ditahan oleh Hujan.

“Aunty Ara kenapa teriak sama om ayah Gala?” tanya Galaxy tidak terima, Galaxy memeluk kaki panjang Jonathan.

Ara tersentak kaget begitupun dengan Daffa, Cherry, dan juga Hujan. Mereka terkejut karena mendengar Galaxy memanggil Jonathan dengan panggilan om ayah.

“Puas lo? Puas lo sebentar lagi bisa ngerebut kebahagiaan kak Sandy!” Teriak Ara tepat di depan Jonathan.

“Ara udah Ara,” kata Cherry menenangkan Ara.

“Kenapa sih kak? Kenapa semuanya berpihak ke dia? Kenapa harus kak Sandy yang terus-menerus tersiksa?”

“Saya tidak berniat seperti it—”

“Lo brengsek! Kalo sempet kak Sandy kenapa-kenapa, gue yang akan bunuh lo!”