Panglimakun

“Ibu apa kabar?” Tanya Sandy ke batu nisan yang ada di depannya.

Benar kata Ara, ketika Sandy sedang ada masalah maka dia akan ke makam ibundanya.

“Sandy membuat kesalahan lagi bu.” Air mata Sandy mengalir, ia tidak akan segan untuk menangis di hadapan ibundanya.

Karena dulu ibu pernah bilang bahwa laki-laki juga berhak untuk menangis.

“Sandy telah menyia-nyiakan kepercayaan orang yang Sandy sayang.”

“Apa Sandy berhak untuk dimaafkan?”

Isak tangis Sandy semakin menjadi, ia memeluk erat baru nisan ibunya. Hatinya terasa sakit ketika mengingat kembali Embun pergi meninggalkan dirinya.

“Maaf Sandy buat ibu kecewa.”

Sandy meluapkan penyesalannya, sebelum ia beranjak setelah meletakkan bunga matahari, bunga yang sama seperti yang disukai oleh Embun.

“Sandy akan memperbaiki semuanya,” ucap Sandy dengan tegas dengan senyum yang melebar sebelum ia beranjak dari sana.


Setelah menidurkan Galaxy, Embun kembali menyendiri di ruang tengah.

Tanpa ada satupun suara yang menghibur dirinya. Embun melamun dalam kesunyian.

“Apa Embun salah?”

“Salahkah Embun kecewa lagi?”

Embun memukul dadanya yang terasa sakit berkali-kali. “Apalagi Tuhan, Embun udah gak kuat.”

Embun meringkuk badannya memeluk kedua kakinya. Menatap sebuah bingkai foto besar yang terpajang di depannya. Foto dirinya dan juga teman-temannya ketika ia baru saja melahirkan Galaxy.

Air matanya kembali mengalir ketika melihat Sandy disana.

“Kenapa harus kakak sih?”

Embun menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua emosi yang tengah menguasai dirinya.

“Seharusnya Embun mengakhiri ini semua dari dulu bukan?”

“Nyatanya Embun gak pernah kuat.”

Embun kembali menatap sebuah cutter yang ada meja depannya.


Kebohongan yang selalu Embun katakan adalah bahwa ia kuat menjalani semua ini

#.

Hari ini Embun telah menyelesaikan jadwal check up nya dengan dokter Keenan. Galaxy ia titipkan ke Cherry, semua persediaan untuk Galaxy pun telah ia siapkan.

Kini Embun dengan perasaan yang senang, ia hendak memberikan suprise ke Sandy.

Walaupun bukan hari spesial, hanya saja ia ingin menghabiskan waktunya dengan Sandy hari ini, tanpa ada Galaxy.

Kini Embun sudah berada tepat di depan pintu rumah Sandy, ia belum mengabari Sandy, karena emang tujuannya untuk memberikan kejutan untuk Sandy.

Ketika tangan Embun hendak mengetuk pintu, ia mengurungkan niatnya saat mendengar suara teriakan dari dalam.

“Papa harusnya sadar diri!” Suara teriakan Sandy dari dalam sana.

Embun sedikit terkejut, ia belum pernah mendengar Sandy semarah ini sebelumnya.

Dengan siapa Sandy marah? Siapa yang ia sebut papa?

“Kak Sandy kenapa ya?” Monolog Embun.

Embun hendak mengurungkan niatnya untuk memberi kejutan ke Sandy, dan ia hendak melangkah pergi dari sana.

Ceklek

Langkah Embun terhenti ketika ia mendengar suara pintu terbuka.

Ia membalikan badannya, matanya tersorot pada seseorang yang baru saja keluar dari sana. Seseorang yang sangat ia kenal.

Papa Arkananta — sosok yang pernah menjadi papa mertuanya, dan beberapa saat yang lalu ia mendengar bahwa sosok inilah papa yang di maksud oleh Sandy.

Embun tidak tau harus apa, ia shock tentu saja, namun ia tetap diam.

“Embun,” tegur Sandy sedikit kaget ketika melihat Embun di sana.

“Embun, kamu apa kabar nak?” Tanya Papa Arkananta.

Namun tidak ada jawaban dari Embun, ia masih diam seperti tadi.

“Pa pulang!” Usir Sandy sedikit berteriak.

Tidak ingin membuat keadaan semakin rumit, Papa Arkananta memilih untuk pergi dari sana, meninggalkan Embun dan juga Sandy yang masih diam.

“Embun, kamu ngapain kesini?” Tanya Sandy dengan lembut, ia hendak memegang tangan Embun, namun dengan segera ditepis oleh Embun.

“Ini,” ucap Embun seraya menyerahkan sebuah plastik yang berisikan kotak cake yang ia belikan tadi. “Cake buat kakak, hari ini Embun mau ke kampung lagi, Embun pulang naik bus bareng Galaxy, Hujan gak ikut,” lanjutnya panjang lebar.

Sandy sedikit kaget ketika mendengar bahwa Embun hendak pulang kampung lagi.

“Gak, aku aja yang nganter.” Sandy menolak keputusan Embun buat pulang kampung sendirian.

Embun menatap mata Sandy dengan penuh amarah, namun anehnya ia tidak bisa marah. Bahkan untuk mengatakan hal jujur saja ia tidak bisa.

Embun tersenyum selembut mungkin. “Memang salah menaruh kepercayaan sama manusia,” tegas Embun. “Aku pamit,” finishnya lalu membalikan badannya hendak pergi dari sana.

Namun langkah Embun lagi-lagi terhenti karena tangannya ditahan oleh Sandy.

“Aku bisa jelasin semuanya Embun,” ucap Sandy dengan penuh harap.

Embun tertawa tipis, ia menghempaskan tangannya dengan kasar, membuat tangan Sandy yang tadi menggenggam tangannya, kini terlepas.

“Apa lagi kak? Mau jelasin kalo sebenarnya kakak itu adik Jonathan mantan suami aku?” Sindir Embun.

“Gak usah kak, Embun udah tau barusan,” tolaknya dengan tegas.

Sandy terlihat panik dan juga merasa sangat bersalah. “Maaf, maaf dan maaf, aku bisa jelasin,” mohonnya dengan sungguh-sungguh.

“Embun pamit ya, permisi.” Kini Embun benar-benar pergi dari hadapan Sandy.

Sandy tidak menahan Embun, ia tau bahwa dirinya salah. Salah tidak jujur dari awal. Kini ia harus menanggung semuanya.

Namun dia tidak akan membiarkan Embun pergi, ia hanya akan memberikan Embun waktu untuk meredakan emosinya.

Hati Embun terasa sangat sakit, langkahnya terasa sangat berat. Untuk yang kesekian kalinya ia harus jatuh lagi.

“Ayo Embun pasti bisa,” ucapnya menyemangati dirinya sendiri.


Embun menatap mata kecil Galaxy yang sedang terpejam erat. Galaxy Dirgantara, satu-satunya harapan dan juga alasannya bertahan di dunia ini.

“Hari ini bunda sakit lagi Galaxy,” ucap Embun berbicara dengan buah hatinya yang sedang tertidur nyenyak.

Ia marah, dan juga kecewa dengan Sandy. Ia merasa telah dibohongi selama ini.

“Kira-kira nanti bunda bisa gak ya jadi bunda dan juga ayah untuk Galaxy?”

Embun kembali menangis, setelah sekian lama ia tidak pernah merasakan sakit seperti ini.

“Kira-kira Galaxy kecewa gak ya sama bunda kalo suatu saat-” ucapan Embun terpotong, ia tidak kuat untuk melanjutkan ucapannya. “Kalo suatu saat Galaxy tau bunda pernah dibuang sama ayahnya sendiri,” sambungnya sebelum tangisnya benar-benar pecah.

Embun tidak pernah berpikir bahwa masa depan Galaxy akan sangat buruk, karena ia telah menaruh harapan besar terhadap Sandy.

Namun hari ini, hari ini ia kembali harus menguburkan harapan tersebut.

Ia harus berjuang sendiri, berjuang menjadi seorang ibu dan juga ayah untuk Galaxy.

“Galaxy Dirgantara, apapun yang terjadi nanti, bunda akan jadi perisai dan juga malaikat untuk kamu.” Embun mengecup pipi Galaxy, menyalurkan semua kasih sayang dirinya terhadap Galaxy.


Bunda akan terus jadi malaikat di hidup Galaxy, walaupun bunda tidak memiliki sayap -Embun Gayatri

Malam ini tepat dimana Promnite angkatan Malvin dkk diadakan.

Semua murid telah berkumpul di lapangan SMA NEO. Promnite yang bertemakan Yule Ball, membuat suasana di sekolah dan juga pakaian dari murid-murid yang hadir, seperti nuansa Hogwarts.

Masing-masing dari mereka kini bersama pasangannya masing-masing, karena acara inti hari ini adalah dansa.

Namun tidak dengan Nasya, sampai sekarang ia tidak memiliki pasangan dansa, dan dia tidak berminat untuk mencarinya.

“Sya, Lo diem aja dari tadi,” tanya Zarra yang duduk di sebelah Nasya.

Nasya menghela nafas. “Ya mah gimana zar, gak menarik,” jawab Nasya jujur.

“Gak ada yang menarik, atau karena gak ada Malvin?”

Nasya menatap tajam mata Zarra. “Apasih,” protesnya.

Mereka berdua kembali diam, karena acara sudah dimulai.


“Halo sahabat Neo!” Sapa kedua MC berbarengan.

Semua murid SMA NEO kini terfokus ke mereka. Tidak ada aktivitas lain.

“Perkenalkan gue Diva, dan di sebelah gue ada,” ucap Diva memperkenalkan diri.

“Dan gue Hezekiah,” tambah Hezekiah memperkenalkan diri.

“Kita berdua akan Nemani kalian sampai akhir acara!”

Hezekiah mengangguk membenarkan.

“Oh ya Heze, kan yang lulus kita nih, kenapa kita juga ya yang jadi MC bahkan ada beberapa angkatan kita yang menyiapkan acara ini?”

“Jadi gini, tema yang diambil sedikit berbeda dengan promnite angkatan sebelumnya. Anak-anak yang lulus tahun ini ingin memberikan kesan yang membekas untuk kalian semua,” jawab Hezekiah atas pertanyaan Diva.

Semua murid SMA NEO bertepuk tangan, dan bersorak gembira.

Diva mengangguk. “Ngomong-ngomong tentang kesan yang membekas, sebentar lagi akan ada suprise buat kita semua!”

“Ada yang tau gak apa itu?” Tanya Diva ke murid SMA NEO, seraya menyodorkan mic yang ada ditangannya.

“Enggak!!!” Jawab mereka serentak.

“Tanpa berlama-lama lagi! Ini dia Riddin Boys yang akan membawakan lagu dari salah satu boy group terkenal di Korea! Riddin Boys dengan lagu boom dari Nct dream, tepuk tangan yang meriah buat Riddin Boys!”

Semua murid terlebih murid cewek bersorak heboh, setelah mendengar sambutan dari MC.

“Sya! Huaaaaa kak Danial cover jadi Jeno tau! Huaaaa gak sabar, Nct dreammmm!” Teriak Zarra tak kalah heboh.

Namun berbeda dengan Nasya, sampai sekarang ia tidak tertarik dengan acara ini, ia hanya diam, dan diam.

Suasana semakin heboh, teriakan dari para siswi mendominasi. Apalagi ketika para Riddin Boys, memulai penampilannya.

Hanya Nasya seorang yang tidak tertarik dengan penampilan mereka.

Ceklek

Suara pintu terbuka, Sandy baru saja tiba di apartemen Embun, ketika mendapatkan chat dari Embun dia segera beranjak dari rumahnya.

“Embun!” Teriak Sandy memanggil Embun.

Mendengar suara teriakan Sandy, dengan segera Embun berlari dari kamar ke ruang tengah.

“Kak! Cepetan sini,” sahut Embun seraya menarik tangan Sandy.

“Kenapa Galaxy bisa hilang?” Tanya Sandy khawatir.

Langkah Embun terhenti, membuat tubuh Sandy sedikit menabrak tubuh Embun. Embun membalikkan tubuhnya, menatap mata Sandy yang sedikit berkaca-kaca.

“Galaxy? Hilang?” Tanya Embun seraya memerengkan kepalanya. “Galaxy ada di kamar kak,” jawab Embun dengan santai.

Sandy kebingungan, ia menyatukan kedua alisnya. “Tadi kata kamu?”

“Kan kata Embun dot nya Galaxy hilang kak! Galaxy gak mau berhenti nangis!!” Jawab Embun tegas, kembali menarik tangan Sandy ke kamarnya.

“Tuh kan, dari tadi gak mau berhenti nangis, tadi dot nya ada di situ. Terus pas Embun cek lagi gak ada, Embun udah kasih dot lain Gala gak mau kak,” Jelas Embun panjang lebar, namun tidak ada jawaban dari Sandy.

Sandy mematung, terdiam, bahkan untuk beberapa saat ia tidak bernafas.

“Kak?” Tegur Embun.

Kaki Sandy bergetar, ia benar-benar khawatir sedari tadi. “Embun, jangan gini,” keluh Sandy seraya memegang erat kedua lengan Embun.

Embun kebingungan, ada apa dengan Sandy?

“Gini gimana kak? Kan tadi Embun bilang dot Galaxy hilang kak,” sahut Embun.

Sandy menarik tubuh Embun ke pelukannya, memeluk erat tubuh Embun. Embun dapat merasakan tubuh Sandy yang bergetar.

“Kak kenapa?”

“Kamu bilang tadi Galaxy yang hilang Embun.”

Embun tersadar, apa mungkin ia typo saat mengetik?

Embun memeluk erat tubuh Sandy, ia mendengar Sandy yang menangis pelan di telinganya.

“Maaf kak, maaf,” sesal Embun.

Sandy mengangguk, ia membenamkan wajahnya di tekuk Embun, mengusap pelan rambut Embun.

“Jangan gitu lagi, kamu buat aku takut.”

Embun tersenyum, baru kali ini ia mendengar Sandy menangis. Sebesar itu rasa sayangnya ke Galaxy? Bahkan Galaxy bukan darah daging dirinya.

Embun mengusap punggung Sandy, menenangkan Sandy. Dan juga meminta maaf berkali-kali karena telah membuat Sandy khawatir.

Namun ajaibnya semenjak kedatangan Sandy, Embun tidak mendengar suara tangisan Galaxy lagi, ternyata bayi kecil tersebut sedang tertidur.


Jonathan benar-benar datang ke kampung Embun, seorang diri. Kini ia berdiri tepat di depan rumah orang tua Embun, namun ia belum punya keberanian untuk masuk.

“Nak Jonathan?” Panggil ibu yang baru saja pulang dari Kebun.

Jonathan segera membalikkan badannya, dan menghampiri ibu, membantu membawakan semua barang-barang yang ada di tangan ibu.

“Ada apa kamu ke sini nak?” Tanya Ibu.

Jonathan menelan air liurnya, ia merasakan gugup yang luar biasa. “Jonathan mau minta maaf sama ibu,” jawab Jonathan pelan.

Ibu tersenyum, mengusap tangan Jonathan agar Jonathan tidak merasa takut lagi.

“Ibu gak pernah marah sama kamu nak, semuanya udah takdir.”

Jonathan sedikit merasa lega karena jawaban dari ibu. Namun tetap ia merasa bersalah, karena telah melepaskan Embun dari genggamannya.

“Embun dimana Bu?” Tanya Jonathan memberanikan diri.

“Anak cantik ibu gak pernah balik ke rumah nak. Setelah kamu menceraikan Embun, dan keluarga kamu menghina keluarga ibu yang miskin, Embun diusir sama ayahnya,” jawab Ibu tentu saja sebagian dari jawabannya adalah bohong.

Kebohongan ibu tidak benar-benar karena benci terhadap Jonathan, namun sebelum Embun kembali ke kota, Embun menitipkan pesan agar tidak memberi tau siapa-siapa dimana keberadaannya.

Jonathan menghela nafas pasrah, ia harus sadar kesalahan yang telah ia lakukan cukup besar. Perjuangan yang harus ia lakukan harus lebih dari ini semua.

Pukul 2.00 waktu dini hari, Embun keluar ingin mengecek keadaan Sandy. Ternyata Sandy sedang tertidur dengan posisi terlentang di atas sofa, dengan tangan yang ia letakkan di atas wajahnya.

Embun terkekeh melihat Sandy, perlahan ia mendekati Sandy yang sedang tertidur nyenyak.

“Pasti panas,” monolog Embun dengan suara pelan agar Sandy tidak terbangun.

Benar saja, Embun dapat melihat keringat mengalir di leher Sandy.

“Kak, kak Sandy,” panggil Embun sambil menggoyangkan pelan tubuh Sandy.

“Kak bangun, pindah ke kamar aja,” ucapnya masih menggoyangkan tubuh Sandy.

Sandy mengerang pelan, dengan cepat ia terduduk. “Kenapa? Ada apa?” Tanyanya panik.

Embun tertawa melihat raut wajah Sandy yang terlihat khawatir. “Gak ada apa-apa kak, pindah ke kamar aja. Tapi tidur di bawah ada kasur kecilnya kok. Di kamar ada AC, di luar panas,” jawab Embun.

Sandy menghela nafas lega setelah mendengar jawaban Embun. “Astaga Embun, aku kira ada apa,” katanya sedikit lega.

“Gpp gak panas, tidur lagi sana. Lagian gak enak sama Hujan,” sambungnya.

Embun menggeleng. “Hujan kan tidur di atas sama Embun sama Galaxy, gpp kak,” elak Embun.

Sandy mengangguk, lalu tersenyum lembut ke Embun. “Yaudah, duluan gih,” suruh Sandy agar Embun ke kamar duluan.

“Ay ay CAPTAIN!” Sahut Embun bersemangat.


“Ibu, Embun pulang dulu ya. Ibu jaga kesehatan ya.” Embun memeluk erat tubuh sang ibu, hari ini ia harus kembali ke kota karena besok sudah jadwal Hujan kuliah.

“Iya nak, kamu jaga diri di sana ya. Jaga Hujan juga, jangan sakit-sakit,” balas Ibu lalu menatap Galaxy yang lagi-lagi tertidur di gendongan Embun. “Cucu nenek sehat-sehat ya sayang. Nanti nenek jenguk kalian ke sana,” sambung Ibu seraya mencium pipi gembul Galaxy.

Setelah berpamitan dengan Ibu, Embun menghampiri Ayah yang sedari tadi hanya diam.

“Ayah, Embun pamit ya? Ayah jaga kesehatan, jaga ibu juga ya. Sehat-sehat ayah,” ucap Embun seraya menyalam tangan Ayahnya.

Ayah menarik Embun ke pelukannya, memeluk erat tubuh sang anak.

“Kenapa gak tinggal di sini aja nak? Ayah siap biayain kalian nak, kalo perlu ayah jual kebun ayah,” pinta ayah.

Embun menggeleng. “Embun janji deh lebih sering pulang ke kampung nantinya, ayah jangan nangis gini dong.” Embun mengusap air mata ayahnya.

“Kakek jangan sedih-sedih ya! Galaxy janji nanti ke sini lagiiii,” ucap Embun menirukan suara anak-anak untuk menghibur ayahnya.

Setelah berpamitan, Embun, Hujan dan juga Sandy langsung berangkat dari sana, menggunakan mobil yang dikendarai oleh Sandy.

Belum berapa jauh, Embun menangis, walaupun dengan susah payah ia menahannya.

“Hsssttt, jangan nangis,” ucap Sandy seraya mengelus pelan kepala Embun.

“Ekhem,” dehem Hujan yang berada di belakang, dengan cepat Sandy menarik tangannya dan kembali fokus mengemudi.

Embun tertawa melihat tingkah jahil Hujan. Namun ia juga sedih, karena harus jauh dari ibu dan ayah.


Di sisi lain, di ruang tengah keluarga Arkananta, Mama Una, Papa Arkan, dan juga Jonathan sedang berkumpul, namun tidak ada satupun dari mereka yang berbicara.

“Kalo emang Embun bisa hamil, walaupun dengan program bayi tabung, apa Mama akan nerima Embun kembali?” Tanya Jonathan membuka topik pembicaraan.

Tidak ada jawaban dari Mama Una, dia hanya diam, sama sekali tidak menjawab, bahkan untuk menatap mata sang anak saja enggan.

Jonathan mendecak kesal. “Emang dasarnya mama benci sama Embun, walaupun Embun tidak pernah salah ke mama!” Bentak Jonathan dengan nada meninggi.

Karena emosi, Jonathan meraih kunci mobil yang ada di meja depannya. Dan segera keluar dari rumah itu.

“Hayo.” Embun mengejutkan Sandy yang sedang duduk disebuah saung kecil yang ada di dekat rumah Embun.

Sandy tersentak kaget karena Embun, namun ia sambut dengan senyuman hangat. “Kenapa harus ngagetin?” Tanyanya tidak terima.

Embun hanya tertawa karena berhasil membuat Sandy kaget. “Lucu soalnya,” jawab Embun masih dengan tawa kecil penuh kemenangan.

Setelah puas tertawa, Embun duduk di saung yang sama, tepat di sebelah Sandy.

“Tadi kakak mau ngomongin apa?” Tanya Embun mengungkit hal yang pernah disinggung Sandy sebelumnya.

Sandy terlihat menghela nafas sebelum menjawab, “hubungan kita,” kata Sandy sambil memalingkan wajahnya menatap Embun.

Embun tentu saja bingung, namun ia juga tau akan kemana arah obrolan mereka nanti.

Embun menyeringitkan dahinya. “Emang ada apa dengan hubungan kita?” Tanya Embun lagi.

Mendengar itu membuat Sandy tersenyum tipis, mengulum bibir bawahnya karena canggung.

“Selama ini aku selalu ada di samping kamu. Bantu kamu, dari hal kecil sampai besar,” ucap Sandy dengan nada serius. “Aku nyaman sama kamu,” lanjutnya mengungkap perasaan yang selama ini ia simpan.

Embun tidak shock, ia pasti sudah tau hal ini akan terjadi. Ia menatap mata Sandy sesaat, sebelum mengalihkan pandangannya ke depan, melihat betapa indahnya sawah yang ada di depan mereka.

Embun menghela nafasnya sedikit kasar, ia tidak tau harus menjawab apa.

“Kak-”

“Aku tau kamu masih menaruh hati ke Jona,” potong Sandy.

Embun tersenyum tipis, pandangannya masih sama.

“Embun gak bisa bohong untuk yang satu itu kak, Embun memang masih menaruh hati sama Jona,” jawab Embun mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.

Jawaban Embun berhasil membuat Sandy kaget, dan sakit secara bersamaan. Walaupun ia sudah tau apa jawaban Embun, namun hal itu masih saja terasa sakit bagi dirinya.

“Tapi bukan berarti Embun harus tersangkut di masa lalu terus menerus kan kak?” Tanya Embun seraya mengalihkan pandangannya menatap mata sayu Sandy.

Sandy tersentak kaget, ia tidak paham apa maksud Embun. “Maksud kamu?” Tanya Sandy balik.

Embun terkekeh melihat wajah panik Sandy. Raut wajah sedih dan panik bercampur jadi satu.

“Siapa sih kak yang gak nyaman ketika diperlakukan layaknya ratu?”

Selama ini Sandy benar-benar telah memperlakukannya sepeti ratu. Dan Embun merasakan hal yang berbeda setiap kali Sandy mengulurkan tangannya untuk Embun.

Embun meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri Sandy. “Kamu berhasil kak, berhasil buat aku nyaman. Berhasil merebut hati aku,” ungkap Embun.

Sandy terdiam. Terdiam seribu bahasa, jawaban itu tidak pernah terpikirkan oleh Sandy.

“Tapi saat ini Embun belum siap untuk membangun sebuah hubungan kak,” kata Embun menggantung ucapannya.

Embun menyelipkan jari-jarinya di jari-jari tangan Sandy, hal itu membuat Sandy menggenggam erat tangan Embun.

“Embun trauma, Embun takut. Suatu saat tangan ini akan pergi, dan tidak bisa menggenggam tangan Embun lagi,” sambungnya mengatakan kekhawatiran yang selama ini ia pendam.

“Aku gak akan ngelakuin itu.”

Embun menggeleng. “Masa depan gak ada yang tau kak, dulu Jona juga bilang hal yang sama,” sanggah Embun.

Sandy semakin mengeratkan genggamannya. Meyakinkan Embun bahwa dirinya benar-benar tulus.

“Terus genggam erat tangan Embun ya kak? Embun masih butuh bantuan dari kakak. Embun sayang sama kakak,” pinta Embun dengan harap yang besar ke Sandy.

Sandy mengangguk, melepaskan genggamannya, dan membawa Embun ke pelukannya.

“Kita sahabatan dulu gpp kan? Tapi ketika kakak butuh seseorang untuk tempat kakak menangis, tertawa, melepas semua penat dikala capeknya hari, maka datang ke Embun.” Embun memeluk pinggang Sandy.

Sandy tidak bisa menahan senyumnya, walaupun jawaban Embun sedikit menyakitkan, namun itu melebihi ekspektasi nya.

“Kalo aku mau meluk kamu dua puluh empat per tujuh gimana?” Tanya Sandy.

Embun terkekeh mendengar pertanyaan Sandy, ia mengangkat kepalanya menatap mata Sandy. Begitupun dengan Sandy, di waktu yang bersamaan ia menundukkan kepalanya membuat mata mereka kini bertemu.

“Peluk Embun sepuas kakak, tapi siap-siap aja nanti Galaxy cemburu,” jawab Embun seraya mengejek.

Sandy tertawa mendengar hal tersebut. “Kalo cium?” Tanyanya lagi.

Embun terkekeh, memang dasar sifat lelaki yang tidak pernah puas.

“Boleh gak yaaaa?”

Belum mendapatkan jawaban dari Embun, Sandy duluan mendaratkan bibirnya tepat di kening Embun, membuat Embun tersentak kaget.

“Ihh kan belum diizinin!” Protes Embun sambil menjauhkan badannya.

“Biarin, lama soalnya. Kamu gemesin,” sahut Sandy membuat Embun tersipu malu.

Keduanya tertawa, tidak ada rasa canggung sama sekali. Bahkan kini mereka merasakan kelegaan setelah mengungkapkan perasaannya satu sama lain.

Cupp

Tiba-tiba Embun mengecup pipi kiri Sandy. Membuat Sandy terdiam mematung.

“Boleh kalo gak nyosor,” jawab Embun atas pertanyaan Sandy tadi.

Namun Sandy masih terdiam, bagaimana bisa Embun menjawab seperti disaat ia juga nyosor?

“Hmm,” dehem Sandy memecahkan keheningan.

“Cieee om papa salting,” goda Embun ketika melihat telinga Sandy yang memerah.

“Om papa?” Tanya Sandy keheranan.

Embun mengangguk. “Bolehkan nanti Galaxy manggil kakak itu om papa? Kalo emang jodoh, siapa tau bisa jadi papa?” Embun menyenderkan kepalanya di lengan Sandy, membuat Sandy merangkul Embun.

“Dengan senang hati bunda,” jawabnya lalu tertawa berbarengan dengan Embun.

Tidak masalah bagi Sandy apapun hubungannya dengan Embun sekarang. Ia akan terus berjuang, dan juga menempatkan janjinya kepada Embun. Bahwa dirinya tidak akan pernah meninggalkan Embun, dan akan terus mencintai Embun seorang.

Satu bulan berlalu, usia Galaxy, putra sulung Embun kini sudah 1 bulan.

Dan Embun sudah kuat untuk beraktifitas, walaupun masih merasakan sedikit sakit.

Kini ia bertekad untuk pulang ke kampung, memperkenalkan putra sulungnya kepada kedua orang tuanya di kampung.

Dan sekarang, di sini Embun. Di kampung kelahirannya, tepat di depan rumah dimana ia dibesarkan.

Ia berangkat ditemani oleh Sandy dan juga Hujan tentunya.

“Bentar ya teh, Hujan panggil Ibu dulu,” ucap Hujan disahut anggukan oleh Embun.

Embun menatap mata Galaxy yang terpejam, terlelap di gendongan Embun.

“Di sini Embun dibesarkan sama ayah dan ibu, kak.” Embun menatap ke arah rumahnya yang masih sama seperti dulu.

Sandy tersenyum, melihat betapa tulusnya Embun kepada keluarganya.

“Embun!” Teriak Ibu Embun memanggil nama sang anak.

Senyum Embun seketika melebar ketika melihat ibunya keluar dengan Hujan.

“Ibu,” lirih Embun.

Ibu Embun lari, memeluk erat sang anak. “Ini anak kamu nak?” Tanya sang ibu.

Embun mengangguk. “Iya Bu, anak Embun. Cucu ibu,” Jawab Embun.

Ibu Embun menangis ketika melihat Galaxy yang tenang di pelukan Embun.

“Ibu bangga sama kamu nak, Hujan telah menceritakan semuanya ke ibu,” Ucap Ibu.

Embun mengangguk, ia mengusap air mata ibunya. “Embun yang suruh bu, maafin Embun gak ngabarin ibu ya.”

“Ini siapa nak?” Tanya ibu seraya menatap Sandy.

Dengan sigap dan sopan Sandy menyalam tangan ibu Embun.

“Sandy bu, sahabat Embun,” jawab Sandy dengan sopan.

“Kak Sandy yang udah bantu Embun selama ini bu,” imbuh Embun.

Sandy mengangguk, tersenyum ke ibu Embun. Ibu Embun membawa Sandy ke pelukannya. Sandy sedikit terkejut, namun ia juga membalas pelukan Ibu Embun.

“Terima kasih nak, terima kasih sudah membantu anak ibu,” ucap ibu berterima kasih berkali-kali.

Sandy mengangguk. “Sama-sama Bu.”

“Ayo nak masuk, kasihan cucu ibu kepanasan,” ajak ibu mengarahkan mereka ke rumah.

“Ayo kak.”

“Iya Embun.”

Ibu masuk ke rumah di susul oleh Embun dan juga Sandy.

“Piww lampu hijau,” celetuk Hujan ketika Sandy berjalan tepar di sampingnya.

Sandy terkekeh lalu menyentil pelan dahi Hujan.

Hujan mendesis kesakitan. “Isssh, udah didukung juga,” kesan Hujan.


Embun sedang berada di dapur, membuatkan minuman untuk ibunya dan juga Sandy.

Dugg

Tiba-tiba saja ia mendengar sebuah dentuman, dan itu ternyata berasal dari ayahnya yang sedang berlutut dihadapan nya.

“Ayah!” Embun tersentak kaget, melihat ayahnya.

“Ayah bangun ihh,” suruh Embun seraya membantu ayahnya bangun.

Ayah Embun menggelengkan kepalanya. “Ayah mau sujud, minta maaf ke kamu nak,” ucap sang ayah.

“Gak ayah enggak, ayah gak salah!” Tolak Embun.

“Ayah banyak dosa ke kamu nak, ayah gagal, ayah gagal menjadi seorang ayah,” lirih ayah Embun dengan Isak tangis.

Embun tidak tahan melihat sang ayah menangis di hadapannya, terlebih sedang berlutut dihadapannya.

Embun menggeleng, tidak terima atas apa yang baru saja ayahnya ucapkan. “Ayah gak pernah salah ayah, ayah berhasil menjadi seorang ayah bagi Embun,” bantah Embun.

“Tapi tangan bejat ayah ini, pernah menampar kamu Embun. Mulut kurang ajar ayah, pernah mengusir dan meneriaki kamu,” sesal Ayah seraya memukul-mukul mulutnya sendiri.

Dengan cepat Embun menahannya, Embun memeluk erat sang ayah. “Gpp ayah, itu masa lalu. Embun udah maafin semuanya ayah.”

“Ayah tatap mata Embun,” pinta Embun seraya menangkup kedua pipi sang ayah.

“Embun sama sekali tidak pernah benci ke ayah, sekalipun tidak pernah. Lihat ayah, lihat putri kecil ayah di depan ayah sekarang. Sekarang udah dewasa ayah, putri kecil ayah sudah melahirkan seorang anak, berjuang atas kerasnya hidup, Embun berhasil ayah,” ucap Embun seraya menatap lembut mata sang ayah yang sedang menangis.

“Di setiap doa Embun, Embun selalu mengucapkan nama ayah, Embun berterimakasih karena telah membesarkan Embun, menjadi seorang wanita yang kuat dan tegar.”

“Tapi ayah gagal, ayah jahat,” sanggah ayah.

Embun tersenyum, berusaha menahan tangisnya. “Gak pernah ayah, satu kesalahan ayah tidak akan membuat Embun membenci ayah!” Tegas Embun.

“Tapi sudah berkali-kali ayah melakukan kesalahan.”

“Tangan ini,” ucap Embun seraya mengusap lembut tangan sang ayah. “Tangan yang menggendong tubuh kecil Embun dulu, tangan yang berjuang agar Embun bisa makan setiap harinya.”

“Kaki ayah yang selalu kuat mengangkat Embun, membuat Embun tertawa ria.”

“Tubuh ini.” Embun memeluk erat sang ayah. “Tubuh yang selalu sigap menghalangi bahaya yang akan mendatangi Embun, tubuh yang selalu membuat Embun hangat.”

Ayah menangis mendengar ucapan tulus sang anak. Ia tidak akan menyangka bahwa anaknya akan bersikap lembut kepada dirinya setelah apa yang telah ia lakukan.

“Sehari pun, sekalipun tidak pernah terlintas di benak Embun untuk benci ke ayah,” ucap Embun dengan tegas.

“Yang ada di pikiran Embun hanyalah, rindu dan rasa bersalah,” lanjutnya.

Bagaimanapun Embun tidak pernah benci terhadap ayahnya. Ayah yang mengurus dirinya dari kecil.

“Ayah gak perlu minta maaf sampe sujud begini ke Embun oke? Embun sayang ayah,” ucap Embun seraya mengeratkan pelukannya.

Ayah mengecup pucuk kepala anaknya. Menangis tersedu-sedu menyesali semua perbuatan jahatnya.

Embun melonggarkan pelukannya, ia mengusap air mata ayah yang sedari tadi tidak berhenti. “Jangan nangis lagi ya? Ayah mau lihat cucu ayah?”

Ayah mengangguk, namun ia belum bisa memberhentikan tangisnya.


Satu kesalahan tidak akan menjadi alasan untuk membenci orang tua yang sudah membesarkan diriku -Embun Gayatri

“Huaaaaa Dede bayiii,” seru Cherry ketika box baby masuk ke ruangan di mana Embun di rawat, pasca melahirkan.

“Yeayy Hujan jadi auntyy!”

“Ara juga jadi aunty dong?

Ara dan Hujan saling menatap satu sama lain. “Kita jadi aunty?” Seru mereka berbarengan, lalu berpelukan layaknya anak kembar yang kegirangan karena habis dibelikan mainan.

Embun dan Sandy terkekeh melihat tingkah Ara dan juga Hujan.

“Selamat ya Embun, gue gak nyangka hueee,” ucap Cherry seraya memeluk Embun.

Embun terkekeh. “Terima kasih Cher, terima kasih juga udah bantu Embun selama ini ya?”

Cherry mengangguk. “Semua demi lo, bakalan gue lakuin,” sahut Cherry, lalu mereka tersenyum satu sama salin.

“Selamat Embun, semoga bayi kamu bisa hebat kayak bundanya,” ucap Daffa memberikan selamat dan juga harapan.

“Aamiin, terima kasih uncle!” Jawab Embun.

“Namanya udah ada?” Tanya Ara.

“Humm namanya siapa teh?” Sahut Hujan.

Embun berpikir sejenak, ia belum memikirkan siapa nama anaknya kelak. Suatu kebodohan bagi Embun.

“Belum kepikiran,” sahut Embun.

“Gimana kalo Kim Seok Jin,” saran Ara. “Nanti dia ganteng kayak oppa-oppa di Korea gitu, nanti dia jadi artis nanti nyanyi kayak gini mic drop.” Ara memperagakan ala-ala oppa Korea yang sedang bernyanyi.

Hal tersebut membuat seisi ruangan tertawa karena tingkahnya.

“Ihh gak mau, masa oppa Korea sih! Gimana kalo Reece aja teh? Kalo gak Blake atau George,” protes Hujan tak mau kalah dari Ara.

“Nanti dia nyanyi pake gitar, nyanyi gini You know me too well.” Sambung Hujan seraya bernyanyi dengan suara apa adanya.

“Suara Hujan jelek mending diem!” Ejek Ara.

“Ihhhh Ara yang jelek!” Sanggah Hujan tidak terima.

Dan akhirnya mereka pun berdebat akan nama bayi Embun.

“Udah-udah, lihat jam udah hampir jam 9, saatnya kita daftar kuliah!” Ucap Cherry memisahkan anak kembar tak kembar ini.

“Oh iya hari ini jadwal Hujan sama Ara daftar kuliah ya?” Sahut Embun.

“Iya kalo gitu kita duluan ya!” Sandy jaga Embun baik-baik,” perintah Cherry.

“Duluan ya Embun,” pamit Daffa.

“Bye-bye kak Embun dan adik bayi!”

“Dadah, teteh dan adek bayi!”

Mereka pun keluar dari ruangan Embun, membuat suasana kini menjadi sunyi.

“Aku jadi kepikiran, siapa yang bakalan biayai kuliah Hujan?” Tanya Embun membuka topik pembicaraan.

“Aku,” Jawab Sandy singkat.

Embun mengerutkan keningnya bingung. “Aku?”

“Iya aku, kenapa?” Tanya Sandy.

Embun terkekeh. “Tumben pake aku?”

“Gpp, suka-suka aku,” jawab Sandy.

“Dih ngeselin,” sarkas Embun membuat mereka berdua akhirnya tertawa.

“Embun udah tau namanya siapa kak,” kata Embun seraya melihat bayinya yang sedang tertidur pulas di baby box.

“Siapa?”

“Galaxy Dirgantara,” Jawab Embun.

Sandy sedikit kebingungan, nama yang bagus, namun kenapa Embun menamakan anaknya dengan nama itu?

“Galaxy itu sistem masif yang terikat gaya gravitasi yang terdiri atas bintang salah satunya. Bisa dibilang ruang lingkup tata Surya?”

Embun tersenyum sebelum melanjutkan perkataannya. “Lalu Dirgantara, ruang yang ada di sekeliling dan melingkupi bumi, terdiri atas ruang udara dan antariksa. Bisa dibilang ruang lingkup bumi,” lanjutnya.

Namun Sandy belum bisa menemukan jawaban atas kebingungannya.

Embun mengalihkan pandangannya ke Sandy. “Nama yang memiliki arti yang sangat luas, Embun mau suatu saat Galaxy akan tumbuh kembang, menjadi anak yang berpengetahuan luas, berpengalaman luas,” ucap Embun.

“Dan juga Embun ingin Galaxy menjadi langit dan juga bumi bagi Embun,” harapnya. “Embun ingin melihat Galaxy menjadi pelindung Embun kelak,” finish Embun dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.

Sandy tersenyum, dan mengangguk. “Nama yang bagus, Selamat datang Galaxy Dirgantara.” Mereka berdua menatap tubuh kecil bayi laki-laki yang diberi nama Galaxy Dirgantara.

Bayi kecil yang sedang tertidur pulas. Menciptakan kehangatan di ruangan tersebut.

“Terima kasih kak, udah bantu Embun berjuang.”

Sandy mengangguk. “Terima kasih sudah berjuang Embun.”

Mereka berdua tertawa kecil karena suasana yang tiba-tiba saja berubah menjadi melow.

Embun sama sekali tidak pernah merasa sebahagia ini. Walaupun sebelumnya ia harus menangis karena sakit yang luar biasa. Kini ia tidak bisa berhenti tersenyum karena kebahagiaan yang menghampirinya.


Di lain sisi, Bella dan juga Jonathan sedang mengadakan makan malam mewah di sebuah hotel megah di Chicago.

Sebenarnya ini semua disiapkan oleh Bella, bahkan Jonathan tidak menyangka Bella akan menyiapkan ini semua.

Selama makan Bella dan Jonathan hanya diam, tidak ada obrolan yang keluar dari mulut mereka.

“Jo,” panggil Bella setelah menyelesaikan makan malamnya.

“Hm?” Sahut Jonathan.

“Udah hampir satu tahun kamu berpisah sama Embun kan? Udah hampir satu tahun kita bersama lagi,” ucap Bella sedikit menarik perhatian Jonathan.

Bella meraih sebelah tangan Jonathan yang ada di meja makan. “Aku ingin menjalin hubungan serius sama kamu Jo, udah saatnya kamu melupakan Embun, udah saatnya kamu hidup bahagia dengan aku.”

Jonathan menatap mata Bella dengan tatapan tajam. Ia tidak tau harus menjawab apa, haruskah ia mengiyakan? Udah saatnya ia melupakan masa lalunya?

“Bella,” panggilnya.

“Iya Jo?”

Jonathan tersenyum ke arah Bella sebelum menjawab pernyataan Bella sebelumya.

Sepulangnya Embun dan Sandy dari mall, Embun melarang Sandy untuk pulang ke rumahnya. Ia ingin Sandy yang menemani dirinya malam ini. Mungkin karena perasaan khawatir.

Karena takut akan terjadi apa-apa ke Embun, Sandy menginap untuk malam ini di Apartemen Embun.

Semalaman Sandy tidak bisa tidur, ia berada di kamar Embun, namun ia duduk di sofa yang ada di kamar Embun. Berulang kali Sandy melihat Embun yang gelisah, mengingat perutnya yang sudah besar, bahkan untuk tidur menyamping saja sangat susah.

Pukul 3.00 pagi, Embun masih belum tertidur, bahkan berulang kali ia merasakan sakit karena kontraksinya. Kontraksi kali ini lebih sakit dari sebelum-sebelumnya. Dan lebih lama.

Karena khawatir, Sandy segera membawa Embun ke rumah sakit pada pukul 4.00 pagi.

Setibanya di rumah sakit, dan diperiksa oleh bidan pada pukul 4.20 ternyata Embun sudah memasuki pembukaan ke-tiga.

“Hufftt sakit kak,” ringis Embun terus-menerus.

“Iya sakit, terus atur nafasnya ya hah-hah-huh,” ucap bidan yang merawat Embun, seraya memberikan perintah.

Embun mengikuti arahan sang Bidan, untuk terus mengatur nafasnya.

“Good job Embun,” puji Sandy yang ada di samping Embun, dengan tangan yang menggenggam erat tangan Embun.

Karena tidak ada siapa-siapa di sana, dan dokter pun sudah mengenal Sandy, mau tidak mau Sandy lah yang menemani Embun.

Nafas Embun sedikit tidak teratur, namun ia tetap mengikuti arahan dari Bidan.

“Bagus Embun, tahan sebentar ya? Kamu kuat,” bisik Sandy.

Embun terus mengikuti arahan dari Bidan, untuk mengatur nafasnya. Ia melepaskan genggaman tangan Sandy, lalu mencengkram kuat bantal kepalanya.

Jujur Sandy sangat takut di posisi sekarang, namun ia tetap diam dan memberi semangat untuk Embun.

Pukul 5.30 Embun memasuki pembukaan ke-tujuh, rasa sakit yang dirasakan oleh Embun semakin menjadi-jadi.

Ia terus mengikuti arahan Bidan, mengatur nafasnya dan juga merasakan sakit yang amat sangat. Begitu juga dengan Sandy yang setia mengelus punggung Embun, agar rasa sakit yang Embun rasakan sedikit berkurang

Pukul 7.30 dokter datang, Embun memasuki pembukaan ke-sembilan, air ketubannya pecah secara alami.

“Halo dokter,” sapa Embun walaupun masih merasakan rasa sakit.

Dokter tersenyum ke arah Embun. “Halo Embun,” balasnya.

Karena sudah memasuki tahap lahiran, bidan mempersiapkan semua peralatan dan juga perlengkapan yang di butuhkan.

“Sekarang kita atur posisinya ya Bu, buka matanya lihat ke saya. Rangkul kedua kakinya,” ucap Bidan tersebut sambil mengarahkan tangan Embun. “Nanti pada saat ibu merasakan ada mules, kita tidak nafas tiup-tiup lagi ya,” sambung sang bidan.

Embun menyimak setiap arahan dari Bidan. Begitu juga dengan Sandy yang ada di sebelah kepala Embun, ia melihat mata Embun, yang sedang menahan semua rasa sakitnya.

“Tarik nafas dalam, tahan, tundukan kepala, ngedennya ke bawah.” Bidan tersebut kembali mengarahkan apa yang harus dilakukan Embun nantinya.

“Gak kuat, sakit kak,” lirih Embun.

“Bisa, pasti bisa ya, Embun hebat,” Jawab Sandy seraya mengusap lembut rambut Embun.

“Bisa, ibu pasti bisa,” sahut bidan yang menangani Embun.

Embun mengangguk paham.

“Sekarang ada mules?” Tanya bidan tersebut ke Embun.

Embun mengangguk, ia merasakan mules, dan juga sakit disaat yang bersamaan.

“Oke, sekarang ibu lihat ke saya, matanya dibuka, nanti ibu tarik nafas, tahan, tundukan kepala dan ngeden kebawah,” kata bidan tersebut seraya mempraktekkan sebagaimana yang harus dilakukan.

“Huffttt aaaasshh,” desis Embun menghembuskan nafasnya.

“Enggak, jangan di hembus, di tahan, jangan di tiup.”

“Kamu bisa Embun,” bisik Sandy ke Embun.

Embun mulai memahaminya, ia mencoba lagi arahan dari bidan. Rasa sakitnya semakin dalam.

Sakit.

Sangat sakit.

Embun terus melakukan arahan dari bidan, berkali-kali ia berusaha melawan rasa sakit yang ia rasakan.

“Semangat Embun.” Suara yang dari tadi Embun dengar, suara lembut Sandy yang tidak berhenti menyemangati Embun.

Embun dengan susah payah menoleh ke arah Sandy, ia melihat mata Sandy yang berkaca-kaca, merasakan tulusnya perjuangan Sandy untuk Embun.

Embun merasakan semangatnya kembali datang, ia melakukan instruksi dari bidan dan dokter kembali, melawan semua rasa sakitnya.

Perjuangan Embun tentu saja tidak sia-sia, ia berhasil untuk sementara.

“Bagus ibu, pinter, kita coba lagi ya,” puji sang bidan, ketika melihat kemajuan dari Embun.

“Tarik nafas, tahan.”

Embun mengikuti instruksi dari bidan lagi, berkali-kali sampai ia merasa lelah.

“Capek? Gpp, nanti kita sambung lagi. Istirahat dulu sebentar.”

“Ayo semangat ibu.”

“Pinter ibunya.”

“Good job Embun, tuntasin semuanya sampai akhir ya?” Sandy berbisik di telinga Embun.

Embun mengangguk, ia akan berjuang sampai akhir. “Embun masih sanggup,” ucap Embun pelan.

“Masih sanggup? Bagus, ayo kita lanjutin ya bu, tarik nafasnya, tahan ngeden kebawah,” instruksi bidan.

Embun melakukannya lagi, sampai perjuangannya membuahkan hasil.

“Bagus, bagus ibu.”

“Kepalanya udah mulai muncul.”

“Terus ibu, bagus.”

Pujian yang keluar dari mulut dokter dan juga bidan memberi semangat lebih untuk Embun.

Rasa sakit yang Embun rasakan sangat luar biasa, namun bagaimanapun ia harus menuntaskan ini semua sampai akhir.

Embun terus berjuang, mengikuti instruksi dari dokter dan bidan.

Sampai pada akhirnya Embun berteriak mengakhiri perjuangannya melawan sakit yang tidak ada ujungnya.

“Hebat.”

“Selesai.”

Penuturan dari dokter dan juga bidan, menandakan bahwa perjuangan Embun telah selesai. Buah hati yang selama ini ia kandung, kini telah lahir bersamanya ke dunia ini.

Di samping Embun, Sandy tidak melihat dokter yang sedang membersihkan bayi disana. Ia memejamkan matanya, merasakan sesuatu keluar dari matanya.

“Kak,” panggil Embun.

Dengan cepat Sandy mengangkat kepalanya, mengusap air matanya dan menatap Embun.

“Good job Embun, aku bangga sama kamu,” puji Sandy yang tiba-tiba mengubah panggilannya dari saya-kamu menjadi aku-kamu.

Sandy mengecup singkat pucuk kepala Embun, merasa bangga atas perjuangan yang telah dilakukan oleh Embun.

“Yeayy selamat.”

“Selamat menjadi ibu,” puji bidan yang sedari tadi membantu Embun, seraya meletakkan bayi Embun di dadanya.

Embun tidak bisa menahan tangisnya, tiba-tiba saja tangisnya pecah ketika melihat bayi yang selama ini ia kandung kini sudah lahir, dan berada di pelukannya.

Tiba-tiba saja ruangan itu dipenuhi oleh tangis bayi, seakan-akan mengetahui sedihnya sang ibu.

“Udahh, selamat ya. Ganteng banget, ulululu si ganteng nangis,” ucap sang bidan menenangkan Embun.

Suara bayi itu semakin kencang, dan begitu juga dengan Embun, ia tidak tau harus merasakan apa. Emosinya campur aduk, sedih, bahagia menjadi satu.

“Kak,” lirih Embun seraya menatap Sandy.

Sandy mengangguk, ia tersenyum dan menatap ke arah bayi yang ada di pelukan Embun.

“Selamat datang jagoan bunda Embun.”

Hari yang penuh arti oleh Embun, hari dimana ia merasakan menjadi seorang ibu seutuhnya. Merasakan gimana sakitnya perjuangan.

Ia beruntung, memilki orang yang sangat peduli pada dirinya, bahkan sampai titik ini dia lah yang menemani Embun. Walaupun dari lubuk hati yang paling dalam, Embun menginginkan sosok Jonathan yang ada di samping nya, dan menemaninya berjuang.


Terima kasih karena telah berjuang, Embun Gayatri.

“Harus nunggu lagi ya kak?” Tanya Embun ke Sandy.

Kini mereka sedang berjalan menyusui mall.

Hari ini due date, namun belum ada tanda-tanda pembukaan. Jadinya Embun menggunakan kesempatan ini untuk menuruti kemauannya kemarin.

Sandy menggenggam tangan Embun dengan lembut. “Bayinya masih mau lama-lama di perut kamu, tunggu bentar lagi ya?”

Embun mengangguk, lalu tersenyum. “Tapi jangan lama-lama ya nak, sakit,” ucap Embun berbicara dengan perutnya.

Sandy tertawa mendengar hal tersebut.

“Kak, cari tempat duduk dulu ya? Sakit,” lirih Embun karena merasakan kontraksinya datang lagi.

Sandy mengangguk, ia membawa Embun ke tempat duduk yang tidak jauh dari mereka.

Lagi dan lagi Sandy tidak lupa mengeluarkan handphonenya untuk membuka aplikasi penghitung waktu kontraksi. Ia pasrah ketika Embun mencengkram tangannya dengan kuat.

“Hufft, sakit banget kak,” ringis Embun kesakitan.

Sandy mengusap tangan Embun yang sedang mencengkram kuat tangannya, menggunakan tangan satunya lagi.

“Nikmat, bentar lagi. Sabar ya,” ucap Sandy dengan lembut.

Embun mengangguk, dengan sekuat tenaga ia menahan sakitnya kontraksi. Sakitnya luar biasa, namun ia harus bisa menahannya.

Embun melonggarkan cengkraman tangannya. “Hufft udah kak,” ucap Embun ketika kontraksinya telah selesai.

Sandy mengangguk. “Good job,” puji Sandy seraya mengacak-acak rambut Embun.

“Terima kasih kak.”

“Lanjut nih? Makan dimsum?”

Embun mengangguk dengan semangat. “Iyadong!! Leggo!” Seru Embun dengan semangat yang luar biasa.