Panglimakun

Ran harus bertahan kan?


Kringg...

Suara bel sekolah menandakan waktu istirahat, kini semua murid berhamburan keluar menuju ke kantin.

Namun tidak dengan Ran, hari ini hari pertama bagi seluruh murid baru belajar di kelas.

Seluruh murid di kelas sudah saling mengenal satu sama lain. Namun tidak dengan Ran, dia memilih untuk menjauh karena dirinya tidak dapat mengingat apapun yang terjadi sebelumnya.

Short term memory loss yang dialami Ran, membuat dirinya susah untuk bergaul, dan sekarang Ran khawatir, ia takut kegiatan belajarnya akan terganggu.

“Kamu gak mau ke kantin?” tanya Syifa, teman sebangku Ran.

Ran menggeleng. “Ran belum laper,” jawab Ran sambil tersenyum.

Ran berbohong, nyatanya ia sangat lapar karena dari semalam dia belum makan, dan sekarang ia tidak mendapatkan uang jajan dari sang ayah.

“Yaudah, aku ke kantin dulu ya.”

Ran mengangguk, tangan Ran bergerak memegang perutnya yang terasa sakit.

Untuk mengalihkan rasa sakit dan laparnya, Ran memilih untuk membaca buku kecil miliknya, agar dia ingat apa saja yang telah ia lakukan hari ini.

“Ran!” Ran tersentak kaget mendengar suara Aurel yang tiba-tiba ada di sampingnya.

“Kak Aurel.”

Aurel tersenyum, ia menyerahkan kotak bekal di depan Ran.

“Tadi mamanya kakak masak banyak, jadi kakak bawain buat kamu sekalian,” katanya sedikit berbohong kepada Ran.

Karena tidak ada jawaban dari Ran, Aurel membuka kotak bekal yang ia berikan kepada Ran.

“Ini ada sayur brokoli, ada ikan, ada nasi juga, terus ada tahu tempe, sehat deh nanti Ran.”

Ran menoleh menatap Aurel. “Ini untuk Ran?”

Aurel mengangguk. “Untuk Ran, kakak ke kantin dulu ya, takut abang kamu curiga. Oh ya ini.” Aurel meletakkan susu kotak di atas meja.

“Nanti kalo ada apa-apa langsung kabarin kakak ya, kelas kakak di bawah lantai tiga, dekat uks, di tulis oke, biar gak lupa.”

Ran mengangguk paham, lalu segera menulis apa yang dikatakan Aurel barusan.

Setelah Aurel keluar dari kelas Ran. Ran memakan bekal yang diberikan Aurel.

Ran berusaha agar tidak menangis. Ia merasakan, seperti rasa baru yang pernah tersentuh di indera perasa nya.

Ran masih mengingat dulu, kalau bukan makanan yang hampir basi, atau makanan asin, yang selalu ia rasakan.

Walaupun Johnny masak untuk anak-anaknya, ia akan masak dalam porsi untuk tiga orang, maka dari itu Ran terbiasa mendapatkan sisa.

Ran tersenyum tipis. “Ran harus bertahan kan?” lirihnya pelan.

Ran mengangguk kuat. “Ran harus bertahan!”


“Dari mana?” tanya Maraka ke Aurel yang baru saja tiba di kantin.

“Ada deh kepo,” jawab Aurel singkat.

“Masih marah?”

“Pikir sendiri udah gede.”

“Semua sudah kembali normal Embun, dan semua sudah terungkap,” ucap Sandy di samping batu nisan milik Embun.

“Kamu di sana udah bahagia kan? Aku sangat berharap kamu bahagia Embun.”

Sandy terdiam dan memejamkan matanya sejenak. Lalu ia kembali membuka matanya bersamaan dengan helaan nafas yang keluar dari mulutnya.

“Bertemu dan membantu kamu bangkit dari semua masalah, hal yang paling berarti dalam hidup aku Embun.”

“Aku akan menjalani hari untuk membantu kamu sampai akhir.”

Sandy menunduk, setetes air matanya jatuh ke makam Embun.

“Hujan dan juga Galaxy, tanggung jawab aku sampai akhir nanti, selamat beristirahat Embun, sampai jumpa di kehidupan selanjutnya.”


5 Tahun kemudian

Seorang pria dengan setelan yang sangat rapi kini berada di makam Embun. Seorang pria yang memeluk Embun disaat Embun menghembuskan nafas terakhirnya— dia adalah Jonathan Arkananta.

Jonathan duduk tepat di sebelah kanan makam Embun, tidak peduli akan celananya yang kotor nantinya.

“Halo, maaf aku baru berkunjung setelah dua hari,” ucapnya seraya tertawa kecil.

Lima tahun terakhir ini Jonathan hampir setiap hari mendatangi makam Embun, bahkan ia sempat di tanya oleh penjaga makam, kenapa dirinya datang ke makam setiap hari. Jonathan hanya menjawab “saya ingin memastikan orang yang saya sayang, berisitirahat dengan tenang.”

“Maaf kemarin aku gak datang, selain urusan kantor yang sangat-sangat buat aku pusing, kemarin aku mempersiapkan ulang tahun Galaxy yang ke sepuluh.”

Jonathan tersenyum, tangannya bergerak mengusap pelan batu nisan Embun.

“Anak kita udah tumbuh besar Embun, ia akan menjadi remaja yang pintar, hebat, dan kuat seperti kamu dan ganteng kayak aku.” Jonathan tertawa kecil.

“Banyak hal yang aku lewati Embun, aku memang bukan ayah yang baik ataupun ayah yang sempurna bagi Galaxy, tapi aku berusaha menjadi ayah yang baik untuk Galaxy.”

“Oh iya, Galaxy nemu uban di rambut aku,” kekeh Jonathan. “Katanya bukan ayah udah tua, tapi karena ayah sudah berusaha dengan keras.”

Jonathan tersenyum tipis. “Anak yang sangat sopan Embun, kamu berhasil, terima kasih.”

Jonathan menyadari pipinya membasah, karena air mata yang mengalir, dengan cepat ia mengusap air mata tersebut.

“Maaf, aku gak bisa nahan.”

“Embun, sesuai permintaan kamu, aku akan menjadikan kamu cinta terakhir untuk aku, sampai nanti aku terbaring di samping kamu, tapi enggak sekarang ya, aku harus memastikan Galaxy tumbuh dan siap menghadapi semuanya.”

Jonathan menghela nafas panjang. “Aku gak tau apa reaksi Galaxy, jika mengetahui fakta bahwa aku pernah membuat kamu jatuh terpuruk, namun aku akan terus berterimakasih, karena kehadirannya adalah hidup bagi aku— Jonathan Arkananta.”

Jonathan mengusap pelan batu nisan milik Embun.

“Sampai jumpa besok, dan besok, bahkan sampai nanti rambut aku beneran memutih.”

“Aku sayang kamu, Embun Gayatri.”

“Lo harus dengerin gue.” Theo terus memaksa Sandy yang kini ada di hadapannya.

Setelah dirinya mendapatkan chat dari Sandy, Theo tak henti-hentinya mendatangi cafe Sandy yang selama Sandy tidak ada di urus oleh Cherry dan juga Daffa.

Awalnya Cherry tidak percaya dengan ocehan Theo bahwa Sandy masih hidup, namun setelah mendapatkan penjelasan dari Ara akhirnya Cherry percaya.

Dan Ara lah yang memaksa agar Sandy bertemu dengan Theo, agar semua masalahnya selesai.

Sandy mengangguk. “Jelasin,” titahnya tegas.

Theo bernafas lega ketika Sandy memberikan kesempatan kepada dirinya.

“Jadi gini, gue gak tau kenapa tiba-tiba Yudhis tau alamat gue di Paris, gue sama Bella di Paris, dan kemungkinan besar Yudhis tau alamat gue dari Bella,” kata Theo mulai menjelaskan semuanya.

“Tiba-tiba Yudhis ngajak, tapi lebih tepatnya nyuruh gue buat ngebunuh lo, dengan ancaman ada dua—” Theo menggantung ucapannya.

“Apa?” tanya Sandy penasaran.

“Bella di ambil lagi sama Jonathan, dan gue akan dipenjarakan lagi,” sambungnya.

“Gue capek hidup di penjara, di fitnah terus-menerus. Dan gue ngerasa Bella jauh lebih bahagia sama gue ketimbang sama Jonathan, jadi itu alasan gue terima—”

“Dengan nyawa gue sebagai taruhan?”

Kini suasana kembali memanas.

“Gue mau, tapi dengan syarat Yudhis menjelaskan semua apa yang harus gue lakukan, di cafe lo.”

Theo diam sejenak, ia berharap ada tanggapan dari Sandy, namun tidak ada.

“Awalnya Yudhis nolak, karena dia tau pasti lo akan terus ada di cafe, dan sampai di hari itu tiba-tiba dia ngajak gue ketemuan di cafe lo, dan ya gue udah di Indonesia jauh sebelum hari itu.”

Sandy mengangguk, ia terus mendengarkan semua penjelasan Theo, namun tidak menatap ke arah Theo sama sekali.

“Dan gue baru tau kalo lo gak ada di sana, ternyata Yudhis udah tau lo bakalan pergi dan itu jadi kesempatan besar bagi gue kata Yudhis, gue sempet mau nolak lagi, tapi tiba-tiba lo dateng. Gue berharap lo duduk di sebelah kita, dan nanyain apa maksud kita, dan lo nanya kenapa kita bisa kenal,” ucap Theo lagi.

“Namun sama sekali enggak. Gue udah gak tau harus gimana.”

“Then, lo berhasil.”

“Gue minta maaf,” lirih Theo dengan suara kecil. Ia sangat merasa bersalah kepada Sandy.

“Gue siap di penjara sekarang,” ucapnya.

Sandy tersenyum menatap Theo, ia menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Karena lo, gue sedikit ikhlas Embun pergi, setidaknya dia bisa bahagia tanpa mikirin gue di saat terakhirnya.”

“Well, thank you bro,” ucap Sandy seraya bangkit dari duduknya.

Sandy melangkahkan kakinya, dan berhenti tepat di samping Theo.

“Hidup bahagia sama orang yang lo cinta, sebelum lo kehilangan dia untuk selamanya. Dan—” Sandy menggantung ucapannya.

“Dan lo hidup sendiri dalam penyesalan.”

Ayah, Ran sakit.

“Awh sakit ayah,” ringis Ran karena tangannya yang ditarik dengan sangat kuat oleh Johnny.

Brakk

Kaki Ran sedikit terbentur dengan meja di ruang tengah, akibat dorongan kuat dari Johnny.

“Ngapain aja kamu sama orang yang gak di kenal?” tanya Johnny dengan nada sedikit mengintimidasi.

“Ran gak ngapa-ngapain yah,” jawab Ran dengan hati-hati.

“Ngadu apa aja kamu sama dia hah? Mau nyari pembelaan dan pertolongan?”

Ran menggeleng kuat. “Enggak ayah,” bantah Ran pelan.

“Awas aja kamu ngadu yang bukan-bukan, saya gak pernah akan mengasihani kamu!”

Johnny melangkahkan kakinya melewati Ran.

“Maraka, Hazel,” panggil Johnny.

“Ya ayah,” jawab mereka berdua secara bersamaan.

“Siap-siap, ayah mau bawa kalian makan di luar, gak ada makanan di rumah kan?”

Maraka dan juga Hazel yang berada di pintu kamarnya masing-masing mengangguk, lalu mereka kembali masuk ke kamar untuk siap-siap, begitu juga dengan Johnny.

Di sisi lain, Ran tidak dapat menahan air matanya. Ia tersenyum agar rasa sakitnya di dadanya mereda.

“Gak apa-apa Ran, ayah sayang sama Ran.”

Ran melangkahkan kakinya menuju kamar. Ia masuk ke dalam kamar, dan menutup pintu kamarnya kembali.

Ran mendudukkan dirinya di depan pintu, ia memeluk erat kedua kakinya.

“Ayah, Ran sakit.”

“Kira-kira Ran bisa bertahan gak yah?”

“Fito.” Bunda memanggil Fito dengan suara yang sedikit keras.

“Iya bun,” sahut Fito. Fito seperti biasa mendorong roda kursi rodanya keluar dari kamar menghampiri bunda.

“Ada apa bun?” tanya Fito.

Bunda tidak langsung menjawab, ia melemparkan senyuman lembut kepada Fito.

“Gak kenapa-kenapa, bunda khawatir satu harian ini kamu di kamar terus. Kamu gak kenapa-kenapa kan? Kamu udah gak menghitung lagi kan?”

Fito menundukkan kepalanya, ia tidak tau harus menjawab apa.

“Maafin Fito bun,” jawab Fito pelan.

“Kamu mau tega ninggalin bunda sendirian?” Suara bunda kini mulai serak seperti hendak menangis.

Fito menghela nafas berat sebelum mengangkat kepalanya. “Luka lama Fito terbuka kembali bun, Fito tau seberapa usaha yang bunda kerahkan untuk Fito. Nyatanya Fito gak sanggup bun.”

“Maafin bunda, Fito.”

“Bukan, bukan salah bunda, ini udah keputusan Fito.”


Karena merasa bosan, kini Fito sedang berada di teras rumahnya, menikmati sejuknya angin sore.

Namun tiba-tiba pandangan Fito tertuju pada seseorang yang melewatinya begitu saja.

Seseorang itu adalah Ran, cewek yang tadi pagi menyapa Fito, namun anehnya kenapa dia tidak menyapa Fito lagi.

“Hei,” panggil Fito namun Ran tidak menyahutnya.

“Randika putri Aditya.” Fito kembali memanggil Ran dengan nama lengkap Ran.

Merasa terpanggil Ran akhirnya menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiri arah suara.

“Ran?” heran Ran seraya menunjuk dirinya.

Tak kalah keheranan, Fito juga merasa heran dengan tingkah laku Ran sekarang.

“Iya kamu, kamu yang tadi pagi sapa aku pas ke sekolah.”

Ran terdiam seperti sedang memikir. “Ahh!” sontak Ran.

“Sebentar,” ucap Ran lalu dirinya segera berlari menuju rumahnya.

“Lah,” lirih Fito kebingungan.


“halo, nama aku Ran. Randika putri Aditya, aku kelas satu menengah atas, aku sekolah di SMA swasta Aksara yang ada di persimpangan, di depan pizza hut.”

Ran kini kembali menghampiri Fito, dengan satu buku kecil yang ada di tangannya. Mengingat dirinya yang mengidap sindrom short term memory loss, akhirnya Ran memperkenalkan dirinya kembali kepada Fito.

“Aku tau,” sahut Fito.

“Hehe maaf ya, nama kamu siapa?” tanya Ran.

Fito menyeringitkan keningnya kebingungan. “Aku udah perkenalan tadi pagi,” jawab Fito tegas.

Ran terdiam ia tidak tau harus menjelaskan bagaimana kepada Fito.

“Fito bisa jaga rahasia gak?” tanya Ran.

Fito terdiam sejenak, lalu ia mengangguk.

“Fito baca ini,” suruh Ran seraya menunjukan catatan mengenai short term memory loss yang ia derita.

“Short term memory loss, atau sindrom Dory,” eja Fito. Lalu Fito mengangkat kepalanya menatap mata Ran. “Kamu?”

Ran mengangguk. “Maafin Ran ya, Ran lupa nulis perkenalan kita tadi pagi, jadi Ran gak baca tadi, maafin Ran lupa sama Fito.”

Fito terdiam sejenak, ia berusaha untuk memahami kondisi Ran.

Setelah beberapa menit, kini Ran dan juga Fito sedang mengobrol dan bercanda satu sama lain. Sebelumnya mereka sempat bertukar nomor.

Tidak ada perasaan aneh bagi mereka, Fito merasakan hal yang berbeda terhadap Ran, walaupun Ran sangat mirip dengan luka lamanya, namun ada sisi lain Ran yang membuatnya nyaman.

Begitu juga dengan Ran, sekian lama dirinya tidak mempunyai teman, akhirnya kini dirinya mempunyai teman yang bisa mendengar semua candaannya.

Fito dan juga Ran menjadi teman dan juga tetangga yang baik walaupun hanya dalam waktu singkat.


“Ayah,” lirih Ran.

Fito mengalihkan pandangannya ke arah dimana Ran menatap. Dari jauh seorang pria berjalan menghampiri mereka.

“A-ayah,” ucap Ran gugup ketika pria tersebut berhenti tepat di depan mereka. Pria tersebut adalah Johnny, ayah Ran.

“Om,” sapa Fito dengan ramah.

“Pulang,” suruh Johnny kepada Ran dengan nada tidak bersahabat.

Ran segera berdiri dan berpamitan kepada Fito.

Fito merasa aneh, ia melihat Johnny menarik tangan Ran dengan kasar.

“Dia gak kenapa-kenapa kan?”

Pagi ini seperti biasa Ran yang terakhir berangkat ke sekolah, Ran sempat kebingungan karena melihat Johnny berangkat kerja tidak menggunakan motor seperti biasanya.

“Ran lupa nulis lagi,” monolog Ran pelan.

Setelah memasstikan pintu rumahnya sudaha terkunci dengan benar, Ran melamgkahkan kakinya dengan semangat.

Namun tiba-tiba langkah Ran jadi pelan karena melihat seorang pria yang sedang duduk di kursi roda di depan rumah yang ada di samping rumah Ran.

Ran belum pernah melihat pria tersebut sebelumnya, dengan langkah pelan Ran menghampiri pria tersebut.

“Hai,” sapa Ran dengan senyum manisnya.

Pria tersebut tidak menjawab membuat Ran menatap pria tersebut dengan tatapan sinis.

“Sombong banget tetangga baru,” sindir Ran pelan.

Pria tersebut adalah Fito, tetangga baru yang baru saja pindah kemarin. Fito mendengar sindiran Ran, namun dirinya tetap memilih untuk diam.

“Ran,” ucap Ran seraya menjulurkan tangannya mengajak Fito berkenalan. “Randika Putri Aditya,” sambung Ran mengucapkan nama lengkapnya.

Pelan-pelan Fito membalas jabatan tangan Ran. “Fito,” jawab Fito pelan.

“Nama panjangnya siapa? jangan bilang Fitooooooooooo,” balas Ran membuat Fitu tertawa pelan.

“Fitu Ray Fahlevi,” sambung Fito melengkapi namanya.

“Tetangga baru Ran?” Fito mengangguk. “Gak bisa ngomong ya?” tanya Ran kesal.

“Iya tetangga baru kamu,” jawab Fito tidak ingin memperpanjang masalah.

Ran mengangguk lalu ia melihat jam tangannya. “Ah! Ran telat,” pekik Ran menyadari sedikit lagi sudah waktunya masuk.

“Ran berangkat sekolah dulu ya, bye-bye,” pamit Ran seraya melangkahkan kakinya cepat.

“Ran.” Fito memanggil Ran membuat Ran membalikkan tubuhnya kembali menghadap Fitu.

“Iya?” sahut Ran.

“Kamu ke sekolah jalan kaki?” tanya Fito.

Ran mengangguk. “Iya, udah dulu ya, nanti Ran telat.” Ran berlari meninggalkan Fito di sana.

Fito menunduk memandang kakinya yang kini tidak dapat digerakkan lagi untuk selamanya. “Apa ini hukuman karena aku kurang bersyukur?”

Fito memandang ke arah jalanan, ia tidak melihat sosok Ran lagi di sana. “Dia mengingatkan ku kembali pada luka lama yang berusaha aku lupakan.”

Ini bukan hukuman, tapi bantuan dari Tuhan untuk Ran.


Kini Ran dan juga Aurel sedang berada di sebuah taman. Sebelumnya mereka sudah pergi ke burger king dan juga rumah sakit seperti rencana Aurel dengan Maraka.

Awalnya Ran sempat menolak, namun Aurel berusaha memaksa sehingga Ran mau ikut dengan Aurel ke rumah sakit.

Ran menoleh ke arah Aurel yang sedari tadi menunduk.

“Kakak kenapa?” tanya Ran keheranan.

Aurel mengangkat kepalanya menatap mata Ran. Mata yang penuh kebohongan dan juga mata yang menyaksikan semua perilaku buruk dari ayahnya sendiri.

Tanpa sadar Aurel menangis, dia mengingat kembali perkataan dokter mengenai kondisi Ran.

Ran mengidap short term memory loss atau hilangnya memori jangka pendek, atau bisa disebut dengan sindrom Dory.

Kata dokter short term memory loss kondisi ketika seseorang lupa apa yang didengar, dilihat, atau dilakukan beberapa saat lalu. Bagi lansia, ini adalah fase yang normal. Namun terkadang, masalah pada memori jangka pendek menjadi sinyal demensia, cedera otak, atau gangguan mental.

Ran menjalani begitu banyak tes tadinya bersama dokter, sampai dokter mengetahui apa alasan Ran terkena short term memory loss.

Ran menceritakan semuanya, semua yang dilakukan ayahnya kepada dirinya yang masih tersimpan rapi di ingatannya.

Ran memberitahu kepada dokter bahwa dirinya sering dipukul, dan juga dirinya sering membenturkan kepalanya di dinding, sehingga dirinya sering mimisan, muntah-muntah bahkan sampai pingsan. Ran juga memberitahukan bahwa dirinya pernah berhalusinasi.

Ran memberitahukan kepada dokter bahwa akhir-akhir ini ayah Ran tidak berperilaku seperti itu lagi kepada Ran. Aurel yang mendengar perkataan Ran, tau bahwa Ran hanya tidak mengingatnya bukan ayah yang tidak melakukannya.

“Kakak kenapa nangis?” tanya Ran.

Aurel menggeleng. “Kamu ingat tadi kita ngapain?”

Ran terdiam sejenak, ia mengeluarkan buku kecil yang selalu dirinya bawa kemana-mana. Hal tersebut membuat tangis Aurel pecah.

“Kenapa kamu harus menanggung semua ini Ran, kenapa gadis kecil yang tidak bersalah seperti kamu harus mendapatkan hukuman jahat dari Tuhan!” Aurel berteriak tidak terima.

Setelah membaca buku miliknya, Ran baru ingat beberapa hal yang ia lakukan tadi. Dan dirinya juga tau kalau ia mengidap short term memory loss.

“Ini bukan hukuman, tapi bantuan dari Tuhan untuk Ran.”

Aurel menatap Ran kebingungan.

“Tuhan gak mau Ran benci ayah, jadi Tuhan buat Ran melupakan semua perbuatan ayah ke Ran, jadi Ran akan selalu sayang ke ayah, sampai kapanpun itu,” jelas Ran dengan air mata yang mengalir di pipinya.

“Kak,” panggil Ran pelan.

“Iya?”

“Jangan kasih tau abang Ran ya, seperti kata dokter yang sudah Ran tulis, Ran akan berusaha untuk sembuh. Ran akan mulai makan makanan bergizi, dan juga tidur yang cukup, Ran gak usah terapi dan menjalani pengobatan serius kak,” ucap Ran.

“Kenapa?”

“Pasti mahal, Ran gak punya duit, kalo Ran sakit, Ran cuman minum Paracetamol pemberian ayah.”

Hari ini adalah hari mpls terakhir, dimana seluruh murid baru kini sedang berada di lapangan.

Rangkaian acara hari ini adalah demo ekskul, dimana semua ekskul akan menunjukkan kemampuan mereka demi menarik minat dari murid-murid baru.

Ran duduk di barisan tengah, dengan tangan yang memegang pena dan juga buku kecil miliknya. Halaman terakhir di buku kecil Ran bertuliskan dimana letak kunci rumah yang ia simpan tadi pagi.

Kini Ran sedang menulis nama-nama ekskul yang sedang tampil, dan juga menuliskan kemampuan mereka.

Ran tertarik dengan ekskul Paskibra, bahkan dari kemarin pada saat penyerahan formulir ia sangat tertarik, namun dirinya takut untuk meminta izin kepada ayah, karena pasti ayah tidak akan mengizinkannya.

“Wah keren banget,” puji Ran.

“Kalo Ran ada di situ pasti keren.” Ran mengamati dengan seksama penampilan dari ekskul paskibra.

Kini jam menunjukkan pukul tiga belas lewat lima puluh lima. Bel menandakan seluruh murid sudah boleh pulang. Namun tidak untuk murid baru, karena mereka akan melaksanakan kegiatan terakhir mpls, yaitu pelepasan balon.

Semua murid kini tengah berdiri di tengah lapangan dengan formasi melingkar. Di tengah-tengah sudah ada beberapa OSIS yang akan memegang kendali pelepasan balok tersebut.

“Oke, semuanya waktu kakak bilang satu, dua, tiga kalian lempar toga kalian ke atas ya!”

“Siap!”

“Satu, dua, tiga!”

Pada hitungan ke tiga balon dilepaskan dan juga para murid baru melemparkan toga yang mereka buat dari karton tersebut ke atas.

Ran tidak berhenti tersenyum, ia benar-benar merasa senang. Seperti tidak merasakan beban apapun sekarang.

“Suatu saat Ran bakalan ngelempar toga beneran nantinya, karena Ran akan menjadi seorang dokter.”

Pagi ini seperti biasa Ran yang terakhir berangkat ke sekolah, Ran sempat kebingungan karena melihat Johnny berangkat kerja tidak menggunakan motor seperti biasanya.

“Ran lupa nulis lagi,” monolog Ran pelan.

Setelah memasstikan pintu rumahnya sudaha terkunci dengan benar, Ran melamgkahkan kakinya dengan semangat.

Namun tiba-tiba langkah Ran jadi pelan karena melihat seorang pria yang sedang duduk di kursi roda di depan rumah yang ada di samping rumah Ran.

Ran belum pernah melihat pria tersebut sebelumnya, dengan langkah pelan Ran menghampiri pria tersebut.

“Hai,” sapa Ran dengan senyum manisnya.

Pria tersebut tidak menjawab membuat Ran menatap pria tersebut dengan tatapan sinis.

“Sombong banget tetangga baru,” sindir Ran pelan.

Pria tersebut adalah Fito, tetangga baru yang baru saja pindah kemarin. Fito mendengar sindiran Ran, namun dirinya tetap memilih untuk diam.

“Ran,” ucap Ran seraya menjulurkan tangannya mengajak Fito berkenalan. “Randika Putri Aditya,” sambung Ran mengucapkan nama lengkapnya.

Pelan-pelan Fito membalas jabatan tangan Ran. “Fito,” jawab Fito pelan.

“Nama panjangnya siapa? jangan bilang Fitooooooooooo,” balas Ran membuat Fitu tertawa pelan.

“Fitu Ray Fahlevi,” sambung Fito melengkapi namanya.

“Tetangga baru Ran?” Fito mengangguk. “Gak bisa ngomong ya?” tanya Ran kesal.

“Iya tetangga baru kamu,” jawab Fito tidak ingin memperpanjang masalah.

Ran mengangguk lalu ia melihat jam tangannya. “Ah! Ran telat,” pekik Ran menyadari sedikit lagi sudah waktunya masuk.

“Ran berangkat sekolah dulu ya, bye-bye,” pamit Ran seraya melangkahkan kakinya cepat.

“Ran.” Fito memanggil Ran membuat Ran membalikkan tubuhnya kembali menghadap Fitu.

“Iya?” sahut Ran.

“Kamu ke sekolah jalan kaki?” tanya Fito.

Ran mengangguk. “Iya, udah dulu ya, nanti Ran telat.” Ran berlari meninggalkan Fito di sana.

Fito menunduk memandang kakinya yang kini tidak dapat digerakkan lagi untuk selamanya. “Apa ini hukuman karena aku kurang bersyukur?”

Fito memandang ke arah jalanan, ia tidak melihat sosok Ran lagi di sana. “Dia mengingatkan ku kembali pada luka lama yang berusaha aku lupakan.”

“Loh, kenapa belum dikasih To?” tanya seorang wanita paruh baya kepada anaknya yang kini sedang mendorong kursi roda miliknya sendiri.

“Iya Bun, kayaknya tetangga sebelah lagi ada masalah, jadi besok aja Bun,” jawab sang anak.

“Oh yaudah, oh ya Fito itu semua barang-barang kamu sudah bunda susun, tinggal beberapa buku yang mungkin kamu mau pilih-pilih dulu.”

Fito Ray Fahlevi, atau yang biasa dipanggil Fito oleh sang bunda. Mereka berdua baru saja pindah ke rumah baru, rumah yang tepat di sebelah rumah keluarga Aditya.

Tadinya Fito hendak memberikan buah tangan untuk keluarga Aditya sebagai tanda perkenalan, dan juga bunda berharap dirinya bisa berteman dengan ketiga anak keluarga Aditya.

Bunda Fito mengetahui tentang keluarga Aditya dari RT setempat, jadinya bunda menyuruh Fito agar segera berkenalan.

Namun sayangnya pada saat Fito hendak memberikan buah tangan, Fito malah mendengar pertengkaran hebat keluarga tersebut.

Setelah mengembalikan buah tangan yang tidak jadi dikasih kepada keluarga Aditya, kini Fito mendorong kursi rodanya menuju kamar.

Sesampainya di kamar, ia memandang sejenak kamar barunya tersebut. Fito sudah muak dengan semua ini, sudah hampir lima kali dirinya dan bunda pindah rumah dalam waktu dua bulan. Itu hal yang melelahkan bagi Fito.

Lagi-lagi dirinya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, belum lagi jika di lingkungan baru dirinya tidak di terima maka lagi-lagi Fito dan bunda memilih untuk pindah.

Fito mendorong kursi rodanya menuju meja yang ada di dekat tempat tidur, ia melihat sebuah foto dirinya dengan bunda dan juga ayahnya.

“Seandainya ayah gak ngelakuin itu semua, Fito gak akan begini. Dan bunda gak akan menanggung semuanya.”