Panglimakun

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun Nasya belum bisa memejamkan matanya dan terlelap di alam mimpi.

Di sisi lain, bunda dan juga sang Abang sudah terlelap di sofa di kamar VIP dimana Nasya di rawat.

Secara diam-diam suster yang rutin merawat Nasya memberikan sebuah surat kepada dirinya.

Nasya menyembunyikan dirinya di dalam selimut, perlahan ia membaca surat yang Malvin berikan kepada dirinya menggunakan senter kecil sebagai penerang.

Dear Anak kecil

hehehe, gimana ya bilangnya? Maaf ya kamu malah jadi gini. Maaf karena kamu malah harus jatuh cinta sama cowok brengsek seperti aku.

Aku cuman mau bilang, kita sampai di sini saja ya? Maaf jika memang aku gak gantle, bahkan menyudahi hubungan harus seperti ini.

Kamu harus bahagia dengan pilihan kamu ya?

Sekarang udah berapa bulan kita jadian ca?

Aku harap kamu kembali dengan sehat ya sayang? Kamu harus kuat agar bisa balas kejahatan yang aku lakukan.

Marahin aku setelah ini.

Aku pamit ya? Selamat tinggal Nasya Perdana, anak kecil yang berhasil mencuri hati gue.

Bahagia selalu ya


Nasya meremas surat tersebut. Ia sangat menyesal telah membacanya, kini hatinya sangat sakit.

Apa hubungan mereka harus berakhir sampai sini?

Nasya harus menahan tangisnya agar tidak membangunkan orang-orang yang sedang menjaganya.

Namun itu sangat sakit, hatinya serasa di sobek dengan kasar.

“Kenapa kak, kenapa,” lirih Nasya.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun Nasya belum bisa memejamkan matanya dan terlelap di alam mimpi.

Di sisi lain, bunda dan juga sang Abang sudah terlelap di sofa di kamar VIP dimana Nasya di rawat.

Secara diam-diam suster yang rutin merawat Nasya memberikan sebuah surat kepada dirinya.

Nasya menyembunyikan dirinya di dalam selimut, perlahan ia membaca surat yang Malvin berikan kepada dirinya menggunakan senter kecil sebagai penerang.

Dear Anak kecil

hehehe, gimana ya bilangnya? Maaf ya kamu malah jadi gini. Maaf karena kamu malah harus jatuh cinta sama cowok brengsek seperti aku.

Aku cuman mau bilang, kita sampai di sini saja ya? Maaf jika memang aku gak gantle, bahkan menyudahi hubungan harus seperti ini.

Kamu harus bahagia dengan pilihan kamu ya?

Sekarang udah berapa bulan kita jadian ca?

Aku harap kamu kembali dengan sehat ya sayang? Kamu harus kuat agar bisa balas kejahatan yang aku lakukan.

Marahin aku setelah ini.

Aku pamit ya? Selamat tinggal Nasya Perdana, anak kecil yang berhasil mencuri hati gue.

Bahagia selalu ya


Nasya meremas surat tersebut. Ia sangat menyesal telah membacanya, kini hatinya sangat sakit.

Apa hubungan mereka harus berakhir sampai sini?

Nasya harus menahan tangisnya agar tidak membangunkan orang-orang yang sedang menjaganya.

Namun itu sangat sakit, hatinya serasa di sobek dengan kasar.

“Kenapa kak, kenapa,” lirih Nasya.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun Nasya belum bisa memejamkan matanya dan terlelap di alam mimpi.

Di sisi lain, bunda dan juga sang Abang sudah terlelap di sofa di kamar VIP dimana Nasya di rawat.

Secara diam-diam suster yang rutin merawat Nasya memberikan sebuah surat kepada dirinya.

Nasya menyembunyikan dirinya di dalam selimut, perlahan ia membaca surat yang Malvin berikan kepada dirinya menggunakan senter kecil sebagai penerang.

Dear Anak kecil

Kini apartemen Embun sedikit rame karena teman-temannya. Yudhis, Cherry, Daffa, bahkan Sandy kini sedang berada di ruang tengah apartemennya.

“Kalo mau dateng lain kali kabarin dulu dong,” Protes Embun, karena penampilannya tadi beneran acak-acakan.

“Ihh mana tau kita, kalo bumil lagi galau,” Sahut Cherry lalu di sahut gelak tawa mereka semua.

“Tapi jangan lama-lama nangisnya kasih bayi nya,” Ucap Sandy.

“Tuh bumil denger kata calon,” Timpal Cherry blak-blakan.

Sandy sedikit bingung.

“Calon babu bumil nanti ha ha ha ha,” Lanjutnya dengan tawa canggung.

Keheningan tiba-tiba saja terjadi. Membuat mereka menatap satu sama lain sebelum tertawa terbahak-bahak.

Embun sedikit lega, ia sedikit melupakan kegelisahan yang selalu menghantui dirinya.


“Kak,” panggil Embun ke Sandy yang sedang sibuk dengan handphonenya.

Sandy sedikit terkejut, ia dengan segera memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya.

“Iya kenapa?” Tanya Sandy sedikit tergesa-gesa.

Embun terkekeh. “Biasa aja kak, maaf ya ngagetin,” Jawab Embun membuat Sandy sedikit lega.

“Ini susu panas, di luar dingin.” Embun menyerahkan segelas susu panas ke Sandy, mengingat kini Sandy sedang berada di balkon apartemen Embun.

Sandy menerima gelas susu tersebut. “Terima kasih Embun,” Ucapnya.

Embun mengangguk. “Embun ke dalam dulu ya, jangan lama-lama di luar kak,” pamit Embun seraya melangkahkan kakinya kembali ke dalam.

Sandy tersenyum, ia menatap punggung Embun yang sedikit demi sedikit menjauh.

“Mam, Sandy menemukan seseorang yang bernasib sama seperti mama,” monolog Sandy.

“Cantik, kuat, ceria. Tolong beri kekuatan agar dia kuat menahan ini semua ya ma.”

“Seperti mama yang kuat menjalankan semuanya, sesaat mama bertemu dan hidup bersama papa,” ucap Sandy.

“Papa.....”

“Papa Arkananta,” Lanjutnya seraya tersenyum dengan tatapan kosong.

Malam yang indah, hujan yang turun seakan-akan ingin menghibur diri Embun.

Kini Embun sedang duduk di sofa kamarnya yang berada tepat di sebelah jendela kamar apartemennya.

Mendengar suara hujan yang meramaikan keheningan di hidupnya.

“Dulu kalo hujan Jona bakalan datang minta di peluk, sekarang kamu udah ada di pelukan orang lain yang lebih nyaman kan Jo?” Embun menatap langit-langit kamarnya, mengingat betapa indahnya moment masa lalu ketika ia masih bersama Jonathan.

Embun tersenyum, di tangannya terdapat sebuah bingkai foto kecil. Foto dirinya bersama Jonathan.

“Kenapa sesusah itu Jo? Kenapa aku gak bisa ngelupain kamu?” Mata Embun berkaca-kaca detik kemudian air matanya membasahi bingkai foto tersebut.

“I Miss you,” Lirih Embun.

Hujan semakin deras membasahi bumi, begitupun dengan air mata Embun yang semakin deras membasahi pipinya.

“Kembali Jo, please Kembali,” teriak Embun meluapkan semua emosinya.

Seberapa kuat Embun berusaha untuk melupakan, saat itu juga memori tentang Jonathan kembali menghantui dirinya.

Setiap hari, setiap malam Embun berusaha untuk tidak menangis, namun ia tidak bisa. Ia tidak bisa menahan semuanya, ia ingin mengakhirinya sekarang juga.

Namun bayi yang ada di kandungannya adalah hidup yang harus di jalankan oleh Embun.


“Jona akan tanggung jawab kalo emang Bella hamil!” Emosi Jonathan meluap-luap di ruang tengah keluarga Arkananta.

Di sana sudah ada Mama Una, Papa Arkan dan juga keluarga Bella.

Mereka menginginkan pernikahan Bella dan Jonathan di segerakan.

“Tapi kamu telah merebut masa depan anak saya!” Bentak Matthew, Papa Bella.

Jonathan tertawa miris mendengar hal tersebut.

“Yakin? Anda yakin saya yang pertama?” Tanya Jonathan seraya menatap mata Bella yang kini tidak berani membuka suara.

“Having sex sana-sini itu hal yang wajar bagi anak muda bukan?” Sindir Jonathan. “Apalagi bagi seorang Syafabella,” Lanjutnya seraya menatap mata Bella dengan tatapan mengintimidasi.

Plakk

Satu tamparan keras dari Mama Una berhasil mendarat di pipi Jonathan.

“Jaga mulut kamu Jonathan,” Peringat Mama Una.

Jonathan sedikit meringis, lalu ia menyeka darah yang keluar dari pinggir bibirnya.

“Oke saya akan menikahi Bella,” Ucapnya seraya bangkit dari duduknya.

Jonathan menatap ke arah Bella lalu mengalihkan pandangannya menatap tegas mata Matthew.

“Jika anda siap melihat anak anda menerima kekerasan dari saya,” Lanjutnya dengan tegas.

Jonathan melangkahkan kakinya keluar dari rumah tersebut tidak perduli atas teriakan mama nya dari dalam sana.

Ia memasuki mobil yang terparkir di depan rumah besar keluarganya Arkananta.

“Arghhhh,” Teriak Jonathan seraya memukul-mukul setir yang ada di depannya.

Jonathan meraih handphone yang ada di dashboard mobilnya, ia melihat foto Embun tersenyum dengan ceria yang dia jadiin lock screen handphonenya.

“Embun, peluk aku sekarang Embun, aku takut,” Monolognya.

Ia menggenggam kuat setir mobilnya. Menundukkan kepalanya, meluapkan semua emosi yang ada di kepalanya.

“Embun, kembali Embun. Aku butuh kamu,” Teriak Jonathan.

Ia kembali menegakkan tubuhnya. Jonathan menangis, ia sangat membutuhkan Embun sekarang.

Benar kata Rey, Jonathan orang bodoh yang tidak tegas. Dan benar kata Yudhis penyesalan itu memang datang terakhir.

3 bulan kemudian

Nasya berhasil melewati masa-masa kritisnya selama 3 bulan. Ajaibnya Nasya tidak mengalami amnesia, hanya saja ia mengalami trauma ringan.

Namun yang ada di pikirannya sekarang adalah dimana Malvin berada. semenjak 3 minggu Nasya menyadarkan diri Malvin tidak pernah menddatangi dirinya bahkan sama sekali tidak memberikan kabar melalui chat.

“Sya udah dong jangan gini terus lo gak kasihan sama Bunda lo?” Tegur Zarra yang sedari tadi melihat Nasya hanya melamun.

Nasya tersadar dari lamunannya ia menatap Zarra dan juga ada Danial di samping Zarra. memang yang menjaga Nasya selama Nasya di rumah sakit selain keluarganya, Zarra, Danial, dan juga Hezekiah bahkan Naren ikut menjaga Nasya.

“Kak Malvin kemana ya Zar? Tanya Nasya.

pertanyaan itu yang terus-erusan keluar dari mulut Nasya bahkan Zarra yang mendengarrnya sangat emosi di buat oleh pertanyaan Nasya.

“Lo bisa gak sih sehari aja gak nanya cowo brengsek itu!” Keluh Zarra. “Lupain cowo brengsek itu Sya, dia tuh bangsat bego anying, lo harus dapet pria yang baik bukan yang kayak Malvin!” Lanjutnya.

Danial hanya diam ia sama sekali tidak berani membantah ucapan Zarra, ekalipun ucapanya itu udah sangat kejam.

“Tapi Nasya sayang sama kak Malvin,” lirih Nasya.

Lagi-lagi Zarra di buat emosi oleh Nasya, namun apa boleh di buat. Nasya anak yang lemah, dan dia sudah menaruh hati yang dalam ke pria brengsek bernama Malvin.

Zarra beranjak yang tadinya ia duduk di sofa di ruangan dimana Nasya di rawat, kini ia duduk tepat di bangku disamping kasur Nasya.

“Sya denger gue ya, Malvin punya papa yang keras dan gue yakin papa nya Malvin udah nyuruh Malvin buat tunangan atau menikahi Aleta sahabat dia,” kata Zarra dan itu membuat Hati Nasya sangat sakit.

“Gue bilang gini agar lo sadar Sya, lo berhak bahagia walaupun bukan sama Malvin.”

Nasya menunduk, air matanya perlahan mulai jatuh, ia sangat mengerti apa yang di maksud oleh Zarra. Namun yang Nasya mau adalah Malvin, ia tidak peduli sebrengsek apapun Malvin terhadap dirinya.


Di lain sisi Papa Arkan sudah berada di Jepang lagi karena rapat mendadak. Namun ketika ia dalam perjalanan pulang dari hotel di mana rapat di addakan, Papa Arkan berjumpa dengan seseorang yang sangat Familiar bagi dirinya.

“Malvin.”

Jonathan terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa berat, dan badannya juga terasa remuk.

Ia melihat ke setiap sudut kamar ia tidurin. Kamar yang terasa asing, ia tau betul itu bukan kamarnya.

Ceklek

Pintu kamar itu terbuka dan Jonathan dapat melihat Bella, sahabat kecilnya masuk ke dalam kamar tersebut.

“Ngapain lo disini?” Tanya Jonathan sedikit cuek.

Bella tersenyum ke arah Jonathan. “Ini kamar aku, jadi wajar dong kalo aku di sini,” Jawab Bella dengan senyuman yang tidak luntur.

Jonathan tersadar, kemarin malam setelah ia mengantarkan Bella ke mall, ia pergi ke sebuah Club malam di Chicago. Ia mabuk berat, dan temannya yang di Chicago mengantarkannya ke rumah Bella.

“Fuck,” umpat Jonathan ketika ingatannya semalam kembali menghantui pikirannya.

Bella menghampiri Jonathan, ia duduk tepat di samping Jonathan.

“Jo terima kasih ya semalem,” Ucapnya.

Ketika Bella hendak memegang tangan Jonathan, dengan cepat Jonathan menepis tangan Bella dengan kasar.

“Keluar,” usir Jonathan.

Tentu saja Bella tidak terima.

“Jo-”

“Keluar gue bilang!” Teriak Jonathan dengan nada tinggi.

Muka Jonathan memerah, amarahnya memuncak ketika menatap mata Bella.

Karena takut Bella dengan segera keluar dari kamarnya, meninggalkan Jonathan seorang diri di sana.

“Argghh bangsat,” Jerit Jonathan seraya melemparkan bantal yang ada di sisinya ke sembarang arah.

Ia menyesali perbuatannya. Ia telah menghancurkan semuanya, ia jijik pada diri sendiri.

“Embun maaf,” monolog Jonathan meminta maaf kepada Embun.

Ia meraih handphonenya, membuka room chat mantan istrinya. Ia sangat ingin berkeluh kesah dan meminta maaf ke Embun sekarang juga.

Namun sayang Embun telah memblokir dirinya.

“Aku bodoh Embun, maafin aku.” Air mata Jonathan jatuh membasahi pipinya.

Jonathan bukanlah seseorang yang gampang menangis, namun jika hal tersebut berhubungan dengan Embun ia sangat lemah.

“Embun, aku rindu kamu. Aku rindu pelukan kamu, canda tawa kamu.”

“Kamu apa kabar? Aku tau aku bodoh, tapi kenapa,” ucap Jonathan menggantung.

“Kenapa kamu pasrah Embun,” Lanjutnya dengan isak tangis yang semakin menjadi-jadi.

Lebih baik menyesal kemudian daripada harus melepaskan dia orang yang kamu cintai.

Tok tok tok

Embun dengan segera berlari ke arah pintu ketika mendengar ketukan pintu. Ia tau itu pasti sang kekasih nya yang sedari tadi meminta untuk di peluk.

Embun memang kini tinggal sendiri di sebuah apartemen, dan itu ide dari Jonathan katanya supaya Embun tidak jauh-jauh jika hendak ke sekolah TK dimana ia mengajar.

Padahal itu cuman alasan agar dirinya bebas berduaan dengan Embun tanpa di ganggu siapapun.

“Selamat dat-” sambut Embun, namun terpotong karena Jonathan dengan tergesa-gesa memeluk dirinya.

“Jo ihhh cuci tangan cuci kaki dulu,” Suruh Embun seraya berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Jonathan.

Jonathan menggeleng kuat. “Aku udah mandi,” Tolaknya.

Embun menghela nafas, emang dasar bayi besar.

“Yaudah lepas dulu ya bayi, nanti peluk lagi.”

Jonathan tetap menggeleng. “Gamau, mau puk puk,” ucapnya dengan manja.

Embun merasa gemas dengan tingkah Jonathan. Jonathan yang ia kenal pertama kali adalah sosok yang dingin dan sangat berwibawa, karena memang dia seorang bos.

Namun siapa sangka ketika sudah menjalin hubungan tingkah Jonathan malah seperti bayi yang ingin di manja setiap hari.

Dasar baby bos.

Embun pasrah dan akhirnya dia membalas pelukan Jonathan, dan sedikit mengusap punggung lebar sang pacar.

“Capek ya?” Tanya Embun.

Jonathan mengangguk seraya mengendus leher sang pacar.

“Wangi,” Ucapnya.

Embun terkekeh. “Jadi mau pelukan di depan pintu aja nih?”

Dengan cepat Jonathan menegakkan tubuhnya.

“Puk puk di kamar kamu hehehe,” pintanya dengan senyuman jahil.

“Janji cuman puk puk ya?”

Jonathan menggeleng. “Kiss juga dong.”

Embun memanyunkan bibirnya, dengan cepat Jonathan mengecup gemas bibir gadis kecil yang ada di depannya.

“Gemes.”

Embun kaget bukan main. “Ihh apaan sih cium-cium!”

“Biasanya juga cium-cium.”

“Hehehe gendong,” pinta Embun seraya menjulurkan tangannya.

Dengan cepat Jonathan mengangkat tubuh kecil Embun, lalu menggendongnya seperti bayi koala.

“Jadi siapa yang bayi hm?”

Embun tersenyum sebelum mengecup singkat bibir Jonathan. “Tetap kamu,” Jawabnya lalu memeluk erat leher Jonathan.

Jonathan terkekeh seraya melangkahkan kakinya menuju ke kamar Embun.


Sesampainya di kamar seperti biasa Jonathan akan meminta di peluk oleh Embun.

Dan kini Embun memeluk tubuh Jonathan. Tubuh Jonathan sedikit rendah daripada Embun, karena dirinya emang suka membenamkan wajahnya di dada Embun.

Mesum.

“Jo,” panggil Embun dengan tangan yang tidak berhenti mengusap kepala Jonathan.

“Hmm,” gumam Jonathan.

“Ihh singkat banget,” Protes Embun karena jawaban singkat dari Jonathan.

“Kenapa sayangnya Jona?” Jawab Jonathan gemas.

“Gantian puk puk nyaaa,” pinta Embun dengan manja.

Jonathan terkekeh lalu ia menatap mata Embun.

Dengan cepat Jonathan merubah posisinya yang tadi dirinya yang ada di pelukan Embun, kini Embun yang ada di pelukan dirinya. Dengan sebelah tangan Jonathan yang menjadi bantal kepala Embun.

“Tadi capek banget ya?” Tanya Embun membuka topik pembicaraan.

Jonathan mengecup sekilas pucuk kepala Embun.

“Biasa aja sayang, gimana kamu ngajarnya? Anak-anaknya nakal?”

Embun menggeleng. “Gak nakal dong siapa dulu gurunya Embun,” Jawab Embun merasa bangga.

Jonathan meraih pipi Embun membuat Embun sedikit mendongakkan kepalanya.

“Bagus, jadi nanti kalo kita udah ada anak, anaknya gak bandel ya sayang.” Kata Jonathan sedikit ngawur.

Embun di buat Salting oleh perkataan Jonathan barusan, ia kembali membenamkan wajahnya di dada Jonathan.

“Ihhh mikirnya kejauhan taukk,” rengek Embun.

“Udah gak jauh sayang, nikah yuk?” Tawar Jonathan seperti sedang menawarkan membeli sebuah permen.

“Kamu kira nikah itu mudah ihhhhhhh Jona.”

Bukannya merasa bersalah Jonathan malah tertawa terkekeh-kekeh, seraya mengeratkan pelukannya.

Ia sangat beruntung bertemu dengan gadis ceria bernama Embun Gayatri.

Hidupnya yang dulu sangat datar kini lebih berwarna.

“I love you Embun.”

“Love you too Daddy,” sahut Embun menggoda Jonathan.

Jonathan tertawa mendengar hal tersebut.

“Di serang nangis.”

Embun tidak mendengarkan cicitan dari Jonathan, ia menegakkan kepalanya lalu mengecup singkat bibir Jonathan dan kembali lagi menenggelamkan kepala di dada Jonathan.

“Mau bobo jangan ganggu ya!” Peringat Embun.

Namun Jonathan tetaplah Jonathan, ia menggoda Embun tidak habis-habisnya, dari memainkan rambut Embun, memasukkan tangannya ke dalam baju Embun, dan segala macam yang membuat Embun ingin memakan Jonathan sekarang juga.


Relakan, dan ikhlaskan.

Embun terduduk di Single bad miliknya. Ia menatap ke depan dimana di sana sudah ada foto pernikahan dirinya dengan Jonathan yang terpajang di depannya.

Mengingat betapa bahagianya saat hari itu tiba. Jona mengucapkan janji suci walaupun hanya di hadiri oleh papa Arkan, Jaffrey, Yudis dan juga Cherry. Namun hari itu adalah hari yang paling bahagia di hidup Embun.

Hari dimana Jona berjanji akan selalu menggenggam tangannya sampai kapanpun itu.

Embun meringkuk badannya, memeluk kedua kakinya menggunakan tangan kirinya. Tangan kanan yang ia gunakan untuk mengelus perut ratanya.

“Sekarang Bunda hanya punya kamu, kamu mau kan berjuang sama-sama?” Monolog Embun kepada janin yang ada di perutnya.

“Kamu harus kuat ya? Maafin Bunda kalo misalnya nanti kamu denger tangisan bunda.” Lagi dan lagi air mata Embun terjun bebas membasahi pipinya.

Embun meraih handphone yang ada di sebelahnya. Ia melihat chat masuk dari Bella. Begitu menyakitkan.

“Ayah kamu udah menemukan kebahagiaannya,” ucap Embun dengan tangan yang masih mengusap perut ratanya.

Embun berusaha untuk tidak nangis namun tidak bisa, ia tidak bisa menahan rasa sakit ini.

“Tapi, t-tapi Bunda juga udah nemuin kebahagian Bunda.” Isak tangis Embun semakin menjadi-jadi. “Kamu, anak Bunda yang sedang berjuang juga bersama bunda,” Sambungnya.

Embun kembali menatap foto yang ada di depannya.

“Bahagia tidak harus bersama kan Jo? Aku harap kamu bahagia di sana, aku janji akan menjaga anak ini dengan baik.”

Ceklek

Suara pintu kamar Embun menandakan ada seseorang yang datang, yang ia duga itu adalah Cherry, karena hanya Cherry lah yang mengetahui password apartemen dirinya.

Dengan cepat Embun menghapus air matanya dengan kasar.

“Embun, aaaa ponakan aunty, aunty data-” Cherry berteriak ceria memasuki kamar Embun dengan dua plastik yang ada di tangannya.

Namun ia sangat terkejut melihat kondisi Embun. Lagi, Embun tidak bisa menahan tangisnya.

“Cher,” lirih Embun.

Dengan cepat Cherry melemparkan barang yang ia bawa, dan berlari untuk memeluk erat sahabatnya.

“Kenapa, kenapa Embun?” Tanya Cherry seraya mengusap punggung Embun.

Embun meluapkan emosinya ke Cherry, ia menangis sejadi-jadinya.

“Sakit, tapi aku harus bertahan kan?”

Hari pertama Embun menjalankan aktivitas nya kembali, namun Embun merasa aneh semua pasang mata terus menerus menatapnya.

Di perjalanan sampai kini ia sudah berada di depan Cafe harapan dimana ia akan bekerja.

“It's okay Embun, semoga yang terbaik buat mereka dan kamu,” Monolog Embun seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam Cafe harapan.

“Selamat pagi, selamat datang ke cafe harapan,” Sapa pelayan yang sedang bekerja di sana.

“Selamat pagi mbak, saya Embun mau bertemu dengan pak Sandy nya ada?” Jawab Embun.

Pelayan tersebut seakan-akan sudah tau semuanya, ia tersenyum ke arah Embun.

“Kak Sandy ada di ruangannya, ayo aku anterin,” Tawarnya dengan ramah.

“Terima kasih.”


Tok tok tok

Pelayan yang tadi mengantarkan Embun mengetuk pintu ruangan Sandy.

“Permisi kak, ini kak Embun nya udah datang,” Ucap Pelayan tersebut setelah membuka pintu ruangan Sandy.

Sandy yang tadi tengah sibuk dengan berkas-berkas yang ada di depannya kini menatap ke arah pintu.

“Oh silahkan masuk Embun,” ucapnya mempersilahkan.

“Terima kasih.” Embun tersenyum dan sedikit menunduk berterimakasih kepada pelayan yang telah mengantarkan nya.

“Silahkan duduk Embun.”

Embun dengan segera duduk di bangku yang ada di depan Sandy.

“Ini baju kerjanya, hari ini kamu kerja jadi pelayan dulu ya, bantu bersih-bersih. Kalo untuk jadi Barista mungkin perlahan akan saya ajarin,” Ucap Sandy seraya menyerahkan sepasang baju yang memang sudah menjadi identitas para pekerja di cafenya.

Embun mengangguk dengan semangat. “Saya berterima kasih banyak, saya akan balas kebaikan bapak,” Jawab Embun.

“Panggil Sandy aja, kalo emang kurang enak boleh panggil kak,” tegur Sandy merasa tidak enak jika di panggil dengan sebutan bapak.

Embun mengangguk. “Baik kak saya akan bekerja dengan keras.”

“Santai aja Embun, saya tidak akan memaksa kamu, dan jangan terlalu memaksakan diri.”


Embun dengan baik melaksanakan pekerjaannya, dan juga ia dengan mudah bersosialisasi dengan pekerja yang ada di sana. Walaupun ada beberapa yang tidak mau berteman dengan dirinya.

“Lihat dah, itu si Embun itu kan.”

“Kok kak Sandy mau sih Nerima dia.”

“Palingan juga gak di bayar, atau si Embun maksa haha.”

“Atau jangan-jangan mereka udah tidur bareng?”

Pelayan yang tadi menyambut Embun mendengarkan semua gosip pekerja yang sedang bergosip ria di dapur.

“Ekhem,” dehem pelayan tersebut.

“Kalian di sini kerja atau mau ngegosip? Kak Sandy gak bayar kalian buat gosip!” Ketus pelayan tersebut.

Dengan cepat pekerja yang tadinya sedang bergosip kini kembali ke tempatnya masing-masing.

Prangg

Semua pasang mata tertuju ke arah Embun yang tidak sengaja menjatuhkan gelas yang tadinya mau ia bawa ke dapur.

“Embun kamu gpp?” Tanya Sandy yang kebetulan ada di sana.

“Gpp kak, maaf ini jadi berantakan maaf kak,” Jawab Embun panik.

Sandy mencegah Embun yang sedang membersihkan pecahan kaca yang tadi jatuh.

“Badan kamu panas, kita ke rumah sakit ya?” Tawar Sandy seraya memegang tangan Embun.

Dengan cepat Embun menepis tangan Sandy, karena tidak enak di lihat oleh yang lain.

Embun berusaha berdiri namun tidak tau kenapa tiba-tiba kepalanya oyong, hampir saja dirinya jatuh jika tidak di tahan oleh Sandy.

“Ara, tolong bantu beresin ini semua, saya mau antar Embun ke rumah sakit,” Suruh Sandy ke pelayan yang tadi menyapa Embun, pelayan tersebut bernama Ara.

“Baik kak!” Sahut Ara, lalu dengan segera membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.

Sandy memapah Embun ke luar hendak membawanya ke rumah sakit.

“Kak gpp, aku bisa sendiri, aku minum obat aja,” Tolak Embun namun tidak di dengarkan oleh Sandy.


“Anda suami dari ibu Embun?” Tanya Dokter yang baru saja duduk di depan Sandy setelah memeriksa Embun.

Embun yang juga sudah selesai di periksa, kini duduk di sebelah Sandy.

“Buk-”

“Iya dok,” Jawab Sandy.

Embun sedikit terkejut.

“Selamat ya pak, istri anda hamil, usia kandungannya sudah 3 Minggu,” Ucap sang dokter.

Sandy dan Embun sangat terkejut, terlebih Embun ia tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengan.

Gak mungkin kan? Pasti dokternya bohong.

“Tapi dok, 1 Minggu yang lalu saya test dan hasilnya negatif, saya juga gak muntah-muntah,” Bantah Embun.

Dokter itu tersenyum. “Itu hal yang wajar, kalo boleh tau ibu test dengan berapa test pack?” Tanyanya.

“Satu dok,” Jawab Embun.

“Kekeliruan pada test pack itu hal yang wajar, apalagi ibu hanya test satu kali.”

Embun masih tidak percaya. Namun ia baru teringat suatu hal, seharusnya ia sudah melawati masa halangan nya sekarang.

“Oh ya pak, karena usia kandungan ibunya yang masih muda dan juga usia sang ibu yang masih sangat muda ini sangat rentan, jadi mohon di jaga baik-baik. Kalo bisa jangan di suruh kerja yang berat-berat terlebih dahulu, terlebih lagi di tempat-tempat yang bisa mengakibatkan kepeleset hingga terjatuh,” pesan sang dokter ke Sandy.

“Baik dok terima kasih banyak.”

Embun masih dalam pikirannya yang campur aduk, dia senang sekaligus bingung.