Panglimakun

Embun di bantu oleh Daffa dan juga Ara beserta adiknya Hujan, kembali ke apartemennya.

Kini Embun sedang berdiri di depan kaca kamarnya. Ia memandang tubuhnya yang semakin mengurus.

“Embun harus kuat! Semuanya demi baby nya bunda,” ucap Embun kepada dirinya seraya mengelus perutnya.

Embun menatap pantulan dirinya melalui kaca, ia mengingat kembali kejadian kemarin. Ketika ia mengucapkan selamat tinggal kepada Jonathan untuk yang terakhir kalinya.

Memori tentang Jonathan, dan juga memori indahnya masa lalu dirinya dengan Jonathan kembali hadir.

Jonathan bukan orang yang jahat, Embun benar, Jonathan orang yang sangat dewasa, lembut, penyayang dan juga baik.

Selama menjadi pacar Jonathan Embun benar-benar merasakan gimana jika ia menjadi seorang ratu. Karena Jonathan berhasil membuatnya sebagai ratu di kerajaan kecilnya.

Masalah ini tidak membuat Embun membenci Jonathan, Jonathan tidak sepenuhnya salah. Ia berhak bahagia.

Hati Embun sakit ketika mereka telah menikah, hampir setiap hari ia mendengar Jonathan harus bertengkar dengan mamanya. Entah itu melalu telepon ataupun secara langsung dan itu semuanya karena dirinya.

Embun menatap matanya dari pantulan kaca, ia menatap matanya yang kembali mengeluarkan air mata.

“It's okey, mungkin di kehidupan selanjutnya kita bisa bersama kembali.” Embun tersenyum dengan hangat, ia seperti merasakan kehadiran Jonathan disana, walaupun itu hanya halusinasinya semata.

Embun menyeka Air matanya, ia meletakkan kedua tangannya di bahu dengan posisi menyilang. Dengan perlahan-lahan ia mengusap bahunya.

“Masa lalu buruk, bukan berarti masa depan buruk Embun. Setiap orang pasti mendapatkan masalah, hanya saja bagaimana dirinya menghadapi masalah tersebut,” ucapnya dengan tenang.

Embun memejamkan matanya, merasakan setiap sentuhan lembut.

Embun menarik nafas panjang-panjang melalui hidung, dan dengan perlahan ia keluarkan melalui mulut.

Embun membukakan matanya. Ia kembali menatap pantulan dirinya.

“You Did well Embun, aku bangga sama diriku sendiri. Terima kasih atas perjuangan yang telah kamu lakukan pada Dirimu sendiri sampai sekarang.”

“Aku yakin, dan aku pasrah, tidak apa-apa Tuhan. I trust you,” Finish Embun setelah memenangkan dirinya sendiri.


Banggalah kepada diri sendiri, berterima kasih pada dirimu karena telah berjuang hingga sekarang.

You Did well

Tok tok tok

Suara ketukan pintu itu tidak berhenti-henti, sampai membuat Ara sang pemilik rumah emosi.

“Mau papa apasih!” Gerutu Ara seraya menghentakkan kakinya ke udara, karena dirinya sekarang sedang dalam posisi tidur.

Sedari tadi papa Arkan tidak berhenti mengetuk pintu rumah Ara dan tentu saja dengan Sandy. Namun saat ini Sandy tidak ada di rumah, tadinya ia pamit untuk menjaga Embun di rumah sakit.

Ara mendecak kesal. “Kalo gini Ara ikut aja tadi ke rumah sakit,” gerutunya lagi.

Walaupun Ara sudah menutup kedua telinganya menggunakan bantal sofa, suara ketukan pintu itu tetap saja menusuk telinganya.

Karena kesal Ara beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur. Di dapur ia mengambil sebuah sapu dan tidak lupa dengan serokan.

Kedua alat rumah tangga itu sering digunakan Ara sebagai senjata untuk mengusir papa nya, walaupun Ara tidak secara langsung mengusir. Namun ia akan mengumpulkan sampah terlebih dahulu dan menyapunya ke depan rumah untuk mengusir papa Arkan secara halus.

“Karena hari ini emosi Ara udah memuncak, Ara akan pake sapu dan serokan ini buat slebew papa,” Monolognya dengan memperagakan ala-ala kungfu.

“Adoh-adoh,” ringis Ara karena sapu yang ia pegang tidak sengaja terjatuh dan membuat tangannya sedikit terpelintir.

Ara melangkahkan kakinya menuju pintu, dengan kedua tangan yang sudah memegang erat perkakas kebanggaan nya.

Ceklek

Ara membukakan pintu, namun ia sedikit heran karena hari ini papa tidak sendirian. Ia bersama seorang pria yang ia kenal dari sang kakak, dia adalah Jonathan Abang tirinya.

Namun Ara menatap lekat-lekat mata Jonathan, pria tersebut seperti habis menangis, dan dia seperti tidak ada semangat hidup.

Pandangan Ara beralih ke sang papa yang baru saja ingin membuka mulut namun segera di sanggah oleh Ara.

“Gak ada orang di rumah,” celetuknya.

Papa Arkan menghela nafas, ia sudah sangat lelah berusaha untuk mengambil hati anaknya.

“Untuk yang terakhir kali Ara, izinkan papa untuk menjelaskan semuanya,” mohon papa Arkan.

Dengan acuh tak acuh Ara menatap mata Papa Arkan dan Jonathan secara bergantian.

“Kak Sandy lagi di luar, kapan-kapan aja.” Jawab Ara singkat dan tegas.

Kedua tangannya masih memegang perkakas yang ia ambil di dapur tadi.

Namun tidak lama Ara dapat melihat mobil sang kakak terparkir di depan pagar.

“Tamu nya kok gak di suruh masuk Ra?” Tanya Sandy yang masih belum mengetahui siapa tamu tersebut.

Sandy melangkahkan kakinya menghampiri Ara, ia mengerutkan dahi ketika melihat siapa yang menjadi tamunya.

“Ngapain kalian ke sini?” Tanya Sandy seraya menatap Papa Arkan dan Jonathan secara bergantian.

Sandy dapat melihat Jonathan yang masih sedih, mungkin karena perpisahannya dengan Embun tadi.

“Izinkan papa untuk menjelaskan semuanya Sandy, setelah ini papa tidak akan menganggu kalian lagi,” mohon Papa Arkan.

Ara manarik-narik lengan baju Sandy. “Suruh aja masuk,” bisik Ara.

Sandy mengangguk, menyetujui bisikan sang adik.

“Masuk,” suruh Sandy, lalu ia melangkahkan kakinya ke dalam di ikutin oleh Papa Arkan dan juga Jonathan.

Sebelum ikut masuk Ara menyapu halaman terasnya terlebih dahulu.

“Batas suci issshh kesellll—”


Sandy mempersilahkan Papanya dan juga Jonathan untuk duduk di sofa ruang tamu rumahnya.

Ara baru saja kembali dari dapur dengan napan yang berisikan tiga gelas teh di tangannya, ia meletakkan dengan perlahan gelas tersebut di depan tamu-tamunya.

“Ara ke kamar ya kak,” izin Ara dengan sopan, lalu ia hendak melangkahkan kakinya ke kamar.

Namun langkah Ara terhenti. “Ara, di sini aja, dengerin semuanya,” ucap Papa Arkan.

Sebenarnya Ara malas, namun ia di kode oleh Sandy untuk menuruti perintah sang papa.

Setelah Ara duduk, Papa Arkan tersenyum, seperti ada kebanggaan bagi dirinya melihat ketiga anaknya di dalam satu ruangan.

“Papa minta maaf atas kesalahan papa, dan keegoisan papa dulu,” Ucap Papa Arkan membuka topik pembicaraan.

Papa Arkan menepuk paha Jonathan, membuat Jonathan yang sedari tadi menunduk mengangkat kepala.

“Mereka adik-adik kamu Jo, seperti yang papa bilang beberapa hari yang lalu.”

Jonathan menatap mata Sandy dan juga Ara secara bergantian, namun tidak seperti adik pada umumnya, kehadiran Jonathan di rumah ini hanya seperti matahari mencair, panas hingga membuat Ara bahkan Sandy tidak tahan berada di sana lama-lama.

Jonathan mengangguk, ia menatap papanya dan tersenyum tipis.

“Dulu papa bernasib sama seperti kamu Jona, tapi bedanya papa egois—” kalimat papa Arkan tergantung, ia menatap mata sang anak satu persatu.

“Dulu ibu Sandy dan juga Ara adalah cinta pertama papa. Sama seperti kamu ke Embun, ibu mereka orang yang lembut dan ceria seperti Embun,” lanjutnya.

Mata papa Arkan tertuju pada sebuah foto yang di pajang di dinding rumah itu.

“Cantik,” lirihnya.

“Ibu tidak bisa mengasih papa keturunan pada saat itu, umur pernikahan kita juga masih seumur jagung. Namun nenek dan kakek sangat ingin keturunan dari papa. Papa di jodohkan, papa nikah dengan mama kamu dan di ketahui oleh mereka kalau papa sudah bercerai dengan ibu,” Jelas papa Arkan dengan mata yang tidak lepas dari foto ibu Sandy dan juga Ara.

“Papa egois, papa masih berhubungan dengan ibu pada saat itu, sampai kamu menginjak umut tiga tahun, ibu mengabarkan bahwa dirinya hamil. Perasaan papa semakin besar untuk ibu, namun satu kesalahan papa,” ucapnya.

“Papa lupa akan tanggung jawab papa, papa membiarkan ibu membesarkan Sandy seorang diri, papa hanya datang ke ibu ketika papa sedang ada masalah dengan mama kamu Jo. Sampai akhirnya Ara hadir di dunia ini, papa kembali melupakan tanggung jawab papa,” ungkapnya.

Jonathan mendengarkan penjelasan sang papa dengan seksama, ia sedikit kesal dan juga marah. Sosok papa yang selama ini ia kagumi, ternyata memiliki kesalahan yang begitu besar.

“Tujuan papa dan Jonathan kemari untuk apa?” Tanya Sandy tiba-tiba.

Papa Arkan menghelakan nafasnya kasar. “Papa hanya ingin hubungan keluarga kita baik kembali Sandy,” Jawabnya dengan mudah.

Sandy mendecak kesal, ia mengangguk mengeluarkan sebuah smirk di bibirnya.

“Keluarga ya?” Sarkas Sandy. “Kemana keluarga Sandy ketika Sandy dan Ara kehilangan ibu? Kemana keluarga Sandy dan Ara ketika kita sedang membutuhkan atap untuk berteduh. Kemana keluarga kami ketika dulu kami butuh sosok untuk berkeluh kesah?” Lanjutnya masih dengan sarkas.

Ara tidak berani bicara, ia tau begitu susah perjuangan sang kakak untuk berada di titik sekarang. Dulu ketika mereka kehilangan sang ibu, mereka sampai memakan makanan sisa yang entah itu masih bagus atau sudah basi.

“Papa minta maaf,” kata Papa Arkan dengan sungguh-sungguh.

“Untuk apa papa meminta kita untuk menjadi keluarga papa? Papa udah bahagia dengan kekayaan papa bukan? Dengan istri cantik dan juga anak yang sukses?” Kini Ara yang menyahut perkataan Papa Arkan.

Ara menatap mata sang papa dengan penuh amarah. “Kita gak butuh sosok keluarga lagi pa, keluarga Ara adalah kak Sandy, dan begitupun sebaliknya.”

“Kak Jonathan,” panggil Ara.

Jonathan menatap balik mata Ara. “Kak Jonathan bisa jadi anak yang baik buat papa kan? Kita menghargai kalian, tapi kita udah bahagia dengan kesendirian,” kata Ara dengan amarahnya yang memuncak.

Papa Arkan terus meminta maaf ke Sandy dan juga Ara. Jonathan yang hanya diam seperti orang bisu.

Pada akhirnya Sandy mengucapkan iya, namun tidak untuk menjadi keluarga, ia hanya bisa memaafkan kesalahan sang papa, namun tidak kembali kepada dirinya.

Papa Arkan menghargai keputusan kedua anaknya, ia sedikit bersyukur ketika pintu maaf dari kedua anaknya terbuka.

Last but not least

Jonathan menunggu kedatangan Embun di taman rumah sakit sesuai janji dirinya dengan Embun.

“Jona,” panggil Embun.

Mendengar suara Embun, Jona dengan segera mengalihkan pandangannya. Namun ia sedikit kaget karena Embun yang duduk di kursi roda di antar oleh Sandy. Saudara tirinya.

Embun tersenyum ke arah Sandy. “Kak Sandy terima kasih ya udah antar Embun, sampai sini aja. Nanti Embun kabarin kalo udah,” Ucap Embun.

Jujur hati Jona sakit ketika melihat Embun tersenyum kepada pria lain, terlebih pria tersebut adalah saudara tirinya.

Sandy mengangguk, sebelum pergi ia menatap mata Jona sesaat, tatapan itu sangat tajam seakan-akan sedang memperingatkan Jona.

Setelah Sandy pergi, Jona jongkok tepat di depan Embun.

“Kamu kenapa bisa gini Embun?” Tanya Jona, tangannya berusaha memegang tangan Embun yang terbalut dengan perban.

Dengan cepat Embun menepis tangan Jona.

“Cuman kecelakaan kecil Jo,” Jawab Embun.

Jona kaget ketika tangannya di tepis, tangan yang dulu sering menggenggam dan mengusap kulit lembut Embun, namun kini di tolak oleh Embun.

Jona tersenyum, ia duduk di bangku yang ada di sebelah kursi roda Embun.

Keadaan hening, tidak ada dari mereka yang berbicara. Tidak ada canda tawa yang seperti dulu , bahkan udara di antara mereka sangat canggung.

“Jo-” panggil Embun dengan lembut.

“Iya?”

“Kita di takdirkan bertemu, kita di takdirkan untuk bersama walaupun di waktu yang singkat,” ucap Embun membuka topik pembicaraan.

Jonathan hanya diam, ia menyimak setiap perkataan Embun.

“Takdir yang indah, kebahagiaan yang tidak pernah aku rasain sebelum aku bertemu dengan kamu.”

“Pelukan hangat yang sangat tulus, sentuhan lembut yang menenangkan, suara indah yang menghibur di kala capek melanda.”

Air mata Embun perlahan jatuh, setiap kata yang ia ucap, seperti goresan pisau yang menyayat kulitnya.

Jonathan sangat ingin memeluk erat tubuh Embun sekarang, namun ia sangat takut.

“Namun ternyata takdir kita gak lama ya Jo?” Embun memalingkan wajahnya menatap mata Jona.

“Dulu kamu bilang, aku adalah cinta pertama kamu. Dan dengan aku kamu merasakan kebahagiaan untuk yang pertama kali,” tutur Embun dengan sangat lembut.

Embun menghela nafas kasar, ia tidak peduli seberapa deras air mata yang keluar dari matanya.

“Tapi sayangnya aku gak bisa ngebahagiain kamu sampai akhir, aku minta maaf ya?”

Jona menggeleng dengan sangat kuat. “No, jangan minta maaf,” imbuh Jona dengan suata bergetar seperti sedang menahan tangis.

Embun meraih kedua tangan Jona, ia menggenggam tangan besar itu.

“Jonathan Arkananta, terima kasih telah menggenggam tangan aku dengan sangat erat pada saat aku jatuh, terima kasih atas kehangatan yang telah melindungi aku dari dinginnya malam.” Embun menjeda ucapannya. “Terima kasih karena telah bersedia menegakkan badan untuk melindungi tubuh aku yang lemah dari kejamnya dunia,” lanjutnya.

Jonathan tidak bisa menahan air matanya lagi, ia menangis, kalimat yang Embun lontarkan sangat menyayat hatinya.

“Aku sayang sama kamu Jo, sampai kapanpun itu,” ungkap Embun, membuat Isak tangis Jonathan semakin menjadi-jadi.

Begitupun dengan Embun, air matanya tidak berhenti mengalir.

“Embun pernah mendengar kalimat ini dari sebuah lagu, meski semua ini menyakitkan tapi, akan selalu ada kata selamat dalam setiap kata selamat tinggal

Embun menggenggam tangan Jonathan semakin erat, ia mengusap pipi Jonathan secara bergantian menggunakan tangannya.

“Untuk yang terakhir, terima kasih atas segala-galanya Jonathan.” Embun menangkup kedua pipi Embun, untuk yang pertama kali ia melihat lelaki kuat yang sangat ia sayangi menangis deras di depan dirinya.

Embun memberikan senyuman untuk Jonathan, sebelum ia melepaskan tangannya.

“Selamat tinggal Jonathan, terima kasih karena telah memilih aku sebagai wanita pertama yang beruntung yang menerima cinta kamu, berbahagialah dengan takdir kamu nantinya,” Isak Embun.

“I hope you're happy and Happier Jonathan Arkananta,” Finish Embun sebelum ia meninggalkan Jonathan yang menangisi dan menyesali semuanya.

Embun membalikkan kursi rodanya, perlahan ia menjalankan kursi rodanya, karena tangannya yang masih lemah.

Namun beberapa saat kemudian, Sandy datang membantu dirinya.

“Embun,” panggil Jonathan.

Embun menyuruh Sandy untuk berhenti sebentar. Sandy membalikkan kursi roda Embun kembali menatap Jonathan.

Jonathan tersenyum menatap Embun. “Untuk yang terakhir kalinya, aku akan mencintai mu selalu.”

“Izinkan aku untuk menjadikan kamu cinta pertama dan terakhir aku Embun Gayatri,” Pinta Jonathan dengan lembut.

Embun membalas senyuman yang di berikan Jonathan, ia mengangguk.

“Sampai kamu menemukan cinta kamu yang selanjutnya ya Jo? I love you, aku pamit,” pamit Embun lalu menyuruh Sandy kembali membantunya untuk mendorong kursi roda.

“Never, I love you more Embun, as always,” monolog Jonathan seraya menatap Embun yang semakin menjauh.

Mungkin ini yang terakhir, namun ini bukan akhir dari segalanya.


Akan selalu ada kata selamat dalam setiap kata selamat tinggal Lirik lagu dari Virgoun feat Audy – selamat ( selamat tinggal)

Bernafas dengan tenang

Pagi tiba, matahari menyinari kamar VIP dimana Embun di rawat.

Embun sudah terbangun dari tidurnya, tentu saja hal tersebut membuat Hujan sangat senang. Sampai-sampai sedari tadi dia enggan melepas pelukannya.

Di ruangan tersebut sudah ada Yudis, Sandy dan juga Daffa Cherry, Cherry langsung menuju Jakarta ketika mendengar kabar buruk tentang Embun.

“Terima kasih Embun, terima kasih sudah bertahan,” Ucap Cherry seraya memeluk Embun di sisi kiri karena di sisi kanan sudah ada Hujan.

Embun melebarkan senyumannya, ia merasa sangat di hargai sekarang. Namun kenapa dia tidak menghargai dirinya sendiri?

“Terima kasih karena sudah menemani Embun, maaf karena Embun gegabah,” Ucap Embun penuh penyesalan.

Sandy tersenyum, ia merasa tenang ketika melihat Embun kembali membukakan matanya.

“Capek itu hal yang wajar, begitu juga dengan kecewa. Masalah akan datang bertubi-tubi, itu karena Tuhan sayang pada kamu, karena Tuhan tau, kamu lah orang yang tepat di berikan kebahagiaan yang lebih nanti di masa yang akan datang.”, Kalimat yang keluar dari mulut Sandy membuat Embun tersadar 100%.

Tidak seharusnya ia menyerah, ketika ia menyerah, maka masalah lain akan datang bukan?

“Goks banget bro kalimatnya!” Puji Yudis berhasil membuat seisi ruangan tertawa.

Mereka sudah mengucapkan Embun selamat ulang tahun, namun Embun melarang mereka untuk menyanyikan lagu ulang tahun dan juga perayaan.

Embun sangat benci hal itu, sedari kecil ia tidak pernah merasakannya, dan sampai sekarang ia tidak menginginkannya.

Dengan kehadiran teman-teman yang ada disisinya sekarang itu lebih dari cukup. Cukup untuk membuat Embun kembali merasakan apa itu hidup.

Perlahan Embun mengusap perutnya. Ia merasa bersalah karena kemarin sempat memukul-mukul perutnya sendiri.

“Udah-udah, sekarang waktunya Embun istirahat!” Galak Cherry. “Cowok-cowok sana keluar, nanti kalo di butuhin balik lagi ya!” Usir Cherry.

Karena tidak mau mendengar Cherry mengomel, mereka menuruti nya. Yudhis hendak pulak karena hari ini ia ada meeting, begitu juga dengan Daffa. Dan Sandy yang harus mengurus caffe nya terlebih dahulu.

Embun kembali menangis, ia meluapkan emosinya kembali. Bayang-bayang kejadian kemarin masih menghantui dirinya.

Ia hanya ingin bernafas dengan tenang, mengikhlaskan semuanya, dan hidup kembali sebagai Embun Gayatri.

“Embun, banyak yang sayang kamu di sini. Mati satu tumbuh seribu oke?” Cherry meyakinkan Embun mengusap air mata Embun.

“Hujan sayang teteh.”

Selamat ulang tahun Embun Gayatri, wanita terhebat yang pernah ada di dunia ini. Terima kasih karena sudah bertahan.

Dengan sekuat tenaga Sandy berusaha mendobrak pintu kamar Embun. Walaupun di rada tangannya sudah sangat sakit—namun ia tetap mendobrak pintu kamar tersebut.

Hujan sedari tadi hanya menangis, ia terus-menerus berdoa agar sang kakak tidak macam-macam di dalam sana. Jujur Embun sangat khawatir, terlebih ketika ia mendengar suara teriakan Embun dari dalam.

Brakk

Finally!

Sandy berhasil membuka pintu kamar Embun. Dengan cepat ia dan Hujan masuk ke dalam, begitu terkejutnya mereka ketika sampai di dalam sana.

Kaki Hujan melemah ketika melihat keadaan sang kakak— begitu juga dengan Sandy, ia terdiam untuk beberapa saat.

Embun tergelatak lemah dengan daerah yang berceceran dimana-mana. Darah tersebut berasal dari tangan Embun.

Sandy juga dapat melihat sebuah pisau yang tergeletak tidak jauh dari tangan Embun.

Sandy menghampiri Embun, mengangkat tubuh Embun meletakkannya kepala Embun di tangan kirinya sebagai tumpuan— dan tangan kanan yang ia gunakan untuk mengelus wajah Embun.

Mata Embun sangat sembab, dan merah. Wajahnya basah karena keringat dan juga air mata.

Darah dari kedua tangan Embun tidak berhenti keluar, entah apa yang ada di pikirannya. Kenapa ia senekat ini?

“Hujan,” panggil Sandy dengan lembut ke Hujan.

Hujan yang masih sangat shock, ia tidak menghiraukan panggilan dari Sandy, ia menatap takut tubuh lemah sang kakak yang ada di tangan Sandy.

Sandy menghela nafas, ia berusaha setenang mungkin.

“Hei, look at me, kamu ambil kain apapun itu ya? Tolong kakak,” suruh Sandy.

Hujan mengangguk, dengan langkah gontai dan panik ia menuju ke lemari Embun, ia meraih kain panjang yang di dalam sana.

Dengan cepat Hujan menyerahkan kain tersebut ke Sandy. Tangan Hujan bergetar hebat, ia sangat takut melihat kondisi sang kakak sekarang.

Sandy meraih dan menerima kain yang di berikan Hujan. Ia menutup kedua tangan Embun menggunakan kain tersebut.

“Hujan bisa nyetir?” Tanya Sandy ke Hujan.

Hujan menggeleng. “Hujan gak bjsa,” Jawab Hujan dengan suara yang bergetar.

Mendengar hal tersebut Sandy sedikit kebingungan, ia kembali melihat Embun yang makin melemah.

Sandy mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana. “Ini nanti sampe di parkiran kamu bukain pintu ya? Biar kakak yang masukin kak Embun ke mobil, kamu nemenin kak Embun di belakang ya?” Ucap Sandy seraya menyodorkan kunci mobilnya.

Dengan perasaan ragu Hujan mengambil kunci tersebut, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Iya kak.”


Sandy menggendong Embun menuju parkiran apartemen. Di ikutin oleh Hujan di belakangnya.

“Itu mobil kakak, bukain pintunya Hujan,” Pinta Sandy menyuruh Hujan.

Dengan cepat hujan menekan tombol yang ada kunci mobil Sandy. Setelah mobil tersebut berbunyi menandakan kuncinya berhasil terbuka, Hujan dengan segera membuka pintu belakang mobil.

Sandy memasukkan dan menidurkan Embun di bangku penumpang secara perlahan. Embun telah kehilangan kesadaran total, Sandy sangat panik namun iya berusaha menahannya.

Hujan berlari dan masuk ke mobil melalui pintu sebelah, ia meletakkan kepala sang kakak di pangkuannya.

Hujan tidak bisa menahan tangisnya, namun ia berusaha nahan agar air matanya tidak membasahi pipi sang kakak.

“Kak Sandy selamatin teh Embun ya,” Pinta Hujan menatap mata Sandy dengan penuh harapan.

Sandy tersenyum lembut, ia menutup pintu mobil belakang, lalu segera beralih ke kursi pengemudi.

Sandy melirik sekilas keadaan Hujan melalui kaca depan mobil.

“Kak Embun akan selamat, sekarang Hujan berdoa jangan berhenti oke?”

Hujan paham, ia mengangguk. Lalu ia memejamkan matanya, berdoa dengan sungguh-sungguh agar sang kakak di beri keselamatan.

Perlahan Sandy mengemudikan mobilnya. Sesekali ia melirik ke arah Hujan yang belum membuka matanya, ia masih berdoa untuk Embun.

“Embun bertahan ya, masih ada yang sayang sama kamu di dunia ini.” Batin Sandy— tanpa sengaja mata Sandy menetaskan air, namun dengan cepat ia menyekanya.


“Gimana?” Tanya Daffa yang baru saja tiba di rumah sakit.

Daffa kelihatan sangat berkeringat, ia berlari dengan sangat cepat setelah mendengar kabar bahwa Embun berusaha mengakhiri hidupnya.

“Hujan,” panggil Daffa ketika melihat Hujan yang sedang menunduk menangis sejadi-jadinya.

Mendengar panggilan dari suara yang ia kenal. Hujan mengangkat kepalanya. “Kak Daffa,” Sahut Hujan dengan suaranya yang masih bergetar.

Hujan mengenal Daffa dadi Embun, mereka beberapa kali sempat berbincang melalu telepon dan juga Videocall.

“Embun masih di tanganin sama dokter,” Ucap Sandy.

Daffa mengangguk, perlahan ia mengusap kepala Hujan agar gadis kecil itu merasa tenang.

“Kenapa bisa begini?” Tanya Daffa.

Sandy menghela nafas kasar, ia sangat benci untuk mengingat kembali kejadian tadi.

Perlahan ia menjelaskan semua kejadian dari awal. Dari Embun yang jumpa dengan Papa Arkan sampai berjumpa kembali dengan Jonathan.

Hal tersebut membuat Daffa kaget, dan tangis Hujan semakin menjadi.

Kenapa ada manusia seegois mereka?


Malam telah tiba, keadaan Embun baik-baik saja. Dia tidak mengalami hal-hal yang besar.

Hanya saja shock yang membuat dirinya harus tertidur lebih lama. Dan juga kekurangan darah.

Hujan duduk di bangku yang ada di sebelah kasur Embun, ia setia menunggu sang kakak bangun dari tidurnya.

Hujan sangat sakit melihat kedua tangan sang kakak yang terbalut dengan perban, dan juga selang oksigen di hidungnya.

Pelan-pelan Hujan mengusap tangan Embun, menyalurkan rasa sayang, dan juga rasa cinta yang tulus dari dirinya.

“Teh, Hujan tau ini berat. Tapi teteh harus tau, di sini masih banyak yang sayang sama teteh, besok ulang tahun teteh kan?” Ucap Hujan berbicara ke Embun.

Embun menatap mata sang kakak yang masih terpejam.

“Teteh udah janji mau ngerayainnya sama Hujan, Hujan udah ada di sini tapi teteh berusaha pergi.” Air mata Hujan lolos mengalir membasahi pipinya.

Dadanya terasa sesak, namun sebisa mungkin Hujan menahannya. “Teh Embun, Hujan sayang sama teteh. Hujan juga menantikan kehadiran keponakan Hujan nanti.” Hujan tersenyum seraya menatap perut Embun.

Untunglah kandungan Embun tidak kenapa-kenapa.

Hujan bangkit, ia mengecup kening sang kakak, mengusap pelan rambut Embun.

“Hujan gak pernah seberuntung ini di dalam hidup Hujan selain punya teteh kayak teteh Embun, jangan tinggalin Hujan ya teh?”

Hujan kembali duduk, ia kembali memejamkan matanya, berdoa untuk keselamatan Embun.

Sandy yang baru saja kembali ke kamar dimana Embun di rawat, ia melihat Hujan lalu tersenyum lembut.

Hujan menggambarkan sosok Ara di matanya, sama seperti Ara, penyayang dan juga penakut di satu saat. Namun yang membuat mereka beda Ara yang sedikit pecicilan dan Hujan yang tenang.

Melihat Hujan yang sedang berdoa, Sandy teringat di mana Ara juga melakukan hal tersebut di saat ibunya masuk ke rumah sakit karena berusaha bunuh diri.

Namun sayangnya doa Ara tidak di kabulkan, mereka kehilangan sosok ibu saat itu juga.

'Hujan, semoga doa-doa kamu terkabulkan ya,' batin Sandy.

Sandy menepuk pelan bahu Hujan, membuat Hujan membuka matanya.

“Makan dulu ya?”

Hujan menggeleng, ia kembali menggenggam tangan Embun. Nanti Hujan makan sama teh Embun aja.

Sandy menghela nafas mendengar jawab Hujan. “Kamu belum makan dari siang kan? Nanti kalo kamu sakit, siapa yang jaga Embun? Siapa yang akan mendoakan Embun hm?” Sandy menatap mata Hujan berusaha membujuknya agar Hujan mau makan.

Usaha Sandy membuahkan hasil, Hujan akhirnya luluh. Ia mengambil sebuah paper bag yang di bawakan oleh Sandy tadi.

“Terima kasih kak, terima kasih atas kebaikan yang kakak berikan untuk teh Embun dan juga Hujan, Hujan gatau kalo gak ada kakak tadi,” Ucap Hujan seraya tersenyum menatap Sandy.

Sandy mengangguk, ia mengusap pelan rambut Hujan. “My pleasure Hujan, kamu udah seperti adik saya, makan yang banyak habis itu istirahat, gantian sama saya jaga Embun nya.”

Hujan mengangguk, lalu ia berjalan ke arah sofa yang berada tidak jauh dari bed Embun. Sandy menggantikan Hujan, ia duduk di mana Hujan tadi duduk.

Sandy menatap wajah Embun. Sesungguhnya ia sangat benci keadaan sekarang, ia sangat benci melihat orang-orang yang berusaha bunuh diri.

Ia selalu menanamkan pada dirinya sendiri, jika ada masalah maka selesaikan masalah mu, bukan hidup mu.

Namun melihat Embun, perasaan kasihan muncul tiba-tiba. Ia menanam dalam-dalam rasa benci dan juga rasa takutnya.

Bertahanlah sebesar apapun masalahmu. Karena masih ada yang harus kamu cintai, diri kamu sendiri.

Dengan sekuat tenaga Sandy berusaha mendobrak pintu kamar Embun. Walaupun di rada tangannya sudah sangat sakit—namun ia tetap mendobrak pintu kamar tersebut.

Hujan sedari tadi hanya menangis, ia terus-menerus berdoa agar sang kakak tidak macam-macam di dalam sana. Jujur Embun sangat khawatir, terlebih ketika ia mendengar suara teriakan Embun dari dalam.

Brakk

Finally!

Sandy berhasil membuka pintu kamar Embun. Dengan cepat ia dan Hujan masuk ke dalam, begitu terkejutnya mereka ketika sampai di dalam sana.

Kaki Hujan melemah ketika melihat keadaan sang kakak— begitu juga dengan Sandy, ia terdiam untuk beberapa saat.

Embun tergelatak lemah dengan daerah yang berceceran dimana-mana. Darah tersebut berasal dari tangan Embun.

Sandy juga dapat melihat sebuah pisau yang tergeletak tidak jauh dari tangan Embun.

Sandy menghampiri Embun, mengangkat tubuh Embun meletakkannya kepala Embun di tangan kirinya sebagai tumpuan— dan tangan kanan yang ia gunakan untuk mengelus wajah Embun.

Mata Embun sangat sembab, dan merah. Wajahnya basah karena keringat dan juga air mata.

Darah dari kedua tangan Embun tidak berhenti keluar, entah apa yang ada di pikirannya. Kenapa ia senekat ini?

“Hujan,” panggil Sandy dengan lembut ke Hujan.

Hujan yang masih sangat shock, ia tidak menghiraukan panggilan dari Sandy, ia menatap takut tubuh lemah sang kakak yang ada di tangan Sandy.

Sandy menghela nafas, ia berusaha setenang mungkin.

“Hei, look at me, kamu ambil kain apapun itu ya? Tolong kakak,” suruh Sandy.

Hujan mengangguk, dengan langkah gontai dan panik ia menuju ke lemari Embun, ia meraih kain panjang yang di dalam sana.

Dengan cepat Hujan menyerahkan kain tersebut ke Sandy. Tangan Hujan bergetar hebat, ia sangat takut melihat kondisi sang kakak sekarang.

Sandy meraih dan menerima kain yang di berikan Hujan. Ia menutup kedua tangan Embun menggunakan kain tersebut.

“Hujan bisa nyetir?” Tanya Sandy ke Hujan.

Hujan menggeleng. “Hujan gak bjsa,” Jawab Hujan dengan suara yang bergetar.

Mendengar hal tersebut Sandy sedikit kebingungan, ia kembali melihat Embun yang makin melemah.

Sandy mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana. “Ini nanti sampe di parkiran kamu bukain pintu ya? Biar kakak yang masukin kak Embun ke mobil, kamu nemenin kak Embun di belakang ya?” Ucap Sandy seraya menyodorkan kunci mobilnya.

Dengan perasaan ragu Hujan mengambil kunci tersebut, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Iya kak.”


Sandy menggendong Embun menuju parkiran apartemen. Di ikutin oleh Hujan di belakangnya.

“Itu mobil kakak, bukain pintunya Hujan,” Pinta Sandy menyuruh Hujan.

Dengan cepat hujan menekan tombol yang ada kunci mobil Sandy. Setelah mobil tersebut berbunyi menandakan kuncinya berhasil terbuka, Hujan dengan segera membuka pintu belakang mobil.

Sandy memasukkan dan menidurkan Embun di bangku penumpang secara perlahan. Embun telah kehilangan kesadaran total, Sandy sangat panik namun iya berusaha menahannya.

Hujan berlari dan masuk ke mobil melalui pintu sebelah, ia meletakkan kepala sang kakak di pangkuannya.

Hujan tidak bisa menahan tangisnya, namun ia berusaha nahan agar air matanya tidak membasahi pipi sang kakak.

“Kak Sandy selamatin teh Embun ya,” Pinta Hujan menatap mata Sandy dengan penuh harapan.

Sandy tersenyum lembut, ia menutup pintu mobil belakang, lalu segera beralih ke kursi pengemudi.

Sandy melirik sekilas keadaan Hujan melalui kaca depan mobil.

“Kak Embun akan selamat, sekarang Hujan berdoa jangan berhenti oke?”

Hujan paham, ia mengangguk. Lalu ia memejamkan matanya, berdoa dengan sungguh-sungguh agar sang kakak di beri keselamatan.

Perlahan Sandy mengemudikan mobilnya. Sesekali ia melirik ke arah Hujan yang belum membuka matanya, ia masih berdoa untuk Embun.

“Embun bertahan ya, masih ada yang sayang sama kamu di dunia ini.” Batin Sandy— tanpa sengaja mata Sandy menetaskan air, namun dengan cepat ia menyekanya.


“Gimana?” Tanya Daffa yang baru saja tiba di rumah sakit.

Daffa kelihatan sangat berkeringat, ia berlari dengan sangat cepat setelah mendengar kabar bahwa Embun berusaha mengakhiri hidupnya.

“Hujan,” panggil Daffa ketika melihat Hujan yang sedang menunduk menangis sejadi-jadinya.

Mendengar panggilan dari suara yang ia kenal. Hujan mengangkat kepalanya. “Kak Daffa,” Sahut Hujan dengan suaranya yang masih bergetar.

Hujan mengenal Daffa dadi Embun, mereka beberapa kali sempat berbincang melalu telepon dan juga Videocall.

“Embun masih di tanganin sama dokter,” Ucap Sandy.

Daffa mengangguk, perlahan ia mengusap kepala Hujan agar gadis kecil itu merasa tenang.

“Kenapa bisa begini?” Tanya Daffa.

Sandy menghela nafas kasar, ia sangat benci untuk mengingat kembali kejadian tadi.

Perlahan ia menjelaskan semua kejadian dari awal. Dari Embun yang jumpa dengan Papa Arkan sampai berjumpa kembali dengan Jonathan.

Hal tersebut membuat Daffa kaget, dan tangis Hujan semakin menjadi.

Kenapa ada manusia seegois mereka?


Malam telah tiba, keadaan Embun baik-baik saja. Dia tidak mengalami hal-hal yang besar.

Hanya saja shock yang membuat dirinya harus tertidur lebih lama. Dan juga kekurangan darah.

Hujan duduk di bangku yang ada di sebelah kasur Embun, ia setia menunggu sang kakak bangun dari tidurnya.

Hujan sangat sakit melihat kedua tangan sang kakak yang terbalut dengan perban, dan juga selang oksigen di hidungnya.

Pelan-pelan Hujan mengusap tangan Embun, menyalurkan rasa sayang, dan juga rasa cinta yang tulus dari dirinya.

“Teh, Hujan tau ini berat. Tapi teteh harus tau, di sini masih banyak yang sayang sama teteh, besok ulang tahun teteh kan?” Ucap Hujan berbicara ke Embun.

Embun menatap mata sang kakak yang masih terpejam.

“Teteh udah janji mau ngerayainnya sama Hujan, Hujan udah ada di sini tapi teteh berusaha pergi.” Air mata Hujan lolos mengalir membasahi pipinya.

Dadanya terasa sesak, namun sebisa mungkin Hujan menahannya. “Teh Embun, Hujan sayang sama teteh. Hujan juga menantikan kehadiran keponakan Hujan nanti.” Hujan tersenyum seraya menatap perut Embun.

Untunglah kandungan Embun tidak kenapa-kenapa.

Hujan bangkit, ia mengecup kening sang kakak, mengusap pelan rambut Embun.

“Hujan gak pernah seberuntung ini di dalam hidup Hujan selain punya teteh kayak teteh Embun, jangan tinggalin Hujan ya teh?”

Hujan kembali duduk, ia kembali memejamkan matanya, berdoa untuk keselamatan Embun.

Sandy yang baru saja kembali ke kamar dimana Embun di rawat, ia melihat Hujan lalu tersenyum lembut.

Hujan menggambarkan sosok Ara di matanya, sama seperti Ara, penyayang dan juga penakut di satu saat. Namun yang membuat mereka beda Ara yang sedikit pecicilan dan Hujan yang tenang.

Melihat Hujan yang sedang berdoa, Sandy teringat di mana Ara juga melakukan hal tersebut di saat ibunya masuk ke rumah sakit karena berusaha bunuh diri.

Namun sayangnya doa Ara tidak di kabulkan, mereka kehilangan sosok ibu saat itu juga.

'Hujan, semoga doa-doa kamu terkabulkan ya,' batin Sandy.

Sandy menepuk pelan bahu Hujan, membuat Hujan membuka matanya.

“Makan dulu ya?”

Hujan menggeleng, ia kembali menggenggam tangan Embun. Nanti Hujan makan sama teh Embun aja.

Sandy menghela nafas mendengar jawab Hujan. “Kamu belum makan dari siang kan? Nanti kalo kamu sakit, siapa yang jaga Embun? Siapa yang akan mendoakan Embun hm?” Sandy menatap mata Hujan berusaha membujuknya agar Hujan mau makan.

Usaha Sandy membuahkan hasil, Hujan akhirnya luluh. Ia mengambil sebuah paper bag yang di bawakan oleh Sandy tadi.

“Terima kasih kak, terima kasih atas kebaikan yang kakak berikan untuk teh Embun dan juga Hujan, Hujan gatau kalo gak ada kakak tadi,” Ucap Hujan seraya tersenyum menatap Sandy.

Sandy mengangguk, ia mengusap pelan rambut Hujan. “My pleasure Hujan, kamu udah seperti adik saya, makan yang banyak habis itu istirahat, gantian sama saya jaga Embun nya.”

Hujan mengangguk, lalu ia berjalan ke arah sofa yang berada tidak jauh dari bed Embun. Sandy menggantikan Hujan, ia duduk di mana Hujan tadi duduk.

Sandy menatap wajah Embun. Sesungguhnya ia sangat benci keadaan sekarang, ia sangat benci melihat orang-orang yang berusaha bunuh diri.

Ia selalu menanamkan pada dirinya sendiri, jika ada masalah maka selesaikan masalah mu, bukan hidup mu.

Namun melihat Embun, perasaan kasihan muncul tiba-tiba. Ia menanam dalam-dalam rasa benci dan juga rasa takutnya.

Bertahanlah sebesar apapun masalahmu. Karena masih ada yang harus kamu cintai, diri kamu sendiri.

Dengan sekuat tenaga Sandy berusaha mendobrak pintu kamar Embun. Walaupun di rada tangannya sudah sangat sakit—namun ia tetap mendobrak pintu kamar tersebut.

Hujan sedari tadi hanya menangis, ia terus-menerus berdoa agar sang kakak tidak macam-macam di dalam sana. Jujur Embun sangat khawatir, terlebih ketika ia mendengar suara teriakan Embun dari dalam.

Brakk

Finally!

Sandy berhasil membuka pintu kamar Embun. Dengan cepat ia dan Hujan masuk ke dalam, begitu terkejutnya mereka ketika sampai di dalam sana.

Kaki Hujan melemah ketika melihat keadaan sang kakak— begitu juga dengan Sandy, ia terdiam untuk beberapa saat.

Embun tergelatak lemah dengan daerah yang berceceran dimana-mana. Darah tersebut berasal dari tangan Embun.

Sandy juga dapat melihat sebuah pisau yang tergeletak tidak jauh dari tangan Embun.

Sandy menghampiri Embun, mengangkat tubuh Embun meletakkannya kepala Embun di tangan kirinya sebagai tumpuan— dan tangan kanan yang ia gunakan untuk mengelus wajah Embun.

Mata Embun sangat sembab, dan merah. Wajahnya basah karena keringat dan juga air mata.

Darah dari kedua tangan Embun tidak berhenti keluar, entah apa yang ada di pikirannya. Kenapa ia senekat ini?

“Hujan,” panggil Sandy dengan lembut ke Hujan.

Hujan yang masih sangat shock, ia tidak menghiraukan panggilan dari Sandy, ia menatap takut tubuh lemah sang kakak yang ada di tangan Sandy.

Sandy menghela nafas, ia berusaha setenang mungkin.

“Hei, look at me, kamu ambil kain apapun itu ya? Tolong kakak,” suruh Sandy.

Hujan mengangguk, dengan langkah gontai dan panik ia menuju ke lemari Embun, ia meraih kain panjang yang di dalam sana.

Dengan cepat Hujan menyerahkan kain tersebut ke Sandy. Tangan Hujan bergetar hebat, ia sangat takut melihat kondisi sang kakak sekarang.

Sandy meraih dan menerima kain yang di berikan Hujan. Ia menutup kedua tangan Embun menggunakan kain tersebut.

“Hujan bisa nyetir?” Tanya Sandy ke Hujan.

Hujan menggeleng. “Hujan gak bjsa,” Jawab Hujan dengan suara yang bergetar.

Mendengar hal tersebut Sandy sedikit kebingungan, ia kembali melihat Embun yang makin melemah.

Sandy mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana. “Ini nanti sampe di parkiran kamu bukain pintu ya? Biar kakak yang masukin kak Embun ke mobil, kamu nemenin kak Embun di belakang ya?” Ucap Sandy seraya menyodorkan kunci mobilnya.

Dengan perasaan ragu Hujan mengambil kunci tersebut, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Iya kak.”


Sandy menggendong Embun menuju parkiran apartemen. Di ikutin oleh Hujan di belakangnya.

“Itu mobil kakak, bukain pintunya Hujan,” Pinta Sandy menyuruh Hujan.

Dengan cepat hujan menekan tombol yang ada kunci mobil Sandy. Setelah mobil tersebut berbunyi menandakan kuncinya berhasil terbuka, Hujan dengan segera membuka pintu belakang mobil.

Sandy memasukkan dan menidurkan Embun di bangku penumpang secara perlahan. Embun telah kehilangan kesadaran total, Sandy sangat panik namun iya berusaha menahannya.

Hujan berlari dan masuk ke mobil melalui pintu sebelah, ia meletakkan kepala sang kakak di pangkuannya.

Hujan tidak bisa menahan tangisnya, namun ia berusaha nahan agar air matanya tidak membasahi pipi sang kakak.

“Kak Sandy selamatin teh Embun ya,” Pinta Hujan menatap mata Sandy dengan penuh harapan.

Sandy tersenyum lembut, ia menutup pintu mobil belakang, lalu segera beralih ke kursi pengemudi.

Sandy melirik sekilas keadaan Hujan melalui kaca depan mobil.

“Kak Embun akan selamat, sekarang Hujan berdoa jangan berhenti oke?”

Hujan paham, ia mengangguk. Lalu ia memejamkan matanya, berdoa dengan sungguh-sungguh agar sang kakak di beri keselamatan.

Perlahan Sandy mengemudikan mobilnya. Sesekali ia melirik ke arah Hujan yang belum membuka matanya, ia masih berdoa untuk Embun.

“Embun bertahan ya, masih ada yang sayang sama kamu di dunia ini.” Batin Sandy— tanpa sengaja mata Sandy menetaskan air, namun dengan cepat ia menyekanya.


“Gimana?” Tanya Daffa yang baru saja tiba di rumah sakit.

Daffa kelihatan sangat berkeringat, ia berlari dengan sangat cepat setelah mendengar kabar bahwa Embun berusaha mengakhiri hidupnya.

“Hujan,” panggil Daffa ketika melihat Hujan yang sedang menunduk menangis sejadi-jadinya.

Mendengar panggilan dari suara yang ia kenal. Hujan mengangkat kepalanya. “Kak Daffa,” Sahut Hujan dengan suaranya yang masih bergetar.

Hujan mengenal Daffa dadi Embun, mereka beberapa kali sempat berbincang melalu telepon dan juga Videocall.

“Embun masih di tanganin sama dokter,” Ucap Sandy.

Daffa mengangguk, perlahan ia mengusap kepala Hujan agar gadis kecil itu merasa tenang.

“Kenapa bisa begini?” Tanya Daffa.

Sandy menghela nafas kasar, ia sangat benci untuk mengingat kembali kejadian tadi.

Perlahan ia menjelaskan semua kejadian dari awal. Dari Embun yang jumpa dengan Papa Arkan sampai berjumpa kembali dengan Jonathan.

Hal tersebut membuat Daffa kaget, dan tangis Hujan semakin menjadi.

Kenapa ada manusia seegois mereka?


Malam telah tiba, keadaan Embun baik-baik saja. Dia tidak mengalami hal-hal yang besar.

Hanya saja shock yang membuat dirinya harus tertidur lebih lama. Dan juga kekurangan darah.

Hujan duduk di bangku yang ada di sebelah kasur Embun, ia setia menunggu sang kakak bangun dari tidurnya.

Hujan sangat sakit melihat kedua tangan sang kakak yang terbalut dengan perban, dan juga selang oksigen di hidungnya.

Pelan-pelan Hujan mengusap tangan Embun, menyalurkan rasa sayang, dan juga rasa cinta yang tulus dari dirinya.

“Teh, Hujan tau ini berat. Tapi teteh harus tau, di sini masih banyak yang sayang sama teteh, besok ulang tahun teteh kan?” Ucap Hujan berbicara ke Embun.

Embun menatap mata sang kakak yang masih terpejam.

“Teteh udah janji mau ngerayainnya sama Hujan, Hujan udah ada di sini tapi teteh berusaha pergi.” Air mata Hujan lolos mengalir membasahi pipinya.

Dadanya terasa sesak, namun sebisa mungkin Hujan menahannya. “Teh Embun, Hujan sayang sama teteh. Hujan juga menantikan kehadiran keponakan Hujan nanti.” Hujan tersenyum seraya menatap perut Embun.

Untunglah kandungan Embun tidak kenapa-kenapa.

Hujan bangkit, ia mengecup kening sang kakak, mengusap pelan rambut Embun.

“Hujan gak pernah seberuntung ini di dalam hidup Hujan selain punya teteh kayak teteh Embun, jangan tinggalin Hujan ya teh?”

Hujan kembali duduk, ia kembali memejamkan matanya, berdoa untuk keselamatan Embun.

Sandy yang baru saja kembali ke kamar dimana Embun di rawat, ia melihat Hujan lalu tersenyum lembut.

Hujan menggambarkan sosok Ara di matanya, sama seperti Ara, penyayang dan juga penakut di satu saat. Namun yang membuat mereka beda Ara yang sedikit pecicilan dan Hujan yang tenang.

Melihat Hujan yang sedang berdoa, Sandy teringat di mana Ara juga melakukan hal tersebut di saat ibunya masuk ke rumah sakit karena berusaha bunuh diri.

Namun sayangnya doa Ara tidak di kabulkan, mereka kehilangan sosok ibu saat itu juga.

'Hujan, semoga doa-doa kamu terkabulkan ya,' batin Sandy.

Sandy menepuk pelan bahu Hujan, membuat Hujan membuka matanya.

“Makan dulu ya?”

Hujan menggeleng, ia kembali menggenggam tangan Embun. Nanti Hujan makan sama teh Embun aja.

Sandy menghela nafas mendengar jawab Hujan. “Kamu belum makan dari siang kan? Nanti kalo kamu sakit, siapa yang jaga Embun? Siapa yang akan mendoakan Embun hm?” Sandy menatap mata Hujan berusaha membujuknya agar Hujan mau makan.

Usaha Sandy membuahkan hasil, Hujan akhirnya luluh. Ia mengambil sebuah paper bag yang di bawakan oleh Sandy tadi.

“Terima kasih kak, terima kasih atas kebaikan yang kakak berikan untuk teh Embun dan juga Hujan, Hujan gatau kalo gak ada kakak tadi,” Ucap Hujan seraya tersenyum menatap Sandy.

Sandy mengangguk, ia mengusap pelan rambut Hujan. “My pleasure Hujan, kamu udah seperti adik saya, makan yang banyak habis itu istirahat, gantian sama saya jaga Embun nya.”

Hujan mengangguk, lalu ia berjalan ke arah sofa yang berada tidak jauh dari bed Embun. Sandy menggantikan Hujan, ia duduk di mana Hujan tadi duduk.

Sandy menatap wajah Embun. Sesungguhnya ia sangat benci keadaan sekarang, ia sangat benci melihat orang-orang yang berusaha bunuh diri.

Ia selalu menanamkan pada dirinya sendiri, jika ada masalah maka selesaikan masalah mu, bukan hidup mu.

Namun melihat Embun, perasaan kasihan muncul tiba-tiba. Ia menanam dalam-dalam rasa benci dan juga rasa takutnya.

Bertahanlah sebesar apapun masalahmu. Karena masih ada yang harus kamu cintai, diri kamu sendiri.

Embun ingin mengakhiri ini semua

Embun meringkuk di dalam selimut, ia menangis sejadi-jadinya di sana.

Meluapkan semua emosinya, bahkan sesekali ia berteriak, tidak perduli jika Hujan mendengar teriakannya.

Ia lelah, ia sangat ingin penderitaan ini berakhir secepatnya.

“Jo, secepat itu kamu melupakan aku?” Lirih Embun.

Embun memukul kepalanya berkali-kali, berharap semuanya berakhir.

“Aku udah berusaha ngelupain kamu Jo.”

“Tapi gak bisa!” Suara Embun meninggi.

“Aaaaaaaaaaaaa!!” Embun berteriak dengan sangat kencang.

“Kenapa! Apa Embun hidup di dunia ini sebagai hukuman? Apa Embun gak berhak bahagia?”

Lagi-lagi Embun memukul kepalanya, bahkan dadanya.

Embun memegang perutnya ia tersadar kini, ia hidup berbadan dua. Namun pikiran Embun sedang tidak jernih.

Ia memukul dengan keras perutnya, ia tidak peduli sakit yang ia rasakan.

“Kenapa kamu hadir ketika ayah kamu udah gak di samping Bunda lagi!”

“Kamu udah gak di butuhkan lagi!” Embun semakin kuat memukul perutnya.

Tangis Embun semakin pecah, ia dapat mendengar teriakan Hujan dan juga Sandy yang meneriaki namanya dari luar.

“Maaf, maaf Embun tidak sekuat yang kalian kira.”

Di depan Caffe, Embun dapat melihat Papa Arkan sudah sampai di sana.

Embun sedikit gugup dan takut, namun dia juga sedikit lega karena caffe yang ia datangin adalah caffe Sandy.

Kringg

Suara kerincing menandakan seseorang baru saja masuk ke dalam caffe dan itu adalah Embun.

Papa Arkan langsung menatap Embun yang kini berjalan ke arahnya.

“Halo om,” Sapa Embun.

“Papa,” sanggah Papa Arkan.

Embun hanya menjawabnya dengan senyuman, lalu ia duduk tepat di depan Papa Arkan.

“Ada apa ya pa?” Tanya Embun membuka topik pembicaraan.

Papa Arkan menghela nafas panjang, lalu ia menatap mata Embun dengan lembut.

“Kamu apa kabar Embun?” Tanyanya.

Embun tersenyum lalu ia mengangguk. “Baik pa, papa?”

“Baik,” Jawab papa Arkan.

Keheningan terjadi di antara mereka, sebelum papa Arkan melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat Embun tersontak.

“Kamu masih sayang sama Jona?” Tanya Papa Arkan tiba-tiba.

Tentu saja Embun kaget, apa tujuan Papa Arkan menanyakan hal tersebut.

Embun tersenyum canggung, ia menjawabnya dengan anggukan kecil.

“Papa ingin kalian rujuk kembali, dan untuk masalah keturunan, papa punya rencana lain,” Jelas Papa Arkan.

Embun sedikit tidak paham apa yang di maksud oleh Papa Arkan, dia hanya diam mendengarkan semua penjelasan Papa mertuanya, maksudnya mantan Papa mertua.

“Papa akan nyuruh Jona untuk menikahi wanita lain, dan kamu bisa berpura-pura untuk hamil demi menutupi semuanya, sampai wanita yang di hamili Jona melahirkan seorang anak,” Lanjutnya berhasil membuat jantung Embun hampir copot.

Ia sangat terkejut mendengarnya, orang yang ada di depannya bukan seperti Papa yang ia kenal, pemikirannya sangat gila.

Embun hendak menjawab namun kalimatnya terpotong karena seseorang yang baru saja tiba dan memanggil Papa Arkan.

“Pa,” panggil orang tersebut.

Suara yang sangat familiar bagi Embun, dengan sontak Embun membalikkan badannya, Embun dapat melihat Jonathan berjalan ke arahnya dan juga Papa Arkan.

Namun yang aneh, Jona tidak seorang diri, ada seorang wanita di belakangnya. Seorang wanita yang sangat di kenali oleh Embun, dia adalah Bella sahabat kecil Jona.

Kini Jona berdiri di samping sang papa, ia menatap Embun dengan tatapan yang tidak dapat di artikan. Embun sangat ingin menatap Jonathan, ia sangat ingin melihat sorot mata pria yang ia sayangi dan ia rindukan.

Ketika Embun mencoba mengangkat kepalanya, ia dapat melihat perlahan Bella mencoba untuk merangkul tangan Jona.

Ketika sorot mata Embun dan Jonathan bertemu, Jonathan tidak menepis tangan Bella.

Hati Embun sangat sakit, ia sangat ingin menangis sekarang juga, namun sebisa mungkin untuk ia tahan.

Dari jauh sedari tadi melihat pemandangan tersebut. Namun sekarang ia tidak tahan lagi melihatnya, dengan cepat ia melangkahkan kakinya menuju meja di mana Embun dan keluarga Arkananta itu berada.

Kini Jona duduk di hadapan Embun, dan di sampingnya sudah ada Bella, di hadapan Bella berada Papa Arkan.

Embun sangat benci suasana ini.

“Selamat siang, apa pesanannya sudah sampai?” Tanya Sandy ketika sampai ke meja di mana Embun berada.

Embun sedikit kaget, ia menatap mata Sandy.

“Jo, om, Bella boleh mesen makanan kan?” Tanya Bella seraya menatap papa Arkan dan Jona secara bergantian.

Jonathan mengangguk dan tersenyum ke arah Bella. Senyum yang dulu hanya di berikan untuk Embun.

Embun cemburu melihat hal itu, hatinya lagi-lagi sangat sakit. Ia tidak bisa menahannya.

Sandy yang melihat Embun merasa kasihan, namun ia tidak bisa menolongnya.

Di samping Sandy sudah ada pelayan yang sedang menyatat pesanan dari Bella. Hanya Bella lah yang bersuara, Jonathan hanya mengiyakan apa yang di bilang Bella.

“Kak,” lirih Embun memanggil Sandy.

Fokus semua orang kini ke Embun, Embun menangis seraya menatap Sandy. Ia tidak bisa menahannya lagi.

Jonathan yang melihat hal tersebut sedikit kaget. Ia hendak menanyakan keadaan Embun. Namun sayang dengan cepat Sandy menarik tangan Embun menjauh dari sana.

“Emb-” Jonathan bangkit dari duduknya ia hendak menghampiri Embun, namun di tahan oleh Bella.

Papa Arkan yang melihat hal tersebut hanya terdiam, ia tidak tau harus berbuat apa.


Sandy membawa Embun ke ruangannya, sesampai di ruangan tersebut, Sandy memeluk Embun dengan sangat erat.

Membiarkan Embun meluapkan semua kesedihan dan emosinya. Sandy tidak perduli jika bajunya akan basah nanti.

“Kenapa kak, kenapa Embun?” Tanya Embun dengan Isak tangisnya.

Sandy menangkup kedua pipi Embun, mengusap air mata Embun yang tidak kian berhenti.

“Apa Embun salah jika Embun ingin bahagia kak?”

“Embun hanya ingin bernafas dengan lega kak, Embun hanya ingin hidup membesarkan anak yang ada kandungan Embun dengan tenang kak.”

“Apa Embun salah hidup kak? Seharusnya Embun mati aja ya kak?”

Emosi Embun meluap-luap, mukanya memerah, air mata yang mengalir deras.

Sandy menggeleng, ia kembali membawa Embun ke pelukannya.

“Ssstt, it's okey. Ada aku di sini, ada yang lain juga oke? Tenangin pikiran kamu, kasihan bayi nya kalo bundanya setres,” Ucap Sandy dengan lembut menenangkan Embun.

Embun sedikit tenang, walaupun masih sesegukan. Hatinya merasa sakit melihat Jonathan, dan juga mendengar permintaan Papa Arkan.

Jika memang Embun harus pergi, maka biarkan Embun untuk tidur dengan tenang.

Embun terbangun dari tidurnya, karena alarm yang sedari tadi berteriak layaknya ibu yang sedang membangunkannya.

Embun ngerasa aneh dengan badannya hari ini. Nafasnya terasa panas dan juga kepalanya terasa berat.

Tringg

Handphone Embun berbunyi, kali ini bukan alarm melainkan sebuah panggilan masuk dari Hujan.

“Halo Hujan,” Ucap Embun membuka pembicaraan.

“Halo teh ini Hujan bentar lagi nyampe ke apart teteh ya, ini udah di bawah,” Jawab Hujan melaporkan bahwa dirinya sudah hampir tiba.

Memang Hujan sudah berencana untuk menginap di kota di mana Embun berada. Dan semalam ia berangkat seorang diri, walaupun sudah di larang oleh Embun, namun dia tetap saja melawan.

“Iya password nya tau kan.”

“Tau teh, kok suara teteh lemes banget?” Tanya Hujan dari balik telepon.

“Teteh gp-” belum sempat Embun melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja perut Embun serasa di guncang, ia seperti ingin mengeluarkan isi perutnya.

Dengan segera Embun berlari ke kamar mandi, tidak memperdulikan suara Hujan yang sedari tadi berteriak.

Sesampainya di kamar mandi ia jongkok di depan kloset hendak mengeluarkan semua isi perutnya.

Embun udah hoek-hoek berkali-kali namun anehnya tidak ada apa-apa yang keluar.

Kepalanya terasa sangat pusing, ia kembali teringat bahwa dirinya sekarang sedang mengandung.

“Mungkin ini yang di namakan morning sick?” Tanya Embun kepada dirinya sendiri.

Brakk

Tiba-tiba saja Embun mendengar suara pintu di banting. Dan detik kemudian ia melihat Hujan di depan pintu kamar mandinya. Ia sedikit lega bahwa yang baru saja masuk itu adalah sang adik.

“Teteh kenapa?” Tanya Hujan panik, ia segera berjongkok di samping Embun, mengelus punggung sang kakak.

Lagi-lagi Embun merasa mual, ia kembali ingin memuntahkan semua isi perutnya walaupun hasilnya tidak ada apapun yang keluar.

Embun di bantu oleh Hujan yang setia mengelus punggung sang kakak dengan raut wajah khawatir.

“Udah enakan teh?” Tanya Hujan.

Embun mengangguk, ia menggenggam tangan sang adik seakan-akan meminta tolong untuk di bawa keluar.

Dengan sigap Hujan memapah Embun ke kamarnya, dan menidurkan sang kakak di kasurnya.

Hujan menatap mata Embun khawatir, bahkan kini matanya terlihat berkaca-kaca.

“Teteh gpp,” Kata Embun menenangkan Hujan.

Namun sayangnya perkataan Embun malah membuat tangis Hujan pecah.

“Apanya yang gpp? Kenapa teteh gak bilang kalo teteh sakit, kalo Hujan gak kesini siapa yang bakalan lihat teteh?” Omel Hujan lalu memeluk tubuh Embun.

Air mata Embun ikut turun, namun ia berusaha untuk menahannya.

“Teteh kenapa?” Tanya Hujan lagi.

Embun menghela nafas ia melepas pelukannya, lalu mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar di sandaran kasur Single bad nya.

“Sini,” ucap Embun seraya merentangkan tangannya.

Dengan cepat Hujan kembali masuk ke pelukan sang kakak, pelukan yang sangat ia rindukan.

Embun menceritakan semuanya kepada Hujan, tanpa satupun yang tertinggal, dan dia juga bilang bahwa dirinya sekarang sedang mengandung anak Jonathan.

Tangis Hujan semakin menjadi, hatinya sangat sakit mendengar semua penderitaan yang di alami sang kakak.

Perlahan Hujan mengelus perut rata Embun, ia tersenyum walaupun air matanya tidak berhenti mengalir.

“Adik kecil baik-baik di sana ya, biar aunty yang jaga Bunda di sini. Adik kecil jangan nakal ya, nanti Bunda sakit kalo adik kecil nakal,” Ucap Hujan dengan lembut mengobrol dengan perut Embun.

Embun tidak tau harus apa sekarang, ia sedih melihat betapa menyakitkan kehidupan, namun di sisi lain ia senang karena banyak yang sayang kepada dirinya dan juga bayi yang ada di kandungannya.

Di umur sekarang ketika ia sedang mengalami morning sick seharusnya sang suami lah yang akan menemaninya, namun betapa menyedihkannya nasib Embun.

Namun ia tetap bersyukur apapun yang terjadi pada dirinya sekarang.